Serikat buruh menolak rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Menurut Presiden KSPI, Said Iqbal, rencana itu patut ditolak karena selama ini BPJS Kesehatan belum bisamemberi pelayanan optimal kepada peserta. Misalnya, masih banyak peserta yang harus mengantri panjang untuk mendapat pelayanan dan ditolak fasilitas kesehatan seperti RS. Bahkan, ada peserta yang terpaksa membeli obat sendiri.
“Selain pelayanan, manfaat yang diterima peserta juga tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang. Perintah Undang-Undang kan jelas biaya yang ditanggung itu tidak terbatas dan pelayanan diberikan seumur hidup,” kata Iqbal dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (13/3).
Iqbal melihat salah satu penyebab tidak optimalnya pelayanan BPJS Kesehatan karena sistem INA-CBGs. Sistem pembayaran paket kepada RS itu dinilai menghambat peserta memperoleh manfaat sebagaimana amanat UU SJSN dan BPJS. Misalnya, peserta yang mengalami tifus harus dirawat inap tujuh hari. Jika lebih dari tujuh hari peserta belum sembuh maka harus pulang.
Kemudian, Iqbal mempersoalkan jaringan fasilitas kesehatan (faskes) BPJS Kesehatan yang mengutamakan milik pemerintah. Sementara faskes swasta yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan jumlahnya terbatas. Padahal, jaringan faskes itu harus diperluas karena sekarang peserta BPJS Kesehatan jumlahnya mendekati 138 juta orang.
“Kami menuntut agar berbagai persoalan itu dibenahi terlebih dulu sebelum iuran BPJS Kesehatan dinaikan. Kalau tuntutan itu tidak diperhatikan maka akan muncul perlawanan mulai dari kampanye penolakan kenaikan iuran sampai pemogokan kerja,” ujar Iqbal.
Iqbal mengingatkan, pada kampanye Pilpres 2014 pasangan Joko Widodo Jusuf Kalla menjanjikan akan memperbaiki pelayanan kesehatan. Sayangnya, walau wacana itu masuk dalam Nawa Cita tapi sampai sekarang belum terimplementasi. Sebab dalam APBN-P 2015 tidak terlihat ada agenda untuk memperbaiki pelayanan kesehatan tersebut.
Padahal, dikatakan Iqbal, ketika pemerintah mencabut anggaran BBM bersubsidi harusnya ada tambahan anggaran untuk meningkatkan program jaminan kesehatan. Misalnya, kenaikan iuran dan perluasan peserta penerima bantuan iuran (PBI). Pemerintah malah berencana menarik uang rakyat lewat kenaikan iuran BPJS Kesehatan. “Kami menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan sistem INA-CBGs,” tukasnya.
Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan sedang dalam pembahasan untuk penyesuaian iuran PBI tahun 2016. Sampai saat ini belum diputuskan apakah kenaikan iuran itu untuk semua jenis peserta atau tidak. Tapi yang jelas besaran iuran PBI sebagai patokan dasar paling bawah.
Irfan menjelaskan yang mengusulkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu DJSN dan dibahas lintas kementerian. Hasil pembahasan itu akan dimasukan oleh pemerintah jadi bagian dari APBN untuk dibahas di DPR. BPJS Kesehatan bertugas menyiapkan data, pertimbangan dan perhitungannya.
Terkait besaran kenaikan iuran itu, Irfan menyebut BPJS Kesehatan berharap besaran iuran sesuai dengan manfaat yang diperoleh peserta. “Iuran yang sesuai dengan nilai keekonomian dan kewajaran. Harus sinkron dan sejalan antara paket manfaat yang ditetapkan, tarif untuk faskes dan besaran iuran,” jelasya kepada hukumonline lewat pesan singkat, Jumat (13/3).
Direktur Lembaga Analisis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan, Elkape, German E Anggent, menilai iuran PBI sudah semestinya naik karena tidak sesuai dengan harga keekonomian. Ia mencatat besaran iuran PBI sebagaimana usulan DJSN yakni Rp27.500 dinilai sudah memadai. Selain menaikan besaran iuran jumlah peserta PBI juga harus diperbanyak. “Kalau itu dilakukan kami yakni BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit,” paparya kepadahukumonline di Jakarta, Jumat (13/3).
Walau mendukung kenaikan iuran PBI, German menolak jika besaran iuran untuk pekerja formal dan peserta mandiri dinaikan. Sebelum itu dinaikan, BPJS Kesehatan harus mengoptimalkan pelayanannya. Kemudian mendorong agar peserta dari pekerja sektor formal atau penerima upah semakin meningkat dan rutin membayar iuran.
Tak ketinggalan German juga mengusulkan agar batas atas (plafon) iuran untuk peserta penerima upah dinaikan dari 2 kali PTKP jadi 4 kali PTKP. Ketika itu dilakukan maka dalam periode tertentu harus ada evaluasi untuk menaikan plafon tersebut karena idealnya 7 PTKP.
“Selain pelayanan, manfaat yang diterima peserta juga tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang. Perintah Undang-Undang kan jelas biaya yang ditanggung itu tidak terbatas dan pelayanan diberikan seumur hidup,” kata Iqbal dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (13/3).
Iqbal melihat salah satu penyebab tidak optimalnya pelayanan BPJS Kesehatan karena sistem INA-CBGs. Sistem pembayaran paket kepada RS itu dinilai menghambat peserta memperoleh manfaat sebagaimana amanat UU SJSN dan BPJS. Misalnya, peserta yang mengalami tifus harus dirawat inap tujuh hari. Jika lebih dari tujuh hari peserta belum sembuh maka harus pulang.
Kemudian, Iqbal mempersoalkan jaringan fasilitas kesehatan (faskes) BPJS Kesehatan yang mengutamakan milik pemerintah. Sementara faskes swasta yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan jumlahnya terbatas. Padahal, jaringan faskes itu harus diperluas karena sekarang peserta BPJS Kesehatan jumlahnya mendekati 138 juta orang.
“Kami menuntut agar berbagai persoalan itu dibenahi terlebih dulu sebelum iuran BPJS Kesehatan dinaikan. Kalau tuntutan itu tidak diperhatikan maka akan muncul perlawanan mulai dari kampanye penolakan kenaikan iuran sampai pemogokan kerja,” ujar Iqbal.
Iqbal mengingatkan, pada kampanye Pilpres 2014 pasangan Joko Widodo Jusuf Kalla menjanjikan akan memperbaiki pelayanan kesehatan. Sayangnya, walau wacana itu masuk dalam Nawa Cita tapi sampai sekarang belum terimplementasi. Sebab dalam APBN-P 2015 tidak terlihat ada agenda untuk memperbaiki pelayanan kesehatan tersebut.
Padahal, dikatakan Iqbal, ketika pemerintah mencabut anggaran BBM bersubsidi harusnya ada tambahan anggaran untuk meningkatkan program jaminan kesehatan. Misalnya, kenaikan iuran dan perluasan peserta penerima bantuan iuran (PBI). Pemerintah malah berencana menarik uang rakyat lewat kenaikan iuran BPJS Kesehatan. “Kami menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan sistem INA-CBGs,” tukasnya.
Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan sedang dalam pembahasan untuk penyesuaian iuran PBI tahun 2016. Sampai saat ini belum diputuskan apakah kenaikan iuran itu untuk semua jenis peserta atau tidak. Tapi yang jelas besaran iuran PBI sebagai patokan dasar paling bawah.
Irfan menjelaskan yang mengusulkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu DJSN dan dibahas lintas kementerian. Hasil pembahasan itu akan dimasukan oleh pemerintah jadi bagian dari APBN untuk dibahas di DPR. BPJS Kesehatan bertugas menyiapkan data, pertimbangan dan perhitungannya.
Terkait besaran kenaikan iuran itu, Irfan menyebut BPJS Kesehatan berharap besaran iuran sesuai dengan manfaat yang diperoleh peserta. “Iuran yang sesuai dengan nilai keekonomian dan kewajaran. Harus sinkron dan sejalan antara paket manfaat yang ditetapkan, tarif untuk faskes dan besaran iuran,” jelasya kepada hukumonline lewat pesan singkat, Jumat (13/3).
Direktur Lembaga Analisis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan, Elkape, German E Anggent, menilai iuran PBI sudah semestinya naik karena tidak sesuai dengan harga keekonomian. Ia mencatat besaran iuran PBI sebagaimana usulan DJSN yakni Rp27.500 dinilai sudah memadai. Selain menaikan besaran iuran jumlah peserta PBI juga harus diperbanyak. “Kalau itu dilakukan kami yakni BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit,” paparya kepadahukumonline di Jakarta, Jumat (13/3).
Walau mendukung kenaikan iuran PBI, German menolak jika besaran iuran untuk pekerja formal dan peserta mandiri dinaikan. Sebelum itu dinaikan, BPJS Kesehatan harus mengoptimalkan pelayanannya. Kemudian mendorong agar peserta dari pekerja sektor formal atau penerima upah semakin meningkat dan rutin membayar iuran.
Tak ketinggalan German juga mengusulkan agar batas atas (plafon) iuran untuk peserta penerima upah dinaikan dari 2 kali PTKP jadi 4 kali PTKP. Ketika itu dilakukan maka dalam periode tertentu harus ada evaluasi untuk menaikan plafon tersebut karena idealnya 7 PTKP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar