PRINSIP
– PRINSIP DASAR WORD TRADE ORGANISATION (WTO) DALAM HUKUM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
:
- NICO 11.840.0253
- M. RIZKY SYAHPUTRA 12.840.
- TOMI PRATAMA 10.840.
- ANDI GINTING 12.840.
- BINSAR SIHOTANG 11.840
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
MEDAN AREA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
World
Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya badan internasional yang
secara khusus mengatur masalah
perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui persetujuan
yang berisikan aturanaturan dasar perdagangan internasional yang dihasilkan
oleh para negara anggota1 melalui proses negosiasi. Persetujuan tersebut
merupakan perjanjian antar negara anggota yang mengikat pemerintah negara
anggota untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan mereka.
Selama
ini telah dilakukan delapan periode negosiasi yang disebut dengan perundingan
multilateral perdagangan semenjak General Agreement on Tariff and Trade (GATT)
didirikan, yang terakhir yaitu Putaran Uruguay yang berakhir pada tahun 1994.
Perundingan ini merupakan suatu upaya untuk memperkuat sistem GATT dan mencegah
semakin meningkatnya kecenderungan proteksionisme di berbagai negara. Tanggal
31 Desember 1994, negara-negara anggota telah menyetujui untuk mendirikan badan
baru, yang disebut WTO pada tanggal 1 Januari 1995. WTO atau Penyebutan istilah
negara anggota atau negara anggota WTO digunakan oleh penulis guna mempermudah
pemahaman mengenai anggota WTO. Anggota WTO sebenarnya tidak sebatas pada negara
karena didalamnya juga terdapat separate customs territory seperti Hong Kong,
China; Macau, China; dan Chinese Taipei. Dengan menggunakan istilah negara
anggota atau negara anggota WTO, dianggap anggota-anggota WTO tersebut telah
tercakup didalamnya dan penulis tidak mengesampingkan keberadaan mereka.
organisasi
perdagangan dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang mengatur
masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan tersebut diatur melalui
suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional
sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota.
Persetujuan tersebut mengikat setiap negara anggota, sehingga pemerintahan dari
negara tersebut harus mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.
Berdasarkan
Deklarasi Punta del Este perundingan perdagangan multilateral atau Putaran
Uruguay dilaksanakan dengan prinsip kesepakatan yang diambil secara a single
undertaking (satu paket kesepakatan). Dengan demikian negara-negara peserta
tidak bisa hanya memilih serta mengambil hasil-hasil kesepakatan yang
menguntungkan saja untuk dilaksanakan dengan meninggalkan yang lain. Dalam
perdagangan internasional, peraturan-peraturan teknis dan standarstandar
industri bervariasi dari negara yang satu dengan negara yang lain. Terlalu
banyaknya standar yang berbeda-beda tersebut dapat menimbulkan kesulitan bagi
para eksportir dan importir dalam perdagangan antar negara. Sebagai contoh,
penetapan standar yang berubah-ubah dapat digunakan sebagai alasan untuk maksud
proteksi perdagangan di suatu negara. Untuk menangani peraturan-peraturan
teknis dan standar-standar industri bervariasi dari negara yang satu dengan
negara yang lain, negara-negara yang aktif terlibat dalam perdagangan
internasional membuat perjanjian-perjanjian untuk menghilangkan hambatan teknis
perdagangan dengan harapan dapat diperoleh jaminan bahwa peraturan-peraturan,
standar, prosedur pengujian dan sertifikasi, termasuk persyaratan kemasan dan
labeling, tidak akan menimbulkan hambatanhambatan yang tidak perlu dalam
perdagangan. Hal ini tertuang dalam Perjanjian Technical Barrier To Trade
(TBT), dimana perjanjian ini merupakan salah satu perjanjian yang dihasilkan
dalam perundingan Putaran Uruguay.
Indonesia
merupakan salah satu pendiri WTO dan telah meratifikasi persetujuan pembentukan
WTO melalui UU No 7/1994. Persetujuan pembentukan WTO merupakan salah satu
hasil dari perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay. Sebagaimana
telah diketahui bahwa perundingan ini mempunyai prinsip a single undertaking,
dengan demikian maka Indonesia sebagai salah satu anggota WTO harus menerima
dan melaksanakan semua isi persetujuan yang telah dihasilkan dalam Putaran
uruguay.Salah satu perjanjian yang dihasilkan dalam Putaran Uruguay yaitu hambatan
teknis terhadap perdagangan atau TBT.
Dalam
menjalankan sistem perdagangan multilateralnya, WTO memiliki beberapa prinsip
atau aturan dasar yang menjiwai persetujuan-persetujuan yang ada di dalamnya.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah: Non-discrimination dan
transparency. Prinsip Non-discrimination terdiri atas dua prinsip yaitu Most
Favoured Nation (MFN) dan National Treatment. Secara singkat, kedua prinsip ini
pada dasarnya mengharuskan setiap negara anggota WTO untuk memberikan perlakuan
yang sama atau tidak diskriminatif. Berdasarkan prinsip MFN, setiap negara
anggota WTO dilarang untuk memberikan diskriminasi atau perlakuan berbeda
diantara mitra dagangnya sebagai sesama negara anggota WTO. Sedangkan prinsip
National Treatment mewajibkan setiap negara anggota WTO untuk memperlakukan
produk negara anggota WTO lainnya sama seperti produk domestiknya. Jadi
berdasarkan prinsip National Treatment, negara anggota WTO dilarang untuk
memberikan diskriminasi atau perlakuan berbeda terhadap produk dari negara
anggota WTO lainnya disaat produk tersebut telah memasuki teritori negara
anggota WTO yang bersangkutan. Untuk prinsip berikutnya yaitu transparency,
setiap negara anggota WTO diwajibkan untuk bersikap terbuka atau transparan
terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan pelaku usaha
untuk melakukan kegiatan perdagangan.
Peningkatan
kesejahteraan rakyat yang berlandaskan pengembangan usaha berkeunggulan
kompetitif, termasuk usaha kecil, menengah dan koperasi, perlu diarahkan untuk
kemandirian perekonomian nasional, meningkatkan efisiensi, produktivitas
masyarakat, dan daya saing dalam menghasilkan barang dan/atau jasa yang makin
bernilai tambah tinggi dengan selalu menjaga kelestarian fungsi dan mutu
lingkungan hidup. Salah satu alat pendorong untuk menciptakan keunggulan
kompetitif adalah peningkatan mutu dan efisiensi perindustrian nasional dengan
memfokuskan pada kegiatan standardisasi. Oleh karena itu, kegiatan
standardisasi di Indonesia perlu disempurnakan dan disosialisasikan agar yang
berkepentingan dengan standardisasi (stakeholders) dan masyarakat lebih
menyadari arti penting standardisasi.
Metode
Penulisan
1 .
Pendekatan Masalah
Penelitian
ini tergolong penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan konsep (conceptual approach). Statute approach yaitu
pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan
perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas.
Sedangkan conceptual approach yaitu pendekatan dengan cara
membahas pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung pembahasan.
2 .
Sumber Bahan Hukum
a) Bahan
hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupaperaturan perundang-undangan
yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, yaitu, UU No.
30 Tahun 1999 dan peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan materi yang
dibahas.
b) Bahan
hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer,
dalam hal ini bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa buku-buku
literatur, catatan kuliah, karya ilmiah dan berbagai media cetak yang berlaku
dan ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang dibahas.
BAB II
Permasalahan
1. Jelaskan
Prinsip-prinsip Dasar Word Trade Organisation (WTO)?
2. Bagaimana
Pengaturan Mengenai
NON-DISKRIMINASI yang ada didalam WTO?
3. Peraturan mengenal DISPENSASI DALAM
BADAN PERDAGANGAN INTERNASIONA WTO?
4. Pengecualian-pengecualian
Dalam Word Trade Organisation (WTO)
BAB III
PEMBAHASAN
1. PENGATURAN
MENGENAI NON-DISKRIMINASI
a. Most
Favored Nation
Most
Favored Nation adalah suatu asas yang mengatur
jalannya perdagangan asas non-diskriminasi, yakni tidak boleh membeda-bedakan antara
satu negara anggota GATT atau WTO dan anggota lainya. Para anggota tersebut
tidak boleh membeda-bedakan antara anggota yang satu dengan anggota yang
lainnya atau tidak boleh memberikan kemudahan hanya kepada satu anggota saja
tanpa perlakuan yang sama dengan anggota yang lainya baik itu berkenaan dengan
tarif ataupun perdagangan.
b. National
Treatment
Prinsip
ini melarang perbedaan perlakuan antara produk asing dan produk domestik yang
berarti bahwa suatu saat barang impor telah masuk ke pasar dalam negeri suatu
negara anggota, dan setelah melalui daerah pabean serta membayar bea masuk
barang impor tersebut harus diberlakukan sama dengan barang dalam domestik.
Menurut
Mosler dalam Mahmul Siregar, bahwa unsur-unsur terpenting dalam Prinsip National Treatment adalah
sebagai berikut:
1)
Adanya kepentingan lebih dari satu Negara
2)
Kepentingan tersebut terletak di wilayah
yuridiksi suatu Negara.
3)
Negara tuan rumah harus memberikan
perlakuan yang sama baik terhadap kepentingan sendiri maupun kepentingan Negara
lain yang berada di wilayahnya.
4)
Perlakuan tersebut tidak boleh
menimbulkan keuntungan bagi Negara tuan rumah sendiri akan tetapi menimbulkan
kerugian bagi Negara lain.
c. Tarif Binding atau Tarif
Mengikat Tarif Binding adalah sebuah janji oleh suatu negara untuk tidak menaikkan tarif untuk masa
mendatang.
Tarif
Binding dianggap menguntungkan bagi perdagangan internasional karena memberikan
potensi eksportir dan importir dalam hal tingkat kepastian tarif.
Adapun penerapan tarif impor itu sendiri mempunyai beberapa fungsi yang diantaranya, yaitu:
Adapun penerapan tarif impor itu sendiri mempunyai beberapa fungsi yang diantaranya, yaitu:
1) Tarif
sebagai pajak adalah tarif terhadap barang impor (pajak barang impor) yang
merupakan pungutan dari Negara yang akan dijadikan sebagai kas Negara.
2) Tarif
yang dilakukan untuk melindungi produk domestik dari praktek dumping yang
dilakukan Negara pengekspor.
3) Tarif
untuk memberikan balasan (retaliasi) bagi Negara pengekspor yang melakukan
proteksi produk melalui praktek subsidi terhadap produk impor.
d. Persaingan
yang Adil
Aturan
GATT juga mengandung prinsip persaingan yang adil dan fair competition. Dengan
demikian subsidi terhadap ekpor dan dumping, GATT semakin menghadapi masalah.
Untuk menghadapi dumping dan subsidi ekspor negara pengimpor diberikan hak
untuk mengenakan anti dumping duties dan counter
vailing dutiessebagai imbalan ataupun tindakan balasan terhadap dumping
atau subsidi ekspor.
e. Larangan
Terhadap Restruksi Kuantitatif
Prinsip
lain dalam GATT adalah larangan umum terhadap restruksi yang bersifat
kuatitatif, yakni kuata dan jenis pembatasan yang serupa ketentuan ini oleh
para pendiri GATT dianggap sangat penting karena pada waktu GATT didirikan
halangan ini merupakan halangan yang serius dan paling sering diterima sebagai
warisan zaman depresi pada tahun 1930.
2. PENGATURAN
MENGENAL DISPENSASI
a. Prinsip proteksi
melalui tarif
Prinsip
proteksi melalui tarif diatur dalam
Pasal 11 GATT 1948 dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam
negeri hanya diperkenankan melalui tarif, Proteksi dengan tarif yang
diperlukan untuk membangun industri tertentu (infant industry protection)
dan proteksi dengan
pembatasan
kuantitatif dalam rangka memperbaiki neraca pembayaran. (Governmental
assistance to economic development-Pasal 18). Jelasnya setiap Negara
peserta yang ingin memperbaiki posisi financial eksternal dan neraca
pembayarannya boleh membatasi jumlah atau nilai barang yang diizinkan untuk
diimpor dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 11. Misalnya hambatan impor yang dikenakan
atau ditingkatkan oleh Negara peserta tidak boleh melebihi apa yang diperlukan
untuk mencegah atau menghentikan ancaman penurunan cadangan moneter atau bagi
Negara yang memiliki cadangan moneter yang rendah untuk mencapai tingkat
pertambahan yang wajar dalam cadangannya.
b. Prinsip waiver dan
pembatasan darurat terhadap impor
Prinsif waiver dan
pembatasan darurat terhadap impor yang dituangkan dalam Pasal 19 GATT 1948
(Paragraf 1a) menyebutkan bahwa jika sebagai akibat perkembangan yang tak
terduga dan sebagai dampak dari kewajiban negara peserta menurut perjanjian ini
(GATT), suatu produk diimpor ke wilayah suatu negara peserta dalam jumlah yang
semakin besar atau dalam keadaan sedemikian rupa sehingga menimbulakan atau
mengancam untuk menimbulkan kerugian yang serius terhadap para produsen produk
serupa atau produk yang kompetitif dalam negara diwilayah tersebut, maka dalam
kaitannya dengan produk tersebut negara peserta bebas untuk menangguhkan
kewajibannya sebagian atau sepenuhnya akan menarik kembali atau memodifikasi
konsensinya, sejauh dan untuk jangka waktu yang diperlukan untuk mencegah atau
memulihkan kerugian tersebut.
Tindakan
darurat terhadap impor produk tertentu yang terdapat dalam Pasal 19 GATT 1948, adalah
sebuah tindakan yang memperkenankan suatu negara untuk mengenakan kuota atas
suatu produk impor yang mengalami lonjakan substansial yang merugikan industri
dalam negeri.
Berdasarkan
penjelasan tentang definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam sebuah
tindakan pengamanan industri domestik tidak bisa dilakukan secara anarkis tanpa
terpenuhinya unsur-unsur yang ada di dalamnya. Adapun unsur-unsur yang menjadi
syarat sahnya tindakan pengamanan tersebut, yaitu:
1) Tindakan
tersebut dilakukan pemerintah.
Sesuatu
yang dilakukan pemerintah untuk mengamankan industri lokalnya dari kerugian
serius atau ancaman kerugian serius yang terjadi akibat berlimpahnya produk
impor yang masuk ke Indonesia. Jelasnya pemerintah memiliki fungsi sebagai alat
kontrol dalam mengatur perdagangan dalam dan luar negerinya dengan membuat
sebuah kebijakan. Dalam hal ini yang mempunyai peran adalah pemerintah sebagai
pembuat kebijakan, bukan pelaku usaha langsung yang terlibat dalam
melakukan tindakan pengamanan tersebut.
2) Terdapat
kerugian serius atau ancaman kerugian serius.
Maksud
dari kerugian serius disini adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri
dalam negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman kerugian serius adalah
ancaman terjadinya kerugian serius yang akan diderita dalam waktu dekat oleh
industri dalam negeri yang diakibatkan melonjaknya impor dari luar. Dari
kacamata ekonomi, kerugian tersebut bisa berupa kerugian langsung seperti matinya pasar-pasar domestik, matinya
industri-industri kecil ataupun potensi kerugian yang akan diterima secara
tidak langsung seperti bertambahnya pengangguran, menyempitnya lapangan
pekerjaan ataupun meningkatnya kemiskinan.
3) Tindakan
tersebut bertujuan untuk melindungi atau memulihkan industri dalam negeri.
4) Terdapat
barang sejenis.
Barang
sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala
hal dengan barang terselidik atau barang yang memiliki karakteristik fisik,
tehnik, kimiawi menyerupai barang terselidik dimaksud.
5) Terdapat barang yang secara langsung bersaing
5) Terdapat barang yang secara langsung bersaing
Barang
yang secara langsung bersaing adalah barang produksi dalam negeri yang
merupakan barang sejenis atau substitusi barang terselidik.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diketahui terdapat dua jenis prinsip dispensasi kepada negara anggota apabila ekonomi atau industri dalam negerinya tersebut dalam keadaan darurat dan terpaksa harus memilih penanganan dengan mengambil langkah proteksi.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diketahui terdapat dua jenis prinsip dispensasi kepada negara anggota apabila ekonomi atau industri dalam negerinya tersebut dalam keadaan darurat dan terpaksa harus memilih penanganan dengan mengambil langkah proteksi.
B. Pengecualian-pengecualian
Dalam Word Trade Organisation (WTO)
Hukum
WTO menyediakan peraturan-peraturan untuk menjembatani liberalisasi perdagangan
dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya.
Peraturan-peraturan ini ada dalam wujud pengecualian yang sangat luas terhadap
disiplin dasar dari WTO.
Pengecualian-pengecualian
ini memperbolehkan anggota WTO dalam situasi tertentu untuk mengadopsi dan
mempertahankan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan guna melindungi
nilai-nilai dan kepentingan sosial lainya yang sangat penting, meskipun
peraturan atau tindakan tersebut bertentangan dengan disiplin subtansif yang
terkandung dalam GATT 1994.
Adapun
pengecualian tersebut dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis diantaranya,
yaitu:
1. Pengecualian
Dalam Pasal 20 GATT 1994
Pengecualian
yang paling penting dalam menjembatani liberalisasi perdagangan dengan
nilai-nilai dan kepentingan sosial lainnya adalah pengecualian umum yang
tercantum dalam Pasal 20 GATT 1994. Dalam menentukan apakan suatu tindakan yang
seharusnya tidak konsisten dengan peraturan yang ada di GATT dapat dibenarkan
berdasarkan Pasal 20 GATT 1994, haruslah selalu dievaluasi:
a. Apakah
tindakan tersebut sementara dan dibenarkan menurut salah satu pengecualian yang
secara spesifik disebutkan dalam ayat (a) sampai (j) dalam Pasal 20 GATT 1994.
b. Apakah
dalam aplikasinya tindakan tersebut telah sesuai dengan persyaratan-persyaratan
yang terdapat dalam kalimat pembukaan dalam pasal tersebut. Pasal 20 GATT 1994
dalam ayat (a) sampai dengan (j) memberikan dasar pembenaran yang jumlahnya
terbatas dimana setiap dasar pembenar memiliki aplikasi persyaratan yang
berbeda-beda. Pasal 20 GATT 1994 dapat dijadikan dasar pembenaran terhadap
tindakan-tindakan proteksi yang dipergunakan untuk:
1. Perlindungan
moral dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Pasal 20 (a)).
2. Untuk
melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, binatang serta tumbuhan (Pasal 20
(b)).
3. Untuk
menjaga kesesuaian dengan peraturan nasional, seperti peraturan kepabeanan atau
hak kekayaan intelektual dimana aturan tersebut pada hakekatnya tidak
bertentangan dengan aturan GATT (Pasal 20 (d)).
4. Serta
yang berhubungan dengan sumber daya alam yang habis terpakai (Pasal 20 (g)).
2. Pengecualian
Dalam Pasal 14 GATS
Berdasarkan
Pasal 14 GATS General Agrement on Trade in Services (Perjanjian
mengenai perdagangan dibidang jasa), anggota WTO bisa membenarkan tindakan yang
seharusnya tidak sesuai dengan GATS apabila:
a. Perlindungan
moral dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Pasal 14 (a)).
b. Untuk
melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, binatang serta tumbuhan (Pasal 14
(b)).
c. Untuk
menjaga kesesuaian dengan peraturan nasional, seperti peraturan kepabeanan atau
hak kekayaan intelektual dimana aturan tersebut pada hakekatnya tidak
bertentangan dengan aturan GATS (Pasal 14 (c)).
Anggota WTO bisa mendasarkan pada Pasal 14 GATS untuk membenarkan tindakan yang (1) bertentangan dengan Pasal 17 GATS, asalkan perbedaan perlakuan antara jasa dan penyedia jasa dari luar dan dari dalam negeri tersebut ditujukan untuk memastikan pengenaan dan pemungutan pajak langsung yang adil dan efektif (2) bertentangan dengan Pasal 2 GATS, karena perlakuan antara jasa dan penyedia jasa dari berbagai Negara disebabkan dari perjanjian internasional untuk mencegah pengenaan pajak berganda.
Anggota WTO bisa mendasarkan pada Pasal 14 GATS untuk membenarkan tindakan yang (1) bertentangan dengan Pasal 17 GATS, asalkan perbedaan perlakuan antara jasa dan penyedia jasa dari luar dan dari dalam negeri tersebut ditujukan untuk memastikan pengenaan dan pemungutan pajak langsung yang adil dan efektif (2) bertentangan dengan Pasal 2 GATS, karena perlakuan antara jasa dan penyedia jasa dari berbagai Negara disebabkan dari perjanjian internasional untuk mencegah pengenaan pajak berganda.
3. Pengecualian
Dalam Keadaan Ekonomi Darurat
Emergency
Protection adalah sebuah tindakan pengamanan terhadap
industri domestik ketika terjadi situasi lonjakan impor yang menyebabkan atau
adanya ancaman yang akan menyebabkan kerugian yang serius.
Secara umum, tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 2 dan Pasal 11 GATT 1994. Akan tetapi masih dapat dibenarkan berdasarkan pasal 19 GATT 1994 jika dapat memenuhi segala persyaratan yang terkandung dalam pasal tersebut, tujuan dari suatu tindakan pengamanan perdagangan adalah untuk memberikan kebebasan kepada industri domestik dan untuk memberikan waktu bagi industry domestik untuk dapat beradaptasi terhadap kondisi pasar yang baru. Sebagaimana diatur dalam pasal XIX GATT 1994, tindakan pengamanan perdagangan hanya dapat diterapkan bila tiga persyaratan telah dipenuhi, yaitu:
Secara umum, tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 2 dan Pasal 11 GATT 1994. Akan tetapi masih dapat dibenarkan berdasarkan pasal 19 GATT 1994 jika dapat memenuhi segala persyaratan yang terkandung dalam pasal tersebut, tujuan dari suatu tindakan pengamanan perdagangan adalah untuk memberikan kebebasan kepada industri domestik dan untuk memberikan waktu bagi industry domestik untuk dapat beradaptasi terhadap kondisi pasar yang baru. Sebagaimana diatur dalam pasal XIX GATT 1994, tindakan pengamanan perdagangan hanya dapat diterapkan bila tiga persyaratan telah dipenuhi, yaitu:
a. Lonjakan
Impor.
Persyaratan
untuk lonjakan impor haruslah terkini, tiba-tiba, dalam jangka waktu yang
relatif singkat, tajam dan signifikan. Terlebih lagi lonjakan impor tersebut
harus tidak dapat diprediksi sebelumnya. Dengan cara ini dapat ditentukan
apakah suatu kondisi dalam kenyataannya merupakansuatu kondisi yang darurat.
Jika lonjakan impor telah terjadi beberapa waktu yang lalu atau telah terjadi
selama preode yang panjang atau kejadiannya hanya terbatas pada waktu tertentu
atau kejadian ini telah dapat diprediksi sebelumnya, maka tidak dapat dikatakan
bahwa telah ada kondisi darurat sesuai dengan apa yangn telah disyaratkan dalam
pasal XIX GATT 1994.
b. Kerugian
yang Serius
Kerugian
yang serius terjadi apabila ada kerugian menyeluruh yang signifikan yang
diderita oleh industry domestik. Kerugian yang serius merupakan persyaratan
yang lebih ketat daripada persyaratan kerugian material yang diterapkan
terhadap pengenaan tindakan anti dumping atau tindakan retaliasi. Ini bukanlah
suatu yangmengagetkan dikarenakan tindakan pengamanan perdagangan diterapkan
pada perdagangan yang fair, sementara tindakan anti-dumping atau retaliasi
diterapkan terhadap perdagangan yang tidak fair. Untuk menentukan
apakah terdapat ancaman kerugian yang serius, maka hal-hal yang harus
diperhatikan, yaitu:
1) Nilai
dan jumlah dari lonjakan impor dari barang yang dipermasalahkan dilihat secara
absolut atau relatif.
2) Pangsa
pasar domestik yang diambil oleh lonjakan impor tersebut
3) Perubahan
tindakan penjualan, produksi, kemampuan untuk berproduksi, kapasitas yang
digunakan, keuntungan dan kerugian dan tenaga kerja.
c. Hubungan
Kausal
Persyaratan
ketiga merupakan persyaratan subtantif terakhir dalam suatu tindakan pengamanan
perdagangan adalah persyaratan adanya ’hubungan kausal’. Ada dua tes yang harus
dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan kausal tersebut, yaitu:
1) Pembuktian
adanya hubungan kausal antara lonjakan impor dengan kerugian yang serius atau
ancaman untuk itu.
2) Identifikasi
kerugian yang ditimbulakn akibat faktor-faktor lain selain faktor lonjakan
impor dan tidak menyebabkan kerugian ini terhadap impor yang dipermasalahkan.
4. Pengecualian
Untuk Pembangunan Ekonomi
Pengecualian
terakhir yang diberikan oleh WTO adalah pengecualian pembangunan ekonomi untuk
membantu Negara berkembang. Hampir semua perjanjian di WTO mengatur mengenai
perlakuan yang khusus dan berbeda (Special and Differential Treatment)
untuk anggota Negara berkembang guna memfasilitasi mereka agar dapat masuk ke
dalam sistem perdagangan dunia untuk mendorong pembangunan ekonomi mereka.
Ketentuan tersebut dapat dibedakan dalam enam kategori:
a. Ketentuan
yang ditujukan untuk meningkatkan peluang perdagangan anggota dari Negara berkembang.
b. Ketentuan
untuk anggota WTO yang seyogyanya harus melindungi kepentingan Negara
berkembang.
c. Flexibelitas
dari komitmen dalam bentuk tindakan dan penggunaan instrument kebijakan.
d. Jangka
waktu transisi
e. Bantuan
teknis
f. Ketentuan
yang berkaitan dengan anggota Negara terbelakang.
Anggota
Negara berkembang punya hak untuk mengenakan bea masuk yang lebih tinggi dari
batas tarif yang disepakati sementara waktu guna memajukan pembentukan industri
baru. Terlebih lagi anggota Negara berkembang bisa mengenakan tindakan
pengamanan perdagangan dengan jangka waktu maksimum yang lebih dari delapan
tahun dan beberapa Negara berkembang sudah dikecualikan dalam larangan
memberikan subsidi yang berkaitan dengan ekspor. Dengan adanya pengecualian
tersebut, maka GATT sebagai organisasi perdagangan dunia yang menjunjung
liberalisasi ekonomi juga memperbolehkan Negara maju untuk memberikan perlakuan
tarif yang lebih menguntungkan bagi produk impor yang berasal dari Negara
berkembang. Pengecualian tersebut memperbolehkan anggota untuk bertindak menyimpang
dari kewajiban dasar perlakuan MFN dalam GATT 1994 dalam rangka memajukan
perekonomian Negara berkembang.
Berdasarkan
semua penjelasan di atas, apabila ditinjau dari segi hirarki yang dimulai dari
prinsip sampai pada beberapa pengaturan pengecualian, maka dapat diketahui
semua dispensasi tersebut memang terpisah secara fungsional, tetapi apabila
menengok kembali pada defenisi safeguard dalam Pasal 1 Kepres
Nomor 84 Tahun 2002 yang berbunyi:
“Tindakan
Pengamanan adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian
serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri
sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara
langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri
dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius
tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural”.
Definisi
di atas mengandung dua point penting yang menjadi dasar suatu
tindakan dapat dikatakan sebagai safeguard, yaitu berupa tindakan
pengamanan yang diambil pemerintah serta tindakan tersebut berfungsi untuk
memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius industri
dalam negeri. Dengan melihat point tersebut lalu dikomparasikan dengan beberapa
prinsip dan peraturan pengecualian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
diketahui bahwa semua tindakan dispensasi baik yang berupa anti-dumping, countervaling
dutis, prinsip proteksi melalui tarif sampai pada beberapa pengaturan
pengecualian dapat digolongkan menjadi safeguard meskipun
secara fungsional berbeda dalam pengaturan WTO akan tetapi dalam hal tujuan
sudah dapat memenuhi kreteriasafeguard itu sendiri.
Untuk
mempermudah pemahaman tentang bentuk-bentuk safeguards yang ditetapkan oleh World
Trade Organization (WTO).
BAB IV
KESIMPULAN
Pengaturan mengenai
non diskriminasi Most Favored NationMost Favored Nation adalah
suatu asas yang mengatur jalannya perdagangan asas non-diskriminasi, yakni
tidak boleh membeda-bedakan antara satu negara anggota GATT atau WTO dan
anggota lainya. Para anggota tersebut tidak boleh membeda-bedakan antara
anggota yang satu dengan anggota yang lainnya atau tidak boleh memberikan
kemudahan hanya kepada satu anggota saja tanpa perlakuan yang sama dengan
anggota yang lainya baik itu berkenaan dengan tarif ataupun perdagangan. pengaturan mengenai disvensasi Prinsip proteksi
melalui tarif Prinsip proteksi melalui tarif diatur dalam Pasal 11 GATT 1948 dan mensyaratkan
bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif,
Proteksi dengan tarif yang diperlukan untuk membangun industri tertentu (infant
industry protection) dan proteksi dengan pembatasan kuantitatif dalam
rangka memperbaiki neraca pembayaran. (Governmental assistance to economic
development-Pasal 18). Hukum WTO
menyediakan peraturan-peraturan untuk menjembatani liberalisasi perdagangan
dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya.
Peraturan-peraturan ini ada dalam wujud pengecualian yang sangat luas terhadap
disiplin dasar dari WTO.
SARAN
menurut
kami pemerintah lebih memperhatikan perdagangan luar Internasional untuk
kemajuan bangsa Indonesia & untuk terwujudnya itu kita harus memberikan
penjelasan & pemahaman kepada para pelaku usaha dan badan pemerintahan
dalam penyampaian & bagaimana tata cara serta kegunaan badan perdagangan
iternasional seperti WTO agar dimengerti oleh pelaku usaha & pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
:
A.F.
Elly Erawati, 1994, Sistem dan Mekanisme Perdagangan Internasional, Pro
Justitia, Vol.4.
Abdul
Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta.
Abdul
Muis, 1992, RUU Merek : Sistem Deklaratif Kepada Sistem Konstitutif, Mimbar
Umum, Medan.
Abdul
R. Saliman, Et. Al, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia Teori dan
Abdulkadir
Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan
Intelektual,
Citra Aditya, Bandung,.
Ade
Manan Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Adi
Sulistyono & Muhammad rustamadji, 2009, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima,
Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo.
Adrian
Sutedi, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta.
Ahmadi
Miru, 2005, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari UndangUndang Merek, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Ahmad
M. Ramli, 1999, Perlindungan Rahasia Dagang Dalam Era.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1994
Tentang
Pengesahan Agreement Establishing The World Trade
Organization
(Persetujuan Pembentukan Oorganisasi Perdagangan Dunia)
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa,
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang:
a. bahwa
pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiel dan spiritual
berdassarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa
yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang
merdeka, adil, bersahabat, tertib, dan damai;
b. bahwa
dalam pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya di bidang ekonomi, diperlukan
upaya-upaya untuk antara lain terus meningkatkan, memperluas, memantapkan dan
mengamankan pasar bagi segala produk baik barang maupun jasa, termasuk aspek
investasi dan hak atas kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan,
serta meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam perdagangan
internasional;
c. bahwa
seiring dengan cita-cita sebagaimana disebutkan huruf a dan b di atas,
Indonesia selalu berusaha menegakkan prinsip-prinsip pokok yang dikandung dalam
General Agreement on Tariff and Trade/GATT 1947 (Persetujuan Umum mengenai
Tarif dan Perdagangan Tahun 1947), berikut persetujuan susulan yang telah
dihasilkan sebelum perundingan Putaran Uruguay;
d. bahwa
dari rangkaian perundingan Putaran Uruguay yang dimulai sejak Tahun 1986, telah
dihasilkan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang selanjutnya akan
mengadministrasikan, mengawasi dan memberikan kepastian bagi pelaksanaan
seluruh persetujuan General Agreement on Tariff and Trade/GATT serta hasil
perundingan Putaran Uruguay;
e. bahwa
dalam Pertemuan Tingkat Menteri peserta Putaran Uruguay pada tanggal 15 April
1994 di Marrakesh, Maroko, Pemerintah Indonesia telah ikut serta menandatangani
Agreement Establishing The World Trade Organization (persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia) beserta seluruh persetujuan yang dijadikan
Lampiran 1, 2 dan 3 sebagai bagian Persetujuan tersebut;
f. bahwa
sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, dipandang perlu mengesahkan
Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia) dengan UndangUndang;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1).
Pasal 11, dan Pasal 20 ayat ( I ) Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE
WORLD TRADE
ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI
PERDAGANGAN DUNIA).
Pasal 1
Mengesahkan
Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia) beserta Lampiran 1, 2 dan 3. Persetujuan tersebut,
yang salinan naskah astinya dalam bahasa lnggris serta terjemahannya dalam
bahasa Indonesia dilampirkan, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan
Undang-undang ini.
Pasal 2
Undang-undang
ini mulai berlaku pada saat berlakunya secara efektif Persetujuan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang- undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar