elaku bullying terhadap anak dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) yakni pasal tentang perlakuan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Bullying merupakan suatu aksi atau serangkaian aksi negatif yang seringkali agresif dan manipulatif, dilakukan oleh satu atau lebih orang terhadap orang lain atau beberapa orang selama kurun waktu tertentu, bermuatan kekerasan, dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan. Pelaku biasanya mencuri-curi kesempatan dalam melakukan aksinya, dan bermaksud membuat orang lain merasa tidak nyaman/terganggu, sedangkan korban biasanya juga menyadari bahwa aksi ini akan berulang menimpanya. Demikian antara lain yang dijelaskan dalam artikel Bullying Pada Institusi Pendidikan Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum yang kami akses dari laman resmi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron.
Anda spesifik bertanya soal bullying terhadap anak. Melihat dari bagaimana bullying itu dilakukan, maka Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”)telah mengatur bahwa setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak. Bagi yang melanggarnya akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah) [lihat Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014].
Pasal 80 UU 35/2014:
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Praktiknya, bullying kerap dialami anak di lingkungan sekolahnya.Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Raykat (Menko Kesra)–saat itu dijabat- HR. Agung Laksono dalam artikel Menko Kesra: Anak Muda Sulit Diingatkan, Banyak Kasus Bullying Di Sekolahyang kami akses dari laman resmi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat mengatakan banyaknya kasus bullying di sekolah akibat tontonan TV yang tidak mendidik. Tontonan TV kerap menampilkan adegan-adegan kekerasan yang seharusnya disensor untuk anak-anak.
Jika bullying ini dilakukan di lingkungan pendidikan, maka kita perlu melihat juga Pasal 54 UU 35/2014 yang berbunyi:
(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.
Ini artinya, sudah sepatutnya peserta didik di sekolah mendapatkan perlindungan dari perilaku bully yang berupa tindak kekerasan fisik maupun psikis.
Apabila bullying itu dilakukan pada masa diselenggarakannya perpeloncoan di sekolah atau yang dikenal dengan nama Masa Orientasi Sekolah (MOS), dasar hukum yang mengaturnya adalah Surat Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 1383/C.C4/MN/2010 tentang Pelaksanaan MOS yang antara lain mengatakan bahwa agar kegiatan MOS berjalan sesaui dengan yang diharapkan dan tidak terjadi bias, seperti adanya bullying, perpeloncoan, pemalakan, dan hal-hal negatif lainnya; maka seluruh kegiatan MOS dilaksanakan, dibimbing, dan diawasi guru. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Bolehkah Kakak Kelas Menghukum Adik Kelas?.
Walaupun atas tindak kekerasan tersebut ada sanksi pidana, bagaimanapun juga, menurut hemat kami, pilihan jalur tuntutan pidana hendaknya dijadikan upaya hukum terakhir setelah upaya perdamaian telah dilakukan. Sebagai contoh adalah dengan melalui jalur mediasi antara pelaku bullying dengan korban. Dalam artikel Kronologi "Bullying" di SMA Don Bosco diberitakan soal pengakuan korban yakni siswa baru yang diminta duduk dan menunduk. Satu per satu wajah siswa ditutup menggunakan jaket. Kemudian, di antara mereka ada yang mengalami tindak kekerasan, antara lain ditempeleng, dipukul, dan disundut rokok.
Pihak sekolah telah mengundang semua orangtua murid yang menjadi korban dan siswa senior sebagai pelaku bullying yang diduga terkait untuk melakukan mediasi. Pihak sekolah mencoba mengonfrontasi dan mencocokkan informasi berdasarkan keterangan korban.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anaksebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
2. Surat Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 1383/C.C4/MN/2010 tentang Pelaksanaan MOS.
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar