Sabtu, 04 Mei 2013

Kompetensi Peradilan Militer Perlu Dibenahi Judicial review UU Peradilan Militer bisa jadi alternatif.


Pengajar hukum pidana UI, Ganjar L Bondan berpendapat kompetensi peradilan militer perlu dibenahi karena sudah melenceng dari asas sesungguhnya. Pasalnya, peradilan militer saat ini cenderung mengadili semua kasus yang dilakukan anggota militer. Baik itu yang bersinggungan dengan tindak pidana umum ataupun militer.
Melihat hal itu Ganjar menilai proses peradilan militer hanya mendasarkan pada status, bukan perbuatan pelaku. Padahal, yang mesti diadili itu perbuatan yang dilakukan oleh anggota yang bersangkutan.
Untuk itu, Ganjar berpendapat peradilan militer harusnya khusus mengadili tindak pidana militer misalnya ada anggota TNI yang melawan perintah komando. Namun, ketika perbuatan yang dilakukan adalah tindak pidana umum seperti pemerkosaan, pengerusakan dan pembunuhan, sudah selayaknya diproses di peradilan umum. “Kalau kasus seperti itu dibawa ke peradilan militer yang terjadi malah melecehkan peradilan militer,” katanya dalam diskusi di kantor YLBHI Jakarta, Jumat (3/5).
Lebih jauh Ganjar menyebut UU Peradilan Militer perlu direvisi. Menurutnya, hal itu ditujukan agar peradilan militer berfungsi sesuai kompetensinya, yaitu memproses tindakan yang hanya dipahami oleh TNI. Seperti garis komando, desersi dan lain sebagainya. Pasalnya, militer punya keahlian khusus dan bersenjata. Namun, dengan kewenangan tersebut ketika anggota militer melakukan tindak pidana umum, maka hukumannya perlu diperberat ketimbang masyarakat sipil.
Oleh karenanya, Ganjar melanjutkan, dibutuhkan pendekatan khusus untuk memproses anggota militer yang tersangkut kasus pidana umum. Misalnya, dalam kasus penyerangan LP Cebongan, anggota militer yang melakukan penyerangan menggunakan senjata berat. Mengingat hal itu dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan maka Ganjar menilai hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku harus lebih berat jika dibandingkan dengan masyarakat sipil yang melakukan penyerangan serupa.
Teknisnya nanti, lanjut Ganjar, para pelaku penyerangan LP Cebongan harus melewati proses di peradilan umum dan ketika hakim menjatuhkan putusan maka kewenangan yang melekat pada pelaku memperberat hukuman yang dijatuhkan. Sayangnya, Ganjar melihat hal itu potensinya kecil dilakukan jika mengacu UU Peradilan Militer.
Dari pantauannya selama ini, kasus-kasus yang sering digelar di peradilan militer seringkali berkaitan dengan pidana umum. Bahkan Ganjar mengaku sangat sulit menemukan peradilan militer yang memproses tindak pidana militer murni. Untuk itu ia berharap peraturan tersebut segera diubah untuk mengembalikan fungsi peradilan militer pada fungsinya.
Jika kompetensi peradilan militer tak dibenahi, Ganjar berpendapat penegakan hukum dan pemenuhan keadilan bagi masyarakat sukar dipenuhi. Misalnya, ketika mengikuti sebuah persidangan di peradilan militer, Ganjar melihat majelis hakim berpangkat kolonel sementara pelaku yang disidangkan berpangkat lebih tinggi yaitu bintang I.
Melihat struktur kepangkatan yang timpang antara yang mengadili dan diadili itu, sang hakim diberi pangkat sementara atau tituler, menjadi bintang I. Walau begitu, Ganjar berpendapat tetap saja kondisi itu menyulitkan sang hakim untuk memberikan keputusan yang adil karena pangkatnya yang permanen adalah kolonel. Ujungnya, putusan yang dihasilkan dinilai tak memberi rasa keadilan bagi korban.
Pada kesempatan yang sama, mantan Ketua Badan Pekerja YLBHI, Patra M Zein, menyebut wacana untuk merevisi UU Peradilan Militer sudah muncul sejak tahun 2000-an. Namun, proses revisinya seolah timbul dan tenggelam serta berarut, ujungnya sampai saat ini revisi itu tak terwujud. Dalam memperjuangkan agar UU Peradilan Militer dibenahi, Patra menyebut masyarakat sipil perlu menggunakan strategi yang tepat. Misalnya, memanfaatkan peluang dan momentum yang ada untuk mendukung terealisasinya revisi peraturan tersebut. Seperti momen terjadinya penyerangan LP Cebongan dan masa menjelang Pemilu.
Patra mencontohkan ketika mendorong pembentukan UU Bantuan Hukum, menjelang pelaksanaan Pemilu organisasi masyarakat sipil mendekati para calon legislatif (caleg). Untuk diajak berkomitmen memperjuangkan pembentukan UU tersebut ketika nanti berhasil terpilih menjadi anggota DPR. Walau begitu, upaya pendekatan tersebut harus dilakukan pada saat yang tepat. Pasalnya, menjelang pelaksanaan Pemilu, para calon cenderung sibuk mempersiapkan diri untuk kampanye.
Tapi, menurut Patra ada alternatif lain yang dapat digunakan masyarakat sipil untuk mendorong revisi UU Peradilan Militer yaitu mengajukannya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika mekanisme itu ditempuh dan MK memberi putusan sesuai harapan, maka masyarakat sipil dapat menggunakannya sebagai alat kampanye menggaungkan revisi UU Peradilan Militer. Namun, tetap saja masyarakat sipil harus melihat berapa besar peluang yang bisa diraih agar MK memberi putusan sesuai dengan harapan. “Biar MK menegaskan apakah anggota militer yang melakukan pidana dibawa ke peradilan umum atau militer,” urainya.
Secara umum, Patra menilai revisi UU Peradilan Militer tak terpisahkan dari ketentuan lainnnya yang terkait seperti KUHP dan KUHAP Militer. Mengingat pembahasan revisi UU Peradilan Militer sudah dilakukan berulang kali, Patra menyebut masyarakat sipil harus melihat peristiwa-peristiwa apa yang terjadi kala itu sehingga dimasukan dalam ketentuan tersebut.
Sementara, pakar hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin, mengatakan militer dan negara sangat lekat sejak negara itu dibentuk. Namun, semakin modern sebuah negara maka garis pembatas antara militer dan negara semakin jelas. Selaras dengan itu semakin terang pula kalau peradilan militer hanya khusus mengadili kasus yang tak dapat ditindak lewat mekanisme peradilan umum.
Menanggapi banyaknya kasus pidana umum yang dilakukan anggota militer dibawa ke peradilan militer, Irman mengatakan persoalan itu berada di ranah kemauan politik pemerintah dan parlemen. Menurutnya, dalam mendorong revisi UU Peradilan Militer masyarakat sipil dapat memaksimalkan ketentuan yang ada di konstitusi misalnya dengan melakukan judicial review.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar