Pemerintah pusat dirasa perlu mengendalikan pengeluaran izin usaha pertambangan (IUP) olehpemerintah daerah (Pemda).Indonesian Resources Studies (Iress) berpandangan, mudahnya penerbitan IUP oleh Pemda kerap menjadi pemicu sengketa lahan tambang antara masyarakat dengan pengusaha.
Direktur Eksekutif Iress, Marwan Batubara, mengatakan KPK menemukan ada lebih dari 4 ribu izin tambang batubara bermasalah di sejumlah daerah Indonesia. Menurutnya, hal itu disebabkan tingginya biaya politik lokal sehingga mendorong oknum Pemda untuk mengeluarkan IUP secara mudah.
“Jumlah izin yang dikeluarkan pemda, secara signifikan naik menjelang pemilu pilkada,” kata Marwan di DPR, Kamis (29/12).
Menurutnya, kabupaten yang paling banyak mengeluarkan IUP adalah Kabupaten Kutai Kertanegara, disusul Kaltim, Kalsel dan Sumatera Selatan. Padahal, kata Marwan, sikap eksploitatif yang menguras sumber daya alam (SDA) di beberapa daerah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif bagi rakyat seperti pencemaran lingkungan, banjir, krisis air bersih, dan kerusakan jalan. Parahnya, kegiatan pertambangan umumnya tidak pernah melibatkan masyarakat.
Oleh sebab itu, dalam pengelolaan SDA, lanjut Marwan, peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) harus diperkuat. BUMN menjadi pengelola utama yang memiliki sejumlah hak seperti konsesi pengelolaan, peningkatan modal, jaminan kredit, dan penetapan status sebagai non-listed public company. Sementara BUMD menjadi wakil daerah dalam menjalankan kepentingan bisnis SDA.
Pernyataan Marwan senada dengan Ketua Fraksi PKS DPR Mustafa Kamal. Menurutnya, renegosiasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) berjalan semakin lambat sejak Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) diundangkan. Dimana KK yang menganut sistem lex specialis atau nail down (berlaku tetap sepanjang KK) menjadi salah satu faktor tersendatnya proses renegosiasi.
“Sebagian besar pemegang KK atau PKP2B masih menolak beberapa pasal–pasal dalam kontrak yang akan di amandemen,” ujar Mustafa dalam acara refleksi akhir tahun yang diselenggarakan Fraksi PKS, Rabu (28/12).
Dia mecontohkan dalam kasus PT Freeport Indonesia. Menurutnya, perusahaan tambang itu masih belum setuju dilakukannya amendemen terhadap pasal-pasal terkait luas wilayah konsesi kontrak karya, periode operasi, pajak-pajak dan lain-lain yang terkait dengan keuangan perusahaan serta terkait penunjukan dan tanggung jawab perusahaan yang selama ini belum dijalankan.
Mustafa menyarankan perlunya konsistensi dan kemauan kuat dari pemerintah dalam melakukan renegosiasi KK dan PKP2B berdasarkan amanat UU Minerba. Selama ini yang terjadi, pemerintah memperlemah posisinya sendiri. Padahal instrumen perundang-undangan memberikan wewenang yang kuat kepada pemerintah.
“Pemerintah harus berani melakukan moratorium atau penundaan penerbitan IUP. Selama moratorium, pemerintah pusat dan daerah harus berhenti menerbitkan IUP baru dan melakukan evaluasi dan verikasi secara langsung ke lapangan, terutama terhadap KP/IUP yang diduga bermasalah,” tegasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar