Berikut
adalah materi tentang teori hukum benda yang akan penulis paparkan:
Hukum Benda adalah Peraturan –peraturan hukum yang
mengatur tentang benda atau barang-barang (zaken) dan Hak Kebendaan (zakelijk recht). Pengertian benda dapat dibedakan menjadi pengertian
dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pengertian ialah benda dalam arti sempit
ialah setiap barang yang dapat diihat saja (berwujud). Sedangkan pengertian
benda dalam arti luas disebut dalam Pasal 509 KUHPerdata yaitu benda ialah tiap
barang-barang dan hak-hak yamg dapat dikuasai dengan hak milik atau denga kata
lain benda dalam konteks hukum perdata adalah segala sesuatu yang dapat
diberikan / diletakkan suatu Hak diatasnya, utamanya yang berupa hak milik.
Dengan demikian, yang dapat memiliki sesuatu hak tersebut adalah Subyek Hukum,
sedangkan sesuatu yang dibebani hak itu adalah Obyek Hukum.
Dasar Hukum Benda
Benda yang dalam
hukum perdata diatur dalam Buku II BW, pengaturan tentang hukum benda dalam
Buku II BWI ini mempergunakan system tertutup, artinya orang tidak
diperbolehkan mengadakan hak hak kebendaan selain dari yang telah diatur dalam
undang undang ini. Selain itu, hukum benda bersifat memaksa (dwingend recht), artinya harus dipatuhi,tidak boleh disimpangi,
termasuk membuat peraturan baru yang menyimpang dari yang telah ditetapkan .
Lebih lanjut dalam hukum perdata, yang namanya benda itu bukanlah segala
sesuatu yang berwujud atau dapat diraba oleh pancaindera saja, melainkan
termasuk juga pengertian benda yang tidak berwujud, seperti misalnya kekayaan
seseorang. Istilah benda yang dipakai untuk pengertian kekayaan, termasuk
didalamnya tagihan / piutang, atau hak hak lainnya, misalnya bunga atas
deposito . Meskipun pengertian zaak dalam BWI tidak hanya meliputi benda berwujud saja,
namun sebagian besar dari materi Buku II tentang Benda mengatur tentang benda
yang berwujud. Selain itu, istilah zaak didalam
BWI tidak selalu berarti benda, tetapi bisa berarti yang lain, seperti :
“perbuatan hukum “ (Ps.1792 BW), atau “kepentingan” (Ps.1354 BW), dan juga
berarti “kenyataan hukum” (Ps.1263 BW).
Pada masa kini, selain diatur di Buku
II BWI, hukum benda juga diatur dalam:
1. Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, dimana
diatur hak-hak kebendaan yang berkaitan dengan bumi, air dan kekayaan yang
terkandung didalamnya.
2. Undang-Undang Merek No.21 Tahun 1961, yang mengatur
tentang hak atas penggunaan merek perusahaan dan merek perniagaan .
3. Undang-Undang Hak Cipta No.6 Tahun 1982, yang mengatur
tentang hak cipta sebagai benda tak berwujud, yang dapat dijadikan obyek hak
milik .
4. Undang-Undang tentang Hak Tanggungan tahun 1996, yang
mengatur tentang hak atas tanah dan bangunan diatasnya sebagai pengganti
hipotik dan crediet
verband .
Macam-macam Benda
Doktrin
membedakan berbagai macam benda menjadi :
1. Benda berwujud dan benda tidak
berwujud.
Arti
penting pembedaan ini adalah pada saat pemindah tanganan benda dimaksud, yaitu
:
§ Jika benda berwujud itu benda bergerak, pemindah
tanganannya harus secara nyata dari tangan ke tangan.
§ Jika benda berwujud itu benda tidak bergerak, pemindah
tanganannya harus dilakukan dengan balik nama.
Penyerahan benda tidak berwujud dalam bentuk berbagai
piutang dilakukandengan :
§
Piutang atas nama (op naam) dengan cara Cessie
§
Piutang atas tunjuk (an toonder) dengan cara penyerahan surat dokumen yang bersangkutan
dari tangan ke tangan
§
Piutang atas pengganti (aan order)
dengan cara endosemen serta penyerahan dokumen yang bersangkutan dari tangan ke
tangan ( Ps. 163 BWI).
2. Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak
Benda
bergerak adalah benda yang menurut sifatnya dapat dipindahkan (Ps.509 BWI).
Benda bergerak karena ketentuan undang undang adalah hak hak yang melekat pada
benda bergerak (Ps.511 BWI), misalnya hak memungut hasil atas benda bergerak,
hak memakai atas benda bergerak, saham saham perusahaan. Benda tidak bergerak
adalah benda yang menurut sifatnya tidak dapat dipindah-pindahkan, seperti
tanah dan segala bangunan yang berdiri melekat diatasnya. Benda tidak bergerak
karena tujuannya adalah benda yang dilekatkan pada benda tidak bergerak sebagai
benda pokoknya, untuk tujuan tertentu, seperti mesin mesin yang dipasang pada
pabrik. Tujuannya adalah untuk dipakai secara tetap dan tidak untuk
dipindah-pindah (Ps.507 BWI). Benda tidak bergerak karena undang undang adalah
hak hak yang melekat pada benda tidak bergerak tersebut, seperti hipotik,
crediet verband, hak pakai atas benda tidak bergerak, hak memungut hasil atas
benda tidak bergerak (Ps.508 BWI).
Arti
penting pembedaan benda sebagai bergerak dan tidak bergerak terletak pada :
§
penguasaannya (bezit), dimana terhadap benda bergerak maka orang yang
menguasai benda tersebut dianggap sebagai pemiliknya (Ps.1977 BWI); azas ini
tidak berlaku bagi benda tidak bergerak.
§
penyerahannya (levering), yaitu terhadap benda bergerak harus dilakukan secara
nyata, sedangkan pada benda tidak bergerak dilakukan dengan balik nama ;
§
kadaluwarsa (verjaaring), yaitu pada benda bergerak tidak dikenal daluwarsa,
sedangkan pada benda tidak bergerak terdapat kadaluwarsa :dalam hal ada alas
hak, daluwarsanya 20 tahun; dalam hal tidak ada alas hak, daluwarsanya 30 tahun
§
pembebanannya (bezwaring), dimana untuk
benda bergerak dengan gadai, sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan
hipotik.
§
dalam hal pensitaan (beslag), dimana revindicatoir beslah (penyitaan untuk menuntut kembali barangnya), hanya
dapat dilakukan terhadap barang barang bergerak . Penyitaan untuk melaksanakan
putusan pengadilan (executoir
beslah) harus dilakukan terlebih dahulu terhadap
barang barang bergerak, dan apabila masih belum mencukupi untuk pelunasan
hutang tergugat, baru dilakukan executoir terhadap barang tidak bergerak.
§
Benda dipakai habis dan benda tidak
dipakai habis
Pembedaan
ini penting artinya dalam hal pembatalan perjanjian. Pada perjanjian yang obyeknya
adalah benda yang dipakai habis, pembatalannya sulit untuk mengembalikan
seperti keadaan benda itu semula, oleh karena itu harus diganti dengan benda
lain yang sama / sejenis serta senilai. Pada perjanjian yang obyeknya adalah
benda yang tidak dipakai habis tidaklah terlalu sulit bila perjanjian
dibatalkan, karena bendanya masih tetap ada,dan dapat diserahkan kembali.
3.
Benda sudah ada dan benda akan ada
Arti
penting pembedaan ini terletak pada pembebanan sebagai jaminan hutang, atau
pada pelaksanaan perjanjian. Benda sudah ada dapat dijadikan jaminan hutang dan
pelaksanaan perjanjiannya dengan cara menyerahkan benda tersebut. Benda akan
ada tidak dapat dijadikan jaminan hutang, bahkan perjanjian yang obyeknya benda
akan ada bisa terancam batal bila pemenuhannya itu tidak mungkin dapat
dilaksanakan (Ps.1320 btr 3 BWI) .
4.
Benda dalam perdagangan dan benda luar perdagangan.
Arti
penting dari pembedaan ini terletak pada pemindah tanganan benda tersebut
karena jual beli atau karena warisan. Benda dalam perdagangan dapat diperjual
belikan dengan bebas, atau diwariskan kepada ahli waris,sedangkan benda luar
perdagangan tidak dapat diperjual belikan atau diwariskan, umpamanya tanah
wakaf, narkotika, benda benda yang melanggar ketertiban dan kesusilaan.
5.
Benda dapat dibagi dan benda tidak dapat dibagi.
Letak
pembedaannya menjadi penting dalam hal pemenuhan prestasi suatu perjanjian, di
mana terhadap benda yang dapat dibagi, prestasi pemenuhan perjanjian dapat
dilakukan tidak sekaligus, dapat bertahap. Lain halnya dengan benda yang tidak
dapat dibagi, maka pemenuhan prestasi tidak dapat dilakukan sebagian demi
sebagian, melainkan harus secara seutuhnya.
6.
Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar.
Arti
penting pembebannya terletak pada pembuktian kepemilikannya. Benda terdaftar
dibuktikan dengan bukti pendaftarannya.
TINJAUAN TENTANG HAK KEBENDAAN
Sifat dan Karakter Hak Kebendaan.
Perbedaan
antara hak kebendaan yang diatur dalam Buku II BWI dengan hak perorangan yang
diatur dalam Buku III BWI adalah sebagai berikut :
1. Hak kebendaan bersifat mutlak (absolut), karena
berlaku terhadap siapa saja, dan orang lain harus menghormati hak tersebut,
sedangkan hak perorangan berlaku secara nisbi (relatief), karena hanya
melibatkan orang / pihak tertentu saja, yakni yang ada dalam suatu perjanjian
saja.
2. Hak kebendaan berlangsung lama, bisa jadi selama
seseorang masih hidup, atau bahkan bisa berlanjut setelah diwariskan kepada
ahli warisnya, sedangkan hokum perorangan berlangsung relatif lebih singkat,
yakni sebatas pelaksanaan perjanjian telah selesai dilakukan.
3. Hak kebendaan terbatas pada apa yang telah ditetapkan
dalam peraturan perundangan yang berlaku, tidak boleh mengarang /
menciptakan sendiri hak yang lainnya, sedangkan dalam hak perorangan,
lingkungannya amat luas, apa saja dapat dijadikan obyek perjanjian, sepanjang
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Oleh
karena itu sering dikatakan hokum kebendaan itu bersifat tertutup, sedangkan
hukum perorangan bersifat terbuka.
Ciri ciri Hak Kebendaan
Ciri
hak kebendaan ialah :
1. mutlak / absolute
2. mengikuti benda dimana hak itu melekat, misalnya hak
sewa tetap mengikuti benda itu berada, siapapun yang memiliki hak diatasnya
3. hak yang ada terlebih dahulu (yang lebih tua),
kedudukannya lebih tinggi;
4. memiliki sifat diutamakan
5. dapat dilakukan gugatan terhadap siapapun yang
mengganggu hak yang bersangkutan.
6. pemindahan hak kebendaan dapat dilakukan kepada
siapapun .
Penggolongan Hak Kebendaan
Hak
atas Kebendaan dibagi dalam 2 (dua) macam, yaitu :
1.
Hak Kebendaaan yang memberi kenikmatan .
Selain
yang mengenai tanah, karena sudah diatur dalam UUPA, maka hak kebendaan yang
termasuk dalam kategori ini adalah ;Bezit ; Hak Milik (eigendom) ; Hak Memungut
Hasil ; Hak Pakai ; Hak Mendiami.
Hak
atas tanah yang dengan berlakunya UUPA dinyatakan tidak berlaku lagi: Hak bezit
atas tanah ; Hak eigendom atas tanah, Hak servitut ; Hak opstal ; Hak erfpacht
; Hak bunga atas tanah, Hak pakai atas tanah
Dengan
berlakunya UUPA, pengganti dari hak atas tanah yang dihapus adalah :
§
Hak Milik ; Hak Guna Usaha ; Hak Guna
Bangunan ; Hak Pakai
§
Hak Sewa untuk bangunan ; Hak membuka
tanah dan memungut hasil hutan
§
Hak guna air, pemeliharaan dan
penangkapan ikan
§
Hak guna ruang angkasa
§
Hak hak tanah untuk kepentingan keagamaan
dan social
2. Hak Kebendaan Yang bersifat Memberi
Jaminan
§
Hak Gadai (pandrechts)
§
Hipotik
§
Credietverband
§
Privilege (piutang yang di istimewakan).
§
Fiducia
Perolehan Hak Kebendaan
Ada
beberapa cara untuk memperoleh hak kebendaan, seperti :
1.
Melalui Pengakuan
Benda
yang tidak diketahui siapa pemiliknya (res nullius) kemudian didapatkan dan
diakui oleh seseorang yang mendapatkannya, dianggap sebagai pemiliknya.
2.
Melalui Penemuan
Benda
yang semula milik orang lain akan tetapi lepas dari penguasaannya, karena
misalnya jatuh di perjalanan, maka barang siapa yang menemukan barang tersebut
dan ia tidak mengetahui siapa pemiliknya, menjadi pemilik barang yang
diketemukannya .
3.
Melalui Penyerahan
Cara ini yang lazim, yaitu hak kebendaan diperoleh
melalui penyerahan berdasarkan alas hak (rechts titel) tertentu, seperti jual beli, sewa menyewa, hibah,
warisan dsb. Dengan adanya penyerahan maka titel berpindah kepada siapa benda
itu diserahkan.
4. Dengan Daluwarsa
Barang
siapa menguasai benda bergerak yang dia tidak ketahui pemilik benda itu
sebelumnya (misalnya karena menemukannya), hak milik atas benda itu diperoleh
setelah lewat waktu 3 tahun sejak orang tersebut menguasai benda yang
bersangkutan. Untuk benda tidak bergerak, daluwarsanya adalah :
§
jika ada alas hak, 20 tahun
§
jika tidak ada alas hak, 30 tahun
§
Melalui Pewarisan, hak kebendaan bisa
diperoleh melalui warisan berdasarkan hukum waris yang berlaku, bisa hukum
adat, hukum Islam atau hukum barat.
6. Dengan Penciptaan
Seseorang
yang menciptakan benda baru, baik dari benda yang sudah ada maupun sama sekali
baru, dapat memperoleh hak milik atas benda ciptaannya itu.
7. Dengan cara ikutan / turunan
Hapusnya Hak Kebendaan
Hak
kebendaan dapat hapus / lenyap karena hal hal :
1. Bendanya Lenyap / musnah
Karena
musnahnya sesuatu benda, maka hak atas benda tersebut ikut lenyap,
2.
Karena dipindah-tangankan
Hak
milik, hak memungut hasil atau hak pakai menjadi hapus bila benda yang
bersangkutan dipindah tangankan kepada orang lain.
3. Karena Pelepasan Hak
4. Karena Kadaluwarsa
Daluwarsa
untuk barang tidak bergerak pada umumnya 30 tahun (karena ada alas hak),
sedangkan untuk benda bergerak 3 tahun.
5. Karena Pencabutan Hak
Penguasa
publik dapat mencabut hak kepemilikan seseorang atas benda tertentu, dengan
memenuhi syarat : harus didasarkan suatu undang undangdilakukan dan untuk
kepentingan umum (dengan ganti rugi yang layak ).
TINJAUAN TENTANG HAK KEBENDAAN
YANG MEMBERI KENIKMATAN
Bezit.
Bezit diatur dalam (Ps. 529 s/d 568 BWI). Secara harfiah berarti Penguasaan.
Maksudnya adalah “barang siapa menguasai suatu barang, maka dia dianggap
sebagai pemiliknya”. Menurut Ps. 529 BWI, bezit adalah keadaan seseorang yang
menguasai suatu benda, baik dengan diri sendiri maupun melalui perantaraan orang
lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki
benda itu. Menurut Prof.Subekti lebih dijelaskan maknanya sebagai berikut :
‘Bezit adalah suatu keadaan lahir (=fakta), dimana seseorang menguasai sautu
benda seolah olah kepunyaannya sendiri, dengan tiidak mempersoalkan siapa
pemilik benda itu sebenarnya.
Lebih lanjut dalam Ps.
530 BWI disebutkan bahwa ada dua macam bezit, yaitu yang beriktikad baik ( te goede trouw) dan yang beriktikad tidak baik.(te kwader trouw).
Unsur bezit ada dua, yaitu :
1. unsur keadaan dimana seseorang menguasai suatu benda
(corpus) ;
2. unsur kemauan orang tersebut untuk memilikinya
(animus).
Karena pada umumnya orang yang tidak waras tidak mempunyai unsur animus, maka
bezitter (orang yang mempunyai bezit) biasanya bukan orang gila / orang yang
tidak waras .Yang dapat mempunyai hak bezit adalah orang yang dewasa, sehat
pikiran, berkehendak bebas / tidak dibawah paksaan.
Pengertian bezit yang dengan iktikad baik adalah penguasaan karena penguasaan
atas benda tersebut terjadi tanpa diiketahui cacat cela dalam benda tersebut
(Ps.531 BWI). Bezit harus dibedakan dengan detentie, yakni keadaan dimana
seseorang menguasai suatu benda berdasarkan suatu hubungan hukum tertentu
dengan pemilik yang sah dari benda tersebut, misalnya hubungan sewa menyewa,
tidak harus menimbulkan kemauan bagi si penyewa untuk memiliki. Pada diri
seorang detentor tersebut, dianggap bahwa kemauan untuk memiliki benda yang
dikuasai itu tidak ada. Menurut ketentuan Ps 538 BWI, “ Penguasaan atas suatu
benda diperoleh dengan cara menempatkan benda itu dalam kekuasaan dengan maksud
mempertahankannya untuk diri sendiri”.
Ketentuan
tersebut mengandung unsusr-unsur :
1. Kata ‘Menempatkan’ berarti perbuatan aktif yang dapat dilakukan
sendiri atau dilakukan oleh orang lain atas nama.
2. Kata, ‘benda’ meliputi pengertian benda bergerak dan
benda tidak bergerak; benda bergerak meliputi benda yang sudah ada pemiliknya ,
atau yang belum ada pemiliknya.
3. Kata “dalam kekuasaan” menunjukkan keharusan adanya
hubungan langsung antara orang yang menguasai dengan benda yang dikuasai.
4. Kata “ mempertahankan untuk diri sendiri” menunjukkan
unsur keharusan adanya animus, yaitu kehendak menguasai benda itu untuk
memilikinya sendiri; setiap pemegang/penguasa benda itu dianggap mempertahankan
penguasaannya selama benda itu tidak beralih ke tangan orang lain atau selama
benda itu tidak nyata-nyata telah ditinggalkannya ( Ps. 542 BWI).
Cara
memperoleh penguasaan (Bezit) dapat dibedakan :
1. Menguasai benda yang tidak ada
pemiliknya
Penguasaan atas benda yang tidak ada pemiliknya
disebut ‘penguasaan originair’, atau“bezit occupatio”. Memperoleh penguasaan
cara ini tanpa bantuan orang lain, hanya tertuju pada benda bergerak yang tidak
ada pemiliknya (res
nullius), yang kemudian diakui dan dikuasai.
2. Menguasai benda yang sudah ada
pemiliknya
Penguasaan atas benda yang sudah ada pemilikya,
mempunyai dua kemungkinan, yaitu dengan bantuan orang lain yang menguasai lebih
dahulu / pemiliknya dan tanpa bantuan orang lain yang terkait. Penguasaan
dengan bantuan orang yang menguasai lebih dulu/pemiliknya disebut “pengusaan
traditio” atau “penguasaan derivatif”, yakni melalui penyerahan benda tersebut,
misalnya penguasaan atas hak gadai, hak pakai, hak sewa, hak memungut hasil
dsb. Memperoleh penguasaan tanpa bantuan orang yang menguasai lebih
dulu/pemiknya disebut “penguasaan tanpa levering”,
misalnya menguasai benda temuan di jalan, benda orang lain yang hilang.
Berdasarkan ketentuan Ps. 1977 ayat (1) BWI, penguasaan berlaku sebagai alas
hak yang sempurna. Dengan demikian orang yang menguasai benda itu sama dengan
pemiliknya.
Hak milik adalah alas hak yang sempurna. Ketentuan tersebut di atas dibatasai
oleh ayat (2) nya, bahwa perlindungan hukum yang diberikan oelh ayat (1) itu
tidak berlaku bagi benda-benda yang hilang atau benda-benda curian. Terhadap
benda-benda ini, bezit sebagai hak yang sempurna tidak berlaku. Barangsiapa
kehilangan atau kecurian suatu benda, dalam waktu tiga tahun terhtung sejak
hilang atau dicurinya bendanya, berhak meminta kembali bendanya itu dari
pemegangnya. Tetapi jika pemegang benda itu menguasai benda tersebut karena
memperolehnya atau membelinya dari pedagang yang lazim memperdagangkan benda
itu atau tempat pelelangan umum, pemilik yang kehilangan benda / kecurian benda
yang bersangkutan harus mengem-balikan harga benda yang telah dibayar oleh
pemegang itu (Ps. 582 BWI).
Penguasaan “benda bergerak yang tidak berupa bunga, atau piutang yang tidak
atas tunjuk berlaku ketentuan siapa yang menguasainya dianggappemiliknya”
sebagai yang ditetapkan dalam Ps. 1977 ayat (1), tidak diatur dalam Buku IIBWI
tentang Benda karena ternyata pembentuk undang-undang menyatakan bahwa Ps. 1977
BWI (Buku IV BWI) tersebut mengatur tentang kadaluarsa yang membebaskan dari
perikatan, artinya, siapa yang menguasai benda bergerak seketika ia bebas dari
tuntutan pemiliknya karena tenggang waktu / daluarsa sudah lampau.
Penguasaan itu sebagai alas hak yang sempurna, sama dengan hak milik, padahal
syarat-syarat sah levering (penyerahannya tidak dipenuhi). Dalam hal ini ada
dua teori yang menjawab soal ini, yaitu eigendomstheorie dan
legitimatietheorie.
§
Eigendoms theorie
Teori
ini dikemuakan oleh Meijers, yang menafsirkan Ps. 1977 BWI secara gramatikal.
Menurut Mejers siapa yang menguasai benda bergerak secara jujur ia adalah
pemilik benda itu, tanpa memperhatikan apakah ada alas hak yang sah atau tidak,
apakah berasal dari orang yang berwenang mengauasai benda itu atau tidak. Teori
ini mengesampingkan Ps. 584 BWI mengenai syarat sahnya suatu levering, yaitu
harus ada alas hak yang sah dan harus dilakukan oleh orang yang berwenang
menguasai benda itu. Masalahnya adalah, pasal. mana yang harus diikuti diantara
dua pasal tersebut dan Mejers berpendapat Ps. 1977 BWI yang diikuti, berarti
mengabaikan dua syarat sahnya levering, dan oleh karena itu pada masa sekarang
teori Mejers ini sudah ditinggalkan orang.
§
Legitimatie theorie
Teori ini dikemukakan oleh Paul Scholten : Pada umunya
hak milik atas suatu barang hanya dapat berpindah secara sah bila seseorang
memperolehnya dari orang yang berhak memindahkan hak milik atas barang tersebut
yaitu pemiliknya. Akan tetapi dapat dimengerti, bahwa kelancaran lalu lintas
hukum akan sangat terganggu, jilka dalam setiap jual belibarang bergerak si
pembeli harus menyelidiki terlebih dahulu apakan si penjual sungguh- sungguh
mempunyai hak milik atas barang yang dijualnya. Untuk kepentingan kelancaan
lalu lintas hukum itulah, Ps. 1977 BWI menetapkan mengenai barang bergerak si
penjual dianggap sudah cukup membuktikan hak miliknya dengan mempertunjukkan
bahwa ia menguasai barang itu seperti seorang pemilik, yaitu bahwa menurut
keadaan yang tampak barang itu seperti kepunyaannya sendiri. Jadi ia tidak usah
memperlihatkan cara bagaimana ia memperoleh penguasaan atas benda tersebut, tak
usah ia memperlihatkan tanda bukti tentang hak miliknya dan pembeli yang
percaya atas adanya bezit di pihak penjual tersebut akan dilindungi oleh
undang-undang. Jika kemudian ternyata si penjual bukan pemilik tetapi misalnya
hanya meminjam barang itu dari pemilik, maka barang itu akan menjadi milik si
pembeli (pembeli yang beritikad baik). Bezit bukan sebagai hak milik, jadi
siapa yang secara jujur menguasai benda tak bergerak ia dilindungi oleh
undang-undang. Jika dihubungkan dengan Ps. 584 BWI tentang syarat- syaratnya
sahnya levering, teori Paul Scholten ini mengabaikan satu syaratlevering, yaitu “ tidak perlu berasal dari orang yang
berwenang menguasai benda itu”, melainkan cukup dengan anggapan saja bahwa
benda itu memang berasal dari yang berwenang menguasainya, demi kelancaran lalu
lintas hukum. Tujuan teori ini adalah melindungi pihak ketiga yang jujur,
tetapi agar tidak terlalu luas penafsirannya, maka dikatakan bahwa perindungan
hukum yang dimaksud dalam Ps. 1977 BWI hanya berlaku terhadap
perbuatan-perbuatan dalam perdagangan. Jadi, seseorang yang bagaimanapun
jujurnya menerima suatu benda sebagai hadiah, tidak dilindungi oleh hukum,
karena bisa saja benda itu beasal dari benda curian, sedangkan kasus pemberian
hadiah tidak termasuk sebagai perbuatan perdagangan. Pembatasan yang diajarkan
oleh Paul Scholten ini disebut “rechtsvefijning” (penghalusan hukum).
B. Hak Milik (Hak Eigendom)
Pengertian hak milik disebutkan dalam Ps. 570 BWI yang
menyatakan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati sepenuhnya kegunaan suatu
benda dan untuk berbuat sebebas-bebasnya terhadap benda itu asal tidak
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh
sesuatu kekuasaan yang berwenang yang menetapkannya dan tidak menimbulkan
gangguan terhadap hak-hak orang lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan
pencabutan hak itu demi kepeningan umum berdasarkan ketentuan perundangan
dengan pembayaran ganti rugi. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan
bahwa eigendom adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Memang dahulu
hak eigendom dipandang benar-benar mutlak, dalam arti tidak terbatas, namun
pada masa akhir-akhir ini mincul pengertian tentang asas kemasyarakatan (sociale
functie ) dari hak tersebut. Hal tersebut tercermin dalam UUPA kita yang
menonjolkan asas kemasyarakatan tesebut dengan menyatakan bahwa semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini berarti bahwa kita sudah tidak dapat
berbuat sewenang-wenang atau sebebas-bebasnya dengan hak milik kita sendiri.
Bahkan pada masa kini suatu perbuatan yang pada hakekatnya berupa suatu
pelaksanaan hak milik dapat dipandang sebagai bertentangan dengan hukum, jika
perbuatan itu dilakukan dengan tidak menyangkut kepentingan yang patut, atau
dengan maksud semata-mata untuk mengganggu kepentingan orang lain (“misbruikvanrecht”). Sebagai hak kebendaan yang sempurna, hak milik
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Merupakan hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang
lain.
2. Ditinjau dari segi kualitasnya, merupakan hak yang
paling lengkap.
3. Bersifat tetap, artinya tidak akan lenyap terhadap hak
kebendaan yang lain. Sedangkan hak kebendaan yang lain dapat lenyap jika
menghadapi hak milik.
4. Mengandung inti dari hak kebendaan yang lain,
sedangkan hak kebendaan yang lain hanya meupakan bagian saja dari hak milik.
Setiap
orang yang mempunyai hak milik atas sesuatu benda, berhak meminta kembali benda
miliknya itu dari siapapun juga yang menguasainya (Ps. 574 BWI). Permintaan
kembali yang didasarkan atas hak milik dinamakan revindicatie; di dalam sidang
pengadilan baik sebelum maupun pada saat perkara belangsung, pemilik dapat
mengajukan permohonan agar benda yang diminta kembali itu disita terlebih
dahulu ( revindicatoir beslag), yaitu penyitaan yang dilakukan terhadap
benda-benda bergerak milik pemohon yang berada dibawah kekuasaan orang lain
dengan tidak perlu mengemukakan atau menguraikan bagaimana cara memperolehnya
hak milik itu. Cara memperoleh hak milik datur dalam Ps. 584 BWI, yang megatur
hanya secara limitatif saja :
1.
Melalui pengambilan (toegening
atau occupatio)
Cara
memperoleh hak milik dengan mengambil benda-benda bergerak yang sebelumnya
tidak ada pemiliknya
2. Melalui penarikan oleh benda lain
(natrekking atau accecio)
Cara
memperoleh hak milik di mana benda pokok yang telah dimiliki secara alamiah
bertambah besar atau bertambah jumlahnya.
3. Melalui daluwarsa (verjaring).
Cara
memperoleh hak milik karena lampaunya waktu 20 tahun dalam hal ada alas hak
yang sah atau 30 tahun dalam hal tidak ada alas hak (Ps. 610 BWI). Kadaluarsa
yang dimaksud disini adalah acquisiteve verjaring, yakni suatu cara untuk
memperoleh hak kebendaan setelah lampau waktu tertentu, disisi lain tedapat
extinctieve verjaring yaitu suatu cara untuk dibebaskan dari suatu hutang
setelah terlampauinya waktu tertentu.
4.
Melalui perwarisan (erfopvolging)
Cara memperoleh hak milik bagi para ahli waris yang
ditinggalkan pewaris. Disini para ahli waris memperoleh hak milik menurut hukum
tanpa harus ada tindakan penerimaan benda secara fisik. Ahli waris bisa berupa
ahli waris menurut undang-undang (ab intestato)
maupun menurut wasiat (testament)
5.
Melalui penyerahan (levering atau overdracht).
Cara memperoleh hak milik karena adanya pemindahan hak
milik seseoarang yang berhak memindahkannya kepada orang lain yang memperoleh
hak milik itu. Cara ini merupakan cara yang paling banyak dilakukan dalam
kehidupan masyarakat sekarang. Perkataan levering mempunyai dua arti. Yang
pertama berarti perbuatan berupa penyerahan kekuasaan belaka atas suatu benda (feicelijke levering); pengertian kedua berarti perbuatan hukum yang
bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (yuridische levering). Penyerahan hak milik atas benda bergerak cukup
dilakukan dengan penyerahan kekuasaan belaka atas benda itu, sedangkan
penyerahan hak milik atas benda tak bergerak harus dibuatkan suatu surat
penyerahan yang harus dituliskan dalam daftar hak milik.Mengenai levering dari
benda bergerak yang tidak berwujud dapat dibedakan atas :
§ Levering dari surat piutang atas tunjuk (aan tonder),
berdasarkan Ps. 613 ayat (3) BWI dilakukan dengan penyerahan surat yang
bersangkutan.
§ Levering dari surat piutang atas nama (op naam),
berdasarkan Ps. 613 ayat (1) BWI dilakukan dengan cara membuat akte otentik
atau akte di bawahtangan (cessie). Ini berarti pergantian kedudukan
berpiutang dari kredirur lama (cedent) kepada kreditur baru (cessionaris),
sedangkan debiturnya dinamakan cessus. Jadi hak berpiutang dianggap telah
beralih dari cedent kepada cessionaris pada saat akte cessie dibuat, bukan pada
waktu akte cessie diberitahukan kepada cessus.
§ Levering dari piutang atas perintah (aan order) yang berdasarkan Ps. 613 ayat (3) BWI harus
dilakukan dengan surat piutang tersebut disertai dengan endosemen, yaitu
menulis dibalik surat piutang yang menyatakan kepada siapa piutang tersebut
dialihkan. Cara memperoleh hak milik yang tidak disebutkan dalam Ps. 584 BWI :
a.
Pembentukan benda (zaaksvorming), yaitu dengan cara membentuk atau menjadikan
benda yang sudah ada menjadi benda yang baru. Misalnya, kayu diukir menjadi
patung, benang ditenun menjadi kain dlsb. Orang yang menjadikan atau membentuk
benda baru tersebut menjadi pemiliknya (Ps. 606 BWI).
b. Penarikan hasilnya (vruchttrekking), yaitu benda yang merupakan hasil/buah dari benda
pokok yang dikuasainya, misalnya buah pisang dari pohon pisang, anak sapi dari
sapi yang dikuasainya (Ps. 575 BWI).
c. Percampuran atau persatuan benda (vereniging), yaitu perolehan hak milik karena bercampurnya
beberapa macam benda kepunyaan beberapa orang. Jika bercampurnya benda itu
karena kebetulan, maka benda itu menjadi milik bersama orang-orang tersebut,
seimbang dengan harga benda mereka semula. Jika bercampurnya benda itu karena
perbuatan seseorang pemilik benda, maka dialah menjadi peimilik dari benda baru
tersebut dengan kewajiban membayar ongkos-ongkos, ganti rugi dan bunganya
kepada para pemilik lain dari benda-benda semula (Ps. 607-609 BWI).
d.
Pencabutan hak (onteigening),, yaitu cara memperoleh hak milik bagi penguasa
dengan jalan pencabutan hak milik atas suatu benda kepunyaan satu atau beberapa
orang. Untuk melakukan hal ini penguasa harus mendasarkan tindakannya pada
undang-undang dan harus untuk tujuan kepentiangan umum dengan disertai
pemberian ganti rugi yang layak kepada (para) pemiliknya.
e.
Perampasan (verbeurdverklaring), yaitu cara memperoleh hak milik dari penguasa
dengan jalan merampas hak milik atas suatu benda kepunyaan terpidana yang
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana.
f.
Pembubaran suatu badan hukum, yaitu dengan pembubaran badan hukum maka para
anggota badan hukum dapat memperoleh bagian dari harta kekayaan badan hukum
tersebut (Ps. 1665 BWI).
Pasal 573 BW mengatur tentang adanya suatu benda yang dipunyai oleh lebih satu
orang, sehingga terjadi hak milik bersama (medeeigendom) atas suatu benda, di
mana dinyatakan bahwa membagi suatu benda menjadi milik lebih dari satu orang,
harus dilakukan menurut aturan-aturan yang ditetapkan tentang “pemisahan” dan
“pembagian” harta peninggalan. Sedangkan aturan-aturan tentang pemisahan dan
pembagian harta peninggalan diatur dalam Buku II Ps. 1066-1125 BWI.
Milik bersama dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hak milik bersama yang
bebas (vrije medeeigendom) dan hak milik bersama yang teriikat (gebonden
medeeigendom). Contoh hak milik bersama yang bebas adalah a, b, dan c
bersama-sama membeli sebuah komputer. Contoh hak milik bersama yang terikat
adalah hak milik bersama suami istri terhadap harta perkawinan, terhadap harta
peninggalan, terhadap harta kekayaan suatu badan hukum. Inti perbedaannya
adalah hak milik bersama yang bebas tidak mempunyai hubungan apa-apa sebelum
mereka bersama menjadi pemilik ssesuatu barang; sedangkan dalam hak milik
bersama yang terikat pemilikan bersama atas suatu benda itu justru sebagai
akibat dari hubungan mereka satu sama lain yang telah ada sebelumnya. Perbedaan
yang lain adalah bahwa di dalam hak milik bersama yang bebas terdapat kehendak
bersama dari beberapa orang untuk memiliki suatu benda; sedangkan di dalam hak
milik bersama yang terikat, kehendak untuk bersama sama menjadi pemilik hampir
tidak ada, yang semata-mata ada diantara mereka adalah karena hubungan hukum
yang telah ada sebelumnya. Secara umum para ahli hukum mengatakan perbedaan
antara hak milik bersama yang bebas dengan hak milik bersama yang terikat
sebagai berikut :
1. Para pemilik dalam hak milik bersama yang bebas
dapat meminta pemisahan dan pembagian atas benda yang merupakan milik bersama,
sedangkan para pemilik di dalam hak milik bersama yang terikat tidak dapat
meminta pemisahan dan pembagian terhadap benda milik bersama itu. Dalam hal ini
terdapat keberatan / sanggahan dari para ahli hukum yang lain oleh karena
mengenai “harta peninggalan”, para ahli waris dapat meminta pemisahan dan
pembagian harta peninggalan tersebut.
2. Di dalam hak milik bersama yang bebas, masing-masing
orang mempunyai bagian yang merupakan harta kekayaan yang berdiri sendiri,
sehingga masing- masing berwenang untuk menguasai atau berbuat apa saja
terhadap benda tersebut tanpa memerlukan izin dari pemilik yang lain; sedangkan
di dalam hak milik bersama yang terikat, hal yang demikian tidak mungkin sebab
harus mendapat izin dari pemilik-pemilik yang lain.
3. Di dalam hak milik bersama yang bebas, tiap-tiap
pemilik mempunyai bagian atas benda milik bersama itu; sedangkan dalam hak
milik bersama yang terikat tiap-tiap pemilik berhak atas seluruh bendanya.
Sebab-sebab
yang mengakibatkan hapusnya hak milik adalah :
1. Karena ada orang lain yang memperoleh hak milik atas
suatu benda yang sebelumnya menjadi hak milik seseorang, dengan salah satu cara
untuk memperoleh hak milik seperti telah diuraikan di atas.
2. Karena musnahnya benda yang dimiliki.
3. Karena pemilik melepaskan benda yang dimilikinya
dengan maksud untuk melepaskan hak miliknya.
C. Hak Memungut Hasil
(VRUCHTGEBRUIK)
Hak memungut hasil adalah hak untuk memungut hasil
dari benda orang lain, seolah-olah benda itu miliknya sendiri, dengan kewajiban
bahwa dirinya harus menjaga benda tersebut tetap dalam keadaan seperti semula
(Ps. 756 BWI).
Kewajiban dari pemegang hak memungut hasil diatur di dalam Ps. 782-806 BWI:
1. Kewajiban pada permulaan adanya hak
memungut hasil :
§
Membuat pencatatan (inventarisasi)
terhadap benda-bendanya
§
Mengadakan jaminan-jaminan yang
diperlukan (asuransi dlsb) terhadap benda-benda yang bersangkutan
2. Kewajiban selama adanya hak memungut
hasil :
§
Mengadakan perbaikan terhadap
benda-benda
§
Menanggung biaya perbaikan dan pajak
yang harus dibayar dalam pengelolaan benda-benda itu.
§
Memelihara benda itu dengan
sebaik-baiknya.
3. Kewajiban pada waktu berakhirnya hak
memungut hasil :
§
Mengembalikan semua benda seperti dalam
keadaan semula
§
Mengganti segala kerusakan / kerugian
yang timbul atas benda-benda itu
D. Hak Pakai dan Hak Mendiami
Di dalam BW hak pakai dan hak mendiami ini diatur
dalam Buku II Ps. 818-829 BWI, akan tetapi tidak ada satu pasalpun yang
memberikan definisi / pengertian tentang kedua hak tersebut. Di dalam Ps. 818
BWI hanya disebutkan bahwa hak pakai dan hak mendiami itu merupakan hak
kebendaan yang terjadinya dan hapusnya sama seperti hak memungut hasil.Hak
pakai sebetulnya sama dengan hak mendiami, namun apabila hak ini menyangkut
rumah kediaman maka dinamakan hak mendiami. Bilamana obyek hak pakai adalah binatang,
maka pemilik hak pakai berhak untuk mempekerjakannya, memakai air susunya dan
rabuknya, sekedar dibutuhkan untuk diri sendiri dan anggota keluarganya, akan
tetapi tidak boleh menikmati hak pakai / hak milik (Ps. 824 BWI) terhadap anak
binatang yang bersangkutan.
Dalam Ps. 826 BWI ditentukan bahwa barangsiapa mempunyai hak mendiami atas
sebuah rumah, maka ia boleh mendiami rumah itu sejak ia masih bujangan hingga
ia mempunyai keluarga / keturunan yang diam di rumah tersebut.
E. Erfdienstbaarheid /
Servituut (Ps. 674-710 BWI)
Erfdienstbaarheid adalah suatu beban yang diletakkan
di atas suatu pekarangan untuk keperluan pekarangan lain yang berbatasan.
Misalnya pemilik dari pekarangan A harus mengizinkan orang-orang ang tinggal di
pekarangan B setiap waktu melalui pekarangan A atau air yang dibuang pekarangan
B harus dialirkan melalui pekarangan A. Oleh karena erfdienstbaarheid itu suatu
hak kebendaan, maka haknya tetap melekat pada pekarangan yang bersangkutan
walaupun pekarangan tersebut dijual kepada orang lain.
F. Hak opstal,
Hak postal yaitu suatu hak untuk mendirikan dan menguasai bangunan atau tanaman
di atas tanah milik orang lain (Ps. 711 BWI).
G. Hak Erfpacht.
Hak
Erfpacht yaitu suatu hak kebendaan untuk memungut hasil seluas-luasnya dalam
jangka waktu yang lama atas bidang tanah milik orang lain dengan kewajiban
membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun (Ps. 720 BWI). Semua
hak pemilik tanah dijalankan oleh orang yang memegang hak erfpacht, sedangkan
bukti pengakuan terhadap hak pemilik tanah berupa pembayaran sejumlah uang atau
penghasilan tiap-tiap tahun (pacht atau canon) tersebut. (Hak ini dahulu banyak
dipergunakan untuk perusahaan perkebunan yang besar atau pembukaan tanah yang
masih belukar sehingga diberikan untuk jangka waktu yang cukup lama, biasanya
selama 75 tahun).
HAK KEBENDAAN YANG BERSIFAT
MEMBERI JAMINAN
Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan selalu bertumpu atas benda orang
lain, baik benda bergerak maupun benda tak bergerak. Jika benda yang menjadi
obyek jaminan adalah benda bergerak maka disebut hak gadai (pandrecht),
sedangkan benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda tidak bergerak maka hak
kebendaannya adalah hipotik. Kreditur yang mempunyai hak gadai dan atau hipotik
mempunyai kedudukan preferens yaitu hak untuk didahulukan dalam pemenuhan
hutangnya dari kreditur-kreditur yang lainnya (Ps. 1133 BWI).
A. Gadai (Pandrecht)
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas
suatu benda bergerak yang diberikan debitur kepadanya sebagai jaminan pelunasan
pembayaran dan memberikan hak kepada kreditur untuk mendapat pembayaran lebih
dahulu dari kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda tersebut (Ps.
1150 BWI). Pengertian gadai di atas membuktikan bahwa hak gadai adalah tambahan
atau buntut dari suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang,
dengan tujuan agar kreditur jangan sampai dirugikan apabila debitur lalai
membayar kembali uang pinjaman berikut bunganya.Jadi tidak mungkin timbul
adanya hak gadai tanpa ada perjanjian pokok berupa perjanjian hutang piutang.
Dalam hukum Romawi terdapat semacam hak gadai yang dinamakan fidutia, yaitu
suatu pemindahan hak milik dengan perjanjian bahwa benda akan dikembalikan
apabila si berhutang sudah membayar lunas hutang dan bunganya. Selama hutang
belum dibayar kreditur menjadi pemilik benda yang dijaminkan itu. Sebagai
pemilik, ia berhak menyuruh memakai atau menyewakan benda itu kepada debitur
sehingga orang yang berhutang ini tetap menguasai bendanya. Hak gadai
senantiasa melekat meskipun hak milik atas benda itu jatuh ke tangan orang lain
seperti ahli warisnya. Pemegang hak gadai yang kehilangan benda gadai itu,
berhak meminta kembali benda itu dari tangan siapapun benda tersebut berada
selama 3 (tiga) tahun (Ps. 1152 ayat (3) jo Ps. 1977 ayat (2) BWI). Hak untuk
meminta kembali ini berdasarkan Ps. 1977 ayat (2) BWI diberikan kepada pemilik
benda bergerak, sehingga Ps. 1152 ayat (3) BWI dapat diartikan bahwa hak gadai
dipersamakan dengan hak milik. Unsur terpentiing dari hak gadai adalah benda
yang dijaminkan harus berada dalam kekuasaan pemegang gadai. Namun penguasaan
tersebut bukan untuk menikmati, memakai dan memungut hasil, melainkan hanya
untuk menjadi jaminan pembayaran hutang si debitur (pemberi gadai).
1. Obyek hak gadai.
Obyek hak gadai berupa benda bergerak, baik benda
bergerak yang berwujud(lichamelijkezaken) maupun
benda bergerak yang tidak berwujud (onlichamelijke zaken)
berupa hak untuk mendapatkan pembayaran uang dalam bentuk surat-surat berharga.
2.
Apabila surat berharga yang digadaikan berupa surat berharga atas bawa / atas
tunjuk / aan toonder (pembayaran uang dilakukan kepada siapa saja yang membawa/
memegang surat itu), maka cara menggadaikannya adalah dengan cara menyerahkan
begitu saja surat berharga tersebut kepada pemegang gadai.
3.
Apabila surat berharga yang digadaikan berupa atas perintah / aan order
(pembayaran uang dilakukan kepada orang yang disebut dalam surat berharga yang
bersangkutan), maka dalam cara menggadaikan surat berharga tersebut diperlukan
adanya endosemen (Ps. 1152 BWI dst) dan kemudian surat berharga itu harus
diserahkan kepada pemegang gadai.
4.
Apabila surat berharga yang digadaikan berupa surat berharga atas nama / op
naam (pembayaran dilakukan kepada orang yang namanya disebut di dalam surat
berharga itu), maka cara menggadaikannya harus diberitahukan terlebih dahulu
kepada orang yang berwajib membayar uang dan orang yang wajib membayar ini
dapat menuntut supaya ada bukti tertulis izin pemberi gadai. Sebagai
konsekuensi bahwa penguasaan pemegang hak gadai bukan untuk menikmati, memakai
atau memungut hasil, maka kalau yang digadaikan adalah surat-surat berharga
yang memberikan berbagai hak, seperti bunga, Ps. 1158 BWI menentukan bahwa pemegang
gadai dapat memungut bunga itu tetapi bunga itu harus diperhitungkan dengan
hutang maupun bunga yang haruis dibayar oleh pemberi gadai.
Subyek hak gadai
Subyek hak gadai adalah pemberi dan penerima hak gadai, hanya dapat dilakukan
oleh orang-orang yang pada umumnya cakap dan mampu melakukan perbuatan hokum
mengasingkan (menjual, menukar, dll) benda itu. Ps. 1152 ayat (4) BWI
menentukan bahwa kalau ternyata debitur tidak berhak untuk mengasingkan
(menjual, menukar, menghibahkan dlsb) benda itu, gadai tidak dapat dibatalkan
sepanjang penerima gadai (kreditur) betul-betul beranggapan bahwa pemberi gadai
berhak untuk membebankan benda yang bersangkutan dengan hak gadai. Kalau
penerima gadai mengetahui atau seharusnya dapat menyangka bahwa pemberi gadai
tidak berhak mengasingkan obyek gadai, maka penerima gadai tidak mendapat
perlindungan hukum dan hak gadai harus dibatalkan. Timbulnya hak gadai
didasarkan atas perjanjian mengadakan gadai, baik yang dibuat secara tertulis
(otentik atau di bawah tangan) atau dibuat secara lisan. Akan tetapi dengan
perjanjian gadai saja, tidak berarti hak gadai telah terbentuk dengan
sendirinya, melainkan masih harus disertai dengan penyerahan benda yang
digadaikan. Jika barang-barang yang akan digadaikan merupakan barang-barang
yang sehari-hari dipergunakan untuk berusaha maka akan timbul kesulitan apabila
benda itu diserahkan sebagai benda gadai karena ia tidak akan memperoleh
penghasilan untuk melunasi hutang-hutangnya itu. Jalan keluar yang ditempuh
untuk mengatasi kesulitan terbut di atas adalah dengan mempergunakan suatu
lembaga jaminan yang dinamakan fiduciare eigendoms overdracht (fidutia) yang
disingkat menjadi FEO.
Hak-hak pegang gadai (kreditur) :
§ Menahan benda yang digadaikan selama hutang pokok ,
bunga dan biaya lainnya belum dilunasi oleh debiur.
§ Mendapat pembayaran atas piutangnya dari hasil
penjualan benda yang digadaikan. Penjualan benda gadai dapat dilakukan sendiri
oleh pemegang gadai atau melalui pengadilan.
§ Meminta ganti seluruh biaya yang timbul yang telah
menjadi beban dirinya dalam memelihara benda gadai.
§ Menggadaikan kembali benda gadai, dalam hal kasus
seperti telah menjadi kebiasaan, seperti menggandaikan saham-saham perseroan
atau obligasi.
§ Mempunyai hak untuk didahulukan (preferensi) dalam menerima
pembayaran atas piutangnya terhadap piutang-piutang lainnya.
Kewajiban pemegang gadai
Kewajiban
pemegang gadai adalah :
1. Bertanggung jawab atas hilangnya atau berkurangnya
nilai barang yang digadaikan yang disebabkan oleh karena kelalaiannya.
2. Wajib memberitahukan kepada pemberi gadai jika ia
bermaksud untuk menjual barang gadai.
3. Memberikan perhitungan tentang perincian hasil
penjualan benda gadai dan setelah mengambil sebagian untuk pelunasan
piutangnya, harus menyerahkan kelebihannya kepada pemberi gadai.
4. Harus mengembalikan benda gadai bilamana hutang pokok,
bunga dan biaya pemeliharaan benda gadai telah dilunasi oleh debitur.
5. Hapusnya gadai
Gadai
menjadi hapus karena :
1. Karena hapusnya perjanjian hutang piutang (perjanjian
pokoknya)
2. Karena penyalahgunaan wewenang pemegang gadai sehingga
diperintah-kan untuk mengembalikan benda gadai.
3. Karena benda gadai dikembalikan atas kemauan sendiri
oleh pemegang gadai kepada pemberi gadai (dalam hal hutang dianggap telah
dihapuskan).
4. Karena pemegang gadai oleh sesuatu sebab menjadi
pemilik benda yang digadaikan.
5. Karena dieksekusi oleh pemegang gadai.
6. Karena lenyapnya / hilangnya benda gadai
Didalam
gadai dikenal lembaga yang disebut parate executie, yaitu orang yang berhutang
(pemberi gadai) sejak semula telah memberikan persetujuan bahwa jika dirinya
lalai dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur (pemegang gadai), barang
jaminan yang diserahkannya itu boleh dijual oleh pemegang gadai untuk pelunasan
hutangnya tanpa harus melalui pengadilan.
B. Hipotik
Tentang hipotik ini sepanjang yang diatur dalam BWI,
terletak di dalam Buku II titel XXI Ps. 1162 – 1232. Namun sebagaimana telah
dikemukakan dengan berlakunya UUPA maka ketentuan di dalam Buku II BWI,
sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya
dinyatakan tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik.
Secara garis besar dapat dikatakan, sepanjang ketentuan dalam Buku II tesebut
mengatur tentang hak dan kewajiban pemberi dan pemegang hipotik, azas-azas
hipotik, maka ketentuan-ketentuan itu masih berlaku. Sedangkan ketentuan yang
mengatur tentang cara pembebanan hipotik, cara pendaftaran hipotik, cara
peralihan hupotik dan obyek serta subyek hipotik diberlakukan ketentuan yang
terdapat di dalam UUPA serta peraturan-peraturan pelaksanaannya :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah;
2. Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pejabat Pembuat Akta Tanah;
3. Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 tentang
Pembebanan dan Pendaftaran Hipotik dan Credietverband;
4. Surat Keputusan Direktur Jenderal Agraria Nomor
67/DDA/1968 tentang Bentuk Buku Tanah dan Sertifikat Hipotk dan credietverband;
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1978
tentang Biaya Pendaftaran Tanah.
Menurut Ps. 1162 BWI yang dimaksud dengan hipotik adalah suatu hak kebendaan
atas benda-benda tak bergerak (kepunyaan orang lain), untuk mengambil
penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. Seperti halnya tujuan
gadai, pengertian di atas menunjukkan bahwa tujuan hipotik adalah juga untuk
memberi jaminan kepada kreditur tentang kepastian pembayaran pelunasan atas
uang yang dipinjam debitur sedemikian rupa, bahwa apabila debitur wanprestasi
maka benda-benda yang dibebani hipotik dapat dijual / dilelang dan pendapatan
penjualan tersebut dipergunakan untuk membayar hutang yang dijamin dengan
hipotik, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang. Dengan demikian perjanjian
hipotik merupakan perjanjian tambahan (accessoir) dari suatu perjanjian hutang
piutang sebagai perjanjian pokoknya. Selanjutnya di dalam Ps. 1163 ayat (2) BWI
diterangkan bahwa karena hipotik tetap melekat pada bendanya, maka meskipun
benda itu kemudian dimiliki oleh orang lain hipotik tetap melekat atas benda
itu (jual beli tidak menggugurkan hipotik).
Beberapa
sifat yang terdapat dalam hipotik adalah :
1. Sifat Konvensional, artinya perjanjian pembebanan
hipotik harus secara tegas menyatakan hal itu dan dibuat dengan akta otentik;
2. Sifat tidak dapat dibagi (ondeelbaarheid), artinya
bahwa hipotik itu tetap berlangsung walaupun sebagian dari hutang telah
dibayar;
3. Sifat tetap melekat pada bendanya (zaaksgevolg),
meskipun benda yang dibebani hipotik berpindah tangan, hipotik tetap melekat
pada benda itu;
4. Sifat mudah dieksekusi, artinya benda yang dibebani
hipotik dapat dijual sendiri oleh kreditur atau dengan perantaraan hakim, tidak
perlu bantuan tenaga penjualan khusus;
5. Sifat didahulukan (droit de preference), artinya
pelunasan hipotik lebih didahulukan daripada piutang-piutang lainnya, kecuali
ditetapkan lain oleh undang-undang;
6. Sifat accessoir, artinya sebagai pelengkap dari
perjanjain pokok yaitu hutang piutang;
7. Bersifat sebagai jaminan, yaitu untuk menjamin
pelunasan suatu hutang saja dan tidak memberi hak untuk menguasai dan memiliki
benda jaminan.
Secara
umum dapat dikatakan bahwa yang merupakan azas-azas hipotik adalah :
1. Terbuka untuk umum (ovenbaarheid), yaitu bahwa hipotik
didasarkan dalam suatu daftar umum supaya dapat diketahui oleh pihak ketiga.
Azas ini dikenal pula dengan nama azas publisitas;
2. Azas spesifikasi (specialiteit), artinya bahwa hipotik
hanya dapat dibeban-kan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus, berupa
apa, berapa luas, berapa besar, jumlah, ukuran, di mana letaknya /
batas-batasnya dlsb. Hipotik atas benda tak bergerak yang telah ditentukan
secara khusus sebagai unit kesatuan misalnya sebuah rumah, tidak dapat hanya
dibebankan atas paviliun rumah tersebut atau hanya atas satu atau dua kamar di
dalam rumah tersebut.
Berdasarkan
ketentuan Ps. 1164 BWI, benda yang dapat dibebani hipotik / obyek hipotik
adalah benda-benda tak bergerak yang dapat dipindah tangankan. Setelah
berlakunya UUPA Nomor 5 Tahun 1960 berikut peraturan pelaksanaannya, maka benda
tak bergerak yang dapat dibebani hipotik adalah hak milik, hak guna bangunan,
hak guna usaha (baik yang berasal dari konversi hak tanah barat, seperti hak
eigendom / hak opstal / hak erfpacht maupun hak tanah adat), dengan syarat
hak-hak tersebut telah didaftarkan dalam Daftar Buku Tanah. Dengan demikian maka
hak atas tanah lainnya yang disebutkan di dalam UUPA yang walaupun harus
didaftar dalam Daftar Buku Tanah, tetap tidak dapat dibebani hipotik atau
credietverband.
a.
Hak memungut hasil (vruchtgebruik);
b.Hak
opstal (Ps. 711 – 719 BWI) dan hak erfpacht (Ps. 720 – 736 BWI);
c.
Bunga tanah (Ps. 737 – 739 BWI);
d. Bunga sepersepuluh (Ps. 740 – 755
BWI);
e.
Pasar yang diakui pemerintah berikut hak-hak istimewa yang melekat padanya.
Yang
dimaksud dengan subyek hipotik adalah para pihak yang mengadakan perjanjian
hipotik yaitu pihak pemberi hipotik dan pihak penerima hipotik. Orang yang
dapat membeli hipotik atau dalam hal ini berarti yang berhak menghipotikkan
suatu benda haruslah orang yang berhak mengasingkan benda itu. Orang dilarang
membebani hipotik suatu benda yang tidak atau belum dapat diasingkannya; namun
orang boleh membebani hipotik suatu benda miliknya untuk menjamin pembayaran
hutang orang lain. Di dalam UUPA telah ditentukan siapa saja yang dapat
mempunyai hak atas tanah (hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan) yang
dapat dibebani hak tanggungan. Yang dapat mempunyai hak milik atas tanah
adalah:
1. Warga negara Indonesia;
2. Badan-badan hukum yang ditetapkan pemerintah :
§
Bank-bank milik Negara
§
Perkumpulan koperasi pertanian
§
Badan-badan keagamaan yang ditunjuk
Menteri dalam Negeri setelah mendengar Menteri Agama
§
Badan-badan sosial yang ditunjuk Menteri
Dalam Negeri.
Yang
dapat mempunyai hak guna usaha atas tanah adalah :
1. Warga Negara Indonesia;
2. Badan hukum Indonesia
Yang
dapat mempunyai hak guna bangunan adalah :
1. Warga Negara Indonesia;
2. Badan hukum Indonesia
Dalam
UUPA tidak ditentukan siapa-siapa yang dapat menjadi pihak penerima hipotik
ataupun syarat-syarat tertentu untuk menjadi pihak penerima hipotik. Oleh
karena itu tidak dipersoalkan apakah kreditur (penerima hipotik) itu perorangan
atau badan hukum, WNI atau orang asing, apakah badan hukum Indonesia atau badan
hukum asing, apakah berdomisili di Indonesia atau berkedudukan di luar negeri,
semua dianggap memenuhi syarat prosedur pembebanan hipotik
1. Pembuatan hipotik dilakukan oleh kreditur dan debitur
dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (Ps. 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961);
2. Sesuai dengan Surat Keputusan Dirjen Agraria 67/DDA/1968,
maka kepala akta hipotik berbunyi “ Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”, berarti grosse (salinan pertama) akta hipotik ini mempunyai
kekauatan eksekutorial seperti keputusan pengadilan yang telah memeproleh
kekuatan hukum yang tetap;
3. Akta pemberian hipotik dibuat dalam dua rangkap,
masing-masing rangkap ditandatanagani oleh debitur dan kreditur, para saksi dan
PPAT. Satu lembar akta itu disimpan PPAT dan satu lembar lainnya beserta
sertifikat hak atas tanah berikut surat-surat lain yang diperlukan disampaikan
oleh PPAT (atau kreditur) kepada Kantor Pendaftaran Tanah untuk diidaftarkan
dalam Buku Tanah ;
4. Pendaftaran yang dilakukan oleh Kepala Kantor
Pendafataran Tanah meliputi :
§ Memuat Buku Tanah (yang baru) untuk hipotik yang
bersangkutan;
§ Membuat sertifikat hipotik yang terdiri dari salinan
Buku Tanah tersebut dan salinan akta pemberian hipotik;
§ Mencatat adanya hipotik pada Buku Tanah serta
sertifikat hak atas tanah yang dibebaninya.
Setelah
itu Kepala Kantor Pendaftaran Tanah menyerahkan sertifikat hipotik kepada
penerima hipotik (kreditur) dan menyerahkan sertifikat hak atas tanah kepada
pemberi hipotik (debitur); namun dalam praktek umumnya yang terjadi sertifikat
hak atas tanah tetap disimpan oleh kreditur sampai piutangnya dilunasi. Mengenai
kapan mulai berlakunya hipotik ada sementara pihak yang berpendapat bahwa
pembebanan hipotik telah mulai berlaku sah sejak dibuatkan akta otentik oleh
PPAT, namun ada pihak lainnya menekankan azas publisitas, sehingga berpendapat
bahwa setelah terdaftar di Kantor Pendaftaran Tanah maka hipotik baru mempunyai
kekuatan mengikat, karena telah bersifat terbuka untuk diketahui secara umum.
Kuasa memasang hipotik :
1. Di dalam praktek perkreditan dewasa ini tidak semua
jaminan yang dipegang kreditur (khususnya dalam hal ini bank) berupa hipotik,
karena suatu proses hipotik termasuk di dalamnya proses sertifikasi hak atas
tanah, tentunya memerlukan jangka waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak
sedikit. Khusus untuk penyaluran kredit kepada pengusaha kecil dan golongan
ekonomi lemah, pembebanan hipotik dirasakan terlalu berat, karena kebanyakan
hak atas tanah mereka belum memperoleh sertifikat hak atas tanah, sedangkan
mereka sudah memerlukan bantuan berupa kredit baik untuk investasi maupun untuk
modal kerja mereka. Dalam hal ini sebagai jalan keluar maka kreditur menerima
“kuasa memasang hipotik” berikut kuasa untuk mengurus sertifikat hak atas tanah
yang bersangkutan. Dengan demikian maka keditur / bank dapat menyelesaikan
proses sertifikasi hak atas tanah tersebut, dan pemasangan hipotik baru
dilakukan jika benar-benar diperlukan, misalnya jika sudah ada tanda-tanda
bahwa debitur lalai memenuhi kewajibannya. Dalam prakteknya bank selalu
meguasai sertifikat hak atas tanah yang dijadikan jaminan, selain untuk
kemungkinan pemasangan hipotik seperti diuraikan di atas, juga untuk menjaga
jangan sampai terjadi penyalah gunaan debitur, misalnya hak tersebut dijadikan
sebagai jaminan hutang yang lain atau dipindah tangankan, tanpa sepengetahuan
bank / kreditur.
2. Berdasarkan Ps. 1171 ayat (2) BWI, surat kuasa
memasang hipotik harus dibuat dalam bentuk akta otentik (akta notaris), bukan
akta PPAT;
3. Surat kuasa memasang hipotik mempunyai sifat tidak
dapat dicabut / ditark kembali oleh debitur. Kalau sifat ini tidak melekat pada
surat kuasa tersebut maka kreditur / bank pada saat yang diperlukan bisa jadi
tidak dapat melakukan pembebanan hipotik dimaksud.
Sifat
tidak dapat dicabut ini secara yuridis sebenarnya bertentangan dengan prinsip
umum tentang pemberian kuasa sebagaimana yang diatur di dalam Ps. 1813 BWI yang
antara lain menyatakan bahwa pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali
kuasa tersebut oleh pemberi kuasa.
Hipotik untuk jaminan hutang yang akan ada
Di
dalam Ps. 1176 ayat (1) BWI dengan tegas ditentukan bahwa “suatu hipotik
hanyalah sah, sekedar jumlah uang untuk mana ia telah diberikan, adalah (jumlah
ter)tentu dan ditetapkan di dalam akta”. Dalam kenyataannya yurisprudensi
membolehkan hipotik untuk jaminan hutang, yang pada saat pembebanan hipotik
tersebut dilakukan belum seluruh hutang diserahkan kreditur kepada debitur,
sehingga jumlah hutang debitur yang aktual pada saat pembebanan hipotik lebih
kecil dari jumlah formal yang tercantum di dalam akta. Dalam prakteknya hipotik
semacam ini lazim dilakukan di mana debitur mengambil pinjamannya hanya
sebagian demi sebagian sesuai dengan kebutuhannya pada saat itu. Setelah
sebagian hutang dibayar lunas oleh debitur hipotik tidak dihapuskan, tetapi
dibiarkan terus untuk keperluan pengambilan kredit bagian berikutnya. Hipotik
semacam ini lazim disebut crediet hypotheek.
Hipotik untuk benda yang akan ada.
Berdasarkan Ps. 1175 ayat (1) BWI telah ditegaskan
bahwa “hipotik hanya dapat dilepaskan-atas benda-benda
yang sudah ada. Hipotik atas benda-benda yang akan ada dikemudian hariadalah
batal”. Akan tetapi yurisprudensi dengan mempergunakan lembaga crediet
hypotheek memungkinkan terjadinya hipotik dengan jaminan benda yang akan ada,
dalam prakteknya sering terjadi dalam hal pembangunan perumahan. Kredit
diberikan sebagian demi sebagian sesuai dengan kemajuan pembangunan rumah
tersebut, sampai akhirnya jumlah maksimum kredit tercapai dan rumah yang
dijadikan jaminan yang tadinya belum ada menjadi ada(selesai dibangun).
1. Tingkatan-tingkatan hipotik
Sebidang
tanah dapat dibebani lebih dari satu hipotik. Susunan urutan dari para pemegang
hipotik atas sebidang tanah tertentu didasarkan atas tanggal pendaftaran
hipotik pada Buku Tanah di Kantor Pendaftaran Tanah. Kreditur yang hipotiknya
dicatat lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dengan ketentuan,
bila beberapa pemegang hipotik mendaftarkan hipotiknya pada hari yang sama
namun pada jam yang berbeda, mereka mempunyai kedudukan yang sama (Ps. 1181
BWI). Tingkatan hipotik ini penting artinya untuk menentukan hutang siapa yang
harus didahulukan pembayarannya. Kalau benda hipotik dijual, maka pemegang
hipotik dibayar dengan uang hasil penjualan itu sesuai dengan tingakatannya.
Bilamana hasil penjualan itu tidak cukup untuk membayar semua hutang para
pemegang hipotik, maka yang lebih dahulu dilunasi adalah hutang pemegang
hipotik pertama. Kalau ada sisanya baru dibayarkan kepada pemegang hipotik
kedua, demikian seterusnya sesuai dengan urutan tingkatannya.
Tingkatan-tingkatan hipotik tidak hanya berkaitan dengan pelunasan hutang
pokok, melainkan sekaligus dengan pelunasan bunga dari hutang pokok tersebut
(Ps. 1184 BWI).
Peralihan hipotik
Hipotik
merupakan hak atas harta kekayaan yang dapat dialihkan, namun sebagai hak
accessoir, peralihannya tidak mungkin terjadi terlepas dari piutang pokoknya.
Dalam hal ini peralihan piutang pokok yang dijaminkan dengan suatu hipotik yang
berwujud penjualan, penyerahan dan pemberian suatu hipotik menurut Ps. 1172 BWI
hanya dapat dilakukan melalui akta otentik yaitu akta notaris. Selanjutnya
peralihan tersebut harus diberitahukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah
untuk dilakukan pencatatan pada Buku Tanah dan sertifikatnya. Peralihan hipotik
tidak berarti hapusnya hutang debitur, yang terjadi hanyalah perubahan pemegang
hipotik.
Hapusnya hipotik
Berdasarkan
Ps. 1209 BWI, hipotik hapus karena hal-hal sebagai berikut :
1. Hapusnya perjanjian hutang pokok.
Kasus
ini merupakan cara hapusnya hipotik yang paling sering terjadi dibandingkan
dengan cara yang lainnya.. Hapusnya perhutangan (perjanjian) pokok
mengakibatkan hapusnya hipotik sebagai hak accessoir (Ps. 1381 BWI)
2. Pelepasan hipotik oleh debitur
3. Karena keputusan hakim
Diluar
Ps. 1209 BWI tersebut di atas masih terdapat banyak cara lain yang
mengakibatkan hapusnya hipotik antara lain :
§
Karena hapusnya benda yang dihipotikkan.
Bilamana
suatu hak atas tanah yang dibebani hipotik habis karena jangka waktunya telah
selesai maka hipotik atas tanah itu juga menjadi hapus;
§
Karena adanya percampuran hutang, yakni
pemegang hipotik menjadi pemilik benda yang dihipotikkan; dalam hal ini berarti
penerima hipotik statusnya juga menjadi pemberi hipotik;
§
Karena berakhirnya hak dari pemberi
hipotik sebagai diatur dalam Ps. 1169 BWI;
§
Karena berakhirnya jangka waktu hipotik;
§
Karena dipenuhinya syarat batal
untuk mana hipotik diberikan;
§
Karena adanya pencabutan hak atas barang
yang dihipotikkan;
Di
dalam UUPA terdapat juga ketentuan mengenai hapusnya hipotik terhadap hak-hak
atas tanah yang dituangkan dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor DA
10/241/10 tanggal 27 Oktober 1970 tentang hapusnya hak atas tanah yang dibebani
hipotilk dan tanahnya kembali dalam kekuasaan negara.
Kemungkinan
terjadi hapusnya hak atas tanah itu adalah karena :
1. Karena waktunya berakhir;
2. Karena Dipenuhinya salah satu syarat batal, walaupun
jangka waktu hak yang bersangkutan belum berakhir;
3. Karena dicabut untuk kepentingan umum;
4. Karena pelepasan secara sukarela oleh pemilik hak atas
tanah yang bersangkutan.
Dengan
hapusnya hak atas tanah yang dibebani hipotik tidak mengakibatkan hapusnya
perhutangan pokoknya berupa perjanjian pinjam meminjam uang. Yang hapus
hanyalah hipotiknya saja, sehingga kreditur bukan lagi merupakan kreditur yang
preference.
Pencoretan (roya)
Jika
hipotik hapus maka dilakukan pencoretan / roya terhadap daftar hipotik pada
Buku Tanah. Pencoretan hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan antara
pihak-pihak yang bersangkutan atau atas keputusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Ps. 1195 BWI). Dalam praktek perbankan,
hapusnya hipotik ini diberitahukan secara resmi oleh pihak bank kepada Kepala
Kantor Pendaftaran Tanah untuk dapat dilakukan pencoretan atas permintaan pihak
yang berkepentingan. Pencoretan dilakukan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah
setelah menerima surat tanda bukti hapusnya hipotik (Ps. 29 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961). Atas dasar permintaan pencoretan, maka Kepala
Kantor Pendaftaran Tanah mencatat pada Buku Tanah Hipotik bahwa jipotik
seluruhnya dihapuskan. Kemudian pada Buku Tanah dan sertifikat tanah dicatat
bahwa hipotik pada tanggal, bulan, tahun sekian dengan nomor sekian, dihapuskan
(Peraturan Menteri Agraria Nomor 7 Tahun 1961 Ps. 47). Perbedaan antara gadai
dan hipotik
C. Fidusia
Dasar hukumnya adalah Undang Undang No.42 Tahun 1999 tentang Fidusia.Dalam
hokum Romawi terdapat semacam hak gadai yang dinamakan fidutia, yaitu suatu
pemindahan hak milik dengan perjanjian bahwa benda akan dikembalikan apabila si
berhutang sudah membayar lunas hutang dan bunganya. Selama hutang belum dibayar
kreditur menjadi pemilik benda yang dijaminkan itu. Sebagai pemilik, ia berhak
menyuruh memakai atau menyewakan benda itu kepada debitur sehingga orang yang
berhutang ini tetap menguasai bendanya.Dari asal katanya, fidusia berarti
Kepercayaan, sehingga dapat diartikan bahwa fidusia merupakan lembaga kaminan
atas dasar kepercayaan, tanpa harus menyerahkan fisik suatu benda yang dijaminkan
.Syaratnya harus ada perjanjian peralihan hak.
Perjanjian
Peralihan Hak tersebut bisa berupa constitutum possessorium untuk benda bergerak berwujud, atau cessie, untuk
benda bergerak tidak berwujud (hutang piutang).Constitutum possessorium adalah
penyerahan suatu hak milik tanpa menyerahkan fisik benda yang bersangkutan.
Adapun tahapan perjanjian peralihan hak itu ada tiga, masing masing :
1. Perjanjian Obligatoir, merupakan perjanjian utama yang
karena adanya perjanjian pinjaman (hutang piutang) ini, maka ada jaminan
fidusia dari pihak peminjam ;
2. Perjanjian Kebendaan, dimana melalui perjanjian ini
terjadi penyerahan hak milik atas benda yang bersangkutan dari debitur kepada
kreditur , baik secara constitutum possessorium maupun secara cessie .
3. Perjanjian Pinjam Pakai, dimana melaui perjanjian ini
maka benda obyek fidusia yang hak miliknya sudah berpindah kepada kreditur,
dipinjam-pakaikan oleh kreditur kepada debitur, sehingga benda tersebut se-olah
olah masih berada dibawah kekuasaan debitur.
Akta Jaminan Fidusia harus berupa Akta Notaris, dibuat dalam bahasa Indonesia
dan berisi hal hal yang perlu dijelaskan seperti identitas penerima dan pemberi
fidusia, data tentang perjanjian pokoknya, nilai hutang piutang terkait, benda
yang dijaminkan serta besarnya nilai benda yang dijaminkan,dengan syarat benda
yang dijaminkan harus benda bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar