Saat ini, teknologi telah menyusup hingga ke setiap sendi kehidupan. Nyaris tak ada kegiatan sehari-hari yang tak lagi bersentuhan dengan teknologi. Sebab, perkembangan di sektor itu begitu pesat bergulir. Sayangnya, perkembangan teknologi juga membawa risiko tersendiri. Tindak pidana berbasis teknologi ataucyber crime kini telah menjelma sebagai ancaman yang kerap menghantui aktivitas.
Lebih memprihatinkan lagi, perkembangan hukum teknologi tak mampu mengiringi kecepatan kemajuan teknologi itu sendiri.“Memang teknologi sekarang berkembang sangat cepat, termasuk di Indonesia. Sayang, hukumnya tidak mampu mengiringi,” keluh Pendiri sekaligus Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Teguh Arifiyadi, kepada hukumonline, Rabu (10/2).
Teguh menjelaskan, di tengah gempuran kemajuan teknologi Indonesia hanya punya satu payung hukum yang spesifik mengatursoal teknologi. Ia menilai keberadaan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik belum cukup. Paling tidak, menurutnya, aturan mengenai hukum siber bisa dibuat lebih luas dan mendalam.
Memang, Teguh mengakui bahwa hukum tidak harus mengejar kecepatan perkembangan teknologi. Tetapi, setidaknya ia melihat perlu ada landasan hukum yang menjadi patokan dalam menggunakan teknologi. Lebih lanjut ia menambahkan, dasar hukum itu harus fokus sehingga bisa memandu masyarakat agar penggunaan teknologi membawa manfaat positif.
“Hukum tidak perlu mengejar perkembangan teknologi. Tetapi, kita membutuhkan pijakan yang fokus agar pengaturan yang dibuat bisa memandu penggunaan teknologi yang membawa manfaat bagi masyarakat,” tuturnya.
Ia pun menyayangkan, hingga kini tidak ada sikap pemerintah dalam pengaturan teknologi. Menurut Teguh, pemerintah belum menentukan politik hukum terkait pengaturan siber. Ia melihat, di dunia ini ada dua rezim pengaturan, apakah diatur secara ketat atau longgar. Sementara itu, Indonesia belum jelas memilih politik hukum tersebut.
“Kalau kita lihat pengaturan dalam hukum siber ini tidak jelas, mau diatur ketat apa mengikuti mekanisme pasar. Menurut saya sampai sekarang pemerintah belum menentukan sikapnya mengenai hal ini,” kata Teguh.
Teguh mengatakan, hukum siber membutuhkan prinsip pengaturan sebagai fondasi. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah bisa segera menentukan arah kebijakan hukum teknologi di Indonesia. Namun, menurutnya, pemerintah tidak mesti kaku dalam memilih sikap.
Dia mencontohkan, dalam hal-hal terkait dengan konten sebaiknya pemerintah bersikap fleksibel. Sebab, hal ini menyangkut kreativitas anak bangsa. Selain itu, masalah konten juga melibatkan banyak pihak. Di sisi lain, terkait dengan hal-hal teknis dan proteksi pemerintah seharusnya mengambil kontrol yang rigid. Hal ini untuk menjamin keamanan penggunaan teknologi.
“Jadi harus dipilah, pada bagian mana pemerintah melempar ke mekanisme pasar dan mana yang harus diatur secara ketat. Menurut saya pengaturan yang berkaitan dengan konten sebaiknya diatur lebih fleksibel saja,” ujarnya.
Selain masalah prinsip pengaturan yang belum jelas, Teguh menyayangkan ketersediaan data yang maish terbatas. Ia menjelaskan bahwa di ranah hukum teknologi belum ada data statistik yang pasti ketika berbicara mengenai pemasalahan yang sering dilakukan dan penyelesaiannya. Oleh karenanya, ia hanya bisa menduga-duga tindak pidana apa yang marak dilakukan berkaitan dengan teknologi.
Sejauh ini, berdasarkan pengalamannya Teguh mengamati bahwa fraud merupakan tindak pidana yang paling sering terjadi. Fraud merupakan kejahatan manipulasi informasi dengan tujuan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Biasanya, informasi yang disalahgunakan adalah informasi keuangan. Misalnya, situs lelang fiktif atau penggunaan kartu kredit secara melawan hukum.
Penanganan fraud ini, menurut Teguh, tidak mudah lantaran dalam dunia siber dikenal istilah anonimitas. Jadi seseorang bisa menjadi siapa saja, sehingga untuk mengungkap pelaku tindak pidanyanya cukup sulit.
“Selain itu, aparat penegak hukum kita juga pengetahuannya terkait hukum teknologi masih terbatas. Secara umum mereka tidak dibekali pengetahuan mengenai hal itu. Memang, ada yang dididik khusus menangani perkara siber. Tetapi masih sangat sedikit sekali,” pungkasnya.
Ingin mengetahui lebih lanjut tentang seluk-beluk cyberlaw dalam sistem hukum Indonesia? Ikutilah pelatihan Hukumonline dengan tema "Memahami Cyber Law, Cyber Crime dan Digital Forensic dalam Sistem Hukum Indonesia (disertai Simulasi dan Praktik) Angkatan Ketiga", Rabu dan Kamis, 17-18 Februari 2016 dengan menghadirkan narasumber kompeten.
Lebih memprihatinkan lagi, perkembangan hukum teknologi tak mampu mengiringi kecepatan kemajuan teknologi itu sendiri.“Memang teknologi sekarang berkembang sangat cepat, termasuk di Indonesia. Sayang, hukumnya tidak mampu mengiringi,” keluh Pendiri sekaligus Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Teguh Arifiyadi, kepada hukumonline, Rabu (10/2).
Teguh menjelaskan, di tengah gempuran kemajuan teknologi Indonesia hanya punya satu payung hukum yang spesifik mengatursoal teknologi. Ia menilai keberadaan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik belum cukup. Paling tidak, menurutnya, aturan mengenai hukum siber bisa dibuat lebih luas dan mendalam.
Memang, Teguh mengakui bahwa hukum tidak harus mengejar kecepatan perkembangan teknologi. Tetapi, setidaknya ia melihat perlu ada landasan hukum yang menjadi patokan dalam menggunakan teknologi. Lebih lanjut ia menambahkan, dasar hukum itu harus fokus sehingga bisa memandu masyarakat agar penggunaan teknologi membawa manfaat positif.
“Hukum tidak perlu mengejar perkembangan teknologi. Tetapi, kita membutuhkan pijakan yang fokus agar pengaturan yang dibuat bisa memandu penggunaan teknologi yang membawa manfaat bagi masyarakat,” tuturnya.
Ia pun menyayangkan, hingga kini tidak ada sikap pemerintah dalam pengaturan teknologi. Menurut Teguh, pemerintah belum menentukan politik hukum terkait pengaturan siber. Ia melihat, di dunia ini ada dua rezim pengaturan, apakah diatur secara ketat atau longgar. Sementara itu, Indonesia belum jelas memilih politik hukum tersebut.
“Kalau kita lihat pengaturan dalam hukum siber ini tidak jelas, mau diatur ketat apa mengikuti mekanisme pasar. Menurut saya sampai sekarang pemerintah belum menentukan sikapnya mengenai hal ini,” kata Teguh.
Teguh mengatakan, hukum siber membutuhkan prinsip pengaturan sebagai fondasi. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah bisa segera menentukan arah kebijakan hukum teknologi di Indonesia. Namun, menurutnya, pemerintah tidak mesti kaku dalam memilih sikap.
Dia mencontohkan, dalam hal-hal terkait dengan konten sebaiknya pemerintah bersikap fleksibel. Sebab, hal ini menyangkut kreativitas anak bangsa. Selain itu, masalah konten juga melibatkan banyak pihak. Di sisi lain, terkait dengan hal-hal teknis dan proteksi pemerintah seharusnya mengambil kontrol yang rigid. Hal ini untuk menjamin keamanan penggunaan teknologi.
“Jadi harus dipilah, pada bagian mana pemerintah melempar ke mekanisme pasar dan mana yang harus diatur secara ketat. Menurut saya pengaturan yang berkaitan dengan konten sebaiknya diatur lebih fleksibel saja,” ujarnya.
Selain masalah prinsip pengaturan yang belum jelas, Teguh menyayangkan ketersediaan data yang maish terbatas. Ia menjelaskan bahwa di ranah hukum teknologi belum ada data statistik yang pasti ketika berbicara mengenai pemasalahan yang sering dilakukan dan penyelesaiannya. Oleh karenanya, ia hanya bisa menduga-duga tindak pidana apa yang marak dilakukan berkaitan dengan teknologi.
Sejauh ini, berdasarkan pengalamannya Teguh mengamati bahwa fraud merupakan tindak pidana yang paling sering terjadi. Fraud merupakan kejahatan manipulasi informasi dengan tujuan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Biasanya, informasi yang disalahgunakan adalah informasi keuangan. Misalnya, situs lelang fiktif atau penggunaan kartu kredit secara melawan hukum.
Penanganan fraud ini, menurut Teguh, tidak mudah lantaran dalam dunia siber dikenal istilah anonimitas. Jadi seseorang bisa menjadi siapa saja, sehingga untuk mengungkap pelaku tindak pidanyanya cukup sulit.
“Selain itu, aparat penegak hukum kita juga pengetahuannya terkait hukum teknologi masih terbatas. Secara umum mereka tidak dibekali pengetahuan mengenai hal itu. Memang, ada yang dididik khusus menangani perkara siber. Tetapi masih sangat sedikit sekali,” pungkasnya.
Ingin mengetahui lebih lanjut tentang seluk-beluk cyberlaw dalam sistem hukum Indonesia? Ikutilah pelatihan Hukumonline dengan tema "Memahami Cyber Law, Cyber Crime dan Digital Forensic dalam Sistem Hukum Indonesia (disertai Simulasi dan Praktik) Angkatan Ketiga", Rabu dan Kamis, 17-18 Februari 2016 dengan menghadirkan narasumber kompeten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar