Pengetahuan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terhadap tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme dinilai masih minim. Bank Indonesia (BI) mengimbau perlunya pelatihan bagi para pegawai BPR untuk menghindari terjadinya praktik tersebut. Hal tersebut disampaikan Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah, dalam Workshop Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT), Senin (5/3), di Jakarta.
Halim mengatakan, praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme tidak hanya mengancam bank umum yang memiliki produk layanan yang kompleks, nasabah banyak dan transaksi bernilai besar. Praktik itu juga bisa mengancam BPR yang memiliki produk sederhana dan nilai transaksinya relatif kecil.
“Agar praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme bisa dicegah, pegawai BPR patut mendapatkan perhatian dan pelatihan,” katanya.
Dijelaskan Halim, BI telah melakukan penyempurnaan ketentuan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles/KYC) bagi BPR dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dengan mengacu kepada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara internasional dalam mendukung upaya tindak pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Hal itu tertuang dalam PBI No. 12/20/PBI/2010 tanggal 4 Oktober 2010 dan Surat Edaran Ekstern No. 13/14/DKBU tanggal 12 Mei 2011 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Teorisme bagi BPR dan BPRS.
Selanjutnya, BI berharap BPR dan BPRS dapat menyusun dan mengembangkan pedoman pelaksanaan APU dan PPT sesuai dengan kebutuhan dan kompleksitas operasional usahanya.
Beberapa program yang harus dilaksanakan oleh BPR untuk menghindari tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme adalah melakukan Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence (EDD).
CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan BPR untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan profil pengguna jasa bank. Sedangkan EDD adalah CDD dan kegiatan lain yang dilakukan oleh BPR untuk mendalami profil nasabah, nasabah atau beneficial owner yang tergolong berisiko tinggi termasuk Politically Exposed Person (PEP) terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
“Untuk memastikan penerapan program APU dan PPT diperlukan mekanisme penilaian oleh BI dalam rangka penerapan program APU dan PPT oleh BPR dan BPRS,” lanjut Halim.
Penilaian itu merupakan gambaran menyeluruh mengenai kecukupan dan efektivitas penerapan program APU dan PPT serta kewajiban lainnya terkait dengan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pada setiap BPR. Gambaran menyeluruh tersebut diperlukan untuk memastikan tingkat kepatuhan BPR terhadap ketentuan terkait APU dan PPT yang berlaku dan efektivitas penerapannya, serta mengidentifikasi langkah-langkah perbaikan yang diperlukan.
Pembatasan
Di acara yang sama, Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso, mengakui praktik pencucian uang memang sudah merambah BPR. Sampai Januari 2012, PPATK mencata total Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LPKT) yang dilaporkan kepada PPATK sejak tahun 2005 mencapai 10.494.312 laporan, dengan jumlah pelapor sebanyak 418 terdiri dari bank umum, BPR, pedagang valas, asuransi dan perusahaan pembiayaan.
Sementara, untuk jumlah laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM) sampai Januari 2012, total mencapai 86.264 laporan dengan jumlah pelapor 359 pelapor yang terdiri dari bank, dan non bank seperti perusahaan efek, pedagang valas, lembaga pembiayaan dan asuransi.
Agus juga mengusulkan dalam amandemen UU No 6 Tahun 2009 tentang BI dimasukkan aturan mengenai batasan maksimal transaksi tunai Rp100 juta. Menurutnya, jika semua transaksi dilakukan melalui bank, maka akan mudah ditelusuri ada tidaknya praktik pencucian uang atau pendanaan terorisme.
Selain itu, dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hal itu bisa dijadikan alat bukti. “Semoga ini bisa masuk ke amandemen UU BI,” tuturnya di acara yang sama.
Terkait hal ini, Kepala Biro Humas BI Difi A Johansyah mengatakan belum mengetahui rencana amandemen UU BI, meski perubahan itu sudah diperlukan mengingat aturan lain yang sudah berbenturan dengan UU BI seperti UU OJK. Menurutnya, bank sentral masih menunggu informasi dari DPR dan Kemenkeu.
Kepala Seksi Pengawas Kepatuhan PPATK Syahril Ramadhan menambahkan, ada beberapa cara yang biasa dipakai seseorang untuk melakukan aksi pencucian uang dan pendanaan terorisme. “Dia biasanya memalsukan KTP, menggunakan pihak ketiga, transfer informal, menggunakan perusahaan legal serta private banking,” katanya.
Halim mengatakan, praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme tidak hanya mengancam bank umum yang memiliki produk layanan yang kompleks, nasabah banyak dan transaksi bernilai besar. Praktik itu juga bisa mengancam BPR yang memiliki produk sederhana dan nilai transaksinya relatif kecil.
“Agar praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme bisa dicegah, pegawai BPR patut mendapatkan perhatian dan pelatihan,” katanya.
Dijelaskan Halim, BI telah melakukan penyempurnaan ketentuan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles/KYC) bagi BPR dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dengan mengacu kepada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara internasional dalam mendukung upaya tindak pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Hal itu tertuang dalam PBI No. 12/20/PBI/2010 tanggal 4 Oktober 2010 dan Surat Edaran Ekstern No. 13/14/DKBU tanggal 12 Mei 2011 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Teorisme bagi BPR dan BPRS.
Selanjutnya, BI berharap BPR dan BPRS dapat menyusun dan mengembangkan pedoman pelaksanaan APU dan PPT sesuai dengan kebutuhan dan kompleksitas operasional usahanya.
Beberapa program yang harus dilaksanakan oleh BPR untuk menghindari tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme adalah melakukan Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence (EDD).
CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan BPR untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan profil pengguna jasa bank. Sedangkan EDD adalah CDD dan kegiatan lain yang dilakukan oleh BPR untuk mendalami profil nasabah, nasabah atau beneficial owner yang tergolong berisiko tinggi termasuk Politically Exposed Person (PEP) terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
“Untuk memastikan penerapan program APU dan PPT diperlukan mekanisme penilaian oleh BI dalam rangka penerapan program APU dan PPT oleh BPR dan BPRS,” lanjut Halim.
Penilaian itu merupakan gambaran menyeluruh mengenai kecukupan dan efektivitas penerapan program APU dan PPT serta kewajiban lainnya terkait dengan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pada setiap BPR. Gambaran menyeluruh tersebut diperlukan untuk memastikan tingkat kepatuhan BPR terhadap ketentuan terkait APU dan PPT yang berlaku dan efektivitas penerapannya, serta mengidentifikasi langkah-langkah perbaikan yang diperlukan.
Pembatasan
Di acara yang sama, Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso, mengakui praktik pencucian uang memang sudah merambah BPR. Sampai Januari 2012, PPATK mencata total Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LPKT) yang dilaporkan kepada PPATK sejak tahun 2005 mencapai 10.494.312 laporan, dengan jumlah pelapor sebanyak 418 terdiri dari bank umum, BPR, pedagang valas, asuransi dan perusahaan pembiayaan.
Sementara, untuk jumlah laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM) sampai Januari 2012, total mencapai 86.264 laporan dengan jumlah pelapor 359 pelapor yang terdiri dari bank, dan non bank seperti perusahaan efek, pedagang valas, lembaga pembiayaan dan asuransi.
Agus juga mengusulkan dalam amandemen UU No 6 Tahun 2009 tentang BI dimasukkan aturan mengenai batasan maksimal transaksi tunai Rp100 juta. Menurutnya, jika semua transaksi dilakukan melalui bank, maka akan mudah ditelusuri ada tidaknya praktik pencucian uang atau pendanaan terorisme.
Selain itu, dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hal itu bisa dijadikan alat bukti. “Semoga ini bisa masuk ke amandemen UU BI,” tuturnya di acara yang sama.
Terkait hal ini, Kepala Biro Humas BI Difi A Johansyah mengatakan belum mengetahui rencana amandemen UU BI, meski perubahan itu sudah diperlukan mengingat aturan lain yang sudah berbenturan dengan UU BI seperti UU OJK. Menurutnya, bank sentral masih menunggu informasi dari DPR dan Kemenkeu.
Kepala Seksi Pengawas Kepatuhan PPATK Syahril Ramadhan menambahkan, ada beberapa cara yang biasa dipakai seseorang untuk melakukan aksi pencucian uang dan pendanaan terorisme. “Dia biasanya memalsukan KTP, menggunakan pihak ketiga, transfer informal, menggunakan perusahaan legal serta private banking,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar