Intisari:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) hanya mengenal penganiayaan secara fisik, yaitu rasa sakit yang ditimbulkan akibat perbuatan-perbuatan berupa kekerasan fisik seperti antara lain: menyubit, memukul, menempeleng, menusuk dengan pisau, dan lain-lain. Dengan kata lain, penganiayaan secara psikis tidak dikenal dalam KUHP.
Namun, atas perbuatan menyakiti orang secara psikis ini dalam praktiknya dapat dilakukan upaya hukum berupa gugatan secara perdata atas dasar Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”). Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Sebelum menjawab pertanyaan Anda soal “penganiayaan” secara psikis, kami akan menjelaskan sedikit soal tindak pidana kekerasan fisik saat berpacaran yang mana pelakunya dapat dipidana atas dasar tindak pidana penganiayaan biasa dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan“penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”.
R. Soesilo dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan”:
1. “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.
2. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.
3. “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.
4. “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.
Penjelasan selengkapnya soal penganiayaan ini dapat Anda simak dalam artikel Pasal untuk Menjerat Pacar yang Suka Menganiaya Pasangannya.
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa penganiayaan yang dikenal dalam KUHP hanya berupa penganiayaan secara fisik, yaitu rasa sakit yang dialami korban akibat suatu kekerasan fisik dari pelaku. Dengan kata lain, menjawab pertanyaan Anda, penganiayaan psikis tidak digolongkan sebagai tindak pidana. Akan tetapi, ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan korban terhadap kekerasan atau penganiayaan secara psikis ini, yang dalam hukum perdata dikenal sebagai gugatan Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) dan dapat menuntut ganti rugi immateriil.
Berdasarkan penelusuran kami, undang-undang yang memberikan definisikekerasan psikis adalah Pasal 7 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan (“UU 23/2004”), yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Akan tetapi, dalam kasus Anda tentu saja tidak bisa menggunakan ketentuan dalam UU 23/2004 karena pacaran bukan lingkup rumah tangga.
Dalam praktiknya, jika seseorang melakukan kekerasan psikis terhadap orang lain, maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh korban adalah melakukan gugatan PMH sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”):
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
Lalu apa syarat agar gugatan dapat dikabulkan? Dalam artikel Merasa Dirugikan Tetangga yang Menyetel Musik Keras-keras dijelaskan antara lain bahwa Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya “KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan”, seperti dikutipRosa Agustina dalam buku “Perbuatan Melawan Hukum” (hal. 36) menjabarkan unsur-unsur PMH sebagai berikut:
a. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);
b. Perbuatan itu harus melawan hukum;
c. Ada kerugian;
d. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
e. Ada kesalahan.
Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), (hal. 117) yang dimaksud dengan “perbuatan melawan hukum”, antara lain:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;
3. Bertentangan dengan kesusilaan;
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Dalam hal ini, harus kembali dilihat, apakah perbuatan orang yang melakukan kekerasan psikis terhadap pacarnya itu telah memenuhi semua unsur-unsur dalam Pasal 1365 KUHPer di atas atau tidak. Jika telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer, maka pacar yang dianiaya secara psikis itu dapat menggugat pelaku.
Sebagai contoh kasus dapat Anda simak dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1517 K/Pdt/2009. Kasus ini bermula saat penumpang maskapai Singapore Airlines (penggugat) yang mengalami kecelakaan pada penerbangan SQ-006. Maskapai Singapore Airlines dalam kasus ini sebagai tergugat. Penggugat mengalami cidera dan cacat secara fisik dan mental (psikis). Akibat insiden ini, penggugat sampai melakukan pengobatan secara periodik ke beberapa dokter dan psikiater. Penggugat mengalami trauma psikis naik pesawat terbang sehingga tidak bisa lagi melakukan perjalanan dengan pesawat terbang, dan akibatnya terganggu dalam kelancaran melaksanakan pekerjaan dan tugas-tugasnya.
Penggugat menggugat atas dasar perbuatan melawan hukum. Pada pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum Tergugat sebesar Rp1 milyar, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menambahnya menjadi Rp1,5 milyar dan dikuatkan di tingkat kasasi. Singapore Airlines berkewajiban membayar ganti rugi materil maupun immateril kepada Sigit. Dari segi immateril, hakim memberi “hadiah” kepada Sigit sebesar Rp1 milyar. Menurut majelis, ganti rugi sebesar itu pantas diberikan kepada Sigit yang mengalami trauma emosional akibat kecelakaan pesawat. Pada ganti rugi materil, hakim memerintahkan agar Singapore Airlines membayar sebesar Rp504,3 juta. Alhasil, total Singapore Airlines dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 milyar. Penjelasan kasus selengkapnya dapat Anda simak dalam artikelSingapore Airlines Harus Bayar Ganti Rugi Rp1,5 Milyar.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar