Perkara dugaan suap yang menjerat Kasubdit Kasasi Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (Kasubdit Kasasi Perdata MA) Andri Tristianto Sutrisna menimbulkan tanda tanya besar. Setidaknya ada dua keanehan dalam perkara ini.
Pertama, mengapa Andri yang menjabat Kasubdit Kasasi Perdata MA bisa "bermain" dalam penundaan pemberian salinan putusan perkara korupsi ke Pengadilan Negeri (PN) Mataram? Kedua, jumlah uang yang diduga diterima Andri cukup besar jika hanya dimaksudkan untuk menunda pemberian salinan putusan ke PN Mataram?
Apabila mengacu tugas Andri selaku Kasubdit Kasasi Perdata MA, sebenarnya tidak ada kaitannya dengan penanganan perkara pidana korupsi di MA. Tugas Andri adalah memeriksa formil berkas kasasi dari pengadilan negeri pengaju yang telah didistribusikan oleh TU Biro Umum, Direktur Pratalak Perdata MA dan Subbag TU.
Setelah perkara perdata itu diputus majelis hakim agung, panitera muda perdata umum yang bertugas mengirimkan ke pengadilan negeri pengaju. Sementara, penanganan perkara kasasi pidana khusus masuk ke TU Biro Umum dan Direktur Pratalak Pidana MA. Kasubdit Kasasi Pidana Khusus lah yang bertugas melakukan pemeriksaan.
Jika dihubungkan dengan tugas Andri selaku Kasubdit Kasasi Perdata MA, tidak ada korelasinya dengan penanganan perkara pidana khusus. Jadi, apa iya Andri memiliki kewenangan untuk menunda penyerahan salinan putusan perkara korupsi ke PN Mataram? Apa masih ada lagi oknum MA "bermain" bersama Andri?
Menjawab hal ini, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan, penyidik memang menduga Andri tidak bermain seorang diri. "Dipercaya dia (Andri) memang tidak sendiri. Kita hanya berputar di area indikasi. Oleh sebab itu, masih didalami," katanya kepada hukumonline, Selasa (16/2).
Kemudian, terkait jumlah uang yang terbilang cukup besar untuk menunda penyerahan salinan putusan, Saut belum bisa memberi jawaban. Untuk diketahui, KPK menyita uang Rp400 juta dan se-koper uang lagi dari hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) Andri. "Kalau itu masih belum ketemu jawabannya. Sabar ya," imbuhnya.
Di lain pihak, Hakim Agung Prof Krisna Harahap, salah seorang anggota majelis perkara yang diduga "dimainkan" Andri menduga, mungkin saja Andri bekerja sama dengan pihak-pihak lain di bagian pidana khusus. “Itu sebenarnya di luar kewenangan saya, tetapi mengapa bisa? Ya bisa saja, mungkin saja dia kerja sama dengan bagian pidana khusus atau bagian lain,” ujarnya.
Krisna menilai, sedari dulu setiap salinan putusan bisa saja dikomersilkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. “Ini tanda tanya besar, apa hanya terkait putusan saya atau putusan majelis lain yang dari dulu sudah dikomersilkan. Sebab, tidak mustahil yang dimanfaatkan bukan hanya perkara ini, tetapi putusan perkara lain,” ungkapnya.
Menurut Krisna, untuk membongkar jaringan komersialisasi salinan putusan tergantung dari penyidik KPK. Ia meminta KPK membuat Andri “bernyanyi”. “Ini tergantung hasil penyidikan KPK dari keterangan yang bersangkutan dan bukti-bukti lain agar bisa diungkap sejauh mana jaringan komersialisasi salinan putusan di MA. Kalau ini bisa dibuka semakin baik,” tuturnya.
Sebagaimana diketahui, akhir pekan lalu, KPK melakukan OTT terhadap enam orang. Tiga diantaranya, Andri, seorang pengusaha Ichsan Suaidi, dan pengacara Awang Lazuardi Embat ditetapkan KPK sebagai tersangka. KPK menduga Andri menerima uang dari Ichsan dan Awang untuk menunda penyerahan salinan putusan ke PN Mataram.
Putusan dimaksud adalah putusan perkara korupsi Labuan Haji Lombok Timur yang diputus oleh majelis hakim agung, Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap. Awalnya, terdakwa Ichsan diputus dengan pidana penjara selama 1,5 tahun oleh pengadilan tingkat pertama berdasarkan putusan No.36/Pid.Sus-TPK/2014/PN Mtr.
Ichsan mengajukan banding, lalu kasasi, hingga putusannya pun diperberat menjadi lima tahun penjara di tingkat kasasi. Tidak hanya itu, Ichsan juga dibebankan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp4 miliar. Kasasi tersebut diputus oleh tiga hakim agung, Artidjo, MS Lumme, dan Krisna pada 9 September 2015.
Putusan ini lah yang diduga "dikomersialisasi" oleh Andri. Ichsan bersama pengacaranya, Awang diduga meminta Andri untuk menunda penyerahan salinan putusan kasasi ke pengadilan negeri pengaju, yaitu PN Mataram. Padahal, sebenarnya, Andri bukan lah orang yang berwenang menangani perkara pidana khusus.
Pertama, mengapa Andri yang menjabat Kasubdit Kasasi Perdata MA bisa "bermain" dalam penundaan pemberian salinan putusan perkara korupsi ke Pengadilan Negeri (PN) Mataram? Kedua, jumlah uang yang diduga diterima Andri cukup besar jika hanya dimaksudkan untuk menunda pemberian salinan putusan ke PN Mataram?
Apabila mengacu tugas Andri selaku Kasubdit Kasasi Perdata MA, sebenarnya tidak ada kaitannya dengan penanganan perkara pidana korupsi di MA. Tugas Andri adalah memeriksa formil berkas kasasi dari pengadilan negeri pengaju yang telah didistribusikan oleh TU Biro Umum, Direktur Pratalak Perdata MA dan Subbag TU.
Setelah perkara perdata itu diputus majelis hakim agung, panitera muda perdata umum yang bertugas mengirimkan ke pengadilan negeri pengaju. Sementara, penanganan perkara kasasi pidana khusus masuk ke TU Biro Umum dan Direktur Pratalak Pidana MA. Kasubdit Kasasi Pidana Khusus lah yang bertugas melakukan pemeriksaan.
Jika dihubungkan dengan tugas Andri selaku Kasubdit Kasasi Perdata MA, tidak ada korelasinya dengan penanganan perkara pidana khusus. Jadi, apa iya Andri memiliki kewenangan untuk menunda penyerahan salinan putusan perkara korupsi ke PN Mataram? Apa masih ada lagi oknum MA "bermain" bersama Andri?
Menjawab hal ini, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan, penyidik memang menduga Andri tidak bermain seorang diri. "Dipercaya dia (Andri) memang tidak sendiri. Kita hanya berputar di area indikasi. Oleh sebab itu, masih didalami," katanya kepada hukumonline, Selasa (16/2).
Kemudian, terkait jumlah uang yang terbilang cukup besar untuk menunda penyerahan salinan putusan, Saut belum bisa memberi jawaban. Untuk diketahui, KPK menyita uang Rp400 juta dan se-koper uang lagi dari hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) Andri. "Kalau itu masih belum ketemu jawabannya. Sabar ya," imbuhnya.
Di lain pihak, Hakim Agung Prof Krisna Harahap, salah seorang anggota majelis perkara yang diduga "dimainkan" Andri menduga, mungkin saja Andri bekerja sama dengan pihak-pihak lain di bagian pidana khusus. “Itu sebenarnya di luar kewenangan saya, tetapi mengapa bisa? Ya bisa saja, mungkin saja dia kerja sama dengan bagian pidana khusus atau bagian lain,” ujarnya.
Krisna menilai, sedari dulu setiap salinan putusan bisa saja dikomersilkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. “Ini tanda tanya besar, apa hanya terkait putusan saya atau putusan majelis lain yang dari dulu sudah dikomersilkan. Sebab, tidak mustahil yang dimanfaatkan bukan hanya perkara ini, tetapi putusan perkara lain,” ungkapnya.
Menurut Krisna, untuk membongkar jaringan komersialisasi salinan putusan tergantung dari penyidik KPK. Ia meminta KPK membuat Andri “bernyanyi”. “Ini tergantung hasil penyidikan KPK dari keterangan yang bersangkutan dan bukti-bukti lain agar bisa diungkap sejauh mana jaringan komersialisasi salinan putusan di MA. Kalau ini bisa dibuka semakin baik,” tuturnya.
Sebagaimana diketahui, akhir pekan lalu, KPK melakukan OTT terhadap enam orang. Tiga diantaranya, Andri, seorang pengusaha Ichsan Suaidi, dan pengacara Awang Lazuardi Embat ditetapkan KPK sebagai tersangka. KPK menduga Andri menerima uang dari Ichsan dan Awang untuk menunda penyerahan salinan putusan ke PN Mataram.
Putusan dimaksud adalah putusan perkara korupsi Labuan Haji Lombok Timur yang diputus oleh majelis hakim agung, Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap. Awalnya, terdakwa Ichsan diputus dengan pidana penjara selama 1,5 tahun oleh pengadilan tingkat pertama berdasarkan putusan No.36/Pid.Sus-TPK/2014/PN Mtr.
Ichsan mengajukan banding, lalu kasasi, hingga putusannya pun diperberat menjadi lima tahun penjara di tingkat kasasi. Tidak hanya itu, Ichsan juga dibebankan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp4 miliar. Kasasi tersebut diputus oleh tiga hakim agung, Artidjo, MS Lumme, dan Krisna pada 9 September 2015.
Putusan ini lah yang diduga "dikomersialisasi" oleh Andri. Ichsan bersama pengacaranya, Awang diduga meminta Andri untuk menunda penyerahan salinan putusan kasasi ke pengadilan negeri pengaju, yaitu PN Mataram. Padahal, sebenarnya, Andri bukan lah orang yang berwenang menangani perkara pidana khusus.
PERATURAN TERKAIT
KLINIK TERKAIT
- Apakah Kasus Korupsi Dihentikan Bila Terdakwa Mengembalikan . .
- Bisakah Ahli di Persidangan Dipidana karena Keterangannya?
- Pemberhentian dengan Tidak Hormat Terhadap PNS Terpidana Kasus . .
- Apakah Direksi Anak Perusahaan BUMN Termasuk Penyelenggara Negara?
- Tertangkap Tangan oleh Jaksa, Apakah Langsung Menjadi Terdakwa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar