Pertama harus diketahui terlebih dahulu bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).
Jika kedua orang tua ayah Anda masih hidup (kakek dan nenek Anda), ini berarti tanah tersebut bukan tanah warisan untuk ayah Anda. Akan tetapi, jika nenek Anda sudah meninggal, maka tanah tersebut setengahnya adalah milik kakek Anda dan setengahnya adalah milik ahli waris dari nenek Anda (ahli waris nenek Anda adalah kakek Anda dan anak-anak dari perkawinan mereka termasuk ayah Anda) sebagaimana diatur dalamPasal 832 KUHPer). Ini dengan asumsi kakek dan nenek Anda tidak membuat perjanjian perkawinan sebelum menikah.
Kami anggap saja nenek Anda telah meninggal dunia. Karena nenek Anda telah meninggal dunia, maka tanah tersebut adalah milik kakek Anda serta anak-anaknya termasuk ayah Anda. Untuk menjual tanah tersebut, dibutuhkan persetujuan dari semua pihak yang menjadi pemilik tanah tersebut. Jika anak dari kakek dan nenek Anda hanya ayah Anda saja, maka jual beli tersebut dapat dilakukan oleh kakek dan ayah Anda sebagai pemilik dari tanah tersebut. Lebih lanjut mengenai jual beli tanah warisan, silakan baca artikel Akibat Hukum Jual Beli Tanah Warisan Tanpa Persetujuan Ahli Waris.
Ini berarti, selama ayah Anda bisa mendapatkan persetujuan dari kakek Anda untuk menjual tanah tersebut, maka secara hukum ayah Anda tidak dapat disalahkan atas jual beli tersebut. Anda sebagai anak tidak mempunyai hak melarang ayah Anda menjual tanah warisannya karena itu memang hak dari ayah Anda sebagai salah satu pemilik dari tanah tersebut.
Akan tetapi, Anda bilang bahwa ayah Anda suka menjual warisannya untuk bersenang-senang dan kakek Anda tidak normal yang Anda simpulkan dari tindakan kakek Anda yang menuruti keinginan ayah Anda menjual tanah tersebut dengan iming-iming dari ayah Anda. Terkait hal ini, Anda bisa meminta pengampuan atas ayah Anda maupun kakek Anda.
Pada dasarnya seseorang bisa ditaruh di bawah pengampuan jika orang (dewasa) tersebut berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap,walaupun terkadang orang tersebut cakap menggunakan pikirannya. Selain itu, orang dewasa juga dapat ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan (Pasal 433 KUHPer).
Mengenai siapa yang dapat meminta pengampuan bagi orang dewasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 433 KUHPer, diatur dalam Pasal 434 KUHPer. Yang berhak meminta pengampuan adalah setiap keluarga sedarah. Akan tetapi, jika permintaan pengampuan didasarkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat.
Semua permintaan untuk pengampuan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya tempat berdiam orang yang dimintakan pengampuan (Pasal 436 KUHPer). Dalam surat permintaan pengampuan, harus disebutkan peristiwa-peristiwa yang menunjukkan keadaan orang tersebut yang membuat dia dimintakan pengampuan (keadaan dungu, gila, mata gelap atau keborosan) dengan bukti-bukti dan saksi-saksi (Pasal 437 KUHPer).
Mengenai bukti dalam permintaan pengampuan, pengajar hukum perdata Universitas Indonesia, Surini Ahlan Sjarief, juga menjelaskan hal serupa dalam artikel MA Batalkan Penetapan Pengampuan Prof. Sudargo, yaitu bahwa diperlukan bukti antara lain keterangan saksi dan ahli.
Dalam artikel tersebut, Surini Ahlan Sjarief berpendapat bahwa anggota keluarga bisa saja mengajukan permohonan pengampuan terhadap keluarganya. Syaratnya, orang yang hendak diampu mengalami penyakit idiot, gila, gelap mata, atau boros. Orang yang sudah pikun pun sangat mungkin dimohonkan pengampuan atas dirinya. Orang yang mengalami penurunan daya ingat karena pikun dan mempunyai kekayaan yang berlebih bila tidak ditaruh di bawah pengampuan dia akan dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Namun Surini mengingatkan bahwa tingkat kepikunan itu berbeda-beda. Sama halnya dengan syarat gila. Untuk menentukan kadar kepikunan atau kegilaan dan keborosan seseorang, hakim perlu mendengarkan keterangan saksi dan ahli.
Sedangkan mengenai tuntutan Anda atas hak-hak Anda sebagai anak, pada dasarnya seorang ayah tetap wajib membiayai anaknya walaupun sudah bercerai dengan istrinya, kecuali si ayah dinilai tidak mampu membiayai anaknya sehingga biaya tersebut ditentukan untuk dipikul oleh si ibu oleh Pengadilan. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Jika berdasarkan putusan pengadilan, ayah Anda yang mempunyai kewajiban atas biaya pemeliharaan dan pendidikan Anda, maka atas hal ini, Anda dapat menuntut ayah Anda yang meninggalkan kewajiban-kewajibannya terhadap Anda dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga(“UU PKDRT”). Dalam Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT diatur bahwa “setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut”. Orang yang melanggar pasal tersebut diancam pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (lihat Pasal 49 huruf a jo Pasal 9 ayat [1] UU PKDRT). Lebih lanjut mengenai ayah yang tidak memberikan nafkah, Anda membaca artikel Bisakah Menuntut Ayah Karena Tidak Memberi Nafkah?
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar