Bilamana pengusaha memaksa menaikkan jabatan pekerjanya, dalam arti tanpa persetujuan pekerja, maka menurut hemat kami, kemungkinannya hal tersebut dapat diartikan pengusaha telah memerintahkan karyawan untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, sementara karyawan hanya bersedia bekerja sesuai dengan isi perjanjian kerja sebelumnya. Konsekuensinya bila pekerja menolak, bisa menjadi perselisihan hak bilamana karyawan tetap bertahan pada pendiriannya bekerja di jabatan yang lama.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Pada dasarnya, hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha merupakan domain dari masing-masing pihak yang dituangkan dalam perjanjian kerja (“PK”), peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Hal ini sesuai dengan pengertian dari hubungan kerja dalamPasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”):
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.”
Oleh karena itu, jika pekerja menolak kenaikan jabatan, dalam arti pengusaha memaksa pekerja untuk menaikkan jabatan, maka kenaikan jabatan yang tertuang dalam PK menjadi batal demi hukum.
Hal ini sesuai dengan prinsip hukum perjanjian dalam Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) yang mengatur bahwa:
“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu.”
Ketentuan ini mengandung arti bahwapaksaan terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Jika suatu perjanjian dibuat di bawah ancaman, yakni ancaman bahwa pekerja akan dipecat tanpa pesangon, maka PK menjadi batal demi hukum. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Keabsahan Perjanjian yang Dibuat di Bawah Ancaman.
Dengan demikian, menurut hemat kami, pekerja yang dipaksa dinaikkan jabatannya dengan diancam akan dilakukan pemutusan hubungan kerja ("PHK") tanpa pesangon pada dasarnya mendapatkan ancaman dalam membuat persetujuan, sehingga pekerja tersebut tidak berkewajiban untuk menyelesaikan pekerjan pada jabatan barunya itu.
Anda mengatakan bahwa upah/gaji yang diberikan kepada pekerja yang jabatannya dipaksa dinaikkan itu “tidak sesuai”. Di sini kami asumsikan bahwa maksudnya adalah kenaikan jabatan tidak diimbangi dengan kenaikan upah/gaji.
Pada dasarnya, UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara tegas soal kenaikan gaji. Namun, UU Ketenagakerjaan mengamanatkan pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah sebagai salah satu kebijakan pengupahan [lihat Pasal 92 ayat (1) UU Ketenagakerjaan]:
(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta untuk mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan. Demikian yang disebut dalam Penjelasan Pasal 92 ayat (1) UU Ketenagakerjan.
Sedangkan Keputusan Menteri yang dimaksud dalam Pasal 92 ayat (3) UU Ketenagakerjaan adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-49/Men/IV/2004 tentang Ketentuan Struktur Dan Skala Upah (“Kepmenakertrans No. Kep-49/Men/IV/2004”)]. Dalam struktur dan skala upah tersebut, tergambar jenjang kenaikan upah standar yang mendasarkan/memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, (kualifikasi) pendidikan dan kompetensi kerja masing-masing pekerja/buruh serta mempertimbangkan kondisi perusahaan [lihat Pasal 92 ayat (2) UU Ketenagakerjaan jo Pasal 10 ayat [2] Kepmenakertrans No. Kep-49/Men/IV/2004]. Penjelasan lebih lanjut soal kenaikan gaji dapat Anda simak dalam artikel Kenaikan Gaji. Ini artinya, kenaikan upah didasarkan tidak hanya pada jabatan pekerja, tetapi juga dengan memperhatikan kondisi perusahaan.
Bilamana pengusaha memaksa menaikkan jabatan pekerjanya, dalam arti tanpa persetujuan pekerja, maka menurut hemat kami, kemungkinannya hal tersebut dapat diartikan pengusaha telah memerintahkan karyawan untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, sementara karyawan hanya bersedia bekerja sesuai dengan isi perjanjian kerja sebelumnya (saat ia tidak dipaksa naik jabatan). Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 169 ayat (1) huruf e jo. Pasal 93 ayat (2) huruf f jo. Pasal 54 ayat (1) huruf c dan d UU Ketenagakerjaan. Konsekuensinya adalah pekerja berhak untuk meminta PHK (Pasal 169 ayat (1) huruf e UU Ketenagakerjaan). Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam artikel Bolehkah Pengusaha Merotasi Karyawan Secara Sepihak?
Dalam artikel tersebut juga disebutkan konsekuensi lainnya, yaitu bila pekerja menolak, bisa menjadi perselisihan hak bilamana karyawan tetap bertahan pada pendiriannya bekerja di jabatan yang lama. Soal langkah hukum, pekerja dapat menempuh upaya bipatrit, yaitu membicarakan secara musyawarah terlebih dahulu mengenai masalah ini antara pengusaha dan pekerja (Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial- “UU PPHI”).
Perundingan ini harus dilaksanakan paling lambat 30 hari berdasarkanPasal 3 ayat (2) UU PPHI. Apabila perundingan bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur tripartit yaitu mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan [Pasal 4 ayat (1) UU PPHI].
Nantinya, pekerja dan pengusaha ditawarkan upaya penyelesaian perselisihan. Untuk perselisihan hak, upaya penyelesaian perselisihan yang dapat dipilih salah satunya adalah Mediasi Hubungan Industrial.
Mediasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikatpekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral [Pasal 1 angka 11 UU PPHI].
Dalam hal penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 5 UU PPHI).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-49/Men/IV/2004 tentang Ketentuan Struktur Dan Skala Upah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar