Sabtu, 25 Mei 2013

BATAL DEMI HUKUM


Perihal: Pendapat Hukum terhadap Putusan Batal Demi Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 KUHAP
Dengan hormat,
Memenuhi permintaan beberapa rekan anggota DPR RI dan anggota masyarakat yang disampaikan kepada saya sehubungan dengan permasalahan putusan pengadilan pidana yang tidak memenuhi norma Pasal 197 ayat (1) huruf k Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana yang telah terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung atas terdakwa Parlin Riduansyah – dan terjadi pula pada terdakwa yang lain di berbagai daerah di tanah air – yang diputus bersalah dan dijatuhi hukuman 3 (tiga) tahun penjara, namun tidak mencantumkan norma yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, yakni “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, maka bersama ini saya sampaikan pendapat saya sebagai berikut:
Pasal 197 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa surat putusan pemidanaan memuat antara lain huruf k “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Jadi, jika seorang terdakwa diadili dan diputus bersalah dan dijatuhi hukuman penjara, kalau terdakwa tidak ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa ditahan. Kalau terdakwa sedang ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan. Kalau putusan membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dan terdakwa ditahan, maka putusan harus memuat perintah agar terdakwa dibebaskan. Perintah tersebut, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k, maksudnya adalah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 270 KUHAP, yakni ditujukan kepada Jaksa sebagai aparatur pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
Pasal 197 ayat (2) menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut “mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Putusan pengadilan dikatakan “batal demi hukum” (venrechtswege nietig atau ab initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum, sehingga dengan demikian, putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan. Mengingat pengertian “putusan batal demi hukum” adalah demikian menurut ilmu hukum, maka mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law atau dwingend recht), sehingga tidak boleh diabaikan oleh majelis hakim dalam memutus perkara pidana pada setiap tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung);
Mahkamah Agung dalam Putusan No 169 K/Pid/1988 tanggal 17 Maret 1988 telah menegaskan bahwa “Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum sebab tidak mencantumkan status Terdakwa sebagaimana dimaksud pada Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP putusan Pengadilan Tinggi tersebut harus dinyatakan batal demi hukum”. Dengan putusan ini, maka tidak perlu lagi Jaksa meminta fatwa kepada Mahkamah Agung mengenai putusan yang batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Norma Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHAP adalah norma yang terang, jelas dan tegas maknanya, sehingga pada norma yang demikian itu tidak diperlukan adanya penafsiran atau fatwa dari pihak manapun juga. KUHAP menganut prinsip yang tegas bahwa “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” (Pasal 3 KUHAP). Norma-norma hukum acara pidana haruslah bersifat tegas dan tidak boleh ditafsir-tafsirkan demi memelihara kepastian hukum, mengingat norma hukum acara pidana berkaitan langsung dengan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan dihormati oleh siapapun juga;
KUHAP secara keseluruhannya telah mengatur batas-batas kewenangan aparatur penegak hukum, mulai dari penyidik, penuntut umum, hakim, jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan pidana dan petugas lembaga pemasyarakatan. Tugas hakim adalah memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Apabila hakim telah memutus perkara dan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka tugas hakim berhenti atau berakhir sampai di batas itu. Tugas selanjutnya ada pada Jaksa, yakni untuk mengeksekusi putusan, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan untuk membina narapidana. Pasal 270 KUHAP mengatakan “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”. Dengan demikian, terhadap putusan yang batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k, maka hakim tidak mempunyai kewenangan apapun untuk memperbaiki putusan tersebut, mengingat sifat hakim yang pasif, yakni menyidangkan perkara yang diajukan kepadanya oleh penuntut umum, atau memeriksa banding dan kasasi apabila dimohon oleh penuntut umum atau terdakwa:
Oleh karena putusan yang batal demi hukum dalam perkara Parlin Riduansyah adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan diputuskan oleh Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat Peninjauan Kembali (PK), maka tidak ada upaya hukum apapun, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa, karena PK hanya dapat dilakukan satu kali saja sebagaimana diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Oleh karena itu putusan perkara tersebut telah bersifat final. Namun mengingat bahwa putusan tersebut adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, maka Jaksa tidak dapat melaksanakan atau mengeksekusi putusan tersebut. Jika Jaksa memaksakan pelaksanaan putusan yang batal demi hukum tersebut, maka Jaksa telah melakukan tindakan inkonstitusional dan melanggar hak asasi manusia, yakni melanggar Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
Demi kepastian hukum, putusan yang batal demi hukum adalah putusan yang sejak semula tidak pernah ada, tidak membawa akibat hukum dan tidak dapat dieksekusi. Karena itu, jika Jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum dapat digolongkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan asas negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu cirinya adalah mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi asas legalitas. Tindakan Jaksa yang memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum juga melanggar Pasal 17 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang antara lain menyatakan bahwa setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif”;
Jika Jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum, maka korban eksekusi itu berhak untuk melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena Jaksa tersebut telah melanggar Pasal 333 ayat (1) KUHP yang bunyinya “Barangsiapa dengan sengaja melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”. Jaksa tersebut juga dapat dituntut berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: (1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi” (2)Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”;
Untuk mengindari Jaksa mengeksekusi putusan yang batal demi hukum, yang nyata-nyata merupakan tindak pidana penyalahgunaan jabatan merampas kemerdekaan seseorang, maka Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggungjawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berkewajiban untuk memerintahkan kepada semua Jaksa agar tidak melaksanakan putusan yang batal demi hukum. Jika Jaksa Agung tidak melakukannya, dan sebaliknya membenarkannya serta membiarkan Jaksa melakukan eksekusi atas putusan yang batal demi hukum, maka Jaksa Agung dapat dituntut berdasarkan delik penyertaan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, atau delik perbantuan sebagaimana diatur dalam yakni menyuruh melakukan, turut serta melakukan atau bersama-sama para Jaksa tersebut melakukan tindak pidana, atau melakukan delik perbantuan, yakni sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, atau sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) dan (2) KUHP;
Dewan Perwakilan Rakyat yang menurut Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai hak pengawasan atas jalannya pemerintahan negara, berkewajiban untuk mengawasi Jaksa Agung dan seluruh jajarannya, agar sungguh-sungguh melaksanakan undang-undang selurus-lurusnya dan seadil-adilnya, dalam hal ini, khususnya terkait dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Jika Jaksa Agung tidak mengindahkan hal ini, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan hak interplasi sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (2) guna mempertanyakan kebijakan Pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan eksekusi putusan batal demi hukum yang terjadi di berbagai daerah, yang nyata-nyata telah melanggar hak asasi warganegara.
Demikianlah pendapat saya. Atas perhatian Yang Terhormat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya
Prof Dr Yusril Ihza Mahendra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar