Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI) Fardian bersuka cita dengan masuknya cyber notary ke dalam UU Nomor 2 Tahun 2014 Jabatan Notaris sehingga dianggap dapat mengatur penggunaan dokumen elektronik.
Fardian mengatakan selama ini dengan diakuinya dokumen-dokumen elektronik menimbulkan kegegeran di kalangan notaris. Penggunaan itu dianggap dapat mengurangi lahan kerja notaris hingga 70 persen. “Sewa menyewa nantinya tidak akan menggunakan notaris, cukup dengan dokumen elektronik, ini yang bikin kita geger,” tuturnya pada Pre-Seminar International Cyber Law di FHUI, Rabu (5/2).
Nah, dengan masuknya cyber notary ini ke dalam UU Jabatan Notaris, penggunaan dokumen elektronik untuk transaksi perlu melibatkan notaris. Fardian menyambut baik langkah DPR dan Pemerintah yang membuka pintu masuk Cyber Notary, walau hanya tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2014.
Ketentuan ini berbunyi “Yang dimaksud dengan "kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan", antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat akta, ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.”
Fardian menjelaskan berkembangnya kemajuan teknologi dan sistem elektronik memang memiliki untung-rugi. Di satu sisi, masyarakat akan lebih mudah dalam melakukan transaksi atau membuat suatu perjanjian. Cukup dengan dokumen elektronik, para pihak dapat menyelesaikan transaksi bisnisnya.
Di sisi lain, kehadiran profesi notaris menjadi terpinggirkan. Sebelum ada dokumen elektronik, notaris bisa sangat diperlukan dalam menguatkan akta yang dibuat. Namun, setelah diakuinya dokumen-dokumen elektronik itu, ada kekhawatiran pembuatan akta secara elektronik tak lagi membutuhkan notaris.
Lebih lanjut, Fardian berharap cyber notary bukan semata-mata mengelektronikkan tugas-tugas pokok notaris, tetapi lebih kepada memberikan nilai lebih kepada dokumen-dokumen elektronik tersebut, misalnya adalah melegalisasikan dokumen-dokumen elektronik.
Kendati demikian, Fardian mengaku penerapan cyber notary tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Paling tidak, dibutuhkan waktu sedikitnya 5 tahun demi menuju cyber notary. Banyak hal yang perlu dipersiapkan. Salah satunya adalah perubahan Pasal 1868 KUHPerdata.
Pasal 1868 KUHPerdata mengatur bahwa akta otentik adalah akta dengan bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang dan dibuat di hadapan pegawai umum yang berkuasa. Kata-kata “di hadapan” ini, sambung Fardian, perlu diubah ketika ingin menjadicyber notary. Jika tidak, akta yang dibuat notaris tersebut tidak akan menjadi akta otentik.
“Untuk itu, kita berharap banyak dengan pasal ini. Ini pintu masuk cyber notary,” pungkasnya.
Pakar Hukum Telematika Universitas Indonesia (UI) Edmon Makarim memiliki pandangan yang sama. Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UU Jabatan Notaris tersebut dapat dikatakan memberikan angin segar bagi perkembangan cyber notary di Indonesia.
Namun, Edmon melihatnya dari sisi yang berbeda. Ia mengatakan cyber notary justru dapat meringankan tugas notaris, khususnya dalam melakukan tugas pokok jabatannya. Yakni, salah satunya terkait kewajiban notaris dalam menyimpan minuta akta yang pernah dibuatnya.
Tak hanya itu, notaris juga berkewajiban menyimpan protokol yang diwariskan kepadanya oleh notaris yang telah meninggal dunia. Dapat dibayangkan berapa luasnya lahan yang diperlukan hanya untuk menyimpan minuta-minuta akta tersebut. “Belum lagi jika ada kebakaran, digigit tikus, dan banjir,” tutur Edmon.
Menurutnya, untuk urusan-urusan inilah perlunya peran cyber notary tersebut.
Kendati demikian, Edmon menilai perlu tindak lanjut dari penjelasan Pasal 15 ayat (3) terkait dengan kewenangan untuk mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik. Ia mencatat ada empat hal yang perlu ditindaklanjuti, yakni pertama, bagaimana fungsi dan peran serta lingkung seorang cyber notary?
Kedua, siapa yang membangun sistem aplikasi penyelenggaraan cyber notary? Apakah INI sendiri atau pemerintah?; Ketiga, bagaimana kemudahan notaris dalam mengakses pengecekan data kepada instansi tertentu demi mendapatkan kejelasan indentitas subjek hukum dan badan hukum; Keempat, apakah notaris harus menunggu keluarnya peraturan pemerintah atau cukup dengan peraturan menteri untuk memfasilitasi ini?
Edmon juga melihat ada sedikit kesalapahaman ketika ada beberapa notaris menafsirkan frase “di hadapan” sesuai Pasal 1868 KUHPer yang dikaitkan dengan cyber notary. Selama ini, konsep cyber notary selalu diidentikkan dengan pelayanan jarak jauh. Pembuatan akta yang dilakukan secara jarak jauh. Padahal tidak.
Edmon mengatakan prinsip kerja cyber notary tidak jauh berbeda dengan notaris biasa. Para pihak tetap datang dan berhadapan dengan para notarisnya. Hanya saja, para pihak langsung membaca draft aktanya di masing-masing komputer, setelah sepakat, para pihak segera menandatangani akta tersebut secara elektronik di kantor notaris.
“Jadi, aktanya bukan dibuat melalui jarak jauh menggunakan webcam, tetapi para pihak berhadapan langsung kepada notarisnya. Kalau caranya menggunakan webcam, negara lain juga belum menggunakan metode itu,” tandasnya.
Fardian mengatakan selama ini dengan diakuinya dokumen-dokumen elektronik menimbulkan kegegeran di kalangan notaris. Penggunaan itu dianggap dapat mengurangi lahan kerja notaris hingga 70 persen. “Sewa menyewa nantinya tidak akan menggunakan notaris, cukup dengan dokumen elektronik, ini yang bikin kita geger,” tuturnya pada Pre-Seminar International Cyber Law di FHUI, Rabu (5/2).
Nah, dengan masuknya cyber notary ini ke dalam UU Jabatan Notaris, penggunaan dokumen elektronik untuk transaksi perlu melibatkan notaris. Fardian menyambut baik langkah DPR dan Pemerintah yang membuka pintu masuk Cyber Notary, walau hanya tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2014.
Ketentuan ini berbunyi “Yang dimaksud dengan "kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan", antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat akta, ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.”
Fardian menjelaskan berkembangnya kemajuan teknologi dan sistem elektronik memang memiliki untung-rugi. Di satu sisi, masyarakat akan lebih mudah dalam melakukan transaksi atau membuat suatu perjanjian. Cukup dengan dokumen elektronik, para pihak dapat menyelesaikan transaksi bisnisnya.
Di sisi lain, kehadiran profesi notaris menjadi terpinggirkan. Sebelum ada dokumen elektronik, notaris bisa sangat diperlukan dalam menguatkan akta yang dibuat. Namun, setelah diakuinya dokumen-dokumen elektronik itu, ada kekhawatiran pembuatan akta secara elektronik tak lagi membutuhkan notaris.
Lebih lanjut, Fardian berharap cyber notary bukan semata-mata mengelektronikkan tugas-tugas pokok notaris, tetapi lebih kepada memberikan nilai lebih kepada dokumen-dokumen elektronik tersebut, misalnya adalah melegalisasikan dokumen-dokumen elektronik.
Kendati demikian, Fardian mengaku penerapan cyber notary tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Paling tidak, dibutuhkan waktu sedikitnya 5 tahun demi menuju cyber notary. Banyak hal yang perlu dipersiapkan. Salah satunya adalah perubahan Pasal 1868 KUHPerdata.
Pasal 1868 KUHPerdata mengatur bahwa akta otentik adalah akta dengan bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang dan dibuat di hadapan pegawai umum yang berkuasa. Kata-kata “di hadapan” ini, sambung Fardian, perlu diubah ketika ingin menjadicyber notary. Jika tidak, akta yang dibuat notaris tersebut tidak akan menjadi akta otentik.
“Untuk itu, kita berharap banyak dengan pasal ini. Ini pintu masuk cyber notary,” pungkasnya.
Pakar Hukum Telematika Universitas Indonesia (UI) Edmon Makarim memiliki pandangan yang sama. Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UU Jabatan Notaris tersebut dapat dikatakan memberikan angin segar bagi perkembangan cyber notary di Indonesia.
Namun, Edmon melihatnya dari sisi yang berbeda. Ia mengatakan cyber notary justru dapat meringankan tugas notaris, khususnya dalam melakukan tugas pokok jabatannya. Yakni, salah satunya terkait kewajiban notaris dalam menyimpan minuta akta yang pernah dibuatnya.
Tak hanya itu, notaris juga berkewajiban menyimpan protokol yang diwariskan kepadanya oleh notaris yang telah meninggal dunia. Dapat dibayangkan berapa luasnya lahan yang diperlukan hanya untuk menyimpan minuta-minuta akta tersebut. “Belum lagi jika ada kebakaran, digigit tikus, dan banjir,” tutur Edmon.
Menurutnya, untuk urusan-urusan inilah perlunya peran cyber notary tersebut.
Kendati demikian, Edmon menilai perlu tindak lanjut dari penjelasan Pasal 15 ayat (3) terkait dengan kewenangan untuk mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik. Ia mencatat ada empat hal yang perlu ditindaklanjuti, yakni pertama, bagaimana fungsi dan peran serta lingkung seorang cyber notary?
Kedua, siapa yang membangun sistem aplikasi penyelenggaraan cyber notary? Apakah INI sendiri atau pemerintah?; Ketiga, bagaimana kemudahan notaris dalam mengakses pengecekan data kepada instansi tertentu demi mendapatkan kejelasan indentitas subjek hukum dan badan hukum; Keempat, apakah notaris harus menunggu keluarnya peraturan pemerintah atau cukup dengan peraturan menteri untuk memfasilitasi ini?
Edmon juga melihat ada sedikit kesalapahaman ketika ada beberapa notaris menafsirkan frase “di hadapan” sesuai Pasal 1868 KUHPer yang dikaitkan dengan cyber notary. Selama ini, konsep cyber notary selalu diidentikkan dengan pelayanan jarak jauh. Pembuatan akta yang dilakukan secara jarak jauh. Padahal tidak.
Edmon mengatakan prinsip kerja cyber notary tidak jauh berbeda dengan notaris biasa. Para pihak tetap datang dan berhadapan dengan para notarisnya. Hanya saja, para pihak langsung membaca draft aktanya di masing-masing komputer, setelah sepakat, para pihak segera menandatangani akta tersebut secara elektronik di kantor notaris.
“Jadi, aktanya bukan dibuat melalui jarak jauh menggunakan webcam, tetapi para pihak berhadapan langsung kepada notarisnya. Kalau caranya menggunakan webcam, negara lain juga belum menggunakan metode itu,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar