Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, industri pembiayaan tak wajib melakukan perjanjian fidusia karena dipisahkan dari perjanjian kredit. “Undang-Undang No.42 Tahun 1992 memang dipisahkan dari perjanjian kredit dan tidak diwajibkan," kata Kepala Eksekutif Lembaga Keuangan Nonbank OJK, Firdaus Djaelani di Jakarta, Selasa (29/1).
OJK, lanjutnya akan menerapkan peraturan sesuai dengan UU 42 Tahun 1992. Serta tidak merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia sebagai acuan dalam pelaksanaan fidusia. Menurut dia, industri pembiayaan boleh mendaftarkan secara sukarela jaminan fidusia.
Pernyataan itu mendapat respon positip dari industri pembiayaan. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Wiwie Kurnia mengatakan penegasan OJK akan membantu pertumbuhan bisnis di sektor tersebut. "Hal tersebut membantu kami untuk bisa lebih tumbuh dengan lancar," katanya.
Ia mengungkapkan pemberlakuan PMK Nomor 130/PMK.010/2012 tersebut tidak memberikan dampak positif bagi pertumbuhan industri pembiayaan. Karena, biaya administrasi akan meningkat, frekuensi pungutan liar semakin tinggi, dan membuat konsumen nakal semakin memainkan peran negatifnya.
Sementara kewajiban jaminan fidusia akan meningkatkan rasio kredit macet (non performing loan/NPL). Karena perusahaan pembiayaan harus menunggu sertifikat terlebih dahulu.
"Padahal kendaraan yang mau ditarik sudah masuk jatuh tempo sehingga banyak konsumen memanfaatkan waktu untuk menghindar dari kewajiban penarikan kendaraan," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar