KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: KEP. 48/MEN/IV/2004
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN
PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN
PERJANJIAN KERJA BERSAMA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: KEP. 48/MEN/IV/2004
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN
PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN
PERJANJIAN KERJA BERSAMA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
- bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 115 dan Pasal 133 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 TentangKetenagakerjaan, perlu diatur tentang tata cara pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama ;
- bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4) ;
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839) ;
3. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) ;
4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) ;
5. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) ;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3959) ;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.
Memperhatikan :
1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 23 Maret 2004
2. Hasil Sidang Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 23 Maret 2004 ;
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN
DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
2. Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
3. Perusahaan adalah :
· setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain ;
· usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
6. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
BAB II
TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN PERUSAHAAN
Pasal 2
TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN PERUSAHAAN
Pasal 2
1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib memuat peraturan perusahaan.
2. Isi dari peraturan perusahaan adalah syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan rincian pelaksanaan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
3. Dalam hal peraturan perusahaan akan mengatur kembali materi dari peraturan perundangan maka ketentuan dalam peraturan perusahaan tersebut harus lebih baik dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 3
1. Peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dibuat dan disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan saran dan pertimbangan terhadap wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
2. Wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat tidak memberikan saran dan pertimbangan terhadap peraturan perusahaan yang diajukan oleh pengusaha.
3. Wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih oleh pekerja/buruh secara demokratis mewakili dari setiap unit kerja yang ada di perusahaan.
4. Apabila di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
5. Dalam hal di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh namun keanggotaannya tidak mewakili mayoritas pekerja/buruh di perusahaan tersebut, maka pengusaha selain memperhatikan saran dan pertimbangan dari pengurus serikat pekerja/buruh harus juga mememperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 4
1. Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) peraturan perusahaan yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
2. Dalam hal perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat peraturan perusahaan induk yang berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat peraturan perusahaan turunan yang berlaku di masing-masing cabang perusahaan.
3. Peraturan perusahaan induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang perusahaan dan peraturan perusahaan turunan memuat pelaksanaan peraturan perusahaan induk, yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan masing- masing.
4. Dalam hal peraturan perusahaan induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya peraturan perusahaan turunan di cabang perusahaan, maka selama peraturan perusahaan turunan belum disahkan, tetap berlaku peraturan perusahaan induk.
5. Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masing-masing perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka peraturan perusahaan dibuat oleh masing-masing perusahaan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 3.
Pasal 5
Pembuatan peraturan perusahaan merupakan kewajiban dan tanggung jawab pengusaha, sedangkan masukan yang disampaikan oleh serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh bersifat saran dan pertimbangan, sehingga pembuatan peraturan perusahaan tidak dapat diperselisihkan.
Pasal 6
1. Pengusaha harus menyampaikan naskah rancangan peraturan perusahaan kepada wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh untuk mendapatkan saran dan pertimbangan.
2. Saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh terhadap naskah rancangan peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah diterima oleh pengusaha dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal deterimanya naskah rancangan peraturan perusahaan oleh wakil pekerja/buruh.
3. Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pekerja/buruh telah menyampaikan saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka pengusaha memperhatikan saran dan pertimbangan serikat pekerja/serikat buruh dan atau wakil pekerja/buruh tersebut.
4. Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/buruh tidak memberikan saran dan pertimbangan, maka pengusaha dapat mengajukan pengesahan peraturan perusahaan disertai bukti bahwa pengusaha telah meminta saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
BAB III
PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN
Pasal7
PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN
Pasal7
Pengesahan peraturan perusahaan dilakukan oleh :
1. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota.
2. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Provinsi.
Pasal 8
1. Pengusaha harus mengajukan permohonan pengesahan peraturan perusahaan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
2. Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan melengkapi :
· permohonan tertulis memuat :
1. nama dan alamat perusahaan;
2. nama pimpinan perusahaan;
3. wilayah operasi perusahaan;
4. status perusahaan;
5. jenis/bidang usaha;
6. jumlah pekerja/buruh menurut jenis kelamin;
7. status hubungan kerja;
8. upah tertinggi dan terendah;
9. nama dan alamat serikat pekerja/serikat buruh (apabila ada);
10. nomor pencatatan serikat pekerja/serikat buruh (apabila ada);
11. masa berlakunya peraturan perusahaan; dan
12. pengesahan peraturan perusahaan untuk yang keberapa.
· naskah peraturan perusahaan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) yang telah ditandatangani oleh pengusaha;
· bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh.
3. Pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan harus meneliti kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan meneliti materi peraturan perusahaan yang diajukan tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan yang berlaku.
4. Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib mengesahkan peraturan perusahaan dengan menerbitkan surat keputusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan pengesahan.
5. Dalam hal pengajuan pengesahan peraturan perusahaan tidak memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan/atau terdapat materi peraturan perusahaan yang bertentangan dengan peraturan perundangan, maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 mengembalikan secara tertulis permohonan pengesahan peraturan kepada pengusaha dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan permohonan pengesahan, untuk dilengkapi atau diperbaiki.
6. Perusahaan wajib menyampaikan peraturan perusahaan yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya pengembalian peraturan perusahaan.
7. Apabila pengusaha tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 5 (lima) maka perusahaan dapat dinyatakan tidak mengajukan permohonan pengesahan peraturan perusahaan, sehingga dapat dianggap belum memiliki peraturan perusahaan.
8. Peraturan perusahaan mulai berlaku setelah disahkan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal 9
1. Ketentuan-ketentuan dalam peraturan perusahaan yang telah berakhir masa berlakunya tetap berlaku sampai ditandatanganinya perjanjian kerja bersama atau disahkannya peraturan perusahaan yang baru.
2. Dalam hal di perusahaan telah dilakukan perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tetapi belum mencapai kesepakatan, maka pengusaha wajib mengajukan pengesahan pembaharuan peraturan perusahaan.
Pasal 10
1. Dalam hal perusahaan akan mengadakan perubahan isi peraturan perusahaan dalam tenggang waktu masa berlakunya peraturan perusahaan, maka perubahan tersebut harus berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh.
2. Peraturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dapat pengesahan kembali dari pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
3. Apabila perusahaan tidak mengajukan permohonan pengesahan perubahan peraturan perusahaan, maka perubahan itu dianggap tidak ada.
Pasal 11
1. Pengusaha wajib mengajukan pembaharuan peraturan perusahaan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhir masa berlakunya peraturan perusahaan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk mendapat pengesahan.
2. Pengajuan pengesahan pembaharuan peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2).
3. Apabila dalam pembaharuan peraturan perusahaan terdapat perubahan materi dari peraturan perusahaan sebelumnya, maka perubahan materi tersebut harus didasarkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh.
BAB IV
PERSYARATAN PEMBUATAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA
Pasal 12
PERSYARATAN PEMBUATAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA
Pasal 12
1. Perjanjian kera bersama dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
2. Perundingan perjanjian kerja bersama harus didasari itikad baik dan kemauan bebas kedua belah pihak.
3. Perundingan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
4. Lamanya perundingan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak dan dituangkan dalam tata tertib perundingan.
Pasal 13
1. Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
2. Dalam hal perusahaan yang perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat perjanjian kerja bersama induk yang berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat perjanjian kerja bersama turunan yang berlaku di masing-masing cabang perusahaan.
3. Perjanjian kerja bersama induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum diseluruh cabang perusahaan dan perjanjian kerja bersama turunan memuat pelaksanaan perjanjian kerja bersama induk yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan masing-masing.
4. Dalam hal perjanjian kerja bersama induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya perjanjian kerja bersama turunan di cabang perusahaan, maka selama perjanjian kerja bersama turunan belum disepakati tetap berlaku perjanjian kerja bersama induk.
Pasal 14
Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masing-masing perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka perjanjian kerja bersama dibuat dan dirundingkan oleh masing-masing pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh masing-masing perusahaan.
Pasal 15
Pengusaha harus melayani permintaan secara tertulis untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dari serikat pekerja/serikat buruh apabila :
· serikat pekerja/serikat buruh telah tercatat berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan peraturan pelaksanaannya ;
· memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 120 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 16
1. Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
2. Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari pengurus serikat pekerja/serikat buruh dan wakil-wakil dari pekerja/buruh yang bukan anggota serikat pekerja/serikat buruh.
3. Panitia yang terbentuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengumumkan tanggal pemungutan suara selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) hari sebelum tanggal pemungutan suara.
4. Panitia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memberitahukan tanggal pelaksanaan pemungutan suara kepada pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha, untuk menyaksikan pelaksanaan pemungutan suara .
5. Serikat pekerja/serikat buruh diberi kesempatan menjelaskan program pembuatan perjanjian kerja bersama dalam waktu 14 (empat belas) hari, dan dilaksanakan 3 (tiga) hari setelah tanggal diumumkannya pemungutan suara.
6. Pelaksanaan penjelasan program sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan diluar jam kerja pada tempat-tempat yang disepakati oleh serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha.
7. Apabila dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum dilaksanakan pemungutan suara ternyata serikat pekerja/serikat buruh dapat membuktikan keanggotaannya kepada pengusaha bahwa serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah memenuhi lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka pemungutan suara tidak perlu dilaksanakan.
8. Panitia pemungutan suara harus menyesuaikan waktu pelaksanaan pemungutan suara dengan jadwal kerja para pekerja/buruh sehingga tidak mengganggu proses produksi.
9. Tempat pemungutan suara ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penitia dengan pengusaha.
10. Hasil pemungutan suara sah, setelah ditandatangani oleh panitia dan saksi-saksi.
Pasal 17
1. Tempat perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dilakukan di kantor perusahaan yang bersangkutan atau kantor serikat pekerja/serikat buruh atau ditempat lain sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
2. Biaya perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama menjadi beban pengusaha, kecuali disepakati lain oleh kedua belah pihak.
Pasal 18
1. Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha adalah serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
2. Dalam hal penentuan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serkat buruh maka verifikasi dilakukan oleh panitia yang terdiri dari wakil pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang ada di perusahaan dengan disaksikan oleh wakil instansi yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.
3. Verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan berdasarkan bukti kartu tanda anggota sesuai Pasal 121 UU Nomor 13 Tahun 2003 dan apabila terdapat kartu tanda anggota lebih dari 1 (satu), maka kartu tanda anggota yang sah adalah kartu tanda anggota yang terakhir.
4. Hasil pelaksanaan verifikasi dituangkan dalam bentuk berita acara yang ditandatangani oleh panitia dan saksi-saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang hasilnya mengikat bagi serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan.
5. Pelaksanaan verifikasi dilakukan di tempat-tempat kerja yang diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu proses produksi dalam waktu 1 (satu) hari kerja yang disepakati serikat pekerja/serikat buruh.
6. Pengusaha maupun serikat pekerja/serikat buruh dilarang melakukan tindakan yang mempengaruhi pelaksanaan verifikasi.
Pasal 19
Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dimulai dengan menyepakati tata tertib perundingan yang sekurang-kurangnya memuat :
· tujuan pembuatan tata tertib;
· susunan tim perunding;
· materi perundingan;
· tempat perundingan;
· tata cara perundingan;
· cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan;
· sahnya perundingan;
· biaya perundingan.
Pasal 20
1. Dalam menentukan tim perunding pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b pihak pengusaha dan pihak serikat pekerja/serikat buruh menunjuk tim perunding sesuatu kebutuhan dengan ketentuan masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang dengan kuasa penuh.
2. Dalam hal terdapat serikat pekerja/serikat buruh yang tidak terwakili dalam tim perunding, maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat menyampaikan aspirasinya secara tertulis kepada tim perunding sebelum dimulai perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.
Pasal 21
Perjanjian kerja bersama sekurang-kurangnya harus memuat :
· nama, tempat kedudukan serta alamat serikat pekerja/serikat buruh;
· nama, tempat kedudukan serta alamat perusahaan;
· nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;
· hak dan kewajiban pengusaha;
· hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
· jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
· tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
Pasal 22
Apabila pembuatan perjanjian kerja bersama ditandatangani oleh wakil, harus ada surat kuasa khusus yang dilampirkan pada perjanjian kerja bersama tersebut.
Pasal 23
1. Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tidak selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka ke 2 (dua) belah pihak dapat menjadwal kembali perundingan dengan waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah perundingan gagal.
2. Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama masih belum selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib dan penjadwalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), para pihak harus membuat pernyataan secara tertulis bahwa perundingan tidak dapat diselesaikan pada waktunya yang memuat :
· materi perjanjian kerja bersama yang belum dicapai kesepakatan;
· pendirian para pihak;
· risalah perundingan;
· tempat, tanggal dan tanda tangan para pihak.
3. Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tidak mencapai kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka salah satu pihak atau kedua belah pihak melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
4. Instansi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) adalah :
· Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama hanya mencakup satu Kabupaten/Kota;
· Instansi yang betanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi, apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama lebih dari satu Kabupaten/Kota di satu Provinsi;
· Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama meliputi lebih dari satu Provinsi.
5. Penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 .
Pasal 24
1. Apabila penyelesaian pada instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) dilakukan melalui mediasi dan para pihak atau salah satu pihak tidak menerima anjuran mediator maka atas kesepakatan para pihak, mediator melaporkan kepada Menteri untuk menetapkan lengkah-langkah penyelesaian.
2. Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat :
· materi Perjanjian Kerja Bersama yang belum dicapai kesepakatan;
· pendirian para pihak;
· kesimpulan perundingan;
· pertimbangan dan saran penyelesaian;
3. Menteri dapat menunjuk pejabat untuk melakukan penyelesaian pembuatan Perjanjian Kerja Bersama .
4. Dalam hal penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial di daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja.
5. Dalam hal daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) melebihi 1 (satu) daerah hukum Pengadilan Hubungan Industrial, maka gugatan diajukan pada Pengadilan Hubungan Industrial yang daerah hukumnya mencakup domisili perusahaan.
Pasal 25
1. Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha hendak melakukan perubahan Perjanjian Kerja Bersama yang sedang berlaku, maka perubahan tersebut harus berdasarkan kesepakatan.
2. Perubahan Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Kerja Bersama yang sedang berlaku.
BAB V
PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA
Pasal 26
PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA
Pasal 26
1. Pengusaha mendaftarkan perjanjian kerja bersama kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
2. Pendaftaran perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dimaksudkan :
· sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja yang dilaksanakan di perusahaan;
· sebagai rujukan utama dalam hal terjadi perselisihan pelaksanaan perjanjian kerja bersama.
3. Pengajuan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan naskah Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat dalam rangkap 3 (tiga) bermaterai cukup yang telah ditandatangani oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 27
1. Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dilakukan oleh :
· Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota;
· Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1(satu) Kabupaten/Kota dalam 1(satu) Provinsi;
· Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1(satu) Provinsi.
2. Pengajuan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi dengan keterangan yang memuat :
· nama dan alamat perusahaan;
· nama pimpinan perusahaan;
· wilayah operasi perusahaan;
· status permodalan perusahaan;
· jenis atau bidang usaha;
· jumlah pekerja/buruh menurut jenis kelamin;
· status hubungan kerja;
· upah tertinggi dan terendah;
· nama dan alamat serikat pekerja/serikat buruh;
· nomor pencatatan serikat pekerja.serikat buruh;
· jumlah anggota serikat pekerja.serikat buruh;
· masa berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
· pendaftaran perjanjian kerja bersama untuk yang keberapa (dalam hal perpanjangan atau pembaharuan).
3. Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diteliti oleh Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
4. Penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi :
· kelengkapan formal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2);
· materi naskah perjanjian kerja bersama yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
5. Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah terpenuhi dan tidak ada meteri yang bertentangan dengan peraturan perundangan, maka dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak selesainya penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menerbitkan surat keputusan pendaftaran perjanjian kerja bersama.
6. Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak terpenuhi dan atau terdapat materi perjanjian kerja bersama yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka pejabat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberi catatan pada surat keputusan pendaftaran.
7. Catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) memuat mengenai pasal-pasal yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan ketenagakerjaan.
Pasal 28
1. Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan perkerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
2. Pengusaha dan serikat pekerja/buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
1. Peraturan Perusahaan yang ada berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor PER.02/MEN/1978 tentang Peraturan Perusahaan
dan Perundingan pembuatan Perjanjian Perburuhan masih berlaku sampai dengan berakhirnya peraturan perusahaan yang bersangkutan.
dan Perundingan pembuatan Perjanjian Perburuhan masih berlaku sampai dengan berakhirnya peraturan perusahaan yang bersangkutan.
2. Perjanjian kerja bersama yang ada berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1985 tentang Pelaksanaan Tata Cara Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) masih berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja bersama yang bersangkutan.
BAB VII
SANKSI
Pasal 30
SANKSI
Pasal 30
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Dengan ditetapkannnya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga kerja, transmigrasi dan Koperasi Nomor PER-02/MEN/1978 tentang Peraturan Perusahaan dan perundingan Pembuatan Perjanjian Perburuhan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1985 tentang Pelaksanaan Tata Cara Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-97/MEN/1993 tentang Pelimpahan Wewenang Pendaftaran Kesepakatan Kerja Bersama dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 32
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 April 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMINGRASI
REPUBLIK INDONESIA
JACOB NUWA WEA
TENAGA KERJA DAN TRANSMINGRASI
REPUBLIK INDONESIA
JACOB NUWA WEA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar