Sejumlah aktivis dari organisasi masyarakat sipil menyesalkan tidak adanya revisi UU No. 31 Tahun 1997tentang Peradilan Militer dalam Prolegnas 2015-2019. Padahal revisi itu selalu tercantum pada Prolegnas sebelumnya. Revisi UU Peradilan Militer adalah bagian dari reformasi sektir keamanan.
Berdasarkan penelusuran para aktivis, ternyata revisi UU Peradilan Militer juga tak disinggung lagi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Itu yang membuat lembaga pemerhati reformasi sektor keamanan seperti Imparsial bertanya-tanya.
“Agenda reformasi Peradilan Militer adalah jantung dari agenda reformasi sektor keamanan itu sendiri,” kata Poengky Indarti, Direktur Eksekutif Imparsial, dalam jumpa pers di kantor Imparsial di Jakarta, Kamis (12/3).
Poengky menjelaskan reformasi Peradilan Militer adalah mandat konstitusional untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Sebab dalam negara hukum tidak boleh ada diskriminasi penerapan hukum. Semua warga negara, termasuk militer, punya hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Menurut Poengky, kalau melakukan tindak pidana umum, seorang anggota TNI harus tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum.
Poengky berpendapat selama ini Peradilan Militer jadi sarana impunitas bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum dan pelanggaran HAM. Itu terjadi karena yuridiksi Peradilan Militer terlalu luas sehingga tidak hanya mengadili anggota militer yang melanggar hukum militer tapi juga pidana umum.
Mekanisme Peradilan Militer, dikatakan Poengky, tidak memenuhi prinsip-prinsip peradilan yang adil (fair trial). Padahal dalam negara hukum mekanisme peradilan itu harus bersifat independen dan menjamin due process of law.
Poengky mengingatkan reformasi Peradilan Militer itu tertuang dalam Ketetapan MPR No.VII Tahun 2000. TAP menyebut prajurit TNI tunduk pada kekuasaan Peradilan Militer dalam pelanggaran hukum militer dan tunduk pada peradilan umum dalam hal pelanggaran pidana umum. Prinsip senada juga ditegaskan oleh UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Cuma, kini UU TNI masuk daftar Prolegnas 2015-2019. Artinya, ketimbang UU Peradilan Militer, UU TNI lebih berpeluang mengalami perubahan.
Peneliti Imparsial, Ardi Manto, malah mengkritik pemerintah yang lebih memilih mengajukan RUU Rahasia Negara dan Keamanan Nasional (Kamnas). Padahal kedua RUU itu sudah ditolak masyarakat sipil pada saat pemerintahan sebelumnya.
Imparsial mendesak Presiden untuk mengevaluasi RPJMN dan Prolegnas 2015-2019 terkait prioritas legislasi sektor keamanan. Kemudian, memasukan RUU perubahan atas UU Peradilan Militer, RUU Perbantuan TNI, RUU perubahan UU Darurat No. 23 Tahun 1959 sebagai prioritas legislasi dalam RPJMN dan Prolegnas 2015-2019. Serta mencabut RUU Rahasia Negara, RUU Kamnas dan RUU perubahan UU TNI dalam RPJMN dan prolegnas.
Selain itu Poengky mendesak Presiden untuk memerintahkan Panglima TNI dan Kementerian terkait mencabut MoU yang sudah terbentuk antar kedua instansi tersebut. Sebab, belakangan ini TNI kerap menjalin MoU dengan sejumlah lembaga negara seperti Kementerian Perhubungan. Imparsial menilai itu bertentangan dengan tugas TNI sebagaimana amanat UU TNI.
Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, menyimpulkan pemerintahan Jokowi tidak selaras dengan agenda reformasi sektor keamanan sehingga mengancam demokrasi. Melihat RPJMN, Prolegnas 2015-2019 dan MoU yang dilakukan TNI dengan sejumlah lembaga pemerintahan, Al menilai itu sebagai bentuk menguatnya militerisme yang pernah berkuasa dimasa Orde Baru.
Al berpendapat militer mencoba masuk ke ranah keamanan dalam negeri dengan cara menjalin MoU dengan sejumlah lembaga pemerintahan. Kemudian, lewat proses legislasi dengan dimasukannya RUU Rahasia Negara dan Kamnas dalam RPJMN dan prolegnas. Apalagi dalam RPJMN itu disebut pembangunan sistem keamanan nasional yang integratif.
Al khawatir RUU Kamnas akan digunakan untuk menggabungkan TNI dan Polri seperti masa Orde Baru. Atau memberikan kewenangan kepada TNI agar bisa bertindak seperti Polri yakni menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. “Jika itu yang dimaksud keamanan nasional integratif melalui pembentukan UU Kamnas maka terjadi kemunduran demokrasi dan mengingkari agenda reformasi,” tegasnya.
Berdasarkan penelusuran para aktivis, ternyata revisi UU Peradilan Militer juga tak disinggung lagi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Itu yang membuat lembaga pemerhati reformasi sektor keamanan seperti Imparsial bertanya-tanya.
“Agenda reformasi Peradilan Militer adalah jantung dari agenda reformasi sektor keamanan itu sendiri,” kata Poengky Indarti, Direktur Eksekutif Imparsial, dalam jumpa pers di kantor Imparsial di Jakarta, Kamis (12/3).
Poengky menjelaskan reformasi Peradilan Militer adalah mandat konstitusional untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Sebab dalam negara hukum tidak boleh ada diskriminasi penerapan hukum. Semua warga negara, termasuk militer, punya hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Menurut Poengky, kalau melakukan tindak pidana umum, seorang anggota TNI harus tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum.
Poengky berpendapat selama ini Peradilan Militer jadi sarana impunitas bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum dan pelanggaran HAM. Itu terjadi karena yuridiksi Peradilan Militer terlalu luas sehingga tidak hanya mengadili anggota militer yang melanggar hukum militer tapi juga pidana umum.
Mekanisme Peradilan Militer, dikatakan Poengky, tidak memenuhi prinsip-prinsip peradilan yang adil (fair trial). Padahal dalam negara hukum mekanisme peradilan itu harus bersifat independen dan menjamin due process of law.
Poengky mengingatkan reformasi Peradilan Militer itu tertuang dalam Ketetapan MPR No.VII Tahun 2000. TAP menyebut prajurit TNI tunduk pada kekuasaan Peradilan Militer dalam pelanggaran hukum militer dan tunduk pada peradilan umum dalam hal pelanggaran pidana umum. Prinsip senada juga ditegaskan oleh UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Cuma, kini UU TNI masuk daftar Prolegnas 2015-2019. Artinya, ketimbang UU Peradilan Militer, UU TNI lebih berpeluang mengalami perubahan.
Peneliti Imparsial, Ardi Manto, malah mengkritik pemerintah yang lebih memilih mengajukan RUU Rahasia Negara dan Keamanan Nasional (Kamnas). Padahal kedua RUU itu sudah ditolak masyarakat sipil pada saat pemerintahan sebelumnya.
Imparsial mendesak Presiden untuk mengevaluasi RPJMN dan Prolegnas 2015-2019 terkait prioritas legislasi sektor keamanan. Kemudian, memasukan RUU perubahan atas UU Peradilan Militer, RUU Perbantuan TNI, RUU perubahan UU Darurat No. 23 Tahun 1959 sebagai prioritas legislasi dalam RPJMN dan Prolegnas 2015-2019. Serta mencabut RUU Rahasia Negara, RUU Kamnas dan RUU perubahan UU TNI dalam RPJMN dan prolegnas.
Selain itu Poengky mendesak Presiden untuk memerintahkan Panglima TNI dan Kementerian terkait mencabut MoU yang sudah terbentuk antar kedua instansi tersebut. Sebab, belakangan ini TNI kerap menjalin MoU dengan sejumlah lembaga negara seperti Kementerian Perhubungan. Imparsial menilai itu bertentangan dengan tugas TNI sebagaimana amanat UU TNI.
Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, menyimpulkan pemerintahan Jokowi tidak selaras dengan agenda reformasi sektor keamanan sehingga mengancam demokrasi. Melihat RPJMN, Prolegnas 2015-2019 dan MoU yang dilakukan TNI dengan sejumlah lembaga pemerintahan, Al menilai itu sebagai bentuk menguatnya militerisme yang pernah berkuasa dimasa Orde Baru.
Al berpendapat militer mencoba masuk ke ranah keamanan dalam negeri dengan cara menjalin MoU dengan sejumlah lembaga pemerintahan. Kemudian, lewat proses legislasi dengan dimasukannya RUU Rahasia Negara dan Kamnas dalam RPJMN dan prolegnas. Apalagi dalam RPJMN itu disebut pembangunan sistem keamanan nasional yang integratif.
Al khawatir RUU Kamnas akan digunakan untuk menggabungkan TNI dan Polri seperti masa Orde Baru. Atau memberikan kewenangan kepada TNI agar bisa bertindak seperti Polri yakni menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. “Jika itu yang dimaksud keamanan nasional integratif melalui pembentukan UU Kamnas maka terjadi kemunduran demokrasi dan mengingkari agenda reformasi,” tegasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar