Beberapa hal yang menjadi hambatan dan masalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (“LPSK”) dalam perlindungan saksi dan korban sebagai pengungkap fakta (whistle blower), yaitu:
1. Belum adanya dasar hukum yang kuat untuk menjamin perlindungan terhadapwhistle blower, undang-undang yang ada masih bersifat umum terhadap saksi, pelapor dan korban. Kalau pun ada hanya berbentuk Surat Edaran Mahkamah Agung RI (“SEMA”) yaitu SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, dan Peraturan Bersama Kementerian Hukum dan HAM RI, KPK RI, Kejaksaan RI, Polri, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
2. Belum adanya pemahaman dan perspektif bersama aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan terhadap whistle bower, kesepakatan bersama hanya di tingkat atasan, dan belum tersosialisasi di tingkat bawah maupun daerah.
3. Belum maksimalnya pemberian perlindungan terhadap whistle blower. Hal ini karena Hakim masih mengabaikan rekomendasi aparat penegak hukum terhadap status seseorang sebagai whistle blower. Ini juga disebabkan SEMA sifatnya tidak punya kekuatan hukum mengikat.
4. Peran LPSK masih terbatas dalam kewenangan yang dituangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dasar hukum:
2. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
3. Peraturan Bersama Kementerian Hukum dan HAM RI, Jaksa Agung, Polri, KPK RI, Kejaksaan RI, dan Ketua LPSK
NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011
NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011
NOMOR : 1 Tahun 2011
NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011
NOMOR : 4 Tahun 2011
tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar