Forum guru besar, dosen, dan masyarakat sipil pendidikan peduli pendidikan dari berbagai universitas mendatangi MK. Di antaranya, dari UGM, UI, ITB, Universitas Airlangga, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Mereka mengadukan kerisauan perkembangan dunia pendidikan, khususnya carut marutnya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) khususnya untuk tingkat SMA yang tidak serentak dan bermasalah.
“Padahal pendidikan itu penting sebagai bentuk pembebasan manusia, namum faktanya malah membuat orang tua dan murid bahkan guru menjadi stres, lalu dimana letak pembebasannya,” papar Guru Besar UI Riris K Toha Sarumpaet di saat berudiensi dengan Ketua MK dan beberapa hakim konstitusi di Gedung MK, Rabu (24/4).
Sementara itu, Rektor UPI Sunaryo Kartadinata menilai dalam sebuah sistem pendidikan nasional sudah seharusnya memberikan perbaikan terhadap mutu pendidikan. Namun, sistem pendidikan UN hingga saat ini belum memberikan feedback yang baik dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. “Sehingga kita perlu evaluasi untuk perbaikan mutu pendidikan secara menyeluruh,” kata Sunaryo.
Bagi Sunaryo, yang terpenting saat ini bagaimana menyamakan persepsi atau bahasa antara pemerintah, guru, orang tua dan murid tentang UN. Dirinya, melihat hingga saat ini tidak ada persamaan pandangan yang menyebabkan adanya kesenjangan persepsi.
“Jadi harus ada persamaan persepsi apa itu konsep UN, jika belum ada itu akan membuat kesenjangan yang sangat lebar, saya rasa perlu ada diagnosis atas regulasi pendidikan,” lanjutnya.
Sementara Dosen Fakultas Filsafat UI, Gadis Arivia mengingatkan dalam UUD 1945 mengamanatkan akses pendidikan untuk semua warga negara. “UN ini tidak memberikan akses pemerataan pendidikan untuk semua. Ini bertentangan dengan UUD 1945, sehingga merasa perlu dibatalkan,” kata Gadis Arivia.
Gadis menegaskan pelaksanaan UN sangat diskriminatif dan menutup akses semua siswa yang ingin memasuki sekolah. Faktanya, UN memang sudah dianggap gagal total. Hal itu bertentangan dengan filosofi pendidikan itu sendiri yakni memajukan pendidikan bangsa dan membuka akses seluas-luasnya kepada siswa.
“Tetapi ternyata itu gagal dan tidak tercapai. Makanya, guru besar, dosen dari pendidikan tinggi turun semua untuk menyelamatkan,” katanya.
Pandangan lain disampaikan Pakar Komunikasi Politik Effendi Gazali yang mewakili masyarakat sipil. Ia mempertanyakan, seberapa konstitusionalkah pelaksanaan UN tahun 2013. “Sebenarnya kita tidak dalam posisi menentang UN, meski dalam Pasal 58 UU Sisdiknas ada standarisasi yang tujuannya pemetaan,” kata Gazali.
Dia tegaskan banyak peserta didik yang tidak menikmati pelaksanaan UN secara sama. Padahal, hak konstitusional mereka sama. Namun, yang terjadi pelaksanaan UN diskriminatif bagi peserta didik. Hal itu tampak jelas dengan fenomena ketidakserentakan pelaksanaan UN, ada siswa yang terlambat mendapat soal ujian hingga dua hari kemudian.
“Di beberapa daerah, ada siswa yang mendapat soal ujian atau lembar jawaban asli dan foto copy, lalu harus disalinkan oleh siswa lain. Anak-anak peserta didik yang mengalami diskriminasi itu hak konstitusional terjamin atau tidak?” katanya.
Menanggapi keluhan itu, Ketua MK, M. Akil Mochtar mengatakan pihaknya tidak bisa dalam posisi memberikan jawaban apakah ada pelanggaran konstitusional dalam pelaksanaan UN. “Sebenarnya kami tidak dalam posisi memberikan pandangan atau sikap, terlebih UU Pendidikan Tinggi sedang diuji di MK,” kata Akil.
Jika MK mengeluarkan pendapatnya dikhawatirkan akan muncul berbagai persepsi di masyarakat. Terutama, bagi pihak yang berperkara di MK. “Tetapi, kami membuka diri atas semua masukkan yang disampaikan sebagai bahan pengayaan materi bagi kami,” kata Akil Mochtar yang didampingin hakim konstitusi lainnya.
Akil mengingatkan pendapat MK dalam suatu persoalan yang dianggap melanggar konstitusi atau tidak hanya bisa dilihat dalam putusan MK. karenanya, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menyarankan jika ada masalah yang muncul dari UU terkait pelaksanaan UN, maka bisa mengajukan secara formal ke MK dalam bentuk uji materi. “Kami akan keluarkan pendapat kami dalam bentuk putusan,” imbuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar