HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA DAN SEJARAHNYA
HAK ISTIMEWA YANG HARUS DIDAHULUKAN:
1. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam Pasal 1137 ayat
(1)KUH Perdata:
Hak (tagihan, penulis) dari Kas Negara, Kantor Lelang, dan
badan publil lainnya yang dibentuk oleh Pemerintah, harus didahulukan dalam
melaksanakan hak tersebut, dan jangka wakktu berlakunya hak tersebut diatur
dalam berbagai undang-undang khusus mengenai hal-hal itu.
Hak-hak yang sama dari persatuan-persatuan
(gemeenschappen) atau kumpulan-perkumpulan (zedelijke ligchamen) yang berhak
atau baru kemudian akan mendapat hak untuk memungut bea, diatur
dalam peraturan-peraturan yang sudah ada akan akan diadakan tentang hal itu.
(Termasuk tagihan pajak, bea dan biaya Kantor Lelang
merupakan Hak Istimewa yang hams didahulukan pelunasannya dari tagihan yang dijamin
dengan hak jaminan dalam hal harta kekayaan Debitor pailit dilikuidasi.)
2. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam ayat (3) Pasal 21
Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umun dan Tata Cara Perpajakan
yang telah diubah dengan Undang- undang No. 9 Tahun 1994.
3. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam Pasal 1139 ayat (1)
KUH Perdata, yaitu biaya perkara yang semata-mata disebabkan karena suatu
penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak atau benda tidak bergerak.
4. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam Pasal 1149 angka
(1) KUH Perdata, yaitu biaya-biaya perkara yang semata-mata disebabkan karena
pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
5. Imbalan Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UUK
dan Pasal 67D jo Pasal 69 UUK.
Sumber Hukum Kepailitan Indonesia:
1. KUH Perdata khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal
1133, dan Pasal 1134.
2. Faillissementsverordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906
No.348 sepanjang belum diubah dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-undang Kepailitan.
3. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Perubahan atal
Undang-undang Kepailitan.
4. Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas khususnya Pasal 90.
SEJARAH HUKUM
KEPAILITAN INDONESIA
Pendahuluan
Pada tanggal 22 April 1998 pemerintah telah menetapkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tanggal 22 April
1998 tentang Pembahan atas Undang-undang tentang Kepailitan (Lembaran Negara
R.I. Tahun 1998 No. 87 (Undang-undang Kepailitan). Perpu tersebut kemudian
telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi undang-undang dan
menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- undang tentang
Kepailitan menjadi Undang-undang tanggal 9 September 1998 (Lembaran Negara RI I
Tahun 1998 No. 135).
Undang-undang Kepailitan Sebelum 1945 Mula-mula, kepailitan untuk kasus pedagang
(pengusaha) Indonesia diatur dalam Wetboek van Koophandel (W.v.K), buku Ketiga,
yang berjudul van de Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden
(Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang).
Peraturan ini termuat dalam Pasal 749 sampai dengan Pasal
910 W.v.K, tetapi kemudian telah dicabut berdasarkan Pasal 2 Verordening ter
Invoering van de Faillissementsverordening (S. 1906-348). Peraturan ini berlaku
untk pedagang saja.
Sedangkan kepailitan untuk bukan pedagang (pengusaha)
diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering atau disingkat Rv (S.1847- 52 jo. 1849-63),
Buku Ketiga, Bab Ketujuh, yang berjudul: Van den Staat van Kennelijk Onvermogen
(Tentang Keadaan Nyata-nyata Tidak Mampu), dalam Pasal 899 sampai dengan Pasal
915, yang kemudian telah dicabut oleh S. 1906-348.
Adanya dua buah peraturan ini telah menimbulkan banyak
kesulitan dalam pelaksanaannya, di antaranya ialah: banyak formalitas yang hams
ditempuh; biaya tinggi; terlalu sedikit bagi Kreditor untuk dapat ikut campur
terhadap jalannya proses kepailitan; dan pelaksanaan
kepailitan memakan waktu yang lama.
Karena adanya kesulitan-kesulitan tersebut, maka timbul
keinginan untuk membuat peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya yang tidak
banyak, agar memudahkan dalam pelaksanaannya. Sehubungan dengan maksud
tersebut, maka pada tahun 1905 telah diundangkad Faillissementsverordening
(S. 1905-217).
Peraturan ini lengkapnya bernama Verordening op het
Faillissement en de Surseance van Betalin voor de Europeanen in Nederlands
Indie (Peraturan Untuk Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Untuk Orang-Orang
Eropa). Berdasarkan Verordening ter invoering van de Faillissementsverordening
(S. 1906-348), Faillissementsverordening (S. 1905-217) itu dinyatakan mulai
berlaku pada tanggal I November 1906.
Dengan berlakunya Faillissementsverordening tersebut, maka
dicabutlah:
1. Seluruh Buku HI dari WVK.
2. Reglement op de Rechtsvordering, Buku III, Bab Ketujuh,
Pasall 899 sampai dengan Pasal 915.
Faillissementsverordening ini hanya berlaku bagi orang
yang termasuk golongan Eropa saja. Hal ini sesuai dengan asas diskriminasi
hukum yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu terhadap
penduduk Hindia Belanda. Pada waktu itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 163
Indische Staatsregeling, penduduk Hindia Belanda dibagi atas beberapa golongan
sebagai berikut:
- Golongan Eropa
- Golongan Bumiputra
Golongan Timur Asing yang dibagi lagi ke dalam:
- Golongan Timur Asing Cina dan
- Golongan Timur Asing bukan Cina (India, Pakistan, Arab
dan Iain-Iain).
-Undang-undang Kepailitan Sejak 1945
Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya
pada 17 Agustus 1945, ada beberapa kurun sejarah yang perlu dicermati
sehubungan dengan berlakunya Faillissementsverordening (Peraturan Kepailitan).
Kurun-kurun sejarah itu ialah tahun 1945- 1947, tahun
1947-1998 dan tahun 1998-sekarang.
Tahun 1945-1947
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan sebagai
berikut:
"Segala badan negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini".
Berdasarkan Aturan Peralihan tersebut, maka seluruh
perangkat hukum yang berasal dari zaman Hindia Belanda diteruskan berlakunya
setelah proklamasi kemerdekaan, kecuali jika setelah diuji ternyata
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di
dalam Pancasila.
Tahun 1947
Pada tahun 1947, pemerintah pendudukan Belanda di Jakarta
menerbitkan Peraturan Darurat Kepailitan 1947 (Noodsregeling Faillissmenten
1947). Tujuannya ialah untuk memberikan dasar hukum bagj penghapusan putusan
kepailitan yang terjadi sebelum
jatuhnya Jepang. Tugas ini sudah lama selesai, sehingga dengan
demikian Peraturan Darurat Kepailitan 1947 itu sudah tidak berlaku lagi.
Tahun 1947-1998
Di dalam praktik, Faillissementsverordening relatif sangat
sedikit digunakan. Faktor penyebabnya antara lain karena keberadaan peraturan
itu di tengah-tengah masyarakat, kurang dikenal dan dipahami. Sosialisasinya ke
masyarakat sangat minim. Awalnya,
Faillissementsverordening itu hanya berlaku untuk pedagang
di lingkungan masyarakat yang tunduk pada hukum perdata dan dagang Barat saja.
Akibatnya, Faillissementsverordening itu tidak dirasakan
sebagai sesuatu peraturan yang menjadi milik masyarakat pribumi, dan karena itu
pula tidak pernah tumbuh di dalam kesadaran hukum masyarakat.
Faktor penyebab lain ialah karena sebagian besar
masyarakat pedagang atau pengusaha pribumi Indonesia dan para pengusaha menengah dan
kecil masih belum banyak melakukan transaksi bisnis yang besar-besar. Pada
umumnya pula mereka masih melakukan transaksi dalam lingkungan yang
terbatas. Sebagian besar masyarakat pengusaha Bumiputra belum mengenal sistem
hukum bisnis Barat.
Antara lain mereka belum:
- melakukan kegiatan usaha dengan mendirikan badan usaha
berbentuk Perseroan Terbatas,
- menerbitkan dan atau melakukan perdagangan surat-surat
berharga,
- melakukan pembukuan atas transaksi-transaksi bisnis dan
keadaan keuangannya, melakukan pembayaran dengan menggunakan sistem perbankan,
dan membebankan tanggung jawab atas utangnya pada kekayaan perusahaan, bukan
pada kekayaan pribadinya.
Karena persepsi masyarakat yang negatif terhadap badan
peradilan, maka masyarakat merasa tidak ada sarana yang efektif yang dapat
digunakan Kreditor untuk dapat melindungi kepentingannya, khususnya agar
Debitor yang nakal dapat melunasi kewajibannya, jika perlu dengan melakukan paksaan
secara hukum melalui pengadilan.
Tahun 1998-Sekarang Pada bulan Juli
1997 terjadilah krisis moneter di Indonesia yang kemudian diperparah lagi oleh
krisis politik yang mengakibatkan lengsernya Soeharto sebagai Presiden Republik
Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998.
Krisis moneter membuat hutang menjadi membengkak luar
biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali Debitor tidak mampu membayar
utang-utangnya. Di samping itu, kredit macet di perbankan dalam negeri juga
makin membubung tinggi secara luar biasa (sebelum krisis
moneter perbankan Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit
bermasalah atau Non-Performing Loans yang memprihatinkan), yaitu sebagai akibat
terpuruknya sektor riil karena krisis moneter.
Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada, sangat
tidak dapat diandalkan. Banyak Debitor yang hubungi oleh para Kreditornya
karena berusaha mengelak untuk tanggung jawab atas penyelesaian utang-utangnya.
Sedangkan restrukturisasi utang hanyalah
mungkin ditempuh apabila Debitor bertemu dan duduk
berunding dengan para Kreditornya atau sebaliknya.
Di samping adanya kesediaan untuk berunding itu, bisnis
Debitor harus masih memiliki prospek yang baik untuk mendatangkan revenue,
sebagai sumber pelunasan utang yang direstrukturisasi itu. Mengingat upaya
restrukturisasi utang masih belum dapat diharapkan akan berhasil baik,
sedangkan upaya melalui kepailitan dengan menggunakan Faillissementsverordening
yang berlaku dapat sangat lambat prosesnya dan tidak dapat dipastikan hasilnya,
maka masyarakat Kreditor, terutama masyarakat Kreditor luar negeri, menghendaki
agar Peraturan Kepailitan Indonesia, yaitu Faillissementsverordening,
secepatnya dapat diganti atau diubah.
IMF sebagai pemberi utang kepada pemerintah Republik
Indonesia berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter Indonesia tidak
dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para
pengusaha Indonesia kepada para Kreditor luar negerinya dan upaya penyelesaian
kredit-kredit macet perbankan Indonesia. Oleh karena itu, maka IMF mendesak
pemerintah Republik Indonesia agar segera mengganti atau mengubah Peraturan
Kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissementsverordening, sebagai sarana
penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada para Kreditornya.
Sebagai hasil desakan IMF tersebut, akhirnya pemerintah
turun tangan, dan lahirlah Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-undang tentang Kepailitan (Perpu Kepailitan). Perpu tersebut mengubah
dan menambah Peraturan Kepailitan
(Faillissementsverordening).
Dari segi bahasa, ada yang kurang tepat pada judul Perpu
tersebut, karena selama ini Faillissementsverordening kita kenal dengan naffi*
sebutan "Peraturan Kepailitan" dan bukan "Undang-undang KepaiW*
an". Oleh penyusun Perpu, kata "verordening" dalam
FaillissementS' verordening telah diterjemahkan dengan
kata "Undang-undang"- Perpu No. 1 Tahun 1998. Kemudian diterbitkannya
Perpu Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 maka 5 bulan kemudian Perpu
Kepailitan dan perubahan atas Kepailitan itu ditetapkan menjadi
Undang-undang No. 4 Tahun 1998.
Pada saat tulisan ini selesai dibuat, suatu tim di bawah
Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM telah selesai
menyusun draft RUU tentang Kepailitan yang baru itu dan telah diajukan oleh
pemerintah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Mengingat dugaan sebelumnya bahwa pelaksanaan
Perpu No. 1 Tahun 1998 (yang telah menjadi UU No. 4 Tahun 1998) akan
menimbulkan banyak kekecewaan, dan ternyata dugaan itu terbukti, maka kebutuhan
untuk mempunyai undang-undang kepailitan yang lebih baik
sudah sangat mendesak pada saat ini. Diharapkan RUU tentang Kepailitan yang
baru itu dapat diundangkan dalam
waktu yang tidak terlalu lama.
Latar Belakang Perubahan
Faillissementsverordening Menjadi Undang-undang No. 4
Tahun 1998. Untuk memahami terjadinya perubahan terhadap
Faillissementverordening hingga menjadi Undang-undang
Kepailitan, yaitu UU No. 4 1998, perlu diketahui latar belakang mengapa
perubahan itu dilakukan. Beberapa pertimbangan yang dikemukakan adalah:
- Gejolak moneter yang terjadi di Indonesia sejak
pertengahan tahun 1997 telah memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap
kehidupan perekonomian nasional, dan menimbulkan kesulitan yang besar di
kalangan dunia usaha untuk meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi
kewajiban kepan Kreditor.
- Untuk memberikan kesempatan kepada pihak Kreditor pada
perusahaan sebagai Debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil, diperlukan
sarana hukum yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan efektif.
- Salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi
penyelesaian utang-piutang adalah peraturan tentang kepailitan, termasuk
peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang & Peraturan tentang
kepailitan yang masih berlaku, yaitu
Faillissementsverordening atau Undang-undang tentang Kepailitan
sebagaimana termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto
Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348, memerlukan penyempurnaan dan penyesuaian
dengan keadaan dan kebutuhan bagi
penyelesaian utang-piutang tadi. Untuk mengatasi gejolak
moneter beserta akibatnya yang berat terhadap perekonomian saat ini, salah satu
persoalan yang sangat mendesak dan memerlukan pemecahan adalah penyelesaian
utang-piutang perusahaan, dan dengan
demikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran yang dapat digunakan oleh Debitor dan para Kreditor secara
cepat, terbuka dan efektif menjadi sangat perlu untuk segera diwujudkan. Selain
untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka
penyelesaian utang-piutang di atas, terwujudnya mekanisme
penyelesaian sengketa secara adil, cepat, terbuka dan efektif melalui suatu pengadilan
khusus di lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk dan bertugas menangani,
memeriksa dan memutuskan
berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk
di bidang kepailitan dan penundaan pembayaran, juga sangat diperlukan dalam
penyelengaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya.
- Sehubungan dengan adanya kebutuhan yang sangat mendesak
bagi penyelesaian masalah seperti tersebut di atas, dipandang perlu untuk secepatnya
melakukan penyempurnaan terhadap be-berapa ketentuan dalam Undang-undang
tentang Kepailitan (Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad
Tahun 1906 nomor 348) dan menetapkannya dengan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang.
- Penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat, adil,
terbuka dan efektif, yaitu: penyempurnaan syarat-syarat dan prosedur permintaan
pernyataan kepailitan. Termasuk di dalamnya, pemberian kerangka waktu yang
pasti bagi pengambilan putusan
pernyataan kepailitan.
- Penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan
ketentuan tentang tindakan sementara yang dapat diambil pihak-pihak yang
bersangkutan, khususnya Kreditor, atas kekayaan Debitor sebelum adanya putusan
pernyataan kepailitan.
- Peneguhan fungsi Kurator dan penyempurnaan yang
memungkinkan berfungsinya pemberian jasa-jasa tersebut di samping institusi
yang selama ini telah dikenal, yaitu Kurator. Ketentuan yang ditambahkan antara
lain mengatur syarat-syarat untuk dapat melakukan kegiatan sebagai Kurator
berikut kewajiban mereka.
- Penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap
putusan pernyataan kepailitan, bahwa untuk itu dapat langsung diajukan Kasasi ke
Mahkamah Agung. Tata cara dan kerangka waktu bagi upaya hukum tadi juga
ditegaskan dalam penyempurnaan ini. Dalam rangka
kelancaran proses kepailitan dan pengamanan berbagai kepentingan secara adil,
dalam rangka penyempurnaan ini juga ditegaskan adanya mekanisme penangguhan
pelaksanaan hak di antara Kreditor yang memegang Hak Tanggungan, gadai atau
agunan lainnya. Diatur pula ketentuan mengenai status hukum atas
perikatan-perikatan yang telah dibuat Debitor sebelum adanya putusan
pernyataan kepailitan.
- Penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang
penundaan kewajiban pembayaran sebagaimana telah diatur dalam bagian KEDUA
Undang-undang Kepailitan.
- Penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang mau
menyelesaikan masalah kepailitan secara umum. Lembaga berupa Pengadilan Niaga
dengan hakim-hakimnya yang & bertugas secara khusus. Pembentukan Pengadilan
Niaga bukan merupakan langkah diferensiasi atas Peradilan Umum, yang
dimungkinkan pembentukannya berdasarkan Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, hukum kepailitan
memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para Kreditornya,
dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut hukum kepailitan Amerika
Serikat, seorang Debitor perorangan (individual debtor) akan dibebaskan dari
utang-utangnya setelah selesainya tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap
harta kekayaannya. Sekalipun nilai harta kekayaannya setelah dilikuidasi atau
dijual oleh Likuidator tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utangnya kepada
para Kreditornya, tetapi Debitor tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi
utang-utang tersebut.
Kepada Debitor tersebut diberi kesempatan untuk memperoleh
financial fresh start. Debitor tersebut dapat memulai kembali melakukan bisnis
tanpa dibebani dengan utang-utang yang menggantung dari masa lampau sebelum
putusan pailit. Menurut US
Bankruptcy Code, financial fresh start hanya diberikan
bagi Debitor pailit perorangan saja, sedangkan bagi Debitor badan hukum
financial fresh start tidak diberikan. Jalan keluar yang dapat ditempuh oleh
perusahaan yang pailit ialah membubarkan perusahaan
Debitor yang pailit itu setelah likuidasi berakhir.
Menurut UU Kepailitan, financial fresh start tidak
diberikan kepada Debitor, baik Debitor perorangan maupun Debitor badan hukum
setelah tindakan pemberesan oleh Kurator selesai dilakukan. Artinya, apabila
setelah tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaan Debitor
selesai dilakukan oleh Kurator dan ternyata masih terdapat utang-utang yang
belum lunas, Debitor tersebut masih tetap harus menyelesaikan utang-utangnya.
Setelah tindakan pemberesan atau likuidasi selesai
dilakukan oleh Kurator, Debitor kembali diberikan kewenangan untuk melakukan
tindakan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaannya, artinya Debitor boleh
kembali melakukan kegiatan usaha, tetapi Debitor tetap pula berkewajiban untuk
menyelesaikan utang-utang yang belum lunas itu.
5. Menghukum Pengurus yang karena kesalahannya telah
mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga
perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh
pengadilan. Dalam Undang-undang Kepailitan Indonesia yang berlaku pada saat
ini, sanksi perdata maupun pidana tidak diatur di dalamnya, tetapi diatur di
dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
dan KUH Pidana. Di beberapa negara lain, sanksi-sanksi itu di-muat di dalam
Undang-undang Kepailitan (Bankruptcy Law) negara yang bersangkutan. Di Inggris
sanksi-sanksi pidana berkenaan dengan kepailitan ditentukan dalam Companies
Act 1985 dan Insolvency Act 1986P.
6. Memberikan kesempatan kepada Debitor dan para
Kreditornya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi
utang-utang Debitor. Dalam Bankruptcy Code Amerika Serikat, hal ini diatur di
dalam Chapter 11 mengenai Reorganization. Di dalam
Undang-undang Kepailitan Indonesia kesempatan bagi Debitor untuk mencapai
kesepakatan restrukturisasi utang-utangnya dengan para
Kreditornya diatur dalam BAB II tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU).
Asas-asas Undang-undang Kepailitan
1. Undang-undang Kepailitan Hams Dapat Mendorong
Kegairahan Investasi Asing, Mendorong Pasar Modal, dan Memudahkan Perusahaan
Indonesia Memperoleh Kredit Luar Negeri (Biaya dari luar negeri penting dari
waktu ke waktu untuk membiayai
pembangunan nasional jadi Indonesia harus mempunyai hukum
Kepailitan yang diterima secara global (globally accepted principles)
2. Undang-undang Kepailitan Harus Memberikan Perlindungan
yang Seimbang bagi Kreditor dan Debitor (menjunjung keadilan dan memperhatikan
kepentingan keduanya meliputi segi-segi penting yang dinilai perlu untuk
mewujudkan penyelesaian masalah utang- piutang secara cepat, adil, terbuka, dan
efektif.
Penulis memuji sikap yang diambil oleh Majelis Hakim
Peninjauan Kembali dalam Putusan No. 024PK/N/1999 dalam perkara antara PT Citra
Jimbaran Indah Hotel melawan Ssangyong Engineering & Construction Co. Ltd.
yang dalam mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali mengemukakan sebagai
berikut:
".. .karena Majelis Kasasi telah mengabaikan bunyi
penjelasan umum dari makna yang terkandung dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 yang
telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-undang No. 4 tahun 1998,
dimana secara esensial ditentukan bahwa kepailitan
penerapannya harus dilakukan/diselesaikan secara adil dalam arti memperhatikan
kepentingan Perusahaan sebagai Debitor atau kepentingan Kreditor secara
seimbang".
Perlindungan kepentingan yang seimbang itu adalah sejalan
dengan dasar Negara RI yaitu Pancasila. Pancasila bukan saja mengakui
kepentingan seseorang, tetapi juga kepentingan orang banyak atau masyarakat.
Pancasila bukan saja harus memperhatikan hak asasi, tetapi harus memperhatikan
juga kewajiban asasi seseorang.
Berdasarkan sila "Kemanusiaan yang adil dan
beradab" harus dikembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain,
lebih-lebih lagi terhadap orang banyak, Dalam peristiwa kepailitan terdapat
banyak kepentingan yang terlibat, yaitu selain kepentingan para kreditornya
juga kepentingan para stakeholders yang lain dari Debitor yang dinyatakan
pailit, lebih-lebih apabila Debitor itu adalah suatu perusahaan. Undang-undang
No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas mengakui bahwa yang terkait dengan
kehidupan suatu perseroan ialah:
1. kepentingan perseroan;
2. kepentingan pemegang saham minoritas;
3. kepentingan karyawan perseroan;
4. kepentingan masyarakat;
5. kepentingan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Kepentingan-kepentingan “masyarakat” antara lain:
1. Negara yang hidup dari pajak yang dibayar oleh Debitor.
2. Masyarakat yang memerlukan kesempatan kerja dari
Debitor.
3. Masyarakat yang memasok barang dan jasa kepada Debitor.
5
Hukum
Kepailitan Di Indonesia Dan Sejarahnya
Download
this Document for FreePrintMobileCollectionsReport Document
Tidak ada komentar:
Posting Komentar