Di akhir tahun 2010, pernah sedikit berdiskusi ketika mengadili perkara pencabutan kekuasaan orang tua, perihal cara pemanggilan terhadap Tergugat. Dalam posita terungkap bahwa sang ayah tidak diketahui tempat tinggal dan atau tempat diamnya, sang ibu telah meninggal dunia, dan sang nenek memerlukan pengurusan berbagai dokumen administrasi untuk sang cucu. Saat itu penulis berpendapat dengan pemanggilan umum, tidak dengan cara Pasal 27 ayat (1) – (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP). Penulis kalah suara. Kejadian yang sama berulang pada awal tahun 2013, kali ini perkara harta bersama. Sedikit tulisan ini adalah hasil curat-coret, guna mengundang pendapat dari sidang pembaca terhormat.
B. Makna Pemanggilan
Pemanggilan adalah tahapan sebelum persidangan yang menentukan untuk persidangan maupun putusan. Panggilan sah memberi alas untuk persidangan. Panggilan yang sah pun dapat memberi alas untuk dikabulkannya suatu gugatan tanpa kehadiran lawan (bij verstek). Sebaliknya, panggilan yang tidak sah menyebabkan persidangan tidak dapat dilaksanakan, terlebih dalam perkara kontensius.
Pemanggilan berkaitan dengan ketaatan terhadap asas hukum acara. Asas persamaan di depan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”, juga Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA).
Kedua belah pihak memiliki kedudukan yang sama dan memiliki hak yang sama dan sederajat (equality, egality) untuk mengajukan dalil-dalil atau menyampaikan keterangan beserta alat bukti yang menguatkannya. Sebelum itu, kedua belah pihak tersebut berhak untuk mengetahui kapan dan dimana persidangan akan dilaksanakan. Kelalaian memberitahu kapan dan dimana persidangan tersebut akan dilaksanakan menyebabkan segala sesuatu tahap persidangan dan tahapan selanjutnya batal demi hukum.
Abdul Kadir Muhammad merinci berbagai akibat apabila panggilan tidak dijalankan menurut aturan, pertama, petugasmemikul biaya panggilan yang tidak sah dan wajib memanggil sekali lagi menurut ketentuan perundang-undangan.Kedua, bila pihak menderita kerugian, petugas dapat dituntut membayar ganti kerugian. Ketiga, panggilan yang tidak sah sama dengan mengulur waktu, karena panggilan ulang, dan pengadilan menunda persidangan.[2]
Pemanggilan memiliki aturan tertentu menurut peraturan perundang-undangan mengenai tata cara agar sah. Aturan tersebut melingkupi hal-ihwal resmi dan patut. Resmi pelaksana pemanggilannya, format surat, dan tata caranya. Yang berkaitan dengan tata cara diantaranya ialah berkaitan dengan kondisi tertentu mengenai pihak Tergugat. Adakalanya pihak Tergugat (atau Turut Tergugat) tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat diamnya, atau bahkan tidak dikenal.
Walaupun memang dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, khususnya Bab IV tentang Pendaftaran Penduduk, sedemikian rupa telah diatur mengenai Pindah Datang Penduduk. Idealnya, tempat tinggal atau tempat kediaman seseorang tidak akan sulit untuk ditemukan. Namun dalam kenyataan di lapangan, hal tentang tidak diketahuinya tempat tinggal atau tempat diamnya seseorang adalah keniscayaan.
C. HUKUM POSITIF PERIHAL Pemanggilan PIHAK-PIHAK
Pasal 54 UUPA menegaskan bahwa: “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”.
Saat ini, yang berlaku di negara Republik Indonesia sebagai hukum acara pemanggilan ialah Pasal 122, Pasal 388, dan Pasal 390 HIR (Pasal 146 dan 718 R.Bg.). Disamping itu berlaku pula ketentuan-ketentuan acara pemanggilan menurut Pasal 26-28 PP.
UUPA juga mengatur mengenai pemanggilan, yaitu Pasal 70 ayat (5) dan (6), namun khusus mengenai tata cara pemanggilan untuk acara penyaksian ikrar talak beserta konsekuensi yuridisnya. Artinya, selain hal tersebut berlaku ketentuan umum sebagaimana dimaksud Pasal 54 UUPA tersebut.
Mengenai pemanggilan terhadap Tergugat (termasuk Turut Tergugat) yang tidak diketahui tempat tinggal dan atau tempat diamnya diatur dalam Pasal 390 ayat (3) HIR [Pasal 718 ayat (3) R.Bg.]. Selain pasal-pasal tersebut, berlaku pula tata cara pemanggilan sebagaimana diatur Pasal 27 ayat (1)-(4) PP, sebagaimana kemudian diadopsi mutatis mutandis oleh Pasal 139 ayat (1)-(4) Kompilasi Hukum Islam.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini bunyi kutipan dari pasal-pasal tersebut diatas. Pasal 390 ayat (3) HIR:
“Tentang orang-orang yang tidak diketahui tempat diam atau tinggalnya dan tentang orang-orang yang tidak dikenal, maka surat jurusita itu disampaikan pada Bupati, yang dalam daerahnya terletak tempat tinggal Penggugat dan dalam perkara pidana, yang dalam daerahnya hakim yang berhak berkedudukan; Bupati itu memaklumkan surat jurusita itu dengan menempelkannya pada pintu umum kamar persidangan dari hakim yang berhak itu”.
Pasal 718 ayat (3) R.Bg.
“Tentang orang-orang yang tidak diketahui tempat tinggalnya dan tentang orang-orang yang tidak dikenal maka ekspolit dijalankan terhadap kepala pamongpraja, setempat dari tempat tinggalnya Penggugat dan dalam perkara pidana dari tempat kediamannya Hakim yang berkuasa mengadilinya; kepala pamongpraja setempat menyuruh umumkan eksploit yang diterimanya dengan jalan menempelkannya pada pintu masuk tempat sidangnya hakim yang bersangkutan”
Pasal 27 PP 9 Tahun 1975 Bab V tentang Tata Cara Perceraian
(1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan.
(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyaak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
Dimanakah letak permasalahannya? Yang signifikan adalah adanya perbedaan interval waktu antara HIR/ R.Bg. dengan PP. Pemanggilan menurut aturan PP memberi selisih tambahan waktu setidaknya tiga bulan. Disinilah letak masalahnya. Di lapangan, seringkali pihak berperkara berkerut dahi. “Orangnya sudah tidak diketahui lagi, pergi entah kemana, kok masih dipanggil lagi? Lama lagi waktunya!”
Atas dasar masalah itulah tulisan ini hadir, dan beranjak dari pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: pertama, bagaimanakah kedudukan aturan pemanggilan dalam PP terhadap aturan pemanggilan dalam HIR/ R.Bg.? Kedua, untuk lingkup perkara apa saja aturan pemanggilan dalam PP tersebut? Ketiga, bagaimanakah aturan pemanggilan yang objektif dan realistis untuk kondisi saat ini berkenaan dengan pembaharuan hukum acara perdata?
Dalam timbangan asas beracara, khususnya tentang asas cepat, cara pemanggilan menurut PP, penulis menilai untuk saat ini sudah harus diperbaharui mengingat sudah tersedianya sarana untuk menjangkau sebaran yang lebih luas dengan lebih cepat. Masalah lainnya yang cukup mengganggu adalah beragamnya tafsiran mengenai lingkup perkara berlakunya aturan pemanggilan menurut PP. Dimulai dengan tafsir resmi menurut Buku II, diantaranya dikemukakan cara pemanggilan di lingkungan peradilan umum, dilanjutkan dengan berbagai doktrina.
D. ATURAN PEMANGGILAN pihak-pihak Menurut Buku II
Jika yang dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya atau dimana ia berada, panggilan dilakukan kepada Bupati/ Walikota tempat tinggal Penggugat, yang seterusnya akan mengumumkan hal itu dengan cara menempelkan pada papan pengumuman. Pengumuman serupa dilakukan di papan pengumuman Pengadilan Negeri (Pasal 390 HIR/ 718 R.Bg.).
Apabila tempat kediaman tidak diketahui atau tidak punya tempat kediaman yang jelas di Indonesia, maka panggilan dilaksanakan melalui bupati atau walikota setempat dengan cara menempelkan surat panggilan pada papan pengumuman Pengadilan Agama [Pasal 390 (3)/ 718 (3) R.Bg,].[3]
Sedangkan di lingkungan peradilan agama, pemanggilan dilakukan dengan dua cara sesuai jenis perkara. Perkara bidang perkawinan dilakukan dengan menurut tata cara Pasal 22, sedangkan perkara yang berkenaan dengan harta kekayaan menurut tata cara Pasal 390 (3) HIR / 718 (3) R.Bg.[4]
Pada Edisi Revisi 2010, di angka 7 (tujuh) disebutkan, apabila tempat kediaman pihak yang dipanggil tidak diketahui atau tidak punya tempat kediaman yang jelas di Indonesia, maka pemanggilannya dilaksanakan melalui bupati/ walikota setempat dengan cara menempelkan surat panggilan pada papan pengumuman pengadilan agama/ mahkamah syariyah. Pada angka 9 (sembilan) disebutkan: sedangkan panggilan dalam perkara perkawinan dan tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya (ghaib), dilaksanakan menurut tata cara Pasal 27 PP 9 Tahun 1974.[5]
Yahya Harahap menegaskan bahwa khusus untuk perkara perceraian, berlaku Pasal 27 PP 9 Tahun 1975.[6]Namun begitu, Yahya Harahap berpendapat pula bahwa agar panggilan lebih objektif dan realistis, perlu dipedomani ketentuan Pasal 6 ke-8 Rv., yaitu selain menempelkan di pintu ruang sidang, pengumuman pemanggilan tersebut harus dimuat dalam salah satu harian atau surat kabar yang terbit di wilayah hukum atau yang terbit berdekatan dengan wilayah PN yang bersangkutan.[7]
Pasal 6 ke-8 Rv. Menyatakan: “Selain itu panggilan itu harus dimuat dalam salah satu harian di tempat pengadilan itu bersidang atau jika ada surat kabar di tempat itu, dimuat dalam surat kabar di tempat terdekat”.
Berbeda dengan Yahya Harahap, menurut Abdul Manan, Panggilan dibedakan dengan jenis perkaranya. Perkaraperkawinan dilakukan dengan tata cara Pasal 27 PP 9 Tahun 1975, sedangkan perkara kewarisan dilakukan dengan tata cara Pasal 390 (3) HIR/ 718 (3) R.Bg.[8]
Sedangkan menurut Mukti Arto, bila tidak diketahui tempat tinggalnya, atau tidak jelas, tidak punya tempat kediaman tetap, maka dalam perkara perceraian dan pembatalan perkawinan dilakukan panggilan dengan Pasal 27 PP 9 Tahun 75 sebagai aturan khusus. Dalam perkara lain menurut pasal 390 HIR/ 718 R.Bg. yaitu lewat bupati bupati/ walikota tempat tinggal Penggugat yang seterusnya akan mengumumkan hal itu dengan cara menempelkan pada papan pengumuman. Pengumuman serupa dilakukan di papan pengumuman Pengadilan Agama.[9]
Sama dengan pendapat Mukti Arto, Ahmad Mujahidin menerangkan bahwa apabila yang dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak jelas atau tidak memiliki tempat kediaman yang tetap, maka dalam perkara perceraiandan pembatalan perkawinan, panggilan dilakukan menurut ketentuan Pasal 27 PP 9/75, sedangkan dalam perkara lainnya, dilakukan nmenurut Pasal 390 HIR/ 718 R.Bg.[10]
Dari berbagai pendapat tersebut tampak adanya ketidakseragaman pendapat. Padahal masyarakat membutuhkan kepastian hukum. Tidak hanya menyangkut hukum materil, namun juga formil. Mungkin saja pihak yang merasa tidak puas mempertanyakan tentang atas dasar apa persidangan dilaksanakan dengan tata cara tertentu dimana terdapat perbedaan pemahaman dan pelaksanaan.
Penulis berpendapat bahwa sumber perbedaan tersebut terletak pada kedudukan PP terhadap HIR/ R.Bg., juga perihal daya lingkup substansi hukum acara yang diatur PP dalam hubungannya dengan kata dan makna “perkawinan” pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP).
E. Kedudukan PP 9 Tahun 1975 Terhadap R.Bg./ HIR
Peraturan Pemerintah dibuat presiden untuk melaksanakan undang-undang. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Undang-undang tersebut mendelegasikan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksana mengenai beberapa hal. Pertama, Pasal 11 ayat (2) UUP mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai waktu tunggu (iddah). Kedua, Pasal 43 ayat (2) UUP mendelegasikan mengenai kedudukan anak luar perkawinan. Ketiga, Pasal 67 ayat (2) UUP, memandatkan hal yang umum dan lebih luas, yaitu bahwa hal-hal yang memerlukan peraturan pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Secara substantif PP tersebut mengatur tentang seluk-beluk pencatatan perkawinan, tata cara perkawinan, akta perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan perkawinan, waktu tunggu, tata cara poligami, berikut hukum acara. Di samping itu, PP ini pun mengatur kompetensi.
Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, HIR/ R.Bg. sebagai undang-undang masih berlaku untuk seluruh perkara baik di peradilan umum maupun peradilan khusus. Yang umum tetap berlaku sepanjang tidak dikecualikan dengan aturan yang khusus.
Disebutkan pada Penjelasan Umum PP 9 Tahun 1975 bahwa:
Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secera efektif masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain yang menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tata cara pelaksanaan perkawinan, tata cara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang dan sebagainya.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa secara materil maupun formil, PP memuat aturan-aturan baru sebagaimana diperintahkan UUP. Untuk memahami PP tersebut tentu saja harus difahami dahulu sejarah legislasi UUP. Untuk itu akan dibahas selanjutnya pada sub tersendiri.
Mengenai bahasan ini, penulis berpendapat bahwa PP sebagai lex specialis atas HIR/ R.Bg. dengan alasan-alasan sebagai berikut. Pertama, Pasal 27 ayat (1)-(3) PP ada dalam lingkup pengaturan berkenaan dengan Tata Cara Perceraian. Artinya pembuat PP berkehendak bahwa tata cara tersebut memang dikhususkan untuk perkara tertentu sebagaimana dimaksud. Argumentum a contrario-nya, untuk selain itu tidak belaku. Kedua, menurut asas peraturan perundang-undangan, aturan umum dapat dikesampingkan oleh aturan khusus, bila keduanya sederajat. Pada soal ini, walaupun PP tidak sederajat dengan UUP, tidaklah salah karena UUP sendirilah yang mendelegasikan kepada pemerintah untuk membuat aturan pelaksanaannya, yang diantaranya ialah mengenai tata cara perceraian. Ketiga, perujukan tata cara pembatalan nikah kepada pasal-pasal tata cara perceraian. Apa maksud pemerintah dengan Pasal 38 (2) PP, yang secara tegas menyatakan bahwa: “pembatalan dilakukan dengan tata cara Pasal 20-36 PP ini”? Artinya, pembuat peraturan perundang-undangan memang secara khusus menghendaki agar aturan-aturan dimaksud berlaku untuk hal-hal khusus. Bila tidak, atas alasan apa pengaturannya dibuat secara khusus pada bagian khusus.
Sesuai dengan asas peraturan peraturan perundang-undangan, bahwa yang khusus mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang umum (lex specialis derogate lex generalis). Aturan umum, HIR, R.Bg., dikesampingkan sepanjang hal yang diatur dalam PP yang diundangkan pada tanggal 1 Oktober 1975 ini.
Adakalanya berdasarkan rasionalisasi, maka dipakai analogi untuk menerapkan aturan pemanggilan dalam PP untuk seluruh perkara perdata. Tentang lembaga itu perlu kiranya dicermati persangkaan atas dasar undang-undang, atas dasar hal tersebut hukum acara tegak. Hal mana berkaitan dengan pertanyaan, diantaranya ialah apakah pemanggilan melalui penempelan surat panggilan pada papan pengumuman pengadilan atau melalui pengumuman media massa dengan interval tertentu bisa menjamin bahwa pihak Tergugat mengetahui adanya persidangan kapandan dimananya padahal sedemikian luasnya wilayah NKRI? Apakah ada jaminan terlebih kepastian ketika surat panggilan disampaikan melalui kepala desa atau yang setingkat dengannya, surat panggilan akan sampai, sehingga Tergugat mengetahui adanya persidangan?
Terkait hal tersebut, Sudikno Mertokusumo memberikan pemaparan sebagai berikut:
Kalau jurusita telah sudah menyampaikan pemberitahuan kepada kepala desa, maka yang terakhir dianggap telah menyampaikan kepada pihak yang bersangkutan tanpa perlu adanya pembuktian untuk itu, sehingga kelalaian dari kepala desa tidak ada sanksinya dan sebaliknya pihak yang bersangkutan mungkin dikalahkan atau dirugikan kaena tidak datang, disebabkan tidak menerima pemberitahuan atau panggilan dari kepala desa.[11]
F. Tafsiran Kata “Perkawinan” dalam UUP dan UUPA
Kedudukan PP bisa dilihat dari sejarah legislasi UUP. Sebelum unifikasi hukum perkawinan dengan diundangkannya UUP, terdapat berbagai beragam peraturan sesuai dengan penggolongan penduduk. Bagi Eropa berlaku Burgerlijk Wetboek (KUHP), bagi golongan Tionghoa dan golongan orang-orang Arab dan Timur Asing lainnya berlaku BW dengan beberapa pengecualian, bagi orang-orang Indonesia yang beragama Kristen yang berdomisili di tempat-tempat tertentu berlaku HOCI, dan bagi golongan selainnya berlaku GHR.[12]
Bagi golongan Islam tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara materil mengadopsi ketentuan perkawinan sebagaimana yang dikehendaki umat Islam. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 hanya mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi Umat Islam.
Diferensiasi pengaturan perkawinan tersebut berakhir dengan diundangkannya UUP. Secara tegas, Pasal 67 ayat (1) menyatakan bahwa UUP ini berlaku pada tanggal diumumkan dan pelaksanaannya secara efektif diatur dengan peraturan pemerintah. Demikian pula dengan hal-hal yang memerlukan peraturan pelaksanaan, diatur dengan PP. Atas dasar tersebut, tidak mengherankan bila PP mengandung banyak sekali hukum acara karena mendapat mandat seperti tertuang dalam Pasal 39 ayat (3) UUP yang berbunyi: “tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri”.
Dalam pembahasan sebelumnya telah dicoba dikaji mengenai tidak tepatnya alasan bahwa karena PP sebagai pelaksana UUP, maka aturan dalam PP tersebut mencakup apa-apa yang diatur dalam UUP, dengan kata lain, aturan pemanggilan dalam PP berlaku untuk perkara-perkara yang diatur secara substantif dalam UUP.
Atau mungkin juga anggapan tersebut lahir karena mengembalikan kata “Perkawinan” pada Pasal 49 ayat (1) huruf a UUPA, yang kemudian secara serta-merta dirujuk penjelasan dari pasal tersebut (22 perkara). Hemat penulis, hal tersebut tidaklah mungkin karena UUPA lahir setelah lahirnya UUP dan PP. Kalaupun benar bahwa aturan Pasal 27 ayat (1)-(3) PP berlaku untuk seluruh perkara yang diatur secara subtantif oleh PP dan UUP, maka dengan merujuknya hukum acara PA kepada hukum acara peradilan umum, artinya aturan pemanggilan menurut PP tersebut hanya berlaku untuk perkara-perkara yang diatur dalam PP dan UUP tersebut, tidak untuk perkara-perkara dalam UUPA.
Substansi jenis-jenis perkara “Perkawinan” dalam UUP berbeda dengan UUPA. Dalam UUP hal-ihwal bidang perkawinan dengan merujuk penyebutan kata “pengadilan”, melingkupi perkara izin poligami [Pasal 3 ayat (2)], Izin Kawin bagi yang belum mencapai usia 21, bila orang tua, wali, atau keluarga dalam hubungan garis lurus ada perbedaan pendapat [Pasal 6 (5)], dispensasi kawin [7 ayat (2)], pencegahan perkawinan (Pasal 17-18), penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan (Pasal 21), pembatalan perkawinan (Pasal 25-28), Gugatan kelalaian kewajiban suami atau istri [Pasal 34 ayat (3)], Perceraian dan akibat hukumnya (39-41), sah tidaknya anak (Pasal 44), Pencabutan kekuasan orang tua [Pasal 49 ayat (1)], Penunjukkan wali ketika kekuasaan ortu dicabut (Pasal 53) Penggantian kerugian oleh wali atas harta benda anak di bawah kekuasaannya (Pasal 54), Penetapan Asal-Usul Anak sebagai pengganti akta kelahiran [Pasal 55 ayat (2)], dan keputusan tentang soal apakah penolakan untuk melangsungkan perkawinan campuran oleh pegawai pencatat pernikahan beralasan atau tidak [Pasal 60 ayat (3) dan (4)].
Berbeda halnya dengan UUP, UUPA menyebut secara enumeratif pada penjelasan Pasal 49 ayat (2) UUPA apa itu bidang “perkawinan”. Perbedaan tampak diantaranya pada angka 22 tentang: “Itsbat Nikah”, penyebutan secara jelas pada angka 10 mengenai penyelesaian harta bersama, dan lain sebagianya.
Mengingat adanya berbagai perbedaan sebagaimana dikemukakan di awal pembahasan, kiranya perlu keseragaman, dan ketetapan dengan berlandaskan pertimbangan hukum yang jelas, tegas dan pasti untuk menegakkan beracara yang benar.
Terakhir, sebagai perbandingan ada baiknya dilihat RUU Hukum Hukum Acara Perdata Pasal 20 ayat (1) yang ternyata tidak terdapat pengubahan yang signifikan, dimana dinyatakan bahwa: “Dalam hal pihak berperkara sebagaimana yang dimaksud Pasal 16 ayat (1) tidak diketahui alamat tempat tinggalnya atau tempat kediamannya, pemanggilan dilakukan dengan cara menempelkan surat panggilan di papan pengumuman atau melakukan panggilan melalui surat kabar harian”.
G. Kesimpulan
Diujung tulisan, penulis simpulkan beberapa hal sebagai berikut:
- Ketentuan pemanggilan dalam PP merupakan lex specialis atas ketentuan pemanggilan dalam HIR/ R.Bg.
- Ketentuan pemanggilan dalam PP tersebut hanya melingkupi dua perkara: perceraian dan pembatalan perkawinan.
- Pemanggilan yang logis dan realistis untuk kondisi saat ini ialah dengan mengakomodasi dan mengadopsi penggunaan teknologi informasi terkini.
Wallahu ‘alam
Mohon maaf kalau ada salah kata. Yang benar dari Allah Swt, yang salah dari penulis. Masukan dan kritiknya sangat penulis nantikan. Sebelum dan sesudahnya penulis ucapkan jazakumullahu khairan katsira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar