TINJAUAN ATAS PERMOHONAN PERKARA
PAILIT TERKAIT PERAN DAN TANGGUNGJAWAB PENJAMIN (PERSONAL GUARANTEE)
A. Latar Belakang
Di dalam dunia bisnis serta era
global seperti sekarang ini kegiatankegiatan usaha tidak mungkin lepas dari
berbagai masalah. Suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan
seringkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan
tersebut tidak lagi sanggup membayar utang-utangnya. Dapat dikatakan bahwa
kehidupan suatu perusahaan dapat saja dalam kondisi untung atau dalam keadaan
rugi. Kalau dalam keadaan untung, perusahaan berkembang dan terus berkembang,
sehingga menjadi perusahaan raksasa. Sebaliknya apabila perusahaan menderita
kerugian, maka garis hidupnya menurun, jadi garis hidup suatu perusahaan pada suatu
saat dapat naik dan pada saat lain menurun, begitu seterusnya, sehingga garis
hidup perusahaan itu merupakan garis yang menaik dan menurun seperti grafik.
Suatu perusahaan membutuhkan uang sebagai dana untuk dapat melaksanakan
kegiatan usahanya. Namun tidaklah selamanya badan hukum memiliki uang yang
cukup untuk memenuhi segala kebutuhannya. Untuk menutupi kekurangan uang
tersebut, badan hukum seringkali meminjam uang yang dibutuhkan kepada pihak
lain, seperti bank yang memberikan pinjaman dengan penyertaan adanya bunga. Di
sini pihak yang memberikan pinjaman uang disebut kreditur atau si berpiutang,
sedangkan pihak yang menerima pinjaman disebut debitur atau si berutang.
Pemberian pinjaman atau kredit yang diberikan kreditur kepada debitur dilakukan
karena adanya kepercayaan bahwa debitur dapat mengembalikan pinjaman tersebut
kepada kreditur tepat pada waktunya. Tanpa adanya kepercayan dari kreditur,
tidaklah mungkin kreditur mau memberikan pinjaman kepada debitur, hal ini
disebut dengan kredit (credit) yang berasal dari kata credere
yang berarti kepercayaan atau Trust. Ketika terjadi krisis moneter di
pertengahan tahun 1997 yang telah melanda hampir seluruh belahan dunia dengan
dampaknya yang buruk terhadap perekonomian nasional dan dunia usaha. Dunia usaha
merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang melanda
dan tidak sedikit juga dunia usaha yang gulung tikar. Dalam kondisi yang sangat
tidak menguntungkan dan serba tidak menentu, persoalan yang paling krusial pada
waktu itu adalah bagaimana penyelesaian utang–piutang di kalangan dunia usaha.
Para kreditur baik asing maupun lokal dengan segala daya upayanya mendesak agar
para debitur yang mayoritas adalah pengusaha swasta nasional segera melunasi
kewajibannya. Situasi dunia usaha saat itu menjadi tidak kondusif dalam
melunasi utang, sebab kewajiban dalam waktu singkat telah berkembang menjadi
berlipat ganda akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap semua mata uang
asing lainnya, apalagi sebagian besar pinjaman adalah dalam bentuk mata uang
asing, sedangkan pendapatan usaha dalam bentuk rupiah dan kegiatan usaha telah
lumpuh sebagai akibat dari krisis moneter di Indonesia pada waktu itu telah
berubah menjadi krisis multi dimensional. Segala upaya dilakukan oleh
pemerintah untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut
yang berakibat pula tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah
jatuh tempo, yang antara lain dengan melakukan perubahan-perubahan yang cukup
signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan
merevisi Undang-undang Kepailitan yang ada.
Revisi atas Undang-undang Kepailitan
yang hendak dilakukan oleh pemerintah sebenarnya timbul sebagai akibat dari
adanya tekanan dari Dana Moneter Internasional/ Internasional Monetery Fund
(IMF) yang mendesak agar Indonesia segera menyempurnakan sarana hukum yang
mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh debitur kepada kreditur.
Akhirnya Dana Moneter Internasional/ Internasional Monetery Fund (IMF)
berpendapat untuk mengatasi krisis dan menyelesaikan utang–piutang di Indonesia
dilakukan dengan cara memberikan bantuan dana, adanya keharusan penyelesaian
utang-utang luar negeri di kalangan dunia usaha dan upaya penyelesaian kredit
macet perbankan Indonesia dengan mensyaratkan agar pemerintah Republik
Indonesia segera mengganti atau mengubah peraturan tentang kepailitan yang
berlaku di Indonesia, karena peraturan-peraturan tentang kepailitan yang ada
dianggap tidak lagi efektif sebagai sarana penyelesaian utangutang pengusaha
Indonesia kepada para krediturnya. Masalahnya adalah bagaimana nantinya dan apa
yang diperlukan untuk membantu dunia usaha untuk mengatasi ketidakmampuan para
debitur atau pengusaha untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para
kreditur.
Secara teoritis, pada umumnya
utang-piutang debitur yang memiliki masalah dengan kemampuan untuk memenuhi
kewajibannya membayar utang menempuh berbagai alternatif penyelesaian. Mereka
dapat merundingkan permintaan penghapusan utang, baik untuk sebagian atau
seluruhnya. Mereka dapat pula menjual sebagian aset atau bahkan usahanya.
Mereka dapat pula mengubah pinjaman tersebut menjadi penyertaan saham. Para
kreditur dapat menggugat berdasarkan perundang-undangan Hukum Perdata yaitu
mengenai wanprestasi atau ingkar janji bila debitur mempunyai keuangan atau
harta yang cukup untuk membayar utang-utangnya. Selain kemungkinan di atas,
bila debitur tidak mempunyai keuangan, harta atau asset yang cukup sebagai
jalan terakhir barulah para kreditur menempuh pemecahan melalui peraturan
kepailitan yaitu Undang-Undang Kepailitan No.37 Tahun 2004 dengan cara
mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga di daerah wilayah
hukumnya. Kepalitan merupakan proses dimana: Seorang debitur yang mempunyai
kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan,
dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat
membayar utangnya; Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai
dengan peraturan kepailitan.
Dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, hukum memberikan jaminan kepada kreditur bahwa apabila debitur
karena sesuatu hal tidak melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan,
maka harta kekayaan debitur, baik bergerak maupun tidak bergerak yang telah ada
dan akan ada di kemudian hari, akan menjadi agunan hutangnya dapat dijual untuk
pelunasan pinjaman atau kredit yang diberikan kreditur.
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyebutkan : ”Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak
maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Sedangkan dalam
Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, memberikan jaminan kedudukan yang
seimbang bagi krediturnya dimana dalam hal ini krediturnya lebih daripada satu.
Kedudukan yang seimbang antar kreditur dapat dikecualikan apabila ditentukan
lain oleh undang-undang karena alasan yang sah untuk didahulukan oleh kreditur
lainnya.
Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan: “Kebendaan
tersebut menjadi jaminan bersama–sama bagi semua orang yang mengutangkan
padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan,
yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali antara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Pasal 1133 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa seorang kreditur didahulukan
daripada kreditur lainnya apabila tagihan kreditur yang bersangkutan merupakan
: Tagihan yang berupa hak istimewa; Tagihan yang dijamin dengan hak gadai;
Tagihan yang dijamin dengan hipotik
Kepailitan adalah lembaga hukum
perdata sebagai realisasi dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata diatas. Pernyataan pailit merupakan hal yang sangat ditakuti oleh
para debitur terutama setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998
tentang kepailitan (Undang-Undang yang pertama mengatur tentang Kepailitan).
Sebelumnya masalah kepailitan belum begitu terdengar gaungnya di dunia hukum
bisnis Indonesia. Menurunnya popularitas kepailitan mungkin dapat dijelaskan
dengan merunjuk pada riwayat hukum kepailitan itu sendiri. Sejak revisi
terakhir dalam staatsblad 1906 No. 348, praktis tidak terdapat perubahan yang
berarti terhadap substansi peraturan kepailitan. Sejak kemerdekaan Indonesia
struktur ekonomi Indonesia yang semakin berkembang telah sedikit banyak merubah
karateristik dunia usaha Indonesia, dari yang tadinya didominasi oleh pedagangpedagang
dengan modal kecil dan menengah, kepada struktur usaha yang semakin industrialis,
dimana bermunculan pengusaha-pengusaha dengan skala kegiatan yang membutuhkan
modal yang sangat besar dengan transaksi bisnis yang semakin kompleks. Lahirnya
Undang-Undang Kepailitan (UU No. 4 Tahun 1998 dan UU No. 37 Tahun 2004) ini
telah menimbulkan resonansi yang kuat dalam dunia bisnis di Indonesia.
Kepailitan yang tadinya merupakan suatu proses yang cenderung tertutup, tidak
menjadi fokus publik, serta tidak menarik untuk di konsumsi media menjadi
proses yang gemerlap.
Dalam perkembangannya sekarang ini
dalam mengatasi kepailitan, sebuah perusahaan atau badan hukum memberikan suatu
garansi atau jaminan kepada pihak pihak kreditur dalam pelunasan hutangnya.
Jaminan ini dapat berupa jaminan materiil (kebendaan) dan jaminan imateriil
yaitu perseorangan atau badan hukum. Jaminan imaterill atau perseorangan maupun
badan hukum memberikan garansi yang disebut guarantee kepada perusahaan
yang akan pailit sebagai pengangung jaminan hutangnya. Berkaitan dengan
pemberian garansi yang biasanya diminta oleh perbankan dalam pemberian kredit
bank, dengan adanya undang-undang ini seorang penjamin atau penanggung yang
memberikan personal guarantee. Selama ini sering tidak disadari baik
oleh bank maupun oleh para pengusaha bahwa seorang personal guarantor dapat
mempunyai konsekuensi hukum yang jauh apabila personal guarantor itu tidak
melaksanakan kewajibannya. Konsekuensinya ialah bahwa guarantor (personal
guarantee) dapat dinyatakan pailit. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, penjaminan atau penanggungan diatur dalam Pasal 1831 sampai dengan
Pasal 1850. Dari ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata tersebut itu dapat
disimpulkan bahwa seorang penjamin atau penanggung adalah juga seorang debitur.
Mengenai penanggungan ditegaskan dalam Pasal 1820 KUH Perdata, yang menyatakan
bahwa : “Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak
ketiga, guna kepentingan si berutang, mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”.
B. Perumusan Masalah
1.
Siapkah
yang dimaksud dengan penjamin (personal guarantee) dalam hukum
kepailitan?
2.
Bagaimanakah
peranan dan tanggung jawab penjamin (personal guarantee) di dalam
permohonan perkara pailit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar