Pertama, harus dibedakan antara peradilan anak dengan pengadilan anak. Peradilan anak adalah sebuah sistem peradilan untuk anak yang terintegrasi mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, bantuan hukum dan pelayanan lainnya, hingga pemasyarakatan. Tetapi pengadilan anak adalah proses yang lebih terfokus pada jalannya sidang anak atau pada tahap pengadilan. Indonesia hanya memiliki aturan mengenai pengadilan anak, yaitu di dalam Undang-undang no 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Meskipun di dalamnya juga mengatur mengenai proses pra-pengadilan khusus untuk anak, tetapi hanya menyentuh persoalan acaranya saja, seperti batas masa tahanan, tata cara sidang anak, jenis-jenis hukuman dll.
Hukum kita belum membatasi jenis tindak pidana apa saja yang dapat didakwaan pada anak. Inilah salah satu kelemahan hukum kita yang belum melindungi anak. Pada dasarnya saat ini, anak dapat dipidana untuk semua jenis pelanggaran hukum yang diatur oleh KUHP. Yang dibedakan hanya masa tahanan dan masa hukuman yang dapat dikenakan. Bahkan usia minimum pertanggungjawaban kriminal di negara kita adalah 8 tahun. Berarti, anak kelas 2 SD bisa dikenai sanksi pidana.
Idealnya untuk anak, penahanan dan pemenjaraan harus menjadi upaya yang paling akhir dan kalaupun terpaksa dilakukan harus untuk masa yang paling singkat. Hal ini sudah diatur di dalam Undang-undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 16 butir c. Berdasarkan hal itu pula, saat ini tengah dilakukan upaya revisi UU Pengadilan Anak menjadi undang-undang yang lebih komprehensif mengatur mengenai pra-ajudikasi, ajudikasi dan pasca ajudikasi untuk anak. Proses peradilan tidak pernah berdampak baik pada anak karena akan menimbulkan trauma, stigmatisasi dan resiko mengalami kekerasan dan eksploitasi. Oleh karena itu, bagi anak, diversi atau pengalihan dari sistem peradilan formal kepada mekanisme penanganan berbasis keluarga dan masyarakat adalah langkah yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar