Riba sebagai suatu bentuk transaksi telah dikenal oleh bangsa Arab sejak masa jahiliah, dan juga dikenal oleh non-Arab. Bangsa Yahudi telah mempraktikkan riba jauh sebelum itu, sampai-sampai perbuatan tersebut diinventarisasi oleh Al-Qura’an dalam kumpulan catatan kriminal mereka, “Mereka (Yahudi) mengambil riba, padahal telah dilarang dari perbuatan itu.”(QS. An-Nisaa’: 161).
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, menurut DR. Muhammad Syafi’i Antonio, riba secara sederhana dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muammalah dalam Islam. Terjemahan harfiah dari kata riba dalam bahasa Arab adalah peningkatan, penambahan, atau pertumbuhan. Meskipun demikian tidak berarti bahwa setiap pinjaman yang memberikan tambahan pada pokoknya adalah riba, namun setiap pinjaman yang disyaratkan sebelumnya keharusan memberikan tambahan adalah riba. Riba tidak hanya dianggap semata-mata sebagai praktik mengambil imbalan atas uang yang dipinjamkan.
Tahap Pelarangan Riba
Tahap pertama pelarangan riba adalah ketika Allah SWT menurunkan wahyu-NYA dalam Al-Qur’an yang berbunyi, “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” (QS. ar-Rum: 39). Ayat ini menolak anggapan manusia bahwa pinjaman riba pada zahirnya menolong mereka yang membutuhkan sebagai suatu perbuatan yang mendekatkan diri atau taqarrub kepada Allah SWT.
Tahap kedua adalah dengan turunnya ayat yang berbunyi, “Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah., dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih.” (QS. An-Nisa’: 160-161). Ayat menggambarkan bahwa riba adalah sesuatu yang buruk serta menjelaskan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Tahap ketiga adalah tahap yang menetapkan bahwa riba sudah termasuk dalam kategori haram, ayat yang diturunkan Allah SWT berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali ‘Imran: 130). Menurut ahli tafsir, yang dimaksud riba disini adalah riba nasi’ah yang sudah banyak berlaku pada masa itu sehingga pengharaman riba dikaitkan dengan tambahan yang berlipat ganda. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa riba nasi’ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda.
Tahap terakhir dari proses pengharaman riba adalah dengan diturunkannya ayat yang berbunyi, “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual-beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.” (QS. Al-Baqarah: 275-276).
“Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (Al-Baqarah: 277)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan lepaskan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu modalmu. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279).
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 280-281).
Bunga Bank dan Riba Jahiliyah
Sebagian masyarakat mengatakan bahwa bunga bank konvensional bukan “riba jahiliyah” yang diharamkan dalam Al-Qur’an dan yang diancam pelakunya oleh Allah dan Rasulullah SAW. Menurut mereka, riba jahiliyah adalah seseorang berhutang kepada orang lain sampai jangka waktu tertentu, ketika waktu itu telah tiba, pemilik uang mengatakan kepada orang yang berhutang, “Anda bayar hutang Anda atau jumlahnya bertambah (dengan bunga).”
Demikianlah mereka berpendapat, namun pendapat ini dibantah oleh DR. Yusuf Al-Qardhawi dengan menyatakan bahwa memang benar bentuk riba jahiliyah adalah seperti dijelaskan tersebut, namun ini bukan satu-satunya bentuk riba. Berbagai fakta dan peristiwa membuktikan bahwa riba itu bisa juga diisyaratkan sejak awal, sebagaimana yang terjadi pada kafilah-kafilah dagang. Bentuk riba yang telah dikenal orang Arab dahulu adalah meminjamkan uang dinar dan dirham kepada orang lain dengan pertambahan yang telah ditentukan menurut kesepakatan.
Sekiranya betul apa yang mereka kemukakan bahwa riba jahiliyah hanya terbatas pada bentuk yang mereka sebutkan itu dan terjadinya riba setelah berlalunya batas waktu pembayaran yang ditentukan, maka sesungguhnya ini berarti bentuk yang lain adalah lebih haram lagi. Kenapa? Karena yang dipahami dari riba jahiliyah adalah bahwa mereka meminjamkan uang yang pada awalnya tidak memakai riba (tambahan). Riba baru muncul bila jangka waktu pembayaran yang telah ditentukan semula telah berakhir, sementara peminjam belum juga melunasi hutangnya.
Jadi konsekuensinya, jika orang menetapkan sejak awal bahwa pihaknya tidak akan memberi pinjaman, kecuali dengan pakai riba (bunga), berarti lebih jahat dan lebih haram lagi, ketimbang praktik yang terjadi pada riba jahiliyah. Inilah praktif-praktik yang berlaku pada bank sekarang ini. Bunga bank dihitung bagi peminjam sejak hari pertama seseorang mengambil uang dari bank.
Bentuk seperti yang dijelaskan pihak yang menghalalkan riba di atas juga terjadi dalam praktif-praktif bank konvensional. Dalam arti, jika batas waktu yang ditentukan telah berakhir dan peminjam belum melunasi hutangnya, maka akan diberi dua pilihan, “Lunasi atau hutang akan bertambah.” Sekiranya dia terlambat membayar satu hari saja, dia telah wajib membayar bunganya. Akhirnya, jumlah riba semakin lama semakin membengkak, hari demi hari.
Bunga Konsumtif dan Bunga Produktif
Pada tahapan upaya pembenaran sistem bunga konvensional, sebagian orang berdalih bahwa riba yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya adalah jenis yang dikenal sebagai bunga konsumtif, yaitu bunga yang khusus dibebankan bagi orang yang berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, seperti makan, minum, dan pakaiannya beserta orang yang berada dalam tanggungannya. Hal ini terjadi karena dalam jenis riba tersebut terdapat unsur pemerasan (eksploitasi) terhadap kepentingan orang yang sedang membutuhkan, yang terpaksa meminjam, namun si pemilik uang tidak bersedia memberi pinjaman kecuali dengan bunga (riba).
Fakta sejarah membantah penafsiran seperti ini, karena jenis riba yang dominan pada era jahiliyah bukanlah riba konsumtif. Waktu itu tidak ada orang yang berhutang untuk makan, juga tidak pernah dikenal bahwa seorang Arab yang kaya menimpakan riba kepada orang yang datang kepadanya minta pinjaman untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti makan dan minum. Justru yang biasa terjadi saat itu adalah riba komersial, yang dilakukan kafilah-kafilah (ekspedisi) dagang yang sangat terkenal denga dua jadwal ekspedisinya, musim panas dan musim dingin. Praktik transaksi pembiayaan modal usaha yang terjadi saat itu untuk memperoleh modal usaha dagang dari pemilik dana untuk diinvestasikan, dengan perjanjian salah satu dari dua transaksi.
- Sistem bagi hasil (profit sharing/mudharabah). Kedua belah pihak akan berbagi keuntungan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Jika terjadi kerugian, maka ditanggung oleh pemilik modal.
- Berbentuk pinjaman (kredit) dengan bunga yang telah ditetapkan sebelumnya. Sistem inilah yang disebut “riba.” Juga termasuk dalam jenis ini adalah praktik riba yang dilakukan oleh Abbas bin Abdul Muthalib, pamah kandung Rasulullah SAW.
Sekiranya jenis riba yang diharamkan Allah dan Rasul itu hanyalah riba konsumtif (untuk keperluan pribadi dan keluarganya) tentu saja Rasulullah SAW tidak perlu melaknat si debitur pemberi bunga (orang yang berhutang), sebagaimana beliau melaknat kreditur pemakan riba (pihak yang menerima bunga). Soalnya, bagaimana mungkin seseorang bisa dilaknat karena berhutang untuk makan, padahal Allah dan Rasul sendiri membolehkan memakan bangkai, darah, dan daging babi, dalam kondisi terpaksa akibat lapar yang sangat. Firman Allah, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173).
Akan tetapi, Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, dari jabir r.a. Ia berkata,“Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatat (administrasi), dan para saksinya (notariat).” Status hukum mereka sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar