UJIAN MID SEMESTER TA.2009-2010
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM-MAGISTER HUKUM
BISNIS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hari/Tanggal Ujian : Selasa / 16 November 2010
Waktu Ujian : 19.00-20.40 Wib
Mata Kuliah : Hukum Kontrak Bisnis
Jenis Ujian : Mid Semester – TAKE HOME EXAM – dikumpulkan
Pada Senin, 22 November 2010
Dosen Penanggung Jawab : Prof.Dr.Ningrum
Natasya Sirait,SH.,MLI
Nama Mahasiswa : Jonathan P.M.Sibarani
Nomor Induk Mahasiswa : 097005021
Jawaban
1.a. Konvensi
internasional yang mengatur mengenai transaksi dalam
perjanjian jual beli barang (sales of
goods) adalah United Nations Conventions On Contracts For The International Sale of
Goods (CISG). Dasar dari ketentuan ini adalah tujuan luas dalam
resolusi yang diambil dalam sidang khusus keenam dari Sidang umum Perserikatan
Bangsa - bangsa tentang pembentukan orde ekonomi internasional baru dengan
mempertimbangkan bahwa perkembangan perdagangan internasional atas dasar
persamaan dan keuntungan bersama merupakan suatu unsur yang penting dalam upaya
mendorong hubungan bersahabat antar negara.
Konvensi
ini memiliki lingkup penggunaan terhadap kontrak penjualan barang-barang antara pihak-pihak
yang tempat bisnisnya berada di negara yang berbeda dan negara tersebut terikat
kepada kontrak maupun aturan hukum perdata internasional menuntun kearah
penggunaan hukum negara yang ikut kontrak. Konvensi ini juga tidak memandang
nasionalitas dari para pihak maupun ciri kewarganegaraan atau komersial dari
pihak-pihak atau yang menyangkut sepanjang para pihak tunduk akan ketentuan
konvensi ini.
Konvensi ini tidak berlaku bagi barang yang dibeli oleh untuk keperluan pribadi ,keluarga atau rumah tangga , barang lelang, dalam eksekusi,bursa, saham, surat berharga,instrumen perbankan atau uang, kapal, perahu,kapal cepat atau pesawat terbang. Konvensi ini hanya mengatur pembuatan kontrak penjualan dan hak –hak dan kewajiban dari penjual dan pembeli yang timbul dari kontrak itu,kecuali disebut secara tegas dalam konvensi ini.
Konvensi ini tidak berlaku bagi barang yang dibeli oleh untuk keperluan pribadi ,keluarga atau rumah tangga , barang lelang, dalam eksekusi,bursa, saham, surat berharga,instrumen perbankan atau uang, kapal, perahu,kapal cepat atau pesawat terbang. Konvensi ini hanya mengatur pembuatan kontrak penjualan dan hak –hak dan kewajiban dari penjual dan pembeli yang timbul dari kontrak itu,kecuali disebut secara tegas dalam konvensi ini.
Hal
–hal yang terkait dengan materi yang tidak jelas diatur dalam konvensi harus
diselesaikan ddengan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya namun bila prinsip
itu tidak ada maka haruslah merujuk kepada ketentuan hukum perdata
internasional.
1.b. Konvensi International yang mengatur mengenai transaksi dalam
hal pengangkutan adalahh International Commercial Terms (INCOTERMS).
INCOTERMS
adalah suatu perangkat aturan internasional untuk menterjemahkan syarat
perdagangan internasional yang sering dipakai , bila seragam maka penafsiran
yang bermacam-macam dapat dihindarakan. INCOTERMS sendiri telah bean berapa
kali dirubah dimulai tahun 1936,1953,1967,1976,1980,1990, terakhir tahun 2000.
INCOTERMS disusun lembaga bernama International Chamber of Commerce (ICC) guna mengurangi perbedaan penafsiran terhadap syarat perdagangan dengan mengeluarkan syarat dan aturan bagi perdagangan internasional.
INCOTERMS disusun lembaga bernama International Chamber of Commerce (ICC) guna mengurangi perbedaan penafsiran terhadap syarat perdagangan dengan mengeluarkan syarat dan aturan bagi perdagangan internasional.
Hal
ini dilakukan karena meningkatnya pemakaian electronic data interchange (EDI)
dan dalam inconterms dimungkinkan untuk memberikan berbagai dokumen seperti commercial invoicec yang dibutuhkan untuk
bea cukai ataupun pengangkutan. Ketika Bill
of Lading dibutuhkan maka dapat digunakan EDI dan hal ini dapat membuktikan
kedudukan hukum yang layak ketika sudah menerima BL dari penjual. Alasan lain
juga adalah khusus dalam pengiriman barang, menggunakan sistim multimode dan
apa yang disebut dengn rool on rool of
traffic yang menggunakan alat pengangkutan darat dan kereta api dalam short sea maritime transport . Multimoda merupakan sistem pengangkutan
antar negara yang menggunakan lebih dari satu mode pengangkutan dengan hanya
menggunakan satu dokumen perjanjian (kontrak) dalam incoterms 1990 dikenalkan
dengan sistim baru dengan menyebutkan bentuk pengangkutan tanpa memperhatikan mode
(alat) dari kombinasi yang berbeda.
Dari
mode transport yang digunakan ada 4 penggolongan mode transport yang dimuat
dalam incoterms yaitu :
1.
Setiap mode pengangkutan termasuk
multimode,syarat yang digunakan adalah :EXW (EX works, disebutkan tempatnya),FCA (Free carrier: disebutkan tempat tujuanya),CIP (Carriage and insurance paid to (disebutkan tempat tujuanya),DAF (Delivered at Frontier) disebutkan
tempatnya,DDU ( Delievery Duty unpaid (disebutkan
tempat tujuanya dan DPP (Delivery Duty
Paid) disebutkan tempat tujuannya.
2.
Air Transport (udara) syrat yang
digunakan adalah FCA (Free Carrier,
disebutkan tempatnya) .
3.
Kereta api syarat yang digunakan adalah
FCA ,sebutkan tempatnya.
4.
Kapal Laut dan Darat,syarat yang
digunakan adalah FLS (Free Longside Ship)
disebutkan pelabuhan pengiriman,FOB (free
on board) , disebutkan pelabuhan pengiriman dan CFR ( Cast and Freight,disebutkan pelabuhan pengiriman,CIF (Cost Insurnce Freight ) disebutkan
tujuan pelabuhan , DES (Delivered Ex Ship
disebutkan tujuan pelabuhan) dan DEQ
(delivered ex Quey (disebutkan tujuan
pelabuhan).
Dalam Incoterms harus diperhatikan masuk dalam
kelompok manakah acara yang disepakati oleh penjual dan pembeli dalam klausula
transportasi kontraknya Walaupun
demikian karena variatifnya kebiasaan dari pembeli maupun penjual ,maka kedua
belah pihak diwajibkan untuk saling memberitahukan kebiasaan tersebut yang dapatsaja mempengaruhi pembayaran maupun
penafsiran dalam dalam klausula kontrak. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah yang berhubungan dengan bea cukai dimana dapat menimbulkan keesulitan
dalam izin impor an juga bea masuk (VAT atau pengurangan PPn ,dll). Pengepakan
dan pengemasan harus diketahui dengan standar yang berlaku dan disesuaikan dengan
permintaan pengangkut. Demikian juga mengenai pemeriksaan terhadap
barang,karena pembeli dapat saja menganjurkan atau mensyaratkan untuk melakuka
pemeriksaan sebelum serah terima yang disebut dengan Pre shipment Inspection, biasa oleh SI. Kecuali bila diperjanjikan
,maka pembeli yang biasanya memikul biaya pemeriksaan untuk kepentingan
sendiri.
Kelompok dalam
INCOTERMS
Kelompok F : syarat perdagangan FCA dapat digunakan
bila penjual memenuhi kewajibanya dengan cara menyerahka barang kepada
pengangkut yang ditunjuk oleh pembeli, sehingga penjual harus menyerahkan
barang yang akan diangkut sesuai dengan instruksi pembeli. Karen pembelilah
yang mempunyai kewajiban untuk membuat perjanjian pengangkutan dan menunjuk
pengangkut.
Kelompok C : Penjual wajib melaksanakan perjanjian
pengangkutan sesuai dengan persyaratan yang biasa berlaku dan atas biayanya
sendiri. Harus disebutkan sampai mana penjual harus membayar biaya pengangkutan
dan juga sekaligus mengatur dan menanggung biaya asuransi. Kategori ini sama dengan
F disebutkan sebagai Shipment contract karena perjanjian penjualan menunjuk bahwa
penjual secara yuridis telah memenuhi kontraknya dinegara pengapalan atau
pemberangkatan.
Kelompok C berbeda dengan yang lain dan memiliki 2
point penting ,yaitu mengenai pembagian biaya dan mengenai pembagian resiko.
Sehingga harus ada titik yang jelas yang memastikan bahwa penjual telah
menyelesaikan seluruh kewajibanya dan tidak akan menannggung resiko atau biaya
apapun lagi sesudah tanggung jawabnya selesai.
Kelompok D: dimana penjual bertanggung jawab sampai
tibanya barang di tempat atau dititik tujuan sehingga memikul resiko dan biaya
dalam membawa barang sampai tiba ditempat. Kelompok ini disebut dengan Arrival Contract (bedakan dengan shipment contract kelompok c).
1.c. Konvensi International yang mengatur mengenai transaksi dalam
hal pembayaran yang menggunakan LC adalah Uniform Commercial Practice (UCP)600).
Pembayaran
dengan menggunakan L/C merupakan cara pembayaran yang paling umum dipergunakan
dalam transaksi – transaksi bisnis, khususnya transaksi jual beli barang (sales of good) . Kontrak-kontrak bisnis
yang berdimensi internsional selalu melibatkan lebih dari satu system huku.
Dalam transaksi yang bersangkutan umumnya para pihak menginginkan agar kontrak
bisnis tersebut diatur menurut hukum negaranya sendiri. Untuk menghindari
pilihan hukum karena karena perbedaan sistem hukum tersebut, maka dalam
transaksi yang menggunakan L/C ,International
chamber of Commerce (ICC) telah
merumuskan UCP sebagai acuan para pihak yang melakukan transaksi dengan
mempergunakan L/C.UCP ini berasal dari kebiasaan dalam transaksi bisnis
international yang berkembang dari waktu ke waktu.
Karakter
hukum UCP sebagai kerangka acuan yang sama
di semua negara dalam transaksi bisnis yang menggunakan L/C adalah :
1.
UCP menganut prinsip separation
Dengan prinsip ini berarti perjanjian tata cara
pembayaran dengan L/C merupakan kontrak yang terpisah dengan sales contract atau kontrak lainya yang
menjadi dasar dipergunakanya L/C sebagai tata cara pembayaran transaksi,
meskipun dalam kontrak tersebut berisi ketentuan tentang klausula peenggunaan
L/C . Bank yang terlibat dalam pembayaran transaksi yang menggunakan L/C tidak bisa dilibatkan dalam kontrak bisnis
para pihak. Artinya jika terjadi wanprestasi (misalnya tentang pembayaran atau
pengiriman barang ) dalam kontrak bisnis
para pihak ,maka pihak bank tidak bisa ditarik sebagai salah satu pihak yang
terlibat dalam kontrak ersebut. Bank hanya bertanggung jawab sepanjang mengenai
dokumen-dokumen L/C sesuai dengan perjanjian kredit yang bersangkutan.
2.
UCP merupakan hukum yang mengatur
Sifat mengatur ini di dasarkan pada prinsip lex specialist deroogat lex generalis yang
dianut pada UCP 600. Dengan demikian konvensi ini dipergunakan sebagai hukum
yang mengatur hubungan para pihak sepnjang para pihak dalam kontrak mereka
secara tegas mencantumkan UCP 600 sebagai hukum yang mengatur hubungan mereka .
Hukum ini dapat dikesampingkan sepanjang jika mereka mengatur tersendiri
mekanisme hukum sendiri dalam hubungan hukum mereka.
2. Arbitrase adalah bentuk alternatif
paling formil untuk menyelesaikan sengketa sebelum berlitigasi. Dalam proses
ini pihak bersengketa mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang
netral dan memberinya wewenang untuk memberi keputusan.
Bila dikatakan arbitrase
bersifat komersial, karena banyaknya biaya yang harus dikeluarkan para pihak
dalam menyelesaikan perkaranya. Mahalnya biaya ini dimulai dari persoalan
arbitrase mana yang berwenang memeriksa, bila memilih BANI yang berpusat di
Jakarta dan para pihak berdomisili di medan misalnya, maka jelaslah para pihak
tersebut harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup mahal mulai dari biaya sarana
dan transportasi yang terkait dengan proses peyelesaian sengketa tersebut
,padahal biaya tersebut belum masuk ke arena sesungguhnya.
Dalam
pemilihan arbiter ini memakan waktu yang tidak sebentar dikarenakan sikap para
pihak yang terkesan plin plan dalam menentukan arbiternya. Bila bicara mengenai
tarif dari arbiter itu sendiri maka tarif resmi dalam lingkup BANI, maka tarif
satu arbiter adalah 1 per mill dari total nilai aset yang disengketakan. Dari
uraian diatas saja maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sisi komersialisasi dari
ranah arbitrase ini cukup tinggi, dan hal ini bertentangan dengan asas dari
arbitrase itu sendiri yaitu cepat,sederhana dan biaya ringan. Pasal yang
penting dalam upaya pembatalan atau penolakan putusan Arbitrase Asing di Indonesia
diatur dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 70 Undang-undang
Nomor 30 tahun 1999 tersebut mengatur bahwa putusan arbitrase dapat diajukan
permohonan pembatalan apabila putusan arbitrase tersebut mengandung unsur-unsur
sebagai berikut :
1.
Surat atau dokumen yang diajuka dalam
pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan
diakui palsu atau dinyatakan palsu;
2.
Setelah putusan diambil ditemukan
dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
3.
Putusan diambil dari hasil tipu muslihat
yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan
pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis kepada Ketua
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Apabila Ketua Pengadilan Negeri dikabulkan, maka Ketua Pengadilan Negeri
menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebahagian putusan arbitrase. Terhadap putusan
pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang
memutus dalam tingkat pertama dan terkahir.
3.
Dalam hal terjadi sengketa antara
investor asing dengan negara, maka investor asing tersebut dapat menggunakan
arbitrase internasional yang dibentuk oleh masyarakat international yang
bersifat regional maupun international. Badan Arbitrase International yang
dibentuk dalam rangka sebagai wadah bagi investor untuk menggugat negara (host
country) adalah International Centre for te Settlement of Investment Disputes
atau dikenal dengan ICSID). ICSID merupakan badan yang dilahirkan oleh Bank
Dunia dalam bentuk Konvensi ICSID ( Convention on the Settlement of Investment
Dispute between States and Nationals of Other States) atau kadang-kadang
disebut Konvensi Washington atau Konvensi Bank Dunia. Konvensi ICSID ini
ditandatangani di Washington D.C. pada tanggal 18 Maret 1965 serta mulai
berlaku pada 14 Oktober 1966, sebulan setelah 20 negara meratifikasinya dan
berkedudukan di Washington yang berafiliasi dengan Bank Dunia.
Konvensi ini
terbentuk sebagai akibat dari situasi perekonomian dunia dalam rentang waktu
1950-1960an yaitu khususnya dikala beberapa negara berkembang menasionalisasi
atau mengeksprosiasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di wilayahnya.
Tindakan ini mengakibatkan konflik-konflik ekonomi yang dapat berubah menjadi sengketa politik atau bahkan sengketa
terbuka (perang).
Pembentukan
Badan Arbitrase ICSID ini dipengaruhi langsung oleh adanya kasus-kasus
nasionalisasi yang bermula dari kasus nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Perancis di Tunisia, dimana DPR Tunisia mengeluarkan UU Nasionalisasi
tanah-tanah milik orang asing (khususnya Perancis) pada tanggal 10 Mei 1964.
Tindakan nasionalisasi oleh DPR Tunisia ini mengejutkan pihak asing,
dikarenakan dengan adanya UU tersebut membawa dampak yaitu tanah milik
orang-orang asing (Perancis) berikut harta kekayaan yang ternama di dalamnya
seluas 1 juta hektar akan ternasionalisasi. Kasus nasionalisasi di Tunisia
tersebut kemudian dibawa kepada lembaga internasional termasuk Bank Dunia,
namun upaya tersebut tidak membawa hasil yang berarti karena lembaga-lembaga
tersebut memang tidak memiliki wewenang sama sekali dalam menangani kasus
tersebut.
Setelah kasus
tersebut mereda, kemudian Bank Dunia memprakarsai pembentukan suatu badan
arbitrase internasional yang akan menangani sengketa-sengketa penanaman modal
antara lain investor asing dengan negara tuan rumah, yang kemudian usaha ini
membawa hasil dengan ditanda-tanganinya The
Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and
Nationals Of Other States.
Tujuan utama
dibentuknya Konvensi ICSID adalah :
1.
Menjembatani jurang atau mengisi
kekosongan upaya hukum di dalam menyelesaikan kasus-kasus penanamana modal
yakni dengan memberikan suatu mekanisme khusus berupa fasilitas arbitrase atau
konsiliasi;
2.
Mendorong dan melindungi arus modal dari
negara maju kepada negara kita (developing countries).
Tujuan pertama konvensi ini
terefleksi dari peranan The Centre (ICSID). Wewenang badan ini khusus dan
terbatas pada penanaman modal saja yang salah satu pihaknya adalah negara
penerima penanaman modal (host state).
Apabila terjadi sengketa maka The Centre
akan membentuk suatu panel arbitrase atau konsiliasi untuk menanganinya,
selanjutnya peranan The Centre
hanyalah mengawasi jalannya persidangan dan memberikan aturan-aturan hukum
acaranya. Jangka waktu dan prosedur penyelesaian sengketa yang diperlukan untuk
menyelesaikan sengketa rata-rata 2(dua) tahun.
Indonesia meratifikasi Konvensi
ICSID dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi
tentang Penyelesaian Perselisihan antar negara dengan warga negara asing
mengenai penanaman modal.
Dalam undang-undang ini disebutkan
bahwa sesuatu perselisihan tentang penanaman modal antara Republik Indonesia
dan warga negara asing diputuskan menurut konvensi ICSID dan mewakili Republik
Indonesia dalam perselisihan tersebut untuk hak subtitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar