Memang dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU Pengadilan HAM”) disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
Jika melihat pada ketentuan tersebut, memang asas berlaku surut dikenal dalam pengadilan HAM. Terhadap asas berlaku surut yang dikenal dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM itu pernah diajukan permohonanjudicial review ke Mahkamah Konstitusi (“MK”) oleh Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timor Timur pada waktu itu (tahun 2004). Asas retroaktif ini dianggap bertentangan dengan asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan juga bertentangan dengan ketentuan konstitusi Pasal 28I ayat (1)Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 1 ayat (1) KUHP
Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
|
Meski demikian, MK kemudian menolak permohonan judicial review Abilio Osario Soares terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM melaluiputusan MK No. 065/PUU-II/2004 yang dibacakan oleh Ketua MK pada waktu itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Dalam pointers berjudul Eksistensi Pengadilan HAM Ad Hoc Dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM yang Berat (diunduh dariwww.akilmochtar.com), hakim konstitusi HM. Akil Mochtar, S.H., M.H.menulis antara lain bahwa:
Keberadaan Pengadilan HAM ad hoc pernah menimbulkan perdebatan karena merupakan salah satu bentuk pengesampingan asas non-retroaktif. Namun demikian, melalui Putusan MK No. 065/PUU-II/2004, Pengadilan HAM ad hoc dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pengadilan tersebut merupakan pengesampingan terhadap asas non-retroaktif yang dilakukan dengan sangat hati-hati, hal itu tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK tersebut sebagai berikut.
(a) pembentukannya hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dengan locus delicti dan tempus delicti yang terbatas, bukan untuk semua peristiwa secara umum; dan
(b) Pengadilan HAM ad hoc hanya dapat dibentuk atas usul DPR karena menurut UUD 1945 DPR adalah representasi rakyat Indonesia, yang berarti bahwa pada dasarnya rakyatlah yang menentukan kapan pelanggaran HAM yang berat sebelum pembentukan UU Pengadilan HAM telah terjadi yang penyelesaiannya membutuhkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.
Perdebatan penerapan asas retroaktif memang bukan hal yang baru. Sebelumnya, penerapan asas retroaktif telah dipertimbangkan oleh majelis hakim ad hoc pengadilan HAM untuk beberapa terdakwa kasus Timor Timur dalam putusan sela. Di mana dalam putusan sela tersebut disebutkan asas retroaktif digunakan berdasarkan kajian terhadap praktik pengadilan pidana internasional yang mengesampingkan asas non-retroaktif demi tegaknya keadilan. Kajian tersebut antara lain mengacu pada praktik negara-negara sejak pengadilan penjahat perang di Nuremberg dan Tokyo, pengadilan internasional ad hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda (ICTY dan ICTR), dan kasus Adolf Eichman di pengadilan distrik Yerusalem. Selain itu, pertimbangan majelis hakim ad hoc saat itu antara lain adalah kejahatan pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime dan berdampak secara luas oleh karena itu asas retroaktif dapat diberlakukan dengan adanya Amandemen UUD 1945 Pasal 28 J ayat (2). Lebih jauh simak artikel Asas Retroaktif Kembali Digugat.
Jadi, memang dalam Pengadilan HAM Ad Hoc berlaku asas retroaktif dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar