MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 88/PMK.06/2009
NOMOR 88/PMK.06/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 128/PMK.06/2007 TENTANG
PENGURUSAN PIUTANG NEGARA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang
|
:
|
a.
|
Bahwa dalam rangka optimalisasi
pengurusan Piutang Negara, perlu melakukan penyempurnaan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara;
|
||||
|
|
b.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor :
128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara;
|
||||
Mengingat
|
:
|
1.
|
Undang-Undang Nomor
49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 156, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104);
|
||||
|
|
2.
|
Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
|
||||
|
|
3.
|
Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3437);
|
||||
|
|
4.
|
Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
|
||||
|
|
5.
|
Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4488)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nornor 4652);
|
||||
|
|
6.
|
|||||
|
|
7.
|
|||||
|
|
8.
|
Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 122/PMK.06/2007 tentang
Keanggotaan dan Tata Kerja Panitia Urusan Piutang Negara;
|
||||
|
|
9.
|
|||||
|
|
10.
|
Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Departemen Keuangan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 149/PMK.01/2008;
|
||||
|
|
11.
|
Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 102/PMK.01/2008 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
|
||||
|
|
MEMUTUSKAN
:
|
|||||
Menetapkan
|
:
|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 128/PMK.06/2007 TENTANG
PENGURUSAN PIUTANG NEGARA.
|
|||||
|
Pasal
I
|
||||||
|
|
Beberapa ketentuan dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor : 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara,
diubah sebagai berikut :
|
|||||
|
|
1.
|
Ketentuan Pasa! 1 diubah sehingga
keseluruhan Pasal 1 menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
1
|
||||||
|
|
|
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini
yang dimaksud dengan :
|
||||
|
|
|
1.
|
Piutang Negara adalah jumlah uang
yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung
maupun tidak langsung dikuasai oleh negara, berdasarkan suatu peraturan,
perjanjian atau sebab apapun.
|
|||
|
|
|
2.
|
Direktorat Jenderal adalah Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara.
|
|||
|
|
|
3.
|
Direktur Jenderal adalah Direktur
Jenderal Kekayaan Negara.
|
|||
|
|
|
4.
|
Panitia adalah Panitia Urusan Piutang
Negara, baik tingkat pusat maupun cabang.
|
|||
|
|
|
5.
|
Kantor Pusat adalah Kantor Pusat
Direktorat Jenderal.
|
|||
|
|
|
6.
|
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal.
|
|||
|
|
|
7.
|
Kantor Pelayanan adalah Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang pada Direktorat Jenderal.
|
|||
|
|
|
8.
|
Chanelling
adalah pola penyaluran dana oleh pemerintah kepada masyarakat melalui
perbankan atau lembaga pembiayaan non perbankan dimana pemerintah menanggung
risiko kerugian apabila terjadi kemacetan.
|
|||
|
|
|
9.
|
Risk sharing
adalah pola penyaluran dana oleh pemerintah kepada masyarakat melalui
perbankan atau lembaga pembiayaan non perbankan dimana pemerintah dan
perbankan atau lembaga pembiayaan non perbankan berbagi risiko kerugian
apabila terjadi
kemacetan. |
|||
|
|
|
10.
|
Penyerah Piutang adalah Instansi
Pemerintah, Lembaga Negara, atau badan usaha yang modalnya sebagian atau
seluruhnya dimiliki oleh negara atau dimiliki Badan Usaha Milik Negara, yang
untuk selanjutnya disingkat BUMN, atau Badan Usaha Milik Daerah, yang untuk
selanjutnya disingkat BUMD, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang menyerahkan pengurusan Piutang Negara.
|
|||
|
|
|
11.
|
Penanggung Hutang adalah badan/atau
orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun,
termasuk badan/atau orang yang menjamin penyelesaian seluruh hutang
Penanggung Hutang.
|
|||
|
|
|
12.
|
Penjamin Hutang adalah badan/atau
orang yang menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung
Hutang.
|
|||
|
|
|
13.
|
Surat Penerimaan Pengurusan Piutang
Negara, yang untuk selanjutnya disebut SP3N, adalah surat yang diterbitkan
oleh Panitia, berisi pernyataan menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara
dari Penyerah Piutang.
|
|||
|
|
|
14.
|
Pernyataan Bersama adalah kesepakatan
antara Panitia Cabang dengan Penanggung Hutang tentang jumlah hutang yang
wajib dilunasi, cara-cara penyelesaiannya, dan sanksi.
|
|||
|
|
|
15.
|
Surat Keputusan Penetapan Jumlah
Piutang Negara adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Panitia, yang memuat
jumlah hutang yang wajib dilunasi oleh Penanggung Hutang.
|
|||
|
|
|
16.
|
Pencegahan adalah larangan bepergian
ke luar dari wilayah Republik Indonesia.
|
|||
|
|
|
17.
|
Surat Paksa adalah surat perintah
yang diterbitkan oleh Panitia Cabang kepada Penanggung Hutang untuk membayar
sekaligus seluruh hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh
empat) jam terhitung sejak tanggal diberitahukan.
|
|||
|
|
|
18.
|
Juru Sita Piutang Negara adalah
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diberi tugas,
wewenang, dan tanggung jawab kejurusitaan.
|
|||
|
|
|
19.
|
Barang Jaminan adalah harta kekayaan
milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang diserahkan sebagai
jaminan penyelesaian hutang.
|
|||
|
|
|
20.
|
Harta Kekayaan Lain adalah harta
kekayaan milik Penanggung Hutang yang tidak diikat sebagai jaminan hutang
namun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi
jaminan penyelesaian hutang.
|
|||
|
|
|
21.
|
Penilai Internal adalah Pegawai
Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas
kuasa Menteri Keuangan, yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk
melakukan penilaian.
|
|||
|
|
|
22.
|
Nilai Pasar adalah perkiraan jumlah
uang pada tanggal penilaian, yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli
atau hasil penukaran suatu properti, antara pembeli yang berminat membeli dan
penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang
penawarannya dilakukan secara layak dalam waktu yang cukup, dimana kedua
pihak masing-masing mengetahui kegunaan properti tersebut, bertindak
hati-hati, dan tanpa paksaan.
|
|||
|
|
|
23.
|
Nilai Likuidasi adalah nilai properti
yang dijual melalui lelang setelah memperhitungkan risiko penjualannya.
|
|||
|
|
|
24.
|
Nilai Limit adalah nilai terendah
atas pelepasan barang dalam lelang.
|
|||
|
|
|
25.
|
Nilai Pembebanan adalah nilai yang
tercantum dalam akta hipotik/crediet verband/hak tanggungan/ fidusia.
|
|||
|
|
|
26.
|
Lelang adalah penjualan barang di
muka umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
|||
|
|
|
27.
|
Penjualan tanpa melalui lelang adalah
penjualan barang yang dilakukan oleh Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang
dengan persetujuan Panitia Urusan Piutang Negara Cabang.
|
|||
|
|
|
28.
|
Penebusan adalah pembayaran yang
dilakukan oleh Penjamin Hutang untuk mengambil kembali Barang Jaminan.
|
|||
|
|
|
29.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian upaya
yang dilakukan oleh Pemeriksa guna memperoleh informasi dan/atau bukti-bukti
dalam rangka penyelesaian Piutang Negara.
|
|||
|
|
|
30.
|
Pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil
di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri
Keuangan, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan
Pemeriksaan.
|
|||
|
|
|
31.
|
Paksa Badan adalah penyanderaan (gijzeling)
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yaitu
pengekangan kebebasan untuk sementara waktu terhadap diri pribadi Penanggung
Hutang atau pihak lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku harus bertanggung jawab.
|
|||
|
|
|
32.
|
Tempat Paksa Badan adalah tempat
tertentu yang tertutup, mempunyai fasilitas terbatas, dan mempunyai sistem
pengamanan serta pengawasan memadai, yang digunakan untuk pelaksanaan Paksa
Badan.
|
|||
|
|
2.
|
Ketentuan Pasal 3 ditambah 1 (satu)
ayat, yaitu ayat (3) sehingga keseluruhan Pasal 3 menjadi berbunyi sebagai
berikut :
|
||||
|
Pasal
3
|
||||||
|
|
|
(1)
|
Dalam hal penyelesaian Piutang Negara
tidak berhasil, Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib
menyerahkan pengurusan Piutang Negara kepada Panitia Cabang.
|
|||
|
|
|
(2)
|
Instansi Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi Instansi Pemerintah Pusat,
Instansi Pemerintah Daerah, Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal dari Komisi
Negara/Lembaga Tinggi Negara, Badan Hukum Milik Negara, dan Badan Layanan
Umum.
|
|||
|
|
|
(3)
|
BUMN/BUMD sektor perbankan dan
nonperbankan atau badan-badan usaha yang sebagian besar modalnya dimiliki
BUMN/BUMD menyerahkan pengurusan piutang macetnya kepada Panitia Cabang dalam
hal dana yang disalurkan berasal dari Instansi Pemerintah melalui pola channeling
atau risk sharing.
|
|||
|
|
3.
|
Diantara Pasal 3 dan Pasal 4
disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A yang berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
3A
|
||||||
|
|
|
BUMN/BUMD sektor nonperbankan dapat
menyerahkan pengurusan piutang macetnya kepada Panitia Cabang.
|
||||
|
|
4.
|
Ketentuan Pasal 24 huruf c diubah,
sehingga keseluruhan Pasal 24 menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
24
|
||||||
|
|
|
Panitia Cabang menolak penyerahan
pengurusan Piutang Negara dengan menerbitkan Surat Penolakan Pengurusan
Piutang Negara dalam hal :
|
||||
|
|
|
a.
|
kelengkapan syarat-syarat penyerahan
pengurusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5
tidak dapat dipenuhi oleh Penyerah Piutang, sehingga tidak dapat dibuktikan
adanya dan besarnya Piutang Negara;
|
|||
|
|
|
b.
|
Penyerah Piutang dalam waktu 1 (satu)
bulan sejak tanggal surat permintaan konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (2), tidak memberikan tanggapan; atau
|
|||
|
|
|
c.
|
Penyerah Piutang bukan berasal dari
instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2)
dan bukan berasal dari badan-badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3) dan Pasal 3A.
|
|||
|
|
5.
|
Ketentuan Pasal 26 ayat (1) ditambah
1 (satu) huruf, yakni huruf c sehingga keseluruhan Pasal 26 menjadi berbunyi
sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
26
|
||||||
|
|
|
(1)
|
Koreksi besaran Piutang Negara hanya
dapat dilakukan jika terdapat :
|
|||
|
|
|
|
a.
|
pembayaran yang tidak tercatat;
|
||
|
|
|
|
b.
|
kesalahan perhitungan oleh Penyerah
Piutang; dan/atau
|
||
|
|
|
|
c.
|
sebab lain yang sah.
|
||
|
|
|
(2)
|
Koreksi besaran Piutang Negara tidak
dapat dilakukan terhadap perhitungan pembebanan bunga, denda dan/atau
ongkos/beban lainnya yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (2).
|
|||
|
|
6.
|
Ketentuan Pasal 102 ayat (3) diubah,
sehingga keseluruhan Pasal 102 menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
102
|
||||||
|
|
|
(1)
|
Penanggung Hutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a yaitu :
|
|||
|
|
|
|
a.
|
orang yang berkedudukan sebagai pihak
yang berhutang dalam perikatan hutang atau orang yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau sebab apapun mempunyai hutang kepada
negara;
|
||
|
|
|
|
b.
|
badan hukum, yang diwakili oleh :
|
||
|
|
|
|
|
1.
|
direksij pengurus
perusahaan/koperasi; dan/atau
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
anggota dewan komisaris/dewan
pengawas perusahaan/koperasi; atau
|
|
|
|
|
|
c.
|
salah seorang pesero dan/atau pesero
pengurus dari badan usaha dalam hal Penanggung Hutang adalah firma, commanditer
vennootschap, atau persekutuan perdata.
|
||
|
|
|
(2)
|
Penjamin Hutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a yaitu :
|
|||
|
|
|
|
a.
|
penjamin hutang pribadi (borgtocht
atau personal guarantee);
|
||
|
|
|
|
b.
|
penjamin atas pembayaran wesel (avalist);
atau
|
||
|
|
|
|
c.
|
pengurus badan usaha atau badan hukum
yang mengikatkan diri sebagai penjamin (corporate guarantee).
|
||
|
|
|
(3)
|
Pemegang saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a yaitu pemegang saham yang sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dapat diminta tanggung
jawab pribadi.
|
|||
|
|
7.
|
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal
106 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (la) sehingga keseluruhan Pasal 106
menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
106
|
||||||
|
|
|
(1)
|
Pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa
dari Kantor Pelayanan.
|
|||
|
|
|
(1a)
|
Dalam hal pada Kantor Pelayanan belum
terdapat Pemeriksa, Kepala Kantor Pelayanan menunjuk Pegawai yang dianggap
cakap untuk melaksanakan Pemeriksaan.
|
|||
|
|
|
(2)
|
Pemeriksaan dilakukan oleh tim yang
beranggotakan paling sedikit 2 (dua) orang.
|
|||
|
|
8.
|
Ketentuan Pasal 120 diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 120 menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
120
|
||||||
|
|
|
Objek Pencegahan adalah :
|
||||
|
|
|
a.
|
Penanggung Hutang yang terdiri dari :
|
|||
|
|
|
|
1.
|
orang yang berkedudukan sebagai pihak
yang berhutang dalam perikatan hutang, atau orang yang berdasarkan
undang-undang atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara;
|
||
|
|
|
|
2.
|
pengurus badan hukum termasuk yayasan
yang sesuai dengan akte pendirian badan hukum, diwakili oleh :
|
||
|
|
|
|
|
1)
|
direksi atau pengurus
perusahaan/yayasan/koperasi; dan/atau
|
|
|
|
|
|
|
2)
|
anggota dewan komisaris/dewan
pengawas;
|
|
|
|
|
|
3.
|
salah seorang pesero dan/atau pesero
pengurus dari badan hukum dalam hal Penanggung Hutang adalah firma, commanditer
vennootschap, atau persekutuan perdata;
|
||
|
|
|
b.
|
Penjamin Hutang, terdiri dari:
|
|||
|
|
|
|
1.
|
penjamin hutang pribadi (borgtocht
atau personal guarentee);
|
||
|
|
|
|
2.
|
penjamin atas pembayaran wesel (avalist);
atau
|
||
|
|
|
|
3.
|
pengurus badan usaha atau badan hukum
yang mengikat diri sebagai penjamin (corporate guarentee);
|
||
|
|
|
c.
|
pemegang saham, dalam hal :
|
|||
|
|
|
|
1.
|
secara langsung atau tidak langsung
memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;
|
||
|
|
|
|
2.
|
terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan dalam perseroan; atau
|
||
|
|
|
|
3.
|
secara melawan hukum menggunakan
kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup
untuk melunasi hutang perseroan; dan/atau
|
||
|
|
|
d.
|
ahli waris yang telah menerima
warisan dari Penanggung Hutang.
|
|||
|
|
9.
|
Ketentuan Pasal 122 diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 122 menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
122
|
||||||
|
|
|
(1)
|
Pencegahan hanya dapat dilakukan
setelah SP3N diterbitkan.
|
|||
|
|
|
(2)
|
Pencegahan dilaksanakan dengan
memperhatikan efektivitas dan efisiensi.
|
|||
|
|
10.
|
Ketentuan Pasal 132 huruf a diubah,
sehingga keseluruhan Pasal 132 menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
132
|
||||||
|
|
|
Pencabutan Pencegahan atau masa
Pencegahan tidak diperpanjang dapat dilakukan dalam hal :
|
||||
|
|
|
a.
|
terdapat perubahan susunan
kepengurusan perusahaan secara sah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
|
|||
|
|
|
b.
|
objek Pencegahan telah menunjukkan
itikad baik dengan :
|
|||
|
|
|
|
1.
|
melakukan pembayaran ke arah
pelunasan; dan
|
||
|
|
|
|
2.
|
mengajukan rencana penyelesaian
hutangnya secara jelas.
|
||
|
|
11.
|
Ketentuan Pasal 157 diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 157 menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
157
|
||||||
|
|
|
Dalam hal Penanggung Hutang dan/atau
Penjamin Hutang telah dinyatakan pailit, proses pengurusan Piutang Negara
dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang Kepailitan.
|
||||
|
|
12.
|
Ketentuan Pasal 187 ayat (1) diubah,
sehingga keseluruhan Pasal 187 menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
187
|
||||||
|
|
|
(1)
|
Surat Perintah Paksa Badan
diterbitkan dalam hal :
|
|||
|
|
|
|
a.
|
Penanggung Hutang tidak memenuhi
Surat Paksa;
|
||
|
|
|
|
b.
|
sisa hutang Penanggung Hutang paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
|
||
|
|
|
|
c.
|
Barang Jaminan tidak ada atau tidak
menutup sisa hutang;
|
||
|
|
|
|
d.
|
Penanggung Hutang mempunyai kemampuan
untuk menyelesaikan hutang tetapi tidak menunjukkan itikad baik untuk
menyelesaikan; dan
|
||
|
|
|
|
e.
|
objek Paksa Badan belum berumur 80
(delapan puluh) tahun.
|
||
|
|
|
(2)
|
Dalam hal informasi mengenai
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan/atau huruf e tidak
ada atau tidak mencukupi, dapat dilakukan Pemeriksaan.
|
|||
|
|
13.
|
Ketentuan Pasal 198 ayat (1) diubah,
sehingga keseluruhan Pasal 198 menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
198
|
||||||
|
|
|
(1)
|
Paksa Badan dilaksanakan setelah
jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan Surat Perintah Paksa
Badan dalam hal :
|
|||
|
|
|
|
a.
|
Penanggung Hutang tidak melunasi
hutangnya; dan
|
||
|
|
|
|
b.
|
objek Paksa Badan belum berumur 80
(delapan puluh) tahun.
|
||
|
|
|
(2)
|
Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Paksa Badan dapat dilaksanakan sebelum
jangka waktu 14 (empat belas) hari namun telah lewat waktu 24 (dua puluh
empat) jam sejak pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan, dalam hal terdapat
izin tertulis dari Kepala Kejaksaan Tinggi setempat dengan alasan untuk
kepentingan umum.
|
|||
|
|
14.
|
Ketentuan Pasal 206 ayat (1) dan ayat
(2) diubah serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3), sehingga
keseluruhan Pasal 206 menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
206
|
||||||
|
|
|
(1)
|
Biaya pelaksanaan Paksa Badan
termasuk biaya keperluan hidup objek Paksa Badan di tempat Paksa Badan
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|||
|
|
|
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Direktorat
Jenderal, untuk selanjutnya menjadi penambah jumlah hutang Penanggung Hutang.
|
|||
|
|
|
(3)
|
Penambahan jumlah hutang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang
harus disetor ke Kas Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan
tidak dipungut Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.
|
|||
|
|
15.
|
Ketentuan Pasal 208 ayat (1)
ditambahkan 1 (satu) huruf yaitu huruf f, sehingga keseluruhan Pasal 206
menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
208
|
||||||
|
|
|
(1)
|
Objek Paksa Badan yang sedang
menjalankan Paksa Badan dapat diizinkan keluar dari Tempat Paksa Badan dalam
hal objek Paksa Badan akan :
|
|||
|
|
|
|
a.
|
melaksanakan ibadah di tempat ibadah;
|
||
|
|
|
|
b.
|
menghadiri sidang di pengadilan;
|
||
|
|
|
|
c.
|
mengikuti pemilihan umum di tempat
pemilihan umum;
|
||
|
|
|
|
d.
|
menjalani pemeriksaan kesehatan atau
pengobatan di rumah sakit;
|
||
|
|
|
|
e.
|
menghadiri pemakaman orangtua,
suami/isteri, dan/atau anak; atau
|
||
|
|
|
|
f.
|
menjadi wali nikah.
|
||
|
|
|
(2)
|
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan atas permohonan objek Paksa Badan.
|
|||
|
|
16.
|
Ketentuan Pasal 211 diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 211 menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
211
|
||||||
|
|
|
Jangka waktu izin keluar dari Tempat
Paksa Badan ditetapkan paling lama 2 x 24 (dua puluh empat) jam, kecuali
untuk izin menjalani pengobatan secara rawat inap.
|
||||
|
|
17.
|
Ketentuan Pasal 221 ayat (1) dan ayat
(2) diubah serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3), sehingga
keseluruhan Pasal 221 menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
221
|
||||||
|
|
|
(1)
|
Objek Paksa Badan harus dibebaskan
dalam hal :
|
|||
|
|
|
|
a.
|
piutang Negara dinyatakan lunas;
|
||
|
|
|
|
b.
|
pengurusan Piutang Negara ditarik
oleh atau dikembalikan kepada Penyerah Piutang;
|
||
|
|
|
|
c.
|
objek Paksa Badan telah berumur 80
(delapan puluh) tahun;
|
||
|
|
|
|
d.
|
objek Paksa Badan mengalami gangguan
kejiwaan berat sehingga menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum;
atau
|
||
|
|
|
|
e.
|
jangka waktu Paksa Badan berakhir.
|
||
|
|
|
(2)
|
Objek Paksa Badan dapat dibebaskan
dalam hal :
|
|||
|
|
|
|
a.
|
terdapat pembayaran hutang paling
sedikit 50% (lima puluh persen) dari sisa hutang; atau
|
||
|
|
|
|
b.
|
terdapat permintaan tertulis dari
Kepala Kejaksaan Tinggi demi kepentingan umum.
|
||
|
|
|
(3)
|
Dalam hal Penanggung Hutang tidak
menyelesaikan kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a dalam waktu yang ditentukan, objek Paksa Badan dapat dikenakan Paksa Badan
kembali untuk sisa waktu pelaksanaan Paksa Badan yang belum dijalani.
|
|||
|
|
18.
|
Ketentuan Pasal 241 ayat (1) diubah,
sehingga keseluruhan Pasal 241 menjadi berbunyi sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
241
|
||||||
|
|
|
(1)
|
Nilai Limit untuk Lelang kedua dan
berikutnya ditetapkan :
|
|||
|
|
|
|
a.
|
paling rendah sama dengan nilai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 dan nilai penawaran tertinggi pada
pelaksanaan lelang sebelumnya;
|
||
|
|
|
|
b.
|
sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 240, dalam hal pada pelaksanaan lelang sebelumnya tidak
terdapat penawaran.
|
||
|
|
|
(2)
|
Penawaran tertinggi yang terjadi pada
lelang sebelumnya tidak dipergunakan sebagai dasar dalam penetapan Nilai
Limit dalam hal penawaran dilakukan oleh pemenang lelang yang wanprestasi.
|
|||
|
|
19.
|
Ketentuan Pasal 259 ditambahkan 1
(satu) ayat, yakni ayat (4), sehingga keseluruhan Pasal 259 menjadi berbunyi
sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
259
|
||||||
|
|
|
(1)
|
Persetujuan penjualan tanpa melalui
lelang ditetapkan oleh Panitia Cabang dengan ketentuan :
|
|||
|
|
|
|
a.
|
berpedoman pada Laporan Penilaian
yang masih berlaku; dan
|
||
|
|
|
|
b.
|
nilai persetujuan paling sedikit sama
dengan Nilai Pasar.
|
||
|
|
|
(2)
|
Persetujuan penjualan tanpa melalui
lelang atas saham/obligasi yang diperjualbelikan di bursa efek dapat
dilakukan tanpa berpedoman pada Laporan Penilaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a.
|
|||
|
|
|
(3)
|
Ketentuan mengenai persetujuan
penjualan tanpa melalui lelang atas saham/obligasi diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Direktur Jenderal.
|
|||
|
|
|
(4)
|
Dikecualikan dari ketentuan dalam
Pasal 229 dan Pasal 259 ayat (1), persetujuan penjualan tanpa melalui lelang
dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dapat
disetujui tanpa dilakukan Penilaian lebih dulu; dalam hal :
|
|||
|
|
|
|
a.
|
Penyerah Piutang menyetujui,
menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penjualan kepada
Panitia Cabang/Kantor Pelayanan; dan
|
||
|
|
|
|
b.
|
nilai persetujuan tidak lebih rendah
dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
|
||
|
|
20.
|
Ketentuan Pasal 272 ditambahkan 1
(satu) ayat, yakni ayat (2), sehingga keseluruhan Pasal 272 menjadi berbunyi
sebagai berikut :
|
||||
|
Pasal
272
|
||||||
|
|
|
(1)
|
Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271, permohonan Penebusan dengan nilai di
bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia, dapat disetujui dengan
ketentuan :
|
|||
|
|
|
|
a.
|
Nilai Pasar barang yang akan ditebus
berdasarkan Laporan Penilaian yang masih berlaku di bawah Nilai Pembebanan
Hak Tanggungan/Fidusia;
|
||
|
|
|
|
b.
|
Penyerah Piutang menyetujui,
menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penebusan kepada
Panitia Cabang/Kantor Pelayanan; dan
|
||
|
|
|
|
c.
|
mendapat persetujuan Penanggung
Hutang.
|
||
|
|
|
(2)
|
Dikecualikan dari ketentuan Pasal 229
dan Pasal 272 ayat (1), Penebusan dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dapat disetujui tanpa dilakukan Penilaian lebih
dulu, dalam hal :
|
|||
|
|
|
|
a.
|
Penyerah Piutang menyetujui,
menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penebusan kepada
Panitia Cabang/Kantor Pelayanan;
|
||
|
|
|
|
b.
|
mendapat persetujuan Penanggung
Hutang; dan
|
||
|
|
|
|
c.
|
nilai persetujuan tidak lebih rendah
dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
|
||
|
Pasal
II
|
||||||
|
|
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
|
|||||
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
|
|
|
|
|
|
|
|
Pada tanggal 30 April 2009
|
|
|
|
|
|
|
|
MENTERI KEUANGAN,
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
SRI
MULYANI INDRAWATI
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Diundangkan di Jakarta
|
|
||||
|
|
Pada tanggal 30 April 2009
|
|
||||
|
|
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
|
|
||||
|
|
|
|
||||
|
|
|
|
||||
|
|
ANDI
MATTALATTA
|
|
||||
|
|
|
|
||||
|
|
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2009 NOMOR 86
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar