Jakarta - Anggota Komisi III, Ahmad Basarah mendukung dihidupkannya lagi pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP. Namun dia berpesan agar DPR dan pemerintah berhati-hati dalam penyusunan pasal.
"Harus berhati-hati menyusun pasal tersebut agar tidak menjadi pasal karet yang dapat digunakan oleh penguasa untuk membungkam sikap kritis warga negaranya seperti di zaman orde baru dulu," kata Basarah, Jumat (5/4/2013) malam.
Basarah secara pribadi mendukung adanya pasal ini. Menurutnya presiden memang wajib dilindungi harkat dan martabatnya oleh UU.
"Karena dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, seorang presiden adalah juga berkedudukan sebagai lambang negara," tuturnya.
Karena itu, pasal penghinaan terhadap presiden, menurut politikus PDIP ini, perlu diatur dalam KUHP. "Namun yang terpenting pengaturan pasal penghinaan terhadap kepala negara tersebut harus jelas dan tegas kriteria serta batasan-batasannya," imbuhnya.
"Penegasan tersebut sangat penting agar tidak rancu dengan sikap warga negara yang sebenarnya bersifat mengkritik kebijakan presiden," ujar Basarah.
Menurutnya, kritik terhadap presiden tidak boleh dilarang ataupun diberikan sanksi. "Tetapi terhadap sikap penghinaan kepada kepala negara, saya setuju hal itu diatur," tutup Basarah.
Pasal penghinaan terhadap presiden tertuang dalam pasal 256 RUU KUHP, setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.
MK sendiri telah mencabut pasal penghinaan terhadap presiden dalam draf rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (UU KUHP), karena dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Tapi kini pasal itu dimunculkan kembali oleh pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang KUHP yang telah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin berkilah, presiden seorang kepala negara yang patut dihormati. Maka sah saja jika dibuatkan pasal khusus terkait penghinaan kepada presiden dalam KUHP.
"Harus berhati-hati menyusun pasal tersebut agar tidak menjadi pasal karet yang dapat digunakan oleh penguasa untuk membungkam sikap kritis warga negaranya seperti di zaman orde baru dulu," kata Basarah, Jumat (5/4/2013) malam.
Basarah secara pribadi mendukung adanya pasal ini. Menurutnya presiden memang wajib dilindungi harkat dan martabatnya oleh UU.
"Karena dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, seorang presiden adalah juga berkedudukan sebagai lambang negara," tuturnya.
Karena itu, pasal penghinaan terhadap presiden, menurut politikus PDIP ini, perlu diatur dalam KUHP. "Namun yang terpenting pengaturan pasal penghinaan terhadap kepala negara tersebut harus jelas dan tegas kriteria serta batasan-batasannya," imbuhnya.
"Penegasan tersebut sangat penting agar tidak rancu dengan sikap warga negara yang sebenarnya bersifat mengkritik kebijakan presiden," ujar Basarah.
Menurutnya, kritik terhadap presiden tidak boleh dilarang ataupun diberikan sanksi. "Tetapi terhadap sikap penghinaan kepada kepala negara, saya setuju hal itu diatur," tutup Basarah.
Pasal penghinaan terhadap presiden tertuang dalam pasal 256 RUU KUHP, setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.
MK sendiri telah mencabut pasal penghinaan terhadap presiden dalam draf rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (UU KUHP), karena dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Tapi kini pasal itu dimunculkan kembali oleh pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang KUHP yang telah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin berkilah, presiden seorang kepala negara yang patut dihormati. Maka sah saja jika dibuatkan pasal khusus terkait penghinaan kepada presiden dalam KUHP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar