HUKUM, KEKUASAAN
Analisis oleh : Prof. Dr. Romli Atmasasmita
Kekuasaan selalu tidak terpisahkan dari hal-hal yang negatif, namun kekuasaan juga mengandung aspek positif. Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung absolut korup (Lord Action). Namun, harus juga diakui bahwa tanpa kekuasaan, hukum hanyalah angan-angan, dan kekuasaan yang dijalankan tanpa hukum juga merupakan anarki.
Kekuasaan selalu tidak terpisahkan dari hal-hal yang negatif, namun kekuasaan juga mengandung aspek positif. Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung absolut korup (Lord Action). Namun, harus juga diakui bahwa tanpa kekuasaan, hukum hanyalah angan-angan, dan kekuasaan yang dijalankan tanpa hukum juga merupakan anarki.
Oleh karena itu, hukum,
kekuasaan, dan korupsi bak tiga bersaudara yang tidak dapat dipisah-pisahkan
satu sama lain. Dalam keadaan yang ideal, ketiganya seharusnya mandul di dalam
pemerintahan yang demokratis, dimana sistem “check and balances” sudah
benar-benar diproteksi dengan baik.
Namun,
dalam pemerintahan yang bersifat otoritarian dan juga pemerintahan transisi
seperti Indonesia
saat ini, kolaborasi ketiga unsur tersebut di atas untuk menghambat
demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan bukan suatu yang mustahil. Dalam
pemerintahan transisi, sistem “check and balances” justru dibentuk dan
dilahirkan sebagai anak cacat, ketidakseimbangan posisi antara penguasa dan
warga biasa sangat transparan, tanpa ada rasa malu; kebanyakan penyelenggara
negara belum rela/ikhlas diawasi.
Sebaliknya, masyarakat luas juga belum mau menerima bahwa sistem tersebut berlaku juga bagi mereka. Karena penguasa adalah pemegang kekuasaan dan di dalam negara hukum RI kedaulatan berada di tangan rakyat, maka penguasa harus mau diawasi: suatu risiko dari pekerjaan/jabatan.
Sebaliknya, masyarakat luas juga belum mau menerima bahwa sistem tersebut berlaku juga bagi mereka. Karena penguasa adalah pemegang kekuasaan dan di dalam negara hukum RI kedaulatan berada di tangan rakyat, maka penguasa harus mau diawasi: suatu risiko dari pekerjaan/jabatan.
Istilah
“tipis telinga” atau “arogansi sektoral” merupakan gambaran penguasa yang belum
dewasa untuk berdemokrasi. Kemunafikan dalam menjalankan pemerintahan sering
terjadi dengan alasan demi kepentingan rakyat banyak. Agenda pemberantasan
korupsi yang kini tengah digalakkan cenderung menjadi pemanis bibir semata-mata
karena ada banyak sikap dan perbuatan penguasa/aparat penegak hukum yang
bertentangan dengan agenda tersebut.
Wacana
pemberian “amnesti” bagi pelaku korupsi tidak lain merupakan agenda perlawanan
terselubung berbaju hukum terhadap misi pemberantasan korupsi yang tengah
gencar dilaksanakan oleh kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kemunafikan, inkonsistensi, diskriminasi dalam penegakan hukum, khususnya dalam
pemberantasan korupsi selama ini, antara lain disebabkan masih dianutnya
paradigma lama, yaitu “state centered policy” terutama dalam proses pembentukan
undang-undang, khususnya UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi.
Paradigma
lama yang menjelma dalam rumusan kalimat, “kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara” yang berlawanan dengan “kerugian kesejahteraan rakyat atau
perekonomian rakyat.” Sekalipun unsur tersebut masih relevan dengan kondisi dan
situasi negara saat ini, akan tetapi tercermin posisi kepentingan negara
(perlindungan) ditempatkan dalam urutan teratas dibandingkan dengan posisi
kepentingan rakyat (perorangan/kelompok) yang juga merupakan sebagai salah satu
pihak yang menjadi korban karena tindak pidana korupsi.
Sedangkan
bunyi pertimbangan UU Nomor 31 Tahun 1999 ditegaskan bahwa korupsi merupakan
pelanggaran hak ekonomi dan sosial rakyat sehingga unsur “kerugian
masyarakat/perekonomian rakyat” seharusnya lebih mengemuka.
Peninjauan
kembali perlu segera dilakukan karena dalam penerapannya cenderung manipulatif
oleh penguasa/penegak hukum. Dimana pembuktiannya sering ditafsirkan secara
subjektif apalagi sengaja dilakukan untuk menjerat lawan-lawan politik atau
mereka yang berseberangan dengan pemerintah saat itu. Paradigma “state centered
policy” saat ini justru berlawanan dengan visi, misi dan arah kebijakan negara
dalam era globalisasi yang menekankan, meningkatkan kesejahteraan rakyat luas
dan meminimalisasikan peranan negara dalam kehidupan ekonomi pasar.
Dalam masa
transisi ini sangat sulit untuk dikatakan tidak ada pengaruh kekuasaan dalam
menentukan siapa yang harus ditempatkan sebagai tersangka koruptor atau
sebaliknya. Satu-satunya rambu penyelamat dari kemungkinan pengaruh tersebut
adalah proses pembuktian yang mengedepankan ketentuan hukum yang tidak
multitafsir, terutama terhadap rumusan kalimat sebagaimana diuraikan di atas.
Sisipan kalimat “dapat” di depannya telah menjadikan rumusan tindak pidana
korupsi menjadi “pukat harimau” yang siap memangsa lawan-lawannya jika tidak
dipertegas dengan metode penafsiran yang bersifat limitatif.
Menghadapi
isu ini telah terjadi krisis intelektual di kalangan praktisi hukum dalam
menafsirkan perbedaan antara, “penyimpangan penggunaan keuangan negara,” dan
“melawan hukum” di satu sisi, dan di antara pengertian prinsip “kehati-hatian,”
dan pengertian istilah “kesengajaan” dan “kelalaian” di sisi lain. Krisis
intelektual ini telah berdampak besar dalam perkembangan iklim bisnis era
globalisasi, dan sangat rentan terhadap fluktuasi politik dan pergantian
pemerintahan. Dampak lain adalah munculnya kebijakan penegakan hukum dalam
pemberantasan korupsi yang sering ditengarai sebagai diskriminasi dan selektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar