Sejak hukum di Indonesia mengenal saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator (JC), banyak tersangka atau terdakwa yang akhirnya mengajukan diri untuk menjadi JC kepada penyidik atau penuntut umum. Misalnya, permohonan yang diajukan oleh anggota DPR Damayanti Wisnu Putranti dalam kasus korupsi yang melilitnya di KPK.
Berbeda dengan Damayanti, ada beberapa nama lain yang telah ditetapkan sebagai JC, salah satunya advokat M Yagari Bhastara Guntur alias Gary dalam perkara dugaan suap kepada hakim PTUN Medan. Namun, untuk menjadi justice collaborator, ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kandidat saksi pelaku yang bekerja sama ini. Apa saja syarat-syarat itu?
Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejagung RI Widyo Pramono mengatakan, kriteria pertama yang memungkinkan ditetapkannya JC bahwa kejahatan yang diperbuat merupakan tindak pidana serius atau terorganisir. Mengapa harus demikian? Karena di situ lah konsep JC muncul.
“Ada pihak-pihak yang memegang peranan lebih penting yang harus ada diungkap keterlibatannya,” kata Widyo dalam seminar bertema “Strategi Pembelaan dengan Mengungkap Kebenaran” yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) kubu Fauzie Hasibuan, akhir pekan lalu.
Dasar dalam memberikan penetapan JC kepada terdakwa maupun tersangka merupakan hal yang penting. Biasanya, JC bukanlah pelaku utama, sehingga ada pelaku besar lain yang bisa diungkap ke penyidik untuk mengusut tuntas perkara tersebut.
“Jadi di sini, justice collaborator itu kalau meminjam istilahnya Pak Semendawai (Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) adalah pelaku kelas teri bukan kelas kakap. Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya,” lanjut peraih gelar guru besar dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini, seraya menyebutkan syarat kedua.
Selanjutnya, mengacu pada Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan Ketua LPSK di tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama, Widyo menambahkan, JC harus memberi keterangan yang signifikan, relevan, dan dapat diandalkan.
Selain itu JC juga harus bersedia mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan. Syarat lain yang tak kalah penting adalah adanya ancaman baik fisik maupun psikis terhadap JC atas diri dan keluarganya apabila tindak pidana diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
Adanya saksi pelaku yang mau bekerja sama, menurut Widyo, membuat penuntut umum terbantu. Apalagi dengan adanya perlindungan yang diberikan oleh LPSK. Untuk itu, penetapan JC terhadap orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut menjadi sebuah keniscayaan.
“Jadi insyaAllah penuntut umum itu kalau menolak saksi pelaku yang diberikan melalui LPSK maupun pengacara, maka penuntut yang demikian ini tidak benar. Sarana yang bisa dilakukan oleh lawyer yang menghadapi hal seperti ini, bisa lapor sama Jamwas,” ujarnya.
Menurutnya, lewat jabatan yang kini ia pegang itu, ia bisa turun tangan untuk mencari duduk perkara yang sesungguhnya. Tujuannya agar aparat kejaksaan baik di pusat mau pun di daerah mampu menjalankan kerjanya menegakkan hukum secara benar sesuai ketentuan yang ada.
Manfaat Jadi Justice Collaborator
Cukup besarnya minat menjadi JC tak lain karena adanya tawaran keringanan penjatuhan pidana terhadap pelaku. Hal ini sesuai UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Perlindungan Saksi dan Korban, diatur bahwa saksi pelaku yang bekerjasama dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan, yang mana salah satunya adalah keringanan hukuman.
Alasan berupa peringanan hukuman ini dibenarkan menjadi salah satu pertimbangan lawyer saat menyarankan kliennya menjadi JC oleh pengacara Gary, Ika Safitri. Beberapa waktu lalu, Gary baru saja divonis dua tahun oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus suap majelis hakim PTUN Medan. Sebelumnya diberitakan bahwa peran Gary dalam membongkar keterlibatan pelaku besar yang membuatnya dituntut dengan ancaman minimal.
Hal serupa juga diutarakan kuasa hukum Awang Lazuardi Embat, Gunadi Handoko. Menurutnya, banyak manfaat dari JC sehingga hal ini yang disarankan dirinya kepada Awang yang disangka telah menyuap Kasubdit Kasasi Perdata Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna.
“KPK kan kalau sudah bertindak ndak main-main. Punya data, punya informasi yang betul-betul akurat. Jadi mau ngga mau dia harus kooperatif dan menjadi justice collaborator. Itu juga yang kami sarankan karena kami pandang paling baik lah untuk Awang,” ujar Gunadi kepada hukumonline, beberapa waktu lalu.
Berbeda dengan Damayanti, ada beberapa nama lain yang telah ditetapkan sebagai JC, salah satunya advokat M Yagari Bhastara Guntur alias Gary dalam perkara dugaan suap kepada hakim PTUN Medan. Namun, untuk menjadi justice collaborator, ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kandidat saksi pelaku yang bekerja sama ini. Apa saja syarat-syarat itu?
Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejagung RI Widyo Pramono mengatakan, kriteria pertama yang memungkinkan ditetapkannya JC bahwa kejahatan yang diperbuat merupakan tindak pidana serius atau terorganisir. Mengapa harus demikian? Karena di situ lah konsep JC muncul.
“Ada pihak-pihak yang memegang peranan lebih penting yang harus ada diungkap keterlibatannya,” kata Widyo dalam seminar bertema “Strategi Pembelaan dengan Mengungkap Kebenaran” yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) kubu Fauzie Hasibuan, akhir pekan lalu.
Dasar dalam memberikan penetapan JC kepada terdakwa maupun tersangka merupakan hal yang penting. Biasanya, JC bukanlah pelaku utama, sehingga ada pelaku besar lain yang bisa diungkap ke penyidik untuk mengusut tuntas perkara tersebut.
“Jadi di sini, justice collaborator itu kalau meminjam istilahnya Pak Semendawai (Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) adalah pelaku kelas teri bukan kelas kakap. Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya,” lanjut peraih gelar guru besar dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini, seraya menyebutkan syarat kedua.
Selanjutnya, mengacu pada Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan Ketua LPSK di tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama, Widyo menambahkan, JC harus memberi keterangan yang signifikan, relevan, dan dapat diandalkan.
Selain itu JC juga harus bersedia mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan. Syarat lain yang tak kalah penting adalah adanya ancaman baik fisik maupun psikis terhadap JC atas diri dan keluarganya apabila tindak pidana diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
Adanya saksi pelaku yang mau bekerja sama, menurut Widyo, membuat penuntut umum terbantu. Apalagi dengan adanya perlindungan yang diberikan oleh LPSK. Untuk itu, penetapan JC terhadap orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut menjadi sebuah keniscayaan.
“Jadi insyaAllah penuntut umum itu kalau menolak saksi pelaku yang diberikan melalui LPSK maupun pengacara, maka penuntut yang demikian ini tidak benar. Sarana yang bisa dilakukan oleh lawyer yang menghadapi hal seperti ini, bisa lapor sama Jamwas,” ujarnya.
Menurutnya, lewat jabatan yang kini ia pegang itu, ia bisa turun tangan untuk mencari duduk perkara yang sesungguhnya. Tujuannya agar aparat kejaksaan baik di pusat mau pun di daerah mampu menjalankan kerjanya menegakkan hukum secara benar sesuai ketentuan yang ada.
Manfaat Jadi Justice Collaborator
Cukup besarnya minat menjadi JC tak lain karena adanya tawaran keringanan penjatuhan pidana terhadap pelaku. Hal ini sesuai UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Perlindungan Saksi dan Korban, diatur bahwa saksi pelaku yang bekerjasama dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan, yang mana salah satunya adalah keringanan hukuman.
Alasan berupa peringanan hukuman ini dibenarkan menjadi salah satu pertimbangan lawyer saat menyarankan kliennya menjadi JC oleh pengacara Gary, Ika Safitri. Beberapa waktu lalu, Gary baru saja divonis dua tahun oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus suap majelis hakim PTUN Medan. Sebelumnya diberitakan bahwa peran Gary dalam membongkar keterlibatan pelaku besar yang membuatnya dituntut dengan ancaman minimal.
Hal serupa juga diutarakan kuasa hukum Awang Lazuardi Embat, Gunadi Handoko. Menurutnya, banyak manfaat dari JC sehingga hal ini yang disarankan dirinya kepada Awang yang disangka telah menyuap Kasubdit Kasasi Perdata Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna.
“KPK kan kalau sudah bertindak ndak main-main. Punya data, punya informasi yang betul-betul akurat. Jadi mau ngga mau dia harus kooperatif dan menjadi justice collaborator. Itu juga yang kami sarankan karena kami pandang paling baik lah untuk Awang,” ujar Gunadi kepada hukumonline, beberapa waktu lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar