Buruh, Tenaga Kerja, Pekerja, Karyawan, Majikan, Pengusaha & Perusahaan
Banyak istilah yang digunakan untuk buruh seperti : pekerja, tenaga kerja, karyawan dan man power.
Istilah buruh merupakan peninggalan jaman feodal dimana orang melakukan pekerjaan tangan atau pekerjaan kasar seperti kuli, tukang yang melakukan pekerjaan berat dan kotor, yang lebih dikenal dengan nama blue collar.
Istilah tenaga kerja dan pekerja dapat dijumpai pada Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
Istilah karyawan lebih lazim digunakan bagi orang yang bekerja pada lembaga negeri, misalnya saja karyawan Universitas Diponegoro bukan saja buruh “UNDIP”.
Istilah man power banyak digunakan dibidang menejemen karena man “termasuk didalamnya tenaga kerja/buruh” merupakan salah satu faktor produksi.
Dalam berbagai seminar yang pernah diadakan di Indonesia sering diperdebatkan tentang istilah yang sebaiknya dipakai, apakah istilah buruh, tenaga kerja atau pekerja, namun belum ada kesatuan pendapat tentang hal ini.
Sementara itu Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menggunakan istilah “pekerja” untuk mengganti istilah “buruh”
Menurut hemat saya sebaiknya digunakan istilah “tenaga kerja”, karena didukung oleh Undang-undang yang mengaturnya yakni Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003. Hal ini juga sesuai dengan Departemen yang mengurusi dan membawahinya yakni Departemen Tenaga Kerja yang sekarang (2007) digabung dengan Departemen Transmigrasi.
Demikian juga pelajaran yang diberikan diberbagai Fakultas Hukum di Indonesia menggunakan nama Hukum Ketenagakerjaan.
Istilah majikan biasanya diperuntukkan bagi orang yang melakukan pekerjaan halus dan mempunyai pangkat Belanda pada saat itu seperti klerk, komis mempunyai kedudukan sebagai pegawai, priyayi atau pengusaha/employe. Istilah majikan dapat dijumpai pada Undang-Undang lama yakni : Undang-Undang tentang Penyelesaiaan Perselisihan Perburuhan No. 22 Tahun 1957.
Sedangkan istilah pengusaha dapat dilihat pada Undang-Undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja No.3 Tahun 1992, pada Undang-Undang tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21 Tahun 2002, dan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.
Istilah perusahaan dapat dijumpai pada Undang-Undang tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. 3 Tahun 1992, pada Undang-Undang tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21 Tahun 2000, dan Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.
Banyak istilah yang digunakan untuk buruh seperti : pekerja, tenaga kerja, karyawan dan man power.
Istilah buruh merupakan peninggalan jaman feodal dimana orang melakukan pekerjaan tangan atau pekerjaan kasar seperti kuli, tukang yang melakukan pekerjaan berat dan kotor, yang lebih dikenal dengan nama blue collar.
Istilah tenaga kerja dan pekerja dapat dijumpai pada Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
Istilah karyawan lebih lazim digunakan bagi orang yang bekerja pada lembaga negeri, misalnya saja karyawan Universitas Diponegoro bukan saja buruh “UNDIP”.
Istilah man power banyak digunakan dibidang menejemen karena man “termasuk didalamnya tenaga kerja/buruh” merupakan salah satu faktor produksi.
Dalam berbagai seminar yang pernah diadakan di Indonesia sering diperdebatkan tentang istilah yang sebaiknya dipakai, apakah istilah buruh, tenaga kerja atau pekerja, namun belum ada kesatuan pendapat tentang hal ini.
Sementara itu Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menggunakan istilah “pekerja” untuk mengganti istilah “buruh”
Menurut hemat saya sebaiknya digunakan istilah “tenaga kerja”, karena didukung oleh Undang-undang yang mengaturnya yakni Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003. Hal ini juga sesuai dengan Departemen yang mengurusi dan membawahinya yakni Departemen Tenaga Kerja yang sekarang (2007) digabung dengan Departemen Transmigrasi.
Demikian juga pelajaran yang diberikan diberbagai Fakultas Hukum di Indonesia menggunakan nama Hukum Ketenagakerjaan.
Istilah majikan biasanya diperuntukkan bagi orang yang melakukan pekerjaan halus dan mempunyai pangkat Belanda pada saat itu seperti klerk, komis mempunyai kedudukan sebagai pegawai, priyayi atau pengusaha/employe. Istilah majikan dapat dijumpai pada Undang-Undang lama yakni : Undang-Undang tentang Penyelesaiaan Perselisihan Perburuhan No. 22 Tahun 1957.
Sedangkan istilah pengusaha dapat dilihat pada Undang-Undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja No.3 Tahun 1992, pada Undang-Undang tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21 Tahun 2002, dan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.
Istilah perusahaan dapat dijumpai pada Undang-Undang tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. 3 Tahun 1992, pada Undang-Undang tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21 Tahun 2000, dan Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.
2. Pengertian : Buruh, Tenaga Kerja, Pekerja, Majikan, Pengusaha Dan Perusahaan
Buruh adalah barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah (Pasal 1 ayat 1 (1a) Undang-Undang No. 22 Tahun 1957.
Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan masyarakat (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Majikan adalah orang atau badan hukum yang mampu mempekerjakan buruh (Pasal 1 ayat (1b) Undang-Undang No. 22 Tahun 1957.
Pengusaha adalah orang perorangan, persekutuan atau badan hukum :
- yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
- yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
- yang berada di wilayah Indonesia mewakili perusahaan milik sendiri maupun bukan miliknya yang bekedudukan di Indonesia (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Perusahaan adalah :
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukm atau tidak, milik orang perorangan, persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Menurut Undang-Undang tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21 Tahun 2000, perusahaan adalah :
Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perorangan, persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000).
Pengertian perusahaan menurut Undang-Undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. 3 Tahun 1992 adalah :
Setiap bentuk badan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dengan mencari keuntungan maupun tidak, baik milik swasta maupun milik negara (Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992).
Buruh adalah barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah (Pasal 1 ayat 1 (1a) Undang-Undang No. 22 Tahun 1957.
Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan masyarakat (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Majikan adalah orang atau badan hukum yang mampu mempekerjakan buruh (Pasal 1 ayat (1b) Undang-Undang No. 22 Tahun 1957.
Pengusaha adalah orang perorangan, persekutuan atau badan hukum :
- yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
- yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
- yang berada di wilayah Indonesia mewakili perusahaan milik sendiri maupun bukan miliknya yang bekedudukan di Indonesia (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Perusahaan adalah :
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukm atau tidak, milik orang perorangan, persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Menurut Undang-Undang tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21 Tahun 2000, perusahaan adalah :
Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perorangan, persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000).
Pengertian perusahaan menurut Undang-Undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. 3 Tahun 1992 adalah :
Setiap bentuk badan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dengan mencari keuntungan maupun tidak, baik milik swasta maupun milik negara (Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992).
B. PENGERTIAN HUKUM PERBURUHAN/HUKUM KETENAGA-KERJAAN
Banyak rumusan Hukum Perburuhan/Hukum Ketenagakerjaan diberikan oleh para ahli hukum, maupun pendapat yang satu dan yang lainnya berlainan bunyinya. Rumusan diberikan antara lain dari :
1. MOLENAAR
Hukum perburuhan/ARBEIDSRECHT adalah bagian dari hukum yang berlaku, yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa. Pada pengertian tersebut hendaklah dibatasi pada hukum yang bersangkutan dengan orang-orang yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja/bekerja pada orang lain.
2. M.G. LEVENBACH
Hukum Perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, di mana pekerjaan tersebut dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang bersangkut paut dengan hubungan kerja.
Dalam pengertian tersebut hubungan kerja tidak hanya mengatur mereka yang terikat pada hubungan kerja saja, melainkan termasuk juga peraturan mengenai persiapan bagi hubungan kerja. Contoh : peraturan untuk magang.
3. VAN ESVELD
Hukum Perburuhan tidak membatasi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan saja, tetapi juga meliputi pekerjaan yang dilakukan oleh swa pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri.
4. MOK
Hukum Perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bergandenngan dengan pekerjaan itu.
5. Prof. IMAN SOEPOMO
Hukum Perburuhan adalah himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
Himpunan peraturan tersebut hendaknya jangan diartikan seolah-olah peraturan perburuhan telah lengkap dan telah dihimpun secara sistematis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perburuhan Peraturan yang tertulis seperti : Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan lain-lainya tentu tidak akan fleksibel dalam setiap waktu. Sehubungan dengan itu banyak ketentuan tentang perburuhan harus ditemukan dalam aturan yang tidak tertulis yang berbentuk kebiasaan. Peraturan-peraturan itu baik dalam arti formil maupun materiil ada yang ditetapkan oleh penguasa dari pusat yang sifatnya heteronoom dan ada pula yang timbul di dunia perburuhan sendiri ditetapkan oleh buruh dan majikan atau ditetapkan oleh majikan sendiri yang sifatnya otonoom.
Banyak rumusan Hukum Perburuhan/Hukum Ketenagakerjaan diberikan oleh para ahli hukum, maupun pendapat yang satu dan yang lainnya berlainan bunyinya. Rumusan diberikan antara lain dari :
1. MOLENAAR
Hukum perburuhan/ARBEIDSRECHT adalah bagian dari hukum yang berlaku, yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa. Pada pengertian tersebut hendaklah dibatasi pada hukum yang bersangkutan dengan orang-orang yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja/bekerja pada orang lain.
2. M.G. LEVENBACH
Hukum Perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, di mana pekerjaan tersebut dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang bersangkut paut dengan hubungan kerja.
Dalam pengertian tersebut hubungan kerja tidak hanya mengatur mereka yang terikat pada hubungan kerja saja, melainkan termasuk juga peraturan mengenai persiapan bagi hubungan kerja. Contoh : peraturan untuk magang.
3. VAN ESVELD
Hukum Perburuhan tidak membatasi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan saja, tetapi juga meliputi pekerjaan yang dilakukan oleh swa pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri.
4. MOK
Hukum Perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bergandenngan dengan pekerjaan itu.
5. Prof. IMAN SOEPOMO
Hukum Perburuhan adalah himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
Himpunan peraturan tersebut hendaknya jangan diartikan seolah-olah peraturan perburuhan telah lengkap dan telah dihimpun secara sistematis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perburuhan Peraturan yang tertulis seperti : Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan lain-lainya tentu tidak akan fleksibel dalam setiap waktu. Sehubungan dengan itu banyak ketentuan tentang perburuhan harus ditemukan dalam aturan yang tidak tertulis yang berbentuk kebiasaan. Peraturan-peraturan itu baik dalam arti formil maupun materiil ada yang ditetapkan oleh penguasa dari pusat yang sifatnya heteronoom dan ada pula yang timbul di dunia perburuhan sendiri ditetapkan oleh buruh dan majikan atau ditetapkan oleh majikan sendiri yang sifatnya otonoom.
C. OBYEK, SIFAT HAKEKAT, KEDUDUKAN HUKUM KETENAGA-KERJAAN
Secara yuridis buruh/tenaga kerja memang bebas memilih dan menentukan nasibnya, bebas memilih dan menentukan pekerjaan yang disukainya. Hal ini dapat dipahami karena prinsip di negara kita adalah : “tidak seorangpun boleh diperbudak, diperulur dan diperhamba”. Perbudakan dan perhambaan merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia.
Namun secara sosiologis/kemasyarakatan buruh/tenaga kerja merupa-kan orang yang tidak bebas, karena ia terpaksa bekerja dan mengikuti majikannya/pengusahanya di mana ia berada. Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia merupakan tenaga kerja yang tidak mempunyai bekal hidup yang berupa keahlian dan ketrampilan, selain tenaganya. Majikan/pengusaha yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja bahkan dapat dikatakan pengusahalah yang menentukan hidup dan matinya tenaga kerja.
Dalam prakteknya baik secara jasmaniah dan rohaniah tenaga kerja merupakan pihak yang tidak bebas. Untuk melindungi tenaga kerja yang demikian tadi ada perlindungan yang diterapkan dengan cara :
a. Menetapkan peraturan dari penguasa/pemerintah yang bersifat heteronoom.
b. Menetapkan peraturan yang dibuat oleh pengusaha bersama-sama dengan Serikat Pekerja yang disebut Perjanjian Kerja Bersama/PKB.
c. Menetapkan peraturan yang dibuat oleh pengusaha yang disebut peraturan perusahaan yang bersifat otonoom.
Dalam hal ini peraturan jenis kedua dan ketiga tidak boleh bertentangan dengan jenis pertama.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat hukum ketenaga-kerjaan adalah :
1. Melindungi pihak yang lemah dan menempatkan mereka pada kedudukan yang layak bagi kemanusiaan.
2. Untuk mendapatkan keadaan sosial dalam lapangan perburuhan atau ketenagakerjaan yang pelaksanaannya diselenggarakan dengan jalan melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan pengusaha yang tidak terbatas.
Secara yuridis buruh/tenaga kerja memang bebas memilih dan menentukan nasibnya, bebas memilih dan menentukan pekerjaan yang disukainya. Hal ini dapat dipahami karena prinsip di negara kita adalah : “tidak seorangpun boleh diperbudak, diperulur dan diperhamba”. Perbudakan dan perhambaan merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia.
Namun secara sosiologis/kemasyarakatan buruh/tenaga kerja merupa-kan orang yang tidak bebas, karena ia terpaksa bekerja dan mengikuti majikannya/pengusahanya di mana ia berada. Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia merupakan tenaga kerja yang tidak mempunyai bekal hidup yang berupa keahlian dan ketrampilan, selain tenaganya. Majikan/pengusaha yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja bahkan dapat dikatakan pengusahalah yang menentukan hidup dan matinya tenaga kerja.
Dalam prakteknya baik secara jasmaniah dan rohaniah tenaga kerja merupakan pihak yang tidak bebas. Untuk melindungi tenaga kerja yang demikian tadi ada perlindungan yang diterapkan dengan cara :
a. Menetapkan peraturan dari penguasa/pemerintah yang bersifat heteronoom.
b. Menetapkan peraturan yang dibuat oleh pengusaha bersama-sama dengan Serikat Pekerja yang disebut Perjanjian Kerja Bersama/PKB.
c. Menetapkan peraturan yang dibuat oleh pengusaha yang disebut peraturan perusahaan yang bersifat otonoom.
Dalam hal ini peraturan jenis kedua dan ketiga tidak boleh bertentangan dengan jenis pertama.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat hukum ketenaga-kerjaan adalah :
1. Melindungi pihak yang lemah dan menempatkan mereka pada kedudukan yang layak bagi kemanusiaan.
2. Untuk mendapatkan keadaan sosial dalam lapangan perburuhan atau ketenagakerjaan yang pelaksanaannya diselenggarakan dengan jalan melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan pengusaha yang tidak terbatas.
KEDUDUKAN HUKUM PERBURUHAN/KETENAGAKERJAAN
Bila diikuti sistem Belanda, di negara tersebut hukum perburuhan/ ketenagakerjaan dahulu dijadikan bagian dari hukum perdata, dan secara tradisional hukum perburuhan/ketenagakerjaan selalu digolongkan pada hukum sipil. Gagasan ini berasal dari zaman di mana dianggap bahwa buruh/ tenaga kerja dan majikan/pengusaha bebas mengadakan perjanjian kerja satu dengan yang lainnya (Pasal 1338 KUH. Perdata) dan Pemerintah dilarang mencampuri kemerdekaan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
Namun perkembangan teknologi dalam bidang produksi telah memaksa pemerintah untuk terus menerus mencampuri urusan perburuhan/ketenaga-kerjaan dan ada kalanya demi kepentingan umum dan ada kalanya untuk kepentingan buruh/tenaga kerja itu sendiri yang selalu berada dalam posisi yang lemah.
Dalam kenyataannya sifat sipil makin menyempit dan sifat publik makin meluas dalam bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu dalam kurikulum Fakultas Hukum dewasa ini hukum perburuhan/ketenagakerjaan dimasukkan ke dalam Jurusan Hukum Administrasi Negara (HAN) walaupun pada beberapa Fakultas Hukum di Indonesia ada yang dimasukkan pada Jurusan Hukum Perdata atau Jurusan Hukum Tata Negara.
Bila diikuti sistem Belanda, di negara tersebut hukum perburuhan/ ketenagakerjaan dahulu dijadikan bagian dari hukum perdata, dan secara tradisional hukum perburuhan/ketenagakerjaan selalu digolongkan pada hukum sipil. Gagasan ini berasal dari zaman di mana dianggap bahwa buruh/ tenaga kerja dan majikan/pengusaha bebas mengadakan perjanjian kerja satu dengan yang lainnya (Pasal 1338 KUH. Perdata) dan Pemerintah dilarang mencampuri kemerdekaan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
Namun perkembangan teknologi dalam bidang produksi telah memaksa pemerintah untuk terus menerus mencampuri urusan perburuhan/ketenaga-kerjaan dan ada kalanya demi kepentingan umum dan ada kalanya untuk kepentingan buruh/tenaga kerja itu sendiri yang selalu berada dalam posisi yang lemah.
Dalam kenyataannya sifat sipil makin menyempit dan sifat publik makin meluas dalam bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu dalam kurikulum Fakultas Hukum dewasa ini hukum perburuhan/ketenagakerjaan dimasukkan ke dalam Jurusan Hukum Administrasi Negara (HAN) walaupun pada beberapa Fakultas Hukum di Indonesia ada yang dimasukkan pada Jurusan Hukum Perdata atau Jurusan Hukum Tata Negara.
D. SEJARAH HUKUM PERBURUHAN/KETENGAKERJAAN
Di dalam Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan, jika orang melihat Undang-Undang saja sudah dapat melihat/mengerti pertumbuhan/ perkembangan hukum perburuhan/ketenagakerjaan, maka orang tersebut tidak akan puas. Hendaknya orang melihat sejarah hukum perburuhan/ ketenagakerjaan dengan mengaitkan pada sejarah umum yang ada di Indonesia. Sejarah hukum perburuhan/ketenagakerjaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
1. Sebelum Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
2. Setelah Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Di dalam Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan, jika orang melihat Undang-Undang saja sudah dapat melihat/mengerti pertumbuhan/ perkembangan hukum perburuhan/ketenagakerjaan, maka orang tersebut tidak akan puas. Hendaknya orang melihat sejarah hukum perburuhan/ ketenagakerjaan dengan mengaitkan pada sejarah umum yang ada di Indonesia. Sejarah hukum perburuhan/ketenagakerjaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
1. Sebelum Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
2. Setelah Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
SEBELUM KEMERDEKAAN 17 AGUSTUS 1945
Sejarah hukum perburuhan/ketenagakerjaan sebelum Kemerdekaan 1945 dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
1. Zaman perbudakan.
2. Zaman rodi.
3. Zaman poenale sanksi.
Sejarah hukum perburuhan/ketenagakerjaan sebelum Kemerdekaan 1945 dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
1. Zaman perbudakan.
2. Zaman rodi.
3. Zaman poenale sanksi.
1. ZAMAN PERBUDAKAN
Zaman perbudakan adalah zaman dimana orang melakukan pekerjaan di bawah peimpinan orang lain. Ciri yang menonjol adalah buruh/tenaga kerja tidak mempunyai hak apapun, bahkan hak atas hidupnya juga ditentukan oleh tuannya. Yang dipunyai hanya kewajiban bekerja dan mengikuti perintah dan petunjuk tuannya. Yang sangat menyedihkan pada saat itu adalah belum ada peraturan dari pemerintah yang menetapkan bahwa pemeliharaan budak menjadi kewajiban pemiliknya. Baru pada Tahun 1817 Pemerintah Hindia Belanda mengatur mengenai perbudakan dengan menetapkan peraturan-peraturan sebagai berikut :
a. Mengadakan larangan memasukkan budak-budak ke pulau Jawa.
b. Harus diadakan pendaftaran budak.
c. Mengadakan pajak atas pemilikan budak.
d. Melarang pengangkutan budak yang masih anak-anak.
e. Mengadakan peraturan tentang pendaftaran anak budak.
Kenyataannya, kelima peraturan tersebut diatas belum dapat merubah nasib para budak. Pada tahun 1825 diadakan perbaikan peraturan yang diharapkan dapat merubah nasib para budak tersbut yang intinya adalah : “bahwa hubungan pemilik dan budak tidak terletak pada baik buruknya perlakuan pemilik budak, tetapi terletak pada hekekat hukum perburuhan itu sendiri, yaitu mendudukan mereka pada kedudukan yang merdeka secara yuridis, sosiologis dan ekonomis”.
Secara Yuridis berarti : budak menjalankan kewajiban dan diberi haknya sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada. Sedangkan secara sosiologis berarti : hak dan kewajiban yang diterapkan tersebut diakui dalam masyarakat. Secara ekonomis berarti : hak yang diberikan pada budak tersebut mendapatkan imbalan yang cukup baginya.
Pada zaman pemerintahan Raffles antara tahun 1818 sampai dengan 1825, ia berusaha memperbaiki nasib para budak dengan mendirikan lembaga yang bernama “Java Bnevolent Institution”. Maksud baik Raffles ini ditentang pemilik budak yang berpendirian bahwa : “penghapusan perbudakan merupakan pelanggaran terhadap hak para pemilik budak”. Pendapat ini dapat mengesampingkan pendapat pihak lain, yang berbunyi : “perbudakan adalah kezaliman yang besar terhadap kemanusiaan, merendahkan manusia menjadi barang milik”.
Pada tahun 1854 perbudakan mulai dikikis dan pada tahun 1860 tepatnya 1 Januari 1860 perbudakan di Indonesia dihapuskan, namun tidak berarti perbudakan hapus sama sekali, karena perbudakan dari segi mental tetap masih ada.
Di luar pulau Jawa perbudakan disebut perhambaan (Sumatra) dan peruluran (Pulau Banda).
- Perhambaan/pandelingschap yaitu memberikan piutang/gadai pada seseorang, dan bila tidak dapat mengembalikan, maka sipenerima gadai harus bekerja pada pemberi gadai sampai hutang dan bunganya terlunasi. Orang yang diberi gadai tadi diperlakukan sebagai hamba, maka terwujudlah perhambaan.
- Peruluran terjadi di pulau Banda yang terkenal sebagai pulau penghasil rempah-rempah. Tanah di pulau tersebut dikuasai oleh penduduk asli, kemudian Gubernur Jendral Hindia Belanda mengambil alih, pemilik tanah di pulau tersebut banyak yang dibunuh. Tanah yang dikuasai di bagikan pada pegawai kompeni dan disuruh menanami rempah-rempah. Tanah yang dikerjakan pegawai kompeni tersebut terkenal dengan nama Perk, dan orang yang mengerjakan disebut Perkenier.
Terikatnya pegawai kompeni untuk menanami rempah-rempah di pulau Banda itu disebut Peruluran.
Zaman perbudakan adalah zaman dimana orang melakukan pekerjaan di bawah peimpinan orang lain. Ciri yang menonjol adalah buruh/tenaga kerja tidak mempunyai hak apapun, bahkan hak atas hidupnya juga ditentukan oleh tuannya. Yang dipunyai hanya kewajiban bekerja dan mengikuti perintah dan petunjuk tuannya. Yang sangat menyedihkan pada saat itu adalah belum ada peraturan dari pemerintah yang menetapkan bahwa pemeliharaan budak menjadi kewajiban pemiliknya. Baru pada Tahun 1817 Pemerintah Hindia Belanda mengatur mengenai perbudakan dengan menetapkan peraturan-peraturan sebagai berikut :
a. Mengadakan larangan memasukkan budak-budak ke pulau Jawa.
b. Harus diadakan pendaftaran budak.
c. Mengadakan pajak atas pemilikan budak.
d. Melarang pengangkutan budak yang masih anak-anak.
e. Mengadakan peraturan tentang pendaftaran anak budak.
Kenyataannya, kelima peraturan tersebut diatas belum dapat merubah nasib para budak. Pada tahun 1825 diadakan perbaikan peraturan yang diharapkan dapat merubah nasib para budak tersbut yang intinya adalah : “bahwa hubungan pemilik dan budak tidak terletak pada baik buruknya perlakuan pemilik budak, tetapi terletak pada hekekat hukum perburuhan itu sendiri, yaitu mendudukan mereka pada kedudukan yang merdeka secara yuridis, sosiologis dan ekonomis”.
Secara Yuridis berarti : budak menjalankan kewajiban dan diberi haknya sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada. Sedangkan secara sosiologis berarti : hak dan kewajiban yang diterapkan tersebut diakui dalam masyarakat. Secara ekonomis berarti : hak yang diberikan pada budak tersebut mendapatkan imbalan yang cukup baginya.
Pada zaman pemerintahan Raffles antara tahun 1818 sampai dengan 1825, ia berusaha memperbaiki nasib para budak dengan mendirikan lembaga yang bernama “Java Bnevolent Institution”. Maksud baik Raffles ini ditentang pemilik budak yang berpendirian bahwa : “penghapusan perbudakan merupakan pelanggaran terhadap hak para pemilik budak”. Pendapat ini dapat mengesampingkan pendapat pihak lain, yang berbunyi : “perbudakan adalah kezaliman yang besar terhadap kemanusiaan, merendahkan manusia menjadi barang milik”.
Pada tahun 1854 perbudakan mulai dikikis dan pada tahun 1860 tepatnya 1 Januari 1860 perbudakan di Indonesia dihapuskan, namun tidak berarti perbudakan hapus sama sekali, karena perbudakan dari segi mental tetap masih ada.
Di luar pulau Jawa perbudakan disebut perhambaan (Sumatra) dan peruluran (Pulau Banda).
- Perhambaan/pandelingschap yaitu memberikan piutang/gadai pada seseorang, dan bila tidak dapat mengembalikan, maka sipenerima gadai harus bekerja pada pemberi gadai sampai hutang dan bunganya terlunasi. Orang yang diberi gadai tadi diperlakukan sebagai hamba, maka terwujudlah perhambaan.
- Peruluran terjadi di pulau Banda yang terkenal sebagai pulau penghasil rempah-rempah. Tanah di pulau tersebut dikuasai oleh penduduk asli, kemudian Gubernur Jendral Hindia Belanda mengambil alih, pemilik tanah di pulau tersebut banyak yang dibunuh. Tanah yang dikuasai di bagikan pada pegawai kompeni dan disuruh menanami rempah-rempah. Tanah yang dikerjakan pegawai kompeni tersebut terkenal dengan nama Perk, dan orang yang mengerjakan disebut Perkenier.
Terikatnya pegawai kompeni untuk menanami rempah-rempah di pulau Banda itu disebut Peruluran.
2. ZAMAN RODI (KERJA PAKSA)
Mula-mula bentuknya adalah melakukan pekerjaan secara bersama-sama antara budak-budak atau anggota masyarakat desa. Namun karena berbagai alasan dan keadaan, kerja bersama tersebut berubah menjadi kerja paksa untuk kepentingan seseorang dengan menerima upah. Kemudian kepentingan tersebut beralih lagi yakni untuk Gubernemen. Pekerjaan yang dilakukan para budak tersebut merupakan kerja paksa atau rodi. Misalnya, pekerjaan untuk mendirikan benteng, pabrik gula, jalan raya (Anyer sampai Panarukan yang biasa disebut jalan Daendels).
Guna melakukan kepentingan tersebut banyak pekerja yang mati. Pada Tahun 1813 Raffles berusaha menghapuskan rodi namun usahanya menemui kegagalan.
Setelah Indonesia dikembalikan pada Nederlands, kerja rodi bahkan makin diperhebat dan digolongkan menjadi beberapa kelompok yakni :
a. Rodi Gubernemen : budak yang bekerja pada pemerintah Hindia Belanda tanpa bayaran.
b. Rodi perorangan, yang bekerja pada pembesar-pembesar Belanda / Raja-raja di Indonesia.
c. Rodi Desa untuk pekerjaan di Desa
Proses hapusnya rodi ini memakan waktu yang lama dan pada Tahun 1938 rodi baru dapat dihapuskan.
Mula-mula bentuknya adalah melakukan pekerjaan secara bersama-sama antara budak-budak atau anggota masyarakat desa. Namun karena berbagai alasan dan keadaan, kerja bersama tersebut berubah menjadi kerja paksa untuk kepentingan seseorang dengan menerima upah. Kemudian kepentingan tersebut beralih lagi yakni untuk Gubernemen. Pekerjaan yang dilakukan para budak tersebut merupakan kerja paksa atau rodi. Misalnya, pekerjaan untuk mendirikan benteng, pabrik gula, jalan raya (Anyer sampai Panarukan yang biasa disebut jalan Daendels).
Guna melakukan kepentingan tersebut banyak pekerja yang mati. Pada Tahun 1813 Raffles berusaha menghapuskan rodi namun usahanya menemui kegagalan.
Setelah Indonesia dikembalikan pada Nederlands, kerja rodi bahkan makin diperhebat dan digolongkan menjadi beberapa kelompok yakni :
a. Rodi Gubernemen : budak yang bekerja pada pemerintah Hindia Belanda tanpa bayaran.
b. Rodi perorangan, yang bekerja pada pembesar-pembesar Belanda / Raja-raja di Indonesia.
c. Rodi Desa untuk pekerjaan di Desa
Proses hapusnya rodi ini memakan waktu yang lama dan pada Tahun 1938 rodi baru dapat dihapuskan.
3. ZAMAN POENALE SANKSI
Zaman ini merupakan perkembangan kerja rodi untuk Gubernemen. Gubervemen adalah penguasa pemerintah Hindia Belanda yang menyewakan tanah pada orang-orang swasta (bukan orang Indonesia asli). Guna menggarap tanah yang disewakan tersebut Gubervemen mengambil pekerjanya dari rodi desa dengan menghubungi kepala desa yang bersangkutan. Pekerja dipekerjakan pada tanah yang disewakan. Mereka dikontrak selama 5 tahun dengan kontrak kerja secara tertulis.
Perjanjian kontrak tersebut memuat tentang :
a. Besarnya upah.
b. Besarnya uang makan.
c. Perumahan.
d. Macamnya pekerjaan.
e. Penetapan hari kerja.
Penetapan hari kerja tersebut diatur gunanya supaya orang yang dipekerjakan pada tanah-tanah swasta mempunyai kesempatan untuk mengerjakan sawahnya.
Pada tahun 1870 lahirlah Agarische Wet yang hal ini mendorong tumbuhnya perkebunan-perkebunan besar seperti perkebunan karet, tembakau, cengkeh dan sebagainya. Sehubungan dengan tumbuhnya perkebunan-perkebunan tadi, masalah perburuhan menjadi semakin penting, karena semakin banyak buruh yang dipekerjakan. Namun juga ada yang menolak untuk dikirim ke perkebunan di Sumatra Timur yang ditanami tembakau. Orang yang menolak untuk dipekerjakan diperkebunan dipidana dengan hukuman badan yang disebut dengan poenale sanksi.
Kejadian tersebut mendapat pertentangan dari Parlemen Belanda di Nederland dengan pernyataannya sebagai berikut: “kalau buruh di Indonesia menyalahi perjanjian/melakukan kesalahan maka tidak seharusnya dipidana dengan pidana yang mengarah pada hukuman badan, khususnya di daerah Sumatra Timur”.
Pernyataan ini kemudian diwujudkan dengan dikeluarkannya “Koeli Ordonantie” pada tahun 1880, yaitu peraturan yang digunakan untuk buruh jangan sampai diberi pidana yang mengarah pada pidana badan.
Pada Tahun 1930 keadaan buruh di Sumatra Timur tambah jelek karena ada pemerasan, penganiayan dan penyalah-gunaan wewenang yang dilakukan penguasa. Kemudian tahun 1904 diadakan/dibentuk instansi pengawasan perbudakan (Arbeids Inspectie).
Baru pada tanggal 1 Januari 1942 Poenale Sanksi lenyap dari dunia perburuhan di perkebunan Indonesia.
Zaman ini merupakan perkembangan kerja rodi untuk Gubernemen. Gubervemen adalah penguasa pemerintah Hindia Belanda yang menyewakan tanah pada orang-orang swasta (bukan orang Indonesia asli). Guna menggarap tanah yang disewakan tersebut Gubervemen mengambil pekerjanya dari rodi desa dengan menghubungi kepala desa yang bersangkutan. Pekerja dipekerjakan pada tanah yang disewakan. Mereka dikontrak selama 5 tahun dengan kontrak kerja secara tertulis.
Perjanjian kontrak tersebut memuat tentang :
a. Besarnya upah.
b. Besarnya uang makan.
c. Perumahan.
d. Macamnya pekerjaan.
e. Penetapan hari kerja.
Penetapan hari kerja tersebut diatur gunanya supaya orang yang dipekerjakan pada tanah-tanah swasta mempunyai kesempatan untuk mengerjakan sawahnya.
Pada tahun 1870 lahirlah Agarische Wet yang hal ini mendorong tumbuhnya perkebunan-perkebunan besar seperti perkebunan karet, tembakau, cengkeh dan sebagainya. Sehubungan dengan tumbuhnya perkebunan-perkebunan tadi, masalah perburuhan menjadi semakin penting, karena semakin banyak buruh yang dipekerjakan. Namun juga ada yang menolak untuk dikirim ke perkebunan di Sumatra Timur yang ditanami tembakau. Orang yang menolak untuk dipekerjakan diperkebunan dipidana dengan hukuman badan yang disebut dengan poenale sanksi.
Kejadian tersebut mendapat pertentangan dari Parlemen Belanda di Nederland dengan pernyataannya sebagai berikut: “kalau buruh di Indonesia menyalahi perjanjian/melakukan kesalahan maka tidak seharusnya dipidana dengan pidana yang mengarah pada hukuman badan, khususnya di daerah Sumatra Timur”.
Pernyataan ini kemudian diwujudkan dengan dikeluarkannya “Koeli Ordonantie” pada tahun 1880, yaitu peraturan yang digunakan untuk buruh jangan sampai diberi pidana yang mengarah pada pidana badan.
Pada Tahun 1930 keadaan buruh di Sumatra Timur tambah jelek karena ada pemerasan, penganiayan dan penyalah-gunaan wewenang yang dilakukan penguasa. Kemudian tahun 1904 diadakan/dibentuk instansi pengawasan perbudakan (Arbeids Inspectie).
Baru pada tanggal 1 Januari 1942 Poenale Sanksi lenyap dari dunia perburuhan di perkebunan Indonesia.
SESUDAH KEMERDEKAAN 17 AGUSTUS 1945
Sesudah kemerdekaan Republik Indonesia, masalah perburuhan lebih diperhatikan yaitu dengan adanya “PANCA KRIDA HUKUM PERBURUHAN” yang menurut Prof. Iman Soepomo meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan dan perhambaan.
2. Membebaskan penduduk Indonesia dari rodi atau kerja paksa.
3. Membebaskan buruh Indonesia dari Poenale Sanksi.
4. Membebaskan buruh Indonesia dari rasa ketakutan akan kehilangan pekerjaan secara semena-mena.
5. Memberikan kedudukan hukum yang seimbang (bukan sama) kepada buruh dan memberi penghidupan yang layak bagi buruh.
Sesuai dengan uraian diatas, jika disimpulkan terdapat keadaan sebagai berikut :
Keadaan hukum perburuhan sebelum kemerdekaan :
1. Pandangan hukum perburuhan terletak pada kontrak sosial yang bebas artinya nasib buruh bergantung dari perorangan yang menggunakan buruh tersebut.
2. Sifat peraturan yang ada, adalah privat rechtelyk.
Keadaan Hukum Perburuhan Setelah Kemerdekaan
1. Peraturan yang sifatnya privat recktelyk beralih pada publik recktelyk.
2. Peraturan hukum perburuhan mempunyai sanksi pidana yang jelas.
Sesudah kemerdekaan Republik Indonesia, masalah perburuhan lebih diperhatikan yaitu dengan adanya “PANCA KRIDA HUKUM PERBURUHAN” yang menurut Prof. Iman Soepomo meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan dan perhambaan.
2. Membebaskan penduduk Indonesia dari rodi atau kerja paksa.
3. Membebaskan buruh Indonesia dari Poenale Sanksi.
4. Membebaskan buruh Indonesia dari rasa ketakutan akan kehilangan pekerjaan secara semena-mena.
5. Memberikan kedudukan hukum yang seimbang (bukan sama) kepada buruh dan memberi penghidupan yang layak bagi buruh.
Sesuai dengan uraian diatas, jika disimpulkan terdapat keadaan sebagai berikut :
Keadaan hukum perburuhan sebelum kemerdekaan :
1. Pandangan hukum perburuhan terletak pada kontrak sosial yang bebas artinya nasib buruh bergantung dari perorangan yang menggunakan buruh tersebut.
2. Sifat peraturan yang ada, adalah privat rechtelyk.
Keadaan Hukum Perburuhan Setelah Kemerdekaan
1. Peraturan yang sifatnya privat recktelyk beralih pada publik recktelyk.
2. Peraturan hukum perburuhan mempunyai sanksi pidana yang jelas.
E. SUMBER-SUMBER HUKUM PERBURUHAN
Sumber hukum perburuhan adalah : segala sesuatu dimana kita dapat menemukan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan mengenai permasalahan perburuhan, yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk menyelesaikan permasalahan perburuhan.
Sumber hukum perburuhan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni :
- Sumber hukum yang tertulis.
- Sumber hukum yang tidak tertulis.
SUMBER HUKUM YANG TERTULIS
Menurut Prof. Iman Soepomo sumber hukum yang tertulis ada 5 macam yakni :
1. Undang-Undang.
2. Peraturan-Peraturan.
3. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
4. Perjanjian.
5. Traktat/Konvensi.
Sumber hukum perburuhan adalah : segala sesuatu dimana kita dapat menemukan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan mengenai permasalahan perburuhan, yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk menyelesaikan permasalahan perburuhan.
Sumber hukum perburuhan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni :
- Sumber hukum yang tertulis.
- Sumber hukum yang tidak tertulis.
SUMBER HUKUM YANG TERTULIS
Menurut Prof. Iman Soepomo sumber hukum yang tertulis ada 5 macam yakni :
1. Undang-Undang.
2. Peraturan-Peraturan.
3. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
4. Perjanjian.
5. Traktat/Konvensi.
SUMBER HUKUM YANG TIDAK TERTULIS
1. Kebiasaan
Ad. 1 UNDANG-UNDANG
Dipandang dari sudut kekuatan hukum, Undang-Undang merupakan sumber hukum yang tertinggi dan terpenting menurut hukum perburuhan, dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Contoh : Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.
1. Kebiasaan
Ad. 1 UNDANG-UNDANG
Dipandang dari sudut kekuatan hukum, Undang-Undang merupakan sumber hukum yang tertinggi dan terpenting menurut hukum perburuhan, dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Contoh : Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.
Selain Undang-undang ada juga Perpu/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, yang membuat adalah Presiden dalam keadaan kegentingan yang memaksa. Perpu tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat pada sidang berikutnya.
Ad. 2 PERATURAN-PERATURAN
Peraturan merupakan pelaksanaan Undang-Undang yang dibuat oleh Presiden dan Menteri Tenaga Kerja. Peraturan ini dapat berwujud P.P (Peraturan Pemerintah), Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Keputusan Presiden.
Contoh : Peraturan Pemerintah R.I No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Contoh : Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No.102 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
Peraturan merupakan pelaksanaan Undang-Undang yang dibuat oleh Presiden dan Menteri Tenaga Kerja. Peraturan ini dapat berwujud P.P (Peraturan Pemerintah), Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Keputusan Presiden.
Contoh : Peraturan Pemerintah R.I No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Contoh : Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No.102 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
Ad. 3 PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus :
- Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.
- Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
- Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.
- Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.
Putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial ini dapat menjadi sumber hukum bagi pihak-pihak yang berselisih.
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus :
- Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.
- Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
- Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.
- Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.
Putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial ini dapat menjadi sumber hukum bagi pihak-pihak yang berselisih.
Ad. 4 PERJANJIAN
Yang dimaksud perjanjian sebagai sumber hukum perburuhan ini adalah Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara para pihak (pekerja) dengan pengusaha yang dibuat secara tertulis mengenai syarat-syarat kerja. Perjanjian tersebut memuat :
a. nama, alamat perusahaan, jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja;
c. jabatan/jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayaran;
f. hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian dibuat;
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang dibuat oleh Serikat Pekerja atau beberapa Serikat Pekerja yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
Baik perjanjian kerja maupun perjanjian kerja bersama dapat menjadi sumber hukum perburuhan bila ada masalah perburuhan diantara pekerja/Serikat Pekerja dengan pengusaha/beberapa pengusaha.
Yang dimaksud perjanjian sebagai sumber hukum perburuhan ini adalah Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara para pihak (pekerja) dengan pengusaha yang dibuat secara tertulis mengenai syarat-syarat kerja. Perjanjian tersebut memuat :
a. nama, alamat perusahaan, jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja;
c. jabatan/jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayaran;
f. hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian dibuat;
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang dibuat oleh Serikat Pekerja atau beberapa Serikat Pekerja yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
Baik perjanjian kerja maupun perjanjian kerja bersama dapat menjadi sumber hukum perburuhan bila ada masalah perburuhan diantara pekerja/Serikat Pekerja dengan pengusaha/beberapa pengusaha.
Ad. 5 TRAKTAT/KONVENSI
Traktat adalah perjanjian yang diadakan oleh beberapa negara di dunia ini mengenai permasalahan perburuhan.
Negara-negara tersebut menjadi Anggota International Labour Organization (ILO).
Sampai dengan Tahun 2001 ILO telah menghasilkan 184 konveksi, 12 diantaranya telah diratifikasi Indonesia. Dari 12 konveksi tersebut ada yang diratifikasi pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Republik Indonesia.
a. Konveksi yang diratifikasi pemerintah Hindia Belanda
1. Konvensi No.19 Tahun 1925 tentang “Equality of Treatment (Accident Compensation)” = Perlakuan yang sama bagi pekerja nasional dan asing dalam hal tunjangan kecelakaan. Diatur dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
2. Konvensi No. 27 Tahun 1929 tentang “Marking of Weight (Packages Transported by Vessel)” = Pemberian tanda berat pada barang-barang besar yang diangkut dengan kapal.
3. Konvensi No. 29 Tahun 1929 tentang “Foroed Labour” = Wajib kerja.
4. Konvensi No. 45 Tahun 1945 tentang “Underground Work (Women)” = Kerja wanita dalam semua macam tambang dibawah tanah.
b. Konvensi yang Diartifikasi Pemerintah Republik Indonesia
1. Konvensi No.98 Tahun 1949 tentang “Right to Organized & Collective Emergency” = Berlakunya dasar-dasar hak berorganisasi dan berunding bersama. Diratifikasi dengan Undang-Undang No.18 Tahun 1956 dan diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
2. Konvensi No.100 Tahun 1951 tentang “Equal Penumaration” = Pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan wanita yang mempunyai nilai yang sama.
3. Konvensi No.106 Tahun 1957 tentang “Weekly Rest/Commerce & Office” = Istirahat mingguan diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 79 ayat (2a)
4. Konvensi No.120 Tahun 1964 tentang “Hygiene (Commerce & Office)”
Hygiene dalam perniagaan dan kantor diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
5. Konvensi No.105 Tahun 1957 tentang “Abolition of Foroed Labour” = Penghapusan Kerja Paksa diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa.
6. Konvensi No.138 Tahun 1973 tentang “Minimum Age for Administration of Employment” = Usia minimum untuk diperbolehkan bekerja diatur dalam Undang-Undang No.20 Tahun 1999 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.
7. Konvensi No.111 Tahun 1958 tentang “Discrimination in Respect of Employment & Occupation” = Deskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan. Diatur dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Diskriminasi dalam Pekerjan dan Jabatan.
8. Konvensi No.182 Tahun 1999 tentang “Prohibition and Immediate Action for the Elimination Of The Worst Form Of Child Labour” = Pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjan terburuk untuk anak. Diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2001 tentang penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Traktat adalah perjanjian yang diadakan oleh beberapa negara di dunia ini mengenai permasalahan perburuhan.
Negara-negara tersebut menjadi Anggota International Labour Organization (ILO).
Sampai dengan Tahun 2001 ILO telah menghasilkan 184 konveksi, 12 diantaranya telah diratifikasi Indonesia. Dari 12 konveksi tersebut ada yang diratifikasi pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Republik Indonesia.
a. Konveksi yang diratifikasi pemerintah Hindia Belanda
1. Konvensi No.19 Tahun 1925 tentang “Equality of Treatment (Accident Compensation)” = Perlakuan yang sama bagi pekerja nasional dan asing dalam hal tunjangan kecelakaan. Diatur dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
2. Konvensi No. 27 Tahun 1929 tentang “Marking of Weight (Packages Transported by Vessel)” = Pemberian tanda berat pada barang-barang besar yang diangkut dengan kapal.
3. Konvensi No. 29 Tahun 1929 tentang “Foroed Labour” = Wajib kerja.
4. Konvensi No. 45 Tahun 1945 tentang “Underground Work (Women)” = Kerja wanita dalam semua macam tambang dibawah tanah.
b. Konvensi yang Diartifikasi Pemerintah Republik Indonesia
1. Konvensi No.98 Tahun 1949 tentang “Right to Organized & Collective Emergency” = Berlakunya dasar-dasar hak berorganisasi dan berunding bersama. Diratifikasi dengan Undang-Undang No.18 Tahun 1956 dan diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
2. Konvensi No.100 Tahun 1951 tentang “Equal Penumaration” = Pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan wanita yang mempunyai nilai yang sama.
3. Konvensi No.106 Tahun 1957 tentang “Weekly Rest/Commerce & Office” = Istirahat mingguan diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 79 ayat (2a)
4. Konvensi No.120 Tahun 1964 tentang “Hygiene (Commerce & Office)”
Hygiene dalam perniagaan dan kantor diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
5. Konvensi No.105 Tahun 1957 tentang “Abolition of Foroed Labour” = Penghapusan Kerja Paksa diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa.
6. Konvensi No.138 Tahun 1973 tentang “Minimum Age for Administration of Employment” = Usia minimum untuk diperbolehkan bekerja diatur dalam Undang-Undang No.20 Tahun 1999 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.
7. Konvensi No.111 Tahun 1958 tentang “Discrimination in Respect of Employment & Occupation” = Deskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan. Diatur dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Diskriminasi dalam Pekerjan dan Jabatan.
8. Konvensi No.182 Tahun 1999 tentang “Prohibition and Immediate Action for the Elimination Of The Worst Form Of Child Labour” = Pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjan terburuk untuk anak. Diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2001 tentang penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
SUMBER HUKUM YANG TIDAK TERTULIS
Sumber hukum yang tidak tertulis adalah kebiasaan. Kebiasaan tersebut tumbuh subur setelah Perang Dunia II dengan alasan karena :
1. Pembentukan Undang-Undang atau peraturan perburuhan tidak dapat dilakukan secepat perkembangan permasalahan perburuhan yang harus diatur.
2. Peraturan dari zaman Hindia Belanda dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan masyarakat di Indonesia
Sumber hukum yang tidak tertulis adalah kebiasaan. Kebiasaan tersebut tumbuh subur setelah Perang Dunia II dengan alasan karena :
1. Pembentukan Undang-Undang atau peraturan perburuhan tidak dapat dilakukan secepat perkembangan permasalahan perburuhan yang harus diatur.
2. Peraturan dari zaman Hindia Belanda dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan masyarakat di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar