BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan ekonomi pada umumnya dilakukan oleh
pelaku-pelaku ekonomi baik orang-perorangan yang menjalankan usahanya ataupun
badan usaha yang mempunyai kedudukan sebagai badan hukum atau bukan badan
hukum. Kegiatan ekonomi ini pada hakekatnya adalah kegiatan menjalankan
perusahaan yaitu, suatu kegiatan yang mengandung pengertian bahwa kegiatan yang
dimaksud harus dilakukan secara terus menerus dalam pengertian yang tidak
terputus-putus, secara terang-terangan dalam pengertian yang sah, dan kegiatan
tersebut dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan baik untuk diri sendiri
atau orang lain.[1]
Kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat pada
hakikatnya merupakan rangkaian berbagai perbuatan hukum yang luar biasa banyak
jenis, ragam, kualitas dan variasinya yang dilakukan oleh antar pribadi, antar
perusahaan, antar Negara dan antar kelompok dalam berbagai volume dengan
frekuensi yang tinggi setiap saat diberbagai tempat. Peranan tersebut baik
dalam hal mengumpulkan dana dari masyarakat maupun menyalurkan dana yang
tersedia untuk membiayai kegiatan perekonomian yang ada.[2]
Dengan semakin tinggi frekuensi kegiatan ekonomi yang terjadi pada masyarkat
tentunya semakin banyak pula kebutuhan akan dana sebagai salah satu faktor pendorong
dalam menggerakkan roda perekonomian. Seiring pesatnya perkembangan ekonomi
dunia telah berdampak pada meningkatnya transaksi perdagangan antar pelaku
usaha, dimana satu pelaku usaha menjalankan usaha atau investasi di beberapa
negara[3]
berdasarkan hukum Negara setempat[4].
Di dalam dunia bisnis serta era global seperti sekarang ini kegiatan-kegiatan
usaha tidak mungkin lepas dari berbagai masalah. Suatu perusahaan tidak selalu
berjalan dengan baik dan seringkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa
sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar utang-utangnya. Dapat
dikatakan bahwa kehidupan suatu perusahaan dapat saja dalam kondisi untung atau
dalam keadaan rugi. Kalau dalam keadaan untung, perusahaan berkembang dan terus
berkembang, sehingga menjadi perusahaan raksasa. Sebaliknya apabila perusahaan
menderita kerugian, maka garis hidupnya menurun, jadi garis hidup suatu
perusahaan pada suatu saat dapat naik dan pada saat lain menurun, begitu
seterusnya, sehingga garis hidup perusahaan itu merupakan garis yang menaik dan
menurun seperti grafik. Suatu perusahaan membutuhkan uang sebagai dana untuk
dapat melaksanakan kegiatan usahanya. Namun tidaklah selamanya badan hukum
memiliki uang yang cukup untuk memenuhi segala kebutuhannya. Untuk menutupi
kekurangan uang tersebut, badan hukum seringkali meminjam uang yang dibutuhkan
kepada pihak lain, seperti bank yang memberikan pinjaman dengan penyertaan
adanya bunga. Di sini pihak yang memberikan pinjaman uang disebut kreditur atau
si berpiutang, sedangkan pihak yang menerima pinjaman disebut debitur atau si
berutang. Pemberian pinjaman atau kredit yang diberikan kreditur kepada debitur
dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa debitur dapat mengembalikan pinjaman
tersebut kepada kreditur tepat pada waktunya. Tanpa adanya kepercayan dari
kreditur, tidaklah mungkin kreditur mau memberikan pinjaman kepada debitur, hal
ini disebut dengan kredit (credit) yang berasal dari kata credere
yang berarti kepercayaan atau Trust. Ketika terjadi krisis moneter di pertengahan
tahun 1997 yang telah melanda hampir seluruh belahan dunia dengan dampaknya
yang buruk terhadap perekonomian nasional dan dunia usaha. Dunia usaha
merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang melanda
dan tidak sedikit juga dunia usaha yang gulung tikar. Dalam kondisi yang sangat
tidak menguntungkan dan serba tidak menentu, persoalan yang paling krusial pada
waktu itu adalah bagaimana penyelesaian utang–piutang di kalangan dunia usaha.
Para kreditur baik asing maupun lokal dengan segala daya upayanya mendesak agar
para debitur yang mayoritas adalah pengusaha swasta nasional segera melunasi
kewajibannya. Situasi dunia usaha saat itu menjadi tidak kondusif dalam
melunasi utang, sebab kewajiban dalam waktu singkat telah berkembang menjadi
berlipat ganda akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap semua mata uang
asing lainnya, apalagi sebagian besar pinjaman adalah dalam bentuk mata uang
asing, sedangkan pendapatan usaha dalam bentuk rupiah dan kegiatan usaha telah
lumpuh sebagai akibat dari krisis moneter di Indonesia pada waktu itu telah
berubah menjadi krisis multi dimensional. Segala upaya dilakukan oleh
pemerintah untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut
yang berakibat pula tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah
jatuh tempo, yang antara lain dengan melakukan perubahan-perubahan yang cukup
signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan
merevisi Undang-undang Kepailitan yang ada.
Revisi atas Undang-undang Kepailitan yang hendak
dilakukan oleh pemerintah sebenarnya timbul sebagai akibat dari adanya tekanan
dari Dana Moneter Internasional/ Internasional
Monetery Fund (IMF) yang mendesak agar Indonesia segera menyempurnakan
sarana hukum yang mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh debitur kepada
kreditur. Akhirnya Dana Moneter Internasional/ Internasional Monetery Fund (IMF) berpendapat untuk mengatasi
krisis dan menyelesaikan utang–piutang di Indonesia dilakukan dengan cara
memberikan bantuan dana, adanya keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri
di kalangan dunia usaha dan upaya penyelesaian kredit macet perbankan Indonesia
dengan mensyaratkan agar pemerintah Republik Indonesia segera mengganti atau
mengubah peraturan tentang kepailitan yang berlaku di Indonesia, karena
peraturan-peraturan tentang kepailitan yang ada dianggap tidak lagi efektif
sebagai sarana penyelesaian utangutang pengusaha Indonesia kepada para
krediturnya. Masalahnya adalah bagaimana nantinya dan apa yang diperlukan untuk
membantu dunia usaha untuk mengatasi ketidakmampuan para debitur atau pengusaha
untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para kreditur.
Secara teoritis, pada umumnya utang-piutang debitur yang
memiliki masalah dengan kemampuan untuk memenuhi kewajibannya membayar utang
menempuh berbagai alternatif penyelesaian. Mereka dapat merundingkan permintaan
penghapusan utang, baik untuk sebagian atau seluruhnya. Mereka dapat pula
menjual sebagian aset atau bahkan usahanya. Mereka dapat pula mengubah pinjaman
tersebut menjadi penyertaan saham. Para kreditur dapat menggugat berdasarkan
perundang-undangan Hukum Perdata yaitu mengenai wanprestasi atau ingkar janji
bila debitur mempunyai keuangan atau harta yang cukup untuk membayar
utang-utangnya. Selain kemungkinan di atas, bila debitur tidak mempunyai
keuangan, harta atau asset yang cukup sebagai jalan terakhir barulah para
kreditur menempuh pemecahan melalui peraturan kepailitan yaitu Undang-Undang
Kepailitan No.37 Tahun 2004 dengan cara mengajukan permohonan pailit kepada
Pengadilan Niaga di daerah wilayah hukumnya. Kepalitan merupakan proses dimana:
Seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan
pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitur
tersebut tidak dapat membayar utangnya; Harta debitur dapat dibagikan kepada
para kreditur sesuai dengan peraturan kepailitan.
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hukum
memberikan jaminan kepada kreditur bahwa apabila debitur karena sesuatu hal
tidak melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan, maka harta kekayaan
debitur, baik bergerak maupun tidak bergerak yang telah ada dan akan ada di
kemudian hari, akan menjadi agunan hutangnya dapat dijual untuk pelunasan
pinjaman atau kredit yang diberikan kreditur.
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Sedangkan dalam Pasal 1132
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, memberikan jaminan kedudukan yang seimbang
bagi krediturnya dimana dalam hal ini krediturnya lebih daripada satu.
Kedudukan yang seimbang antar kreditur dapat dikecualikan apabila ditentukan
lain oleh undang-undang karena alasan yang sah untuk didahulukan oleh kreditur
lainnya.
Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan:
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama–sama bagi semua orang yang
mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut
keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali
antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.
Pasal 1133 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
bahwa seorang kreditur didahulukan daripada kreditur lainnya apabila tagihan
kreditur yang bersangkutan merupakan : Tagihan yang berupa hak istimewa;
Tagihan yang dijamin dengan hak gadai; Tagihan yang dijamin dengan
hipotik
Kepailitan adalah lembaga hukum perdata sebagai realisasi
dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata[5].
Pernyataan pailit merupakan hal yang sangat ditakuti oleh para debitur terutama
setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan
(Undang-Undang yang pertama mengatur tentang Kepailitan). Sebelumnya masalah
kepailitan belum begitu terdengar gaungnya di dunia hukum bisnis Indonesia.
Menurunnya popularitas kepailitan mungkin dapat dijelaskan dengan merunjuk pada
riwayat hukum kepailitan itu sendiri. Sejak revisi terakhir dalam staatsblad
1906 No. 348, praktis tidak terdapat perubahan yang berarti terhadap substansi
peraturan kepailitan.[6]
Sejak kemerdekaan Indonesia struktur ekonomi Indonesia yang semakin berkembang
telah sedikit banyak merubah karateristik dunia usaha Indonesia, dari yang
tadinya didominasi oleh pedagangpedagang dengan modal kecil dan menengah,
kepada struktur usaha yang semakin industrialis, dimana bermunculan
pengusaha-pengusaha dengan skala kegiatan yang membutuhkan modal yang sangat
besar dengan transaksi bisnis yang semakin kompleks. Lahirnya Undang-Undang
Kepailitan (UU No. 4 Tahun 1998 dan UU No. 37 Tahun 2004) ini telah menimbulkan
resonansi yang kuat dalam dunia bisnis di Indonesia.[7]
Kepailitan yang tadinya merupakan suatu proses yang cenderung tertutup, tidak
menjadi fokus publik, serta tidak menarik untuk di konsumsi media menjadi
proses yang gemerlap.
Dalam perkembangannya sekarang ini dalam mengatasi
kepailitan, sebuah perusahaan atau badan hukum memberikan suatu garansi atau
jaminan kepada pihak pihak kreditur dalam pelunasan hutangnya. Jaminan ini
dapat berupa jaminan materiil (kebendaan) dan jaminan imateriil yaitu
perseorangan atau badan hukum. Jaminan imaterill atau perseorangan maupun badan
hukum memberikan garansi yang disebut guarantee kepada perusahaan yang
akan pailit sebagai pengangung jaminan hutangnya. Berkaitan dengan pemberian
garansi yang biasanya diminta oleh perbankan dalam pemberian kredit bank,
dengan adanya undang-undang ini seorang penjamin atau penanggung yang
memberikan personal guarantee. Selama ini sering tidak disadari baik
oleh bank maupun oleh para pengusaha bahwa seorang personal guarantor dapat
mempunyai konsekuensi hukum yang jauh apabila personal guarantor itu tidak
melaksanakan kewajibannya. Konsekuensinya ialah bahwa guarantor (personal guarantee) dapat dinyatakan pailit.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penjaminan atau penanggungan diatur
dalam Pasal 1831 sampai dengan Pasal 1850. Dari ketentuan-ketentuan dalam KUH
Perdata tersebut itu dapat disimpulkan bahwa seorang penjamin atau penanggung
adalah juga seorang debitur. Mengenai penanggungan ditegaskan dalam Pasal 1820
KUH Perdata, yang menyatakan bahwa : “Penanggungan adalah suatu persetujuan
dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berutang, mengikatkan
diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak
memenuhinya”.
B.
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah peran
dan pertanggung jawaban Personal Guarantee terhadap utang dari debitur yang
merupakan Perseroan Terbatas ?
2.
Apakah Personal
Guarantee dapat dimohonkan pailit bersama-sama dengan Debitur dalam permohonan
kepailitan oleh kreditur-krediturnya apabila ternyata debitur tersebut tidak mampu
untuk memenuhi kewajibannya?
3.
Bagaimanakah
pertanggungjawaban Personal Guarantee terhadap Kreditur-Kreditur nya sendiri
apabila Personal Guarantee tersebut menjadi pailit?
C.
TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang penelitian ini
maka yang menjadi tujuan penelitian adalah :
1.
Untuk mengetahui
bentuk pertanggung jawaban oleh Personal
Guarantee terhadap utang debitur yang berupa Badan Hukum Perseroan Terbatas
apakah hanya sebatas pada nilai jaminannya saja atau apakah dapat melebihi dari
nilai jaminan yang diberikan.
2.
Untuk mengetahui Personal Guarantee dapat dipailitkan
bersama-sama dengan debitur dalam satu permohonan kepailitan oleh Kreditur dari
debitur perseroan ataukah dilakukan
secara terpisah.
3.
Untuk mengetahui bentuk
pertanggungjawaban Personal Guarantee terhadap Kreditur-Kreditunya sendiri
apabila ianya dipailitkan bersama debitur perseroan.
D.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian
penelitian ini dan tujuan yang hendak dicapai maka diharapkan penelitian ini
dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1.
Secara Teoritis
Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah ini akan memberikan pemahaman
dan pandangan yang baru mengenai kasus-kasus kepailitan yang sering terjadi dan
hal apa yang dapat menyebabkan suatu kepailitan itu bisa terjadi dan hal apa
yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kepailitan tersebut karena banyak
kita ketahui untuk sekarang ini masalah-masalah kepailitan yang menimpa
beberapa perusahaan terutama di kota-kota besar sehingga memerlukan
penyelesaian yang segera agar tidak menimbulkan persoalan yang lebih besar dan
memberikan hasil yang optimal dan menguntungkan kedua belah pihak.
2.
Secara Praktis
Secara Praktis, pembahasan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para
pihak dalam kepailitan (Kreditur dan Debitur) dan dapat memberikan gambaran
yang jelas tentang kedudukan penjamin (personal
guarantee) apabila terjadi permohonan kepailitan terhadap debitur yang
berupa perseroan terbatas.
E.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, pelaksanaan seminar
di beberapa daerah di Indonesia serta dari hasil-hasil penelitian, ternyata
belum ada dilakukan pembahasan dan atau penelitian berkenaan dengan
pertanggungjawaban Personal Guarantee
sehubungan dengan utang debitur perseroan dalam hal terjadinya kepailitan.
Dengan demikian keaslian penelitian dapat dipertanggungjawabkan secara
akademik.
F.
Kerangka Teori dan Konsepsi
Menurut Black’s Law
Dictionary, pailit adalah seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan
tindakan tertentu yang cenderung untuk mengelabui krediturnya.[8]
Kepailitan menurut Memori Van Teolichting (Penjelasan Umum) adalah suatu pensitaan
berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan siberutang guna kepentingan
bersama para yang mengutangkan.
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 37
tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dinyatakan :
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang
pengurusan dan pembersannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim
Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.
Dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” berarti pemogokan atau kemacetan dalam melakukan
pembayaran. Oleh sebab itu, orang mogok atau macet atau berhenti membayar
utangnya di dalam bahasa Perancis disebut lefailli,
sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal istilah to fail dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah faillire.[9]
Bahwa adapaun terhadap defenisi dari Kepailitan, beberapa
sarjana memberikan defenisi sebagai berikut :
1.
Siti Soemarti
Hartono
Dalam bukunya
“Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang” mengatakan bahwa
Kepailitan adalah suatu lembaga dalam Hukum Perdata, sebagai realisasi dari dua
asas pokok dalam Hukum Perdata yang tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.[10]
2.
R. Soekardono
memberikan defenisi kepailitan adalah Penyitaan Umum atas harta kekayaan
sipailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga Balai Harta Peninggalanlah
yang ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan boedel dari orang yang
pailit.
3.
Mohammad Chaidir
Ali memberikan pendapat bahwa Kepailitan adalah pembeslahan masal dan
pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya diantara para
kreditur dengan dibawah pengawasan pemerintah.
Dari pengertian-pengertian yang diberikan sarjana
tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari kepailitan adalah :
1.
Kepailitan
merupakan lembaga dalam hukum perdata;
2.
Penyitaan umum atas
harta kekayaan sipailit;
3.
Pemberesan/pembeslahan
masal ;
4.
Pembayaran yang
merata serta pembagian yang seadil-adilnya.
Utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih menurut penjelasan Undang-Undang No.
37 tahun 2004 adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu,
baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya
sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi
yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau manjelis
arbitrase.[11]
Pengertian
utang berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 adalah
kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam
mata uang Indonesia ataupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang
akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi
member hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
Debitor.[12]
Berkaitan
dengan kepailitan, Dalam pasal 1 Undang-undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang No. 37 tahun 2004 dinyatakan bahwa kepailitan
meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan
serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
Hal
ini dapat diartikan bahwa kepailitan sebenarnya adalah pertanggungjawaban
debitur kepada krediturnya, dengan kata lain, Kepailitan merupakan resiko dari
debitur dan oleh karenanya undang-undang memandang perlu mengadakan penyitaan
menyeluruh atas segala harta, guna kepentingan seluruh krediturnya, dengan
pengawasan pemerintah.
Penjamin
dalam kasus kepailitan adalah debitur dari kewajiban untuk menjamin pembayaran
oleh debitur utama[13]
Pada dasarnya istilah jaminan itu berasal dari kata “Jamin” yang berarti
“tanggung”, sehingga jaminan dapat diartikan sebagai tanggungan.[14].
Menurut
Rasjim Wiraatmadja, seorang advokat senior berpendapat bahwa Penjamin adalah pihak yang menjamin dan
berjanji serta mengikatkan diri untuk dan atas permintaan pertama dan debitur
membayar utang secara tanpa syarat apapun dengan seketika dan secara sekaligus
lunas kepada kreditur, termasuk bunga, provisi dan biaya-biaya lainnya yang
sekarang telah ada dan atau dikemudian hari terutang dan wajib dibayar oleh
debitur.
Penanggungan
utang atau borgtocht adalah suatu
persetujuan dimana pihak ketiga guna kepentingan kreditu, mengikatkan dirinya
untuk memenuhi kewajiban debitur apabila debitur bersangkutan tidak dapat
memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata.[15]
Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari security of law, zekerheidstelling,
atau zekerheidsrechten. Istilah hukum
jaminan meliputi jaminan kebendaan maupun perorangan.[16]
Jaminan kebendaan meliputi utang-piutang yang diistimewakan, gadai, dan
hipotek, sedangkan jaminan perorangan yaiut penanggungan utang ( borgtocht).
Beberapa
pakar merumuskan pengertian umum mengenai hukum jaminan yaitu antara lain J. Satrio
berpendapat bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang
jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur yang pada
intinya hukum jaminan adalah hukum yang
mengatur tentang jaminan seseorang. [17]
Salim
HS memberikan pendapat bahwa hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam
kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.[18]
Dari
dua pendapat perumusan pengertian hukum jaminan di atas dapat disimpulkan bahwa
inti dari dari hukum jaminan adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan
hukum antara pemberi jaminan atau debitur dengan penerima jaminan atau kredit
sebagai pembebanan suatu utang tertentu atau kredit dengan suatu jaminan (benda
atau orang tertentu).
Berdasarkan
pengertian di atas, maka unsur-unsur yang terkandung dalam perumusan hukum
jaminan adalah sebagai berikut[19]
:
1. Adanya
Kaidah Hukum
Kaidah
hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan menjadi 2(dua) macam yaitu, kaidah
hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum
jaminan tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat,
dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan tidak tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan.
2. Adanya
pemberi dan penerima jaminan
Pemberi
jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan
kepada penerima jaminan. Yang dapat bertindak sebagai pemberi jaminan adalah
orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim
disebut dengan debitur. Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang
menerima barang jaminan dari pemberi jaminan. Badan hukum adalah lembaga yang
memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan/atau lembaga
keuangan non bank.
3. Adanya
jaminan
Pada
dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah jaminan materiil dan
immateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan
seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan immateriil merupakan jaminan non kebendaan.
4. Adanya
fasilitas kredit
Pembebanan
jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan
fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan non bank. Pemberian kredit
merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga
keuangan non bank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok
pinjaman dan bunganya. Begitu juga debitur percaya bahawa bank atau lembaga
keuangan non bank dapat memberikan kredit kepadanya.
Jaminan
merupakan kebutuhan kreditur untuk memperkecil risiko apabila debitur tidak
mampu menyelesaikan segala kewajiban yang berkenaan dengan kredit yang telah
dikucurkan. Dengan adanya jaminan apabila debitur tidak mampu membayar amak
Kreditur dapat memaksakan pembayaran atas kredit yang telah diberikannya. [20]
Istilah jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht dan ada juga yang menyebutkan
dengan istilah jaminan immateriil. Pengertian jaminan perorangan menurut Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan[21]
adalah Jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu,
hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu dan terhadap harta kekayaan
debitur umumnya. Unsur-unsur dari jaminan perorangan, yaitu :
1.
Mempunyai hubungan
langsung pada orang tertentu;
2.
Hanya dapat
dipertahankan terhadap debitur tertentu; dan
3.
Terhadap harta
kekayaan debitur umumnya.
Seorang Penjamin berkewajiban untuk membayar utang
debitur kepada kreditur manakala si debitur
lalai atau cidera janji, Penjamin baru dapat menjadi debitur atau berkewajiban
untuk membayar setelah debitur utama yang utangnya ditanggung cidera janji dan
harta benda milik debitur utama atau debitur yang ditanggung telah disita dan
dilelang terlebih dahulu tetapi hasilnya tidak cukup untuk membayar utangnya,
atau debitur utama lalai atau cidera janji dan sudah tidak mempunyai harta
apapun. Maka berdasarkan ketentuan tersebut penjamin atau penanggung tidak
wajib membayar kepada kreditur, kecuali debitur lalai membayar.
Dengan demikian hakikat dari penjamin atau penanggungan
adalah sebagai berikut :
1. Penjamin/penanggung adalah jaminan perorangan (security
right in personam) yang diberikan :
a.
Oleh Pihak ketiga
dengan sukarela;
b.
Guna kepentingan
Kreditur;
c.
Untuk memenuhi
kewajiban debitur bila ia tidak
memenuhinya (Pasal 1820 KUH Perdata).
2. Penjamin/penanggung adalah perjanjian asesor (accesoir), oleh karena itu :
a.
Tidak ada
penjamin/penanggungan tanpa persetujuan pokok yang sah (Pasal 1821 KUH
Perdata);
b.
Cakupan
penjamin/penanggungan tidak dapat melebihi kewajiban debitur sebagaimana dimuat
dalam perjanjian pokok ( Pasal 1822 KUH Perdata).
Dalam istilah bahasa inggris, borg atau penjamin disebut guarantor; apabila penjaminnya berupa
barang perorangan disebut personal
guarantor dan apabila penjaminnya itu adalah suatu perusahaan maka
penjaminnya disebut corporate guarantor
atau company guarantor. Borgtocht dalam bahasa inggris disebut guarantee; sehingga apabila guarantee itu diberikan oleh orang
perorangan, maka perjanjian borgtocht disebut personal guarantee.
G.
Metode Penelitian
1.
Pendekatan Masalah
Penelitian yang berkenaan dengan masalah peranan personal
guarantee terhadap utang debitur dalam hal terjadinya kepailitan berdasarkan
hukum indonesia dilakukan dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif yang disebut juga penelitian hukum
normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan menginventarisasi dan
meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang terkait dengan personal guarantee
dan kepailitan, karakter hukum dan peraturan hukum jaminan dan kepailitan di
Indonesia khususnya.
Berkenaan dengan peran dan tanggung jawab personal
guarantee terhadap utang debitur dalam hal terjadinya kepailitan maka
pendekatan terhadap masalah ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis
normatif.
2.
Jenis dan Sumber
Data
Pada penelitian ini digunakan data sekunder. Data
sekunder diperoleh dari :
1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari
UUD 1945, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan lain sebagainya.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer yang berupa rancangan KUHP Nasional, hasil penelitian para ahli
hukum, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah dan lain sebagainya.
3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus hukum, kamus bahasa
indonesia dan lain sebagainya.[22]
Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data sekunder
yang meliputi bahan-bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan khususnya
yang berkenaan dengan hukum jaminan dan kepailitan dalam kesatuan sistem hukum
yang ada. Kemudian didukung oleh bahan hukum sekunder yang berupa hasil karya
ilmiah berupa buku, tulisan maupun hasil penelitian ilmiah lainnya serta
ditambah dengan bahan hukum tertier berupa kamus hukum atau bahasa.
3.
Metode Pengumpulan
Data
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi
kepustakaan/literatur yaitu sebagai metode pengumpulan data yang dilakukan
untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori,
asas-asas,doktrin-doktrin dan temuan-temuan yang berkenaan dengan pokok
permasalahan.
Disamping itu studi kepustakaan yang diberlakukan juga
berfungsi untuk mendapatkan konsepsi, pendapat dan teori yang terdapat dari
penelitian pendahulu yang berhubungan dengan permasalahan yang diperoleh dari
peraturan perundang-undangan yang ada, putusan pengadilan serta karya-karya
ilmiah.
4.
Analisis Data
Data sekunder yang telah didapat akan dianalisis secara
kualitatif-induktif yang akan diuraikan secara deskriptif-analitis. Segala data
sekunder yang berkenaan dengan permasalahan yang telah diperoleh akan
dianalisis secara kualitatif-induktif dan dipaparkan/digambarkan secara
menyeluruh berdasarkan analisis yang ada.
Disamping itu analisis data juga dilakukan dengan
menggunakan metode kualitatif-deduktif. Peraturan yang berkenaan dengan peran
dan tanggung jawab personal guarantee terhadap utang debitur dalam hal
terjadinya kepailitan.
Data-data tersebut antara lain :
1.
Peraturan-peraturan
hukum yang berkenaan dengan hukum jaminan
2.
Peraturan yang
berkenaan dengan hukum kepailitan.
H.
[2] Mustafa Siregar, Efektifitas Perundang-undangan Perbankan dan
Lembaga Keuangan Lainnya, dengan Penelitian di Wilayah Kodya Medan,
Disertasi, 1990, Hal.1
[3] Hikmahanto Juwana
(a). “ Transaksi Bisnis Internasional
Dalam Kaitannya dengan Pengadilan Niaga” dalam Majalah Hukum dan
Pembangunan ed. Juli-September 2001, no. 3 tahun XXXI, hal. 244.
[4] Hikmahanto Juwana
(b), Relevansi Hukum Kepailitan Dalam
Transaksi Bisnis Int’l”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 17 tahun 2002, hal.56.
[5] Bismar Nasution, Sunarmi, Diktat Hukum
Kepailitan, Magister Hukum Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana USU, Medan,2003,
Hal. 5.
[6] Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Herni Sri
Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit, Penerbit Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia, Cetakan II, Jakarta, 2004, Hal. 23.
[8] Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary , West Publisihing Co, St. Paul.Minnesota. USA, 1968, Hal. 186,
dikutip dari buku fuady.
[9] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan
Kewajiban Pembayaran di Indonesia,: Balai Pustaka, Jakarta, 2005,
Hal. 812.
[10] Victor M. Situmorang & Hendri Soekarso,
Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, Hal. 20.
[11] Penjelasan Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang
[12] Pasal 1 angka 6
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang
[13] Imran Nating, Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit,
( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 33
[14] Kwik Kian Gie, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Prenada
Media,
Jakarta, 2005, Hal. 15.
[16] Keputusan Seminar
Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman bekerjasama Fakultas
Hukum UGM, tanggal 9-11 Oktober 1978, di Yogyakarta.
[17] J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, PT.
Citra Aditya Bakti, 2007, Hal. 3.
[18] Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di
Indonesia, PT RajaGrafindo Persada,
2008, Hal. 6
[19] Ibid, Hal. 7-8.
[20] Badriyah Harun, Penyelesaian
Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, Hal. 67.
[21] Sofwan, Sri Soedewi
Masjchoen, Hukum jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,
Edisi Pertama, ( Yogyakarta: Liberty 1980), Hal. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar