Berdasarkan pendapat pakar hukum dan putusan Mahkamah Agung, atas tanah yang sudah dijadikan jaminan tidak dapat diletakkan sita jaminan maupun sita eksekusi. Dengan demikian, kreditor pemegang jaminan memiliki hak didahulukan atas tanah tersebut.
Tapi dalam putusan Mahkamah Agung lain, pihak yang benar-benar merasa berhak dan memiliki bukti kuat dapat dimenangkan dan di saat bersamaan hak tanggungan yang dipegang kreditor menjadi gugur demi hukum.
Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini.
|
Ulasan
Berdasarkan penjelasan Anda, kami mengambil kesimpulan bahwa tanah yang menjadi objek sengketa tersebut pada awalnya adalah atas nama Tergugat (dalam sertifikat), kemudian setelah proses peradilan dan ada putusan Hakim, yang berhak atas tanah tersebut adalah Penggugat.
Pada dasarnya yang dapat membebankan suatu tanah dengan hak tanggungan adalah pemilik tanah itu sendiri. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”):
(1) Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(2) Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
Jika si Tergugat adalah pemilik tanah tersebut berdasarkan sertifikat tanah yang ada pada waktu itu, maka Tergugat memang berhak untuk membebankan tanah tersebut dengan hak tanggungan.
Jika kemudian tanah tersebut disengketakan dan Tergugat dinyatakan bukan sebagai orang yang berhak (pemilik) atas tanah tersebut, maka itu merupakan permasalahan lain. Mengenai apakah atas tanah tersebut dapat dieksekusi oleh pengadilan, pada dasarnya dalam UU Hak Tanggungan itu sendiri tidak diatur. UU Hak Tanggungan hanya mengatur bahwa hak tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada (Pasal 7 UU Hak Tanggungan). Ini merupakan sifat dari hak kebendaan yaitu droit de suite. Mengenai droit de suite, Anda dapat membaca artikel Arti Droit De Suite.
Akan tetapi, Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. dalam bukunya Hak Tanggungan: Asas-asas Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan) (hal. 40-41), memberikan pendapat bahwa seharusnya menurut hukum terhadap hak tanggungan tidak dapat diletakkan sita (sita jaminan maupun sita eksekusi). Alasannya adalah karena tujuan dari (diperkenalkannya) hak jaminan pada umumnya dan khususnya hak tanggungan itu sendiri. Tujuan dari hak tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditor yang menjadi pemegang hak tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditor-kreditor lain. Bila terhadap hak tanggungan itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dari kreditor pemegang hak tanggungan.
Lebih lanjut, Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. (Ibid, hal. 42) memberikan contoh dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 394K/Pdt/1984 tanggal 31 Mei 1985, yang berpendirian bahwa barang-barang yang sudah dijadikan jaminan utang (dalam perkara) tersebut adalah jaminan utang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresiksehingga tidak dapat dikenakan sita jaminan.
Akan tetapi, ini kembali lagi kepada pertimbangan hakim. Sebagai contoh, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2301 K/Pdt/2007, Penggugat dan Tergugat I awalnya adalah pasangan suami istri, yang pada saat perkawinan masih berlangsung, keduanya membeli sebuah tanah. Pada saat perceraian, keduanya belum membagi harta bersama di antara mereka. Tergugat I kemudian mengganti buku dan mengukur ulang tanah tersebut karena buku yang lama telah penuh, yang mana nama pemiliknya tetap Tergugat I. Tergugat I kemudian menjual tanah tersebut kepada Tergugat II. Tergugat II kemudian menjaminkan tanah tersebut kepada bank. Dalam perkara ini, hakim memutuskan salah satunya menyatakan bahwa sertifikat hak tanggungan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Oleh karena itu, jika Penggugat benar-benar merasa berhak atas tanah tersebut sebaiknya Penggugat juga meminta pembatalan hak tanggungan yang berada di atas tanah tersebut kepada pengadilan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Sutan Remy Sjahdeini. 1999. Hak Tanggungan: Asas-asas Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan). Bandung: Alumni.
Putusan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar