Kamis, 18 Februari 2016

PROSES PERSIDANGAN

1.   Setelah perkara didaftarkan, Pemohon atau Penggugat dan pihak Termohon atau Tergugat serta Turut Termohon atau Turut Tergugat menunggu Surat Panggilan untuk menghadiri persidangan;
2. Tahapan Persidangan. Mekanisme pemeriksaan perkara tertentu pada pengadilan Agama mempawah dilakukan di depan sidang Pengadilan secara sistematik harus melalui beberapa tahapan sebagai berikut :
Pertama, UPAYA PERDAMAIAN, pada sidang upaya perdamaian inisiatif upaya perdamaian dapat timbul dari Majelis Hakim. Hakim harus secara aktif dan sungguh-sungguh untuk mendamaikan para pihak. Upaya perdamaian juga ditempuh dengan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memilih mediator dalam upaya menempuh proses mediasi sebagaimana di amanatkan oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 tahun 2008, tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Apabila proses mediasi tidak berhasil maka persidangan dilanjutkan dengan tahapan berikutnya.
Kedua, PEMBACAAN SURAT PERMOHONAN / GUGATAN, pada tahapan ini pihak Penggugat/Pemohon berhak meneliti kembali apakah seluruh materi ( alasan/dalil-dalil gugatan dan petitum) sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam gugatan itulah yang menjadi obyek (ACUAN) pemeriksaan dan pemeriksaan tidak keluar dari yang termuat dalam surat gugatan.
Ketiga, JAWABAN TERMOHON/TERGUGAT. Pihak Tergugat/ Termohon diberi kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap Penggugat/Pemohon melalui Majelis Hakim dalam persidangan.
Keempat, REPLIK PEMOHON/PENGGUGAT. Penggugat/Pemohon dapat menegaskan kembali gugatannya/permohonannya yang disangkal oleh Tergugat/Termohon dan juga mempertahankan diri dari sangkalan Tergugat/Termohon.
Kelima, DUPLIK TERMOHON/TERGUGAT. Tergugat/Termohon menjelaskan kembali jawaban yang disangkal oleh Penggugat/Pemohon. Replik dan Duplik dapat diulang-ulang sehingga akhirnya Majelis Hakim memandang cukup atas replik dan duplik tersebut.
Keenam, PEMBUKTIAN, Penggugat/Pemohon mengajukan semua alat bukti untuk mendukung dalil-dalil gugatan. Demikian juga Tergugat/Termohon mengajukana alat bukti untuk mendukung jawaban (sanggahan) masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak lawan.
Ketujuh, KESIMPULAN, masing-masing pihak baik Penggugat/Pemohon maupun Tergugat/Termohon mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan.
Kedelapan MUSYAWARAH MAJELIS DAN PEMBACAAN PUTUSAN, hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara itu dan menyimpulkan dalam amar putusan, sebagai akhir dari sengketa yang terjadi antara Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon.
3. Setelah perkara diputus, pihak yang tidak puas atas putusan tersebut dapat mengajukan upaya hukum (verset, banding, dan peninjauan kembali) selambat-lambatnya 14 hari sejak perkara diputus atau diberitahukan.
4. Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, untuk perkara permohonan talak, Pengadilan Agama:
a.Menetapkan hari sidang ikrar talak;
b. Memanggil Pemohon dan Termohon untuk menghadiri sidang ikrar talak;
    c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak di depan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan berdasarkan alasan hukum yang sama.
5. Setelah pelaksanaan sidang ikrar talak, maka dapat dikeluarkan Akta Cerai.
6.Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, untuk perkara cerai gugat, maka dapat dikeluarkan Akta Cerai.
7.Untuk perkara lainnya, setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka para pihak yang berperkara dapat meminta salinan putusan.
8.Apabila pihak yang kalah dihukum untuk menyerahkan obyek sengketa, kemudian tidak mau menyerahkan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut.

Gugatan Sederhana Tunggakan Fee Berakhir Damai

Perkara gugatan sederhana atau biasa disebutsmall claim court antara SMART Consulting (SMART) dan PT Jasa Tambang Nusantara (JTN) telah mencapai putusan akhir. Hasilnya, kedua pihak sepakat untuk berdamai. Putusan gugatan sederhana tersebut hanya membutuhkan empat kali sidang dengan jangka waktu kurang dari 25 hari.
 
Gugatan ini diajukan SMART lantaran JTN lalai dalam melunasi pembayaran biaya jasa konsultan sebesar Rp96 juta. Selama proses pemeriksaan prinsipal dari masing-masing pihak selalu menghadiri persidangan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.
 
Dalam PERMA itu disebutkan, prinsipal dari masing-masing pihak wajib hadir langsung baik didampingi atau tanpa adanya kuasa hukum. Bahkan, dalam setiap persidangan, hakim tunggal yang juga berkedudukan sebagai mediator kerap kali menawarkan perdamaian kepad para pihak.
 
Akhirnya, SMART selaku penggugat setuju dengan tawaran JTN untuk melakukan perdamaian. Namun perdamaian ini disertai dengan adanya hair cut (potongan) terkait nominal biaya jasa dari tuntutan awal sebesar Rp96 juta. Kedua pihak pun menandatangani akta perdamaian yang kemudian disahkan oleh hakim.
 
“Maka perkara gugatan sederhana pertama (Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) ini diselesaikan dalam waktu kurang dari 25 hari,” tulis SMART Consulting dalam siaran persnya yang diterima hukumonline, Jumat (12/2).
 
Dipilihnya jalur gugatan sederhana oleh SMART selaku penggugat bukan tanpa alasan. SMART menilai, jika mengajukan gugatan perdata sebagai upaya penyelesaian akan menemui sejumlah kendala, seperti waktu yang relatif lama dan berlarut-larut. Bukan hanya itu, jika ada pihak yang berkeberatan dengan putusan hakim pada tingkat pertama terdapat upaya hukum lanjutan, yakni banding hingga kasasi dan pengajuan peninjauan kembali ke MA.
 
Gugatan sederhana ini efektif bagi pihak yang memiliki sengketa dengan nilai kerugian materil maksimal Rp200 juta, dapat memperoleh penyelesaian dan kepastian hukum lebih cepat jika dibandingkan dengan gugatan perdata biasa. Namun, syarat lain yang harus dipenuhi dalam mengajukan gugatan ini adalah pihak penggugat dan tergugat berdomisili di daerah hukum yang sama.
 
Berkaca dari kasus SMART dengan JTN ini, maka metode penyelesaian melalui gugatan sederhana bisa menjadi preseden bahwa gugatan wanprestasi dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat yakni kurang dari 25 hari. SMART menilai, gugatan sederhana ini bisa menjadi pilihan jalan keluar terbaik bagi pihak yang bersengketa sehingga memperoleh kepastian hukum atas perkara yang terjadi.
 
Atas dasar itu, SMART berharap, ke depan sosialisasi PERMA ini bisa terus dilakukan, sehingga perkara tak berlarut-larut. Hal ini penting mengingat sejak berlaku 7 Agustus 2015 hingga akhir tahun 2015, baru ada satu perkara gugatan sederhana yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Advokat dan Hakim Menanti Sosialisasi Perma Mediasi Terbaru

Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, belum banyak diketahui oleh kalangan advokat dan hakim. Sebut saja Jerry, advokat ini mengatakan belum mengetahui mengenai terbitnya Perma tersebut.

"Belum tahu ada Perma terbaru. Kalau beda mengenai jangka waktu menurut saya tidak masalah mau 30 atau 40 hari, karena percuma saja, ya kalau niat mau damai ya damai saja," kata Jerry kepadahukumonline, Senin (15/2), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Selain itu, menurutnya, Perma Mediasi terbaru tidak akan mempengaruhi kasus dan tidak memberikan dampak apapun karena ketika sebuah perkara sudah masuk ke pengadilan maka biasanya para pihak sudah menghendaki untuk masuk ke pokok perkara.

"Tapi biasanya kalau sudah masuk ke pengadilan inginnya masuk ke pokok perkara. Dan jarang sekali yang berhasil di mediasi, hanya sebagian kecil yang berhasil. Lagi pula ada juga kasus yang selesai tidak dimediasi, mereka damai di tahap replik atau duplik misalnya. Jadi tidak masalah. Tidak terlalu berpengaruh," tambahnya.
 
Advokat Tumpak Tampubolon juga belum mengetahui secara jelas mengenai terbitnya Perma tersebut. Dia hanya tahu ada konsepnya, namun tidak mengetahui sudah keluar Perma-nya. Namun, menurutnya, jarang mediasi yang berhasil dan hanya formalitas saja. Sehingga, dibutuhkan perbaikan tidak hanya perbaikan regulasi tetapi juga perbaikan teknis.

"Harus ada power untuk memperbaiki sistem mediasi. Karena hakim tidak aktif pada tahap mediasi bahkan nyaris tidak berperan, hanya berdebat saja. Banyak juga Hakim tidak baca berkas. Hanya formalitas saja, hanya umum-umum saja. Mediasi tidak ada gunanya, mending dihapuskan saja. Mediasi jarang yang berhasil, hanya 0,5 persen yang berhasil," jelasnya.

Berbeda dengan dua advokat sebelumnya, Petrus Balla Pattoyana, advokat dan juga mediator bersertifikat mengaku sudah mengetahui terbitnya Perma Mediasi terbaru. Menurutnya, keluarnya Perma Mediasi terbaru tersebut ada baik dan buruknya.

"Bedanya 40 hari jadi 30 hari. Semua ada plus minus dari pengalaman saya praktik mau dikasih berapapun sepanjang pihak iktikad tidak melakukan mediasi sama saja. 30 hari ini juga terlalu lama menurut saya," jelas Petrus.

Dalam Perma Mediasi terbaru, kata Petrus, juga terdapat ketentuan harus adanya Surat kuasa khusus untuk mediasi untuk advokat. “Kalau prinsipal tidak mau mediasi dia bisa menggunakan surat untuk tidak melakukan mediasi. Diberikan sepanjang para pihak punya iktikad baik untuk melakukan mediasi, tapi kalau pihak tidak ingin mempergunakan mediasi juga tidak apa-apa," tambahnya.

Tidak hanya advokat yang belum mengetahui jelas mengenai Perma Mediasi tersebut, Made Sutrisna, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga mengaku masih menunggu sosialisasi dari Mahkamah Agung (MA).
 
"Saya belum punya bahan tentang itu, baru baca di internet aja, dan kami rencana akan mengikuti sosialisasi Jumat besok. Sedangkan pemberlakuannya seharusnya langsung tapi nanti kita liat dulu saat sosialisasinya dan saya cek dulu di perma-nya," ujar Made.

Untuk diketahui, Perubahan Perma Mediasi ini merupakan perubahan ketiga. Sebelumnya, aturan proses mediasi diatur Perma No.2 Tahun 2003. Namun, lantaran hakim pemeriksa perkara tidak diperbolehkan menjadi mediator dalam perkara yang ditanganinya, Perma No.2 Tahun 2003 diubah menjadi Perma No.1 Tahun 2008.
 
Sementara, hukum acara perdata (Pasal 130 HIR) secara jelas menyebut  sebelum mulai memeriksa perkara, hakim pemeriksa perkara diperintahkan terlebih dahulu melakukan mediasi (perdamaian).

 

Cegah Advokat Terjerat Korupsi, Ini Strategi PERADI

Belum ada satu tahun dunia advokat digemparkan dengan penangkapan advokat senior OC Kaligis dan anak buahnya M Yagari Bhastara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap majelis hakim PTUN Medan, kini berita serupa kembali meramaikan tanah air.
 
Advokat asal Malang, Awang Lazuardi Embat, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Sabtu (13/2), dalam operasi tangkap tangan yang melibatkan Kepala Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali pada Direktorat Pranata dan Tatalaksana Perkara Perdata Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (Kasubdit Kasasi Perdata MA), Andri Tristianto Sutrisna.
 
Dari hasil penelusuran hukumonline, tercatat bahwa Awang merupakan Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia (DPC PERADI) Malang kubu Fauzie Hasibuan. Oleh karena itu, Wakil Ketua Umum DPN PERADI Jamaslin James Purba mengatakan DPN PERADI akan berkoordinasi dengan rekan-rekan dari Malang untuk mencari tahu apa saja yang bisa dibantu.
 
Meski pun siap membantu, bukan berarti PERADI tak menyayangkan apa yang telah diperbuat anggotanya. “Karena yang namanya advokat ini kan wajib menjunjung tinggi kode etik profesi ya. Kalau sampai dia terindikasi memberikan sesuatu kepada pejabat negara, itu kan berarti dia melanggar sumpah profesinya sendiri,” ungkap James.
 
Guna mencegah hal yang sama dilakukan oleh anggotanya yang lain, ada strategi yang disiapkan PERADI kubu Fauzie ini. Salah satunya, lanjut James, lewat materi ajar kode etik profesi dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) kepada para sarjana hukum yang hendak menjadi bagian dari penegak hukum.
 
“Setelahnya pun organisasi punya tanggung jawab untuk terus mengingatkan anggota agar tetap berpegang pada rule of law,” kata James di ujung telepon, Senin (15/2).
 
DPN PERADI kubu Luhut Pangaribuan secara lebih rinci menyampaikan strategi mereka. Disampaikan oleh Wakil Ketua Umum DPN PERADI kubu Luhut, Junedi Sirait, pihaknya mempersiapkan agar anggota tak ada yang terlibat dalam praktik korupsi ini sejak dari masa pendidikan hingga pengangkatan sumpah.
 
Pertama, Junedi menyebutkan, akan ada penguatan materi kode etik dalam melaksanakan profesi sebagai advokat dalam PKPA yang diselenggarakan di bawah naungan DPN PERADI Luhut. Selanjutnya, organisasi yang berkantor di Jalan Wahid Hasyim itu akan memperketat angka kelulusan dan mengkaji kembali materi-materi yang akan diujikan.
 
“Sekarang ini angka kelulusan advokat sudah mengalami kemerosotan. Kalau dulu mungkin bisa sampai 7 passing grade-nya, sekarang 6 diluluskan. Ini kan degradasi. Organisasi berlomba seakan yang penting banyak advokat yang lulus. Nah kalau sudah banyak advokat mau jadi apa? Akhirnya banyak jadi jembatan-jembatan seperti ini lah tanpa lagi mempersoalkan aturan,” kata Junedi.
 
Berikutnya yang menjadi perhatian utama dari DPN PERADI Luhut adalah proses seleksi dalam pengangkatan sumpah advokat. Pihaknya tak mau sembarangan memanfaatkanSurat Ketua MA Nomor 73 Tahun 2015 yang memperbolehkan Ketua Pengadilan Tinggi mengangkat sumpah dari organisasi mana pun.
 
“Kami akan berhati-hati dalam melihat apakah benar calon advokat sudah memenuhi seluruh persyaratan berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2003. Kalau belum ya jangan dipaksakan, jangan malah menerima sejumlah uang untuk melancarkan jalan mereka. Ini kan untuk mengajar, mendidik calon-calon advokat ini, untuk tidak memaksakan segala cara juga,” tukas Junedi.
 
Mirip-mirip dengan apa yang telah disampaikan oleh dua kubu sebelumnya, DPN PERADI kubu Juniver Girsang memperkokoh strategi mencegah anggota terjerat korupsi dengan memperkuat Majelis Dewan Kehormatan. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal DPN PERADI kubu Juniver, Hasanuddin Nasution. 
 
Menurut Hasanuddin, agar ada efek jera dan tidak ditiru oleh advokat lain, maka terhadap advokat yang berbuat kejahatan korupsi harus diberikan hukuman seberat-beratnya, yaitu pencabutan izin beracara selamanya. “Menurut saya, yang begini ini ngga pantas jadi advokat,” pungkasnya.

Politik Hukum Siber di Indonesia Belum Jelas

Saat ini, teknologi telah menyusup hingga ke setiap sendi kehidupan. Nyaris tak ada kegiatan sehari-hari yang tak lagi bersentuhan dengan teknologi. Sebab, perkembangan di sektor itu begitu pesat bergulir. Sayangnya, perkembangan teknologi juga membawa risiko tersendiri. Tindak pidana berbasis teknologi ataucyber crime kini telah menjelma sebagai ancaman yang kerap menghantui aktivitas.
 
Lebih memprihatinkan lagi, perkembangan hukum teknologi tak mampu mengiringi kecepatan kemajuan teknologi itu sendiri.“Memang teknologi sekarang berkembang sangat cepat, termasuk di Indonesia. Sayang, hukumnya tidak mampu mengiringi,” keluh Pendiri sekaligus Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Teguh Arifiyadi, kepada hukumonline, Rabu (10/2).
 
Teguh menjelaskan, di tengah gempuran kemajuan teknologi Indonesia hanya punya satu payung hukum yang spesifik mengatursoal teknologi. Ia menilai keberadaan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik belum cukup. Paling tidak, menurutnya, aturan mengenai hukum siber bisa dibuat lebih luas dan mendalam.
 
Memang, Teguh mengakui bahwa hukum tidak harus mengejar kecepatan perkembangan teknologi. Tetapi, setidaknya ia melihat perlu ada landasan hukum yang menjadi patokan dalam menggunakan teknologi. Lebih lanjut ia menambahkan, dasar hukum itu harus fokus sehingga bisa memandu masyarakat agar penggunaan teknologi membawa manfaat positif.
 
“Hukum tidak perlu mengejar perkembangan teknologi. Tetapi, kita membutuhkan pijakan yang fokus agar pengaturan yang dibuat bisa memandu penggunaan teknologi yang membawa manfaat bagi masyarakat,” tuturnya.
 
Ia pun menyayangkan, hingga kini tidak ada sikap pemerintah dalam pengaturan teknologi. Menurut Teguh, pemerintah belum menentukan politik hukum terkait pengaturan siber. Ia melihat, di dunia ini ada dua rezim pengaturan, apakah diatur secara ketat atau longgar. Sementara itu, Indonesia belum jelas memilih politik hukum tersebut.
 
“Kalau kita lihat pengaturan dalam hukum siber ini tidak jelas, mau diatur ketat apa mengikuti mekanisme pasar. Menurut saya sampai sekarang pemerintah belum menentukan sikapnya mengenai hal ini,” kata Teguh.
 
Teguh mengatakan, hukum siber membutuhkan prinsip pengaturan sebagai fondasi. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah bisa segera menentukan arah kebijakan hukum teknologi di Indonesia. Namun, menurutnya, pemerintah tidak mesti kaku dalam memilih sikap.
 
Dia mencontohkan, dalam hal-hal terkait dengan konten sebaiknya pemerintah bersikap fleksibel. Sebab, hal ini menyangkut kreativitas anak bangsa. Selain itu, masalah konten juga melibatkan banyak pihak. Di sisi lain, terkait dengan hal-hal teknis dan proteksi pemerintah seharusnya mengambil kontrol yang rigid. Hal ini untuk menjamin keamanan penggunaan teknologi.
 
“Jadi harus dipilah, pada bagian mana pemerintah melempar ke mekanisme pasar dan mana yang harus diatur secara ketat. Menurut saya pengaturan yang berkaitan dengan konten sebaiknya diatur lebih fleksibel saja,” ujarnya.
 
Selain masalah prinsip pengaturan yang belum jelas, Teguh menyayangkan ketersediaan data yang maish terbatas. Ia menjelaskan bahwa di ranah hukum teknologi belum ada data statistik yang pasti ketika berbicara mengenai pemasalahan yang sering dilakukan dan penyelesaiannya. Oleh karenanya, ia hanya bisa menduga-duga tindak pidana apa yang marak dilakukan berkaitan dengan teknologi.
 
Sejauh ini, berdasarkan pengalamannya Teguh mengamati bahwa fraud merupakan tindak pidana yang paling sering terjadi. Fraud merupakan kejahatan manipulasi informasi dengan tujuan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Biasanya, informasi yang disalahgunakan adalah informasi keuangan. Misalnya, situs lelang fiktif atau penggunaan kartu kredit secara melawan hukum.
 
Penanganan fraud ini, menurut Teguh, tidak mudah lantaran dalam dunia siber dikenal istilah anonimitas. Jadi seseorang bisa menjadi siapa saja, sehingga untuk mengungkap pelaku tindak pidanyanya cukup sulit.
 
“Selain itu, aparat penegak hukum kita juga pengetahuannya terkait hukum teknologi masih terbatas. Secara umum mereka tidak dibekali pengetahuan mengenai hal itu. Memang, ada yang dididik khusus menangani perkara siber. Tetapi masih sangat sedikit sekali,” pungkasnya.

Ingin mengetahui lebih lanjut tentang seluk-beluk cyberlaw dalam sistem hukum Indonesia? Ikutilah pelatihan Hukumonline dengan tema "Memahami Cyber Law, Cyber Crime dan Digital Forensic dalam Sistem Hukum Indonesia (disertai Simulasi dan Praktik) Angkatan Ketiga", Rabu dan Kamis, 17-18 Februari 2016 dengan menghadirkan narasumber kompeten.

Catat! Ini Keanehan Kasus Suap Pejabat MA yang Ditangkap KPK

Perkara dugaan suap yang menjerat Kasubdit Kasasi Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (Kasubdit Kasasi Perdata MA) Andri Tristianto Sutrisna menimbulkan tanda tanya besar. Setidaknya ada dua keanehan dalam perkara ini.
 
Pertama, mengapa Andri yang menjabat Kasubdit Kasasi Perdata MA bisa "bermain" dalam penundaan pemberian salinan putusan perkara korupsi ke Pengadilan Negeri (PN) Mataram? Kedua, jumlah uang yang diduga diterima Andri cukup besar jika hanya dimaksudkan untuk menunda pemberian salinan putusan ke PN Mataram?
 
Apabila mengacu tugas Andri selaku Kasubdit Kasasi Perdata MA, sebenarnya tidak ada kaitannya dengan penanganan perkara pidana korupsi di MA. Tugas Andri adalah memeriksa formil berkas kasasi dari pengadilan negeri pengaju yang telah didistribusikan oleh TU Biro Umum, Direktur Pratalak Perdata MA dan Subbag TU.
 
Setelah perkara perdata itu diputus majelis hakim agung, panitera muda perdata umum yang bertugas mengirimkan ke pengadilan negeri pengaju. Sementara, penanganan perkara kasasi pidana khusus masuk ke TU Biro Umum dan Direktur Pratalak Pidana MA. Kasubdit Kasasi Pidana Khusus lah yang bertugas melakukan pemeriksaan.
 
Jika dihubungkan dengan tugas Andri selaku Kasubdit Kasasi Perdata MA, tidak ada korelasinya dengan penanganan perkara pidana khusus. Jadi, apa iya Andri memiliki kewenangan untuk menunda penyerahan salinan putusan perkara korupsi ke PN Mataram? Apa masih ada lagi oknum MA "bermain" bersama Andri?
 
Menjawab hal ini, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan, penyidik memang menduga Andri tidak bermain seorang diri. "Dipercaya dia (Andri) memang tidak sendiri. Kita hanya berputar di area indikasi. Oleh sebab itu, masih didalami," katanya kepada hukumonline, Selasa (16/2).
 
Kemudian, terkait jumlah uang yang terbilang cukup besar untuk menunda penyerahan salinan putusan, Saut belum bisa memberi jawaban. Untuk diketahui, KPK menyita uang Rp400 juta dan se-koper uang lagi dari hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) Andri. "Kalau itu masih belum ketemu jawabannya. Sabar ya," imbuhnya.
 
Di lain pihak, Hakim Agung Prof Krisna Harahap, salah seorang anggota majelis perkara yang diduga "dimainkan" Andri  menduga, mungkin saja Andri bekerja sama dengan pihak-pihak lain di bagian pidana khusus. “Itu sebenarnya di luar kewenangan saya, tetapi mengapa bisa? Ya bisa saja, mungkin saja dia kerja sama dengan bagian pidana khusus atau bagian lain,” ujarnya.
 
Krisna menilai, sedari dulu setiap salinan putusan bisa saja dikomersilkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. “Ini tanda tanya besar, apa hanya terkait putusan saya atau putusan majelis lain yang dari dulu sudah dikomersilkan. Sebab, tidak mustahil yang dimanfaatkan bukan hanya perkara ini, tetapi putusan perkara lain,” ungkapnya.    
 
Menurut Krisna, untuk membongkar jaringan komersialisasi salinan putusan tergantung dari penyidik KPK. Ia meminta KPK membuat Andri “bernyanyi”. “Ini tergantung hasil penyidikan KPK dari keterangan yang bersangkutan dan bukti-bukti lain agar bisa diungkap sejauh mana jaringan komersialisasi salinan putusan di MA. Kalau ini bisa dibuka semakin baik,” tuturnya.
 
Sebagaimana diketahui, akhir pekan lalu, KPK melakukan OTT terhadap enam orang. Tiga diantaranya, Andri, seorang pengusaha Ichsan Suaidi, dan pengacara Awang Lazuardi Embat ditetapkan KPK sebagai tersangka. KPK menduga Andri menerima uang dari Ichsan dan Awang untuk menunda penyerahan salinan putusan ke PN Mataram.
 
Putusan dimaksud adalah putusan perkara korupsi Labuan Haji Lombok Timur yang diputus oleh majelis hakim agung, Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap. Awalnya, terdakwa Ichsan diputus dengan pidana penjara selama 1,5 tahun oleh pengadilan tingkat pertama berdasarkan putusan No.36/Pid.Sus-TPK/2014/PN Mtr.
 
Ichsan mengajukan banding, lalu kasasi, hingga putusannya pun diperberat menjadi lima tahun penjara di tingkat kasasi. Tidak hanya itu, Ichsan juga dibebankan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp4 miliar. Kasasi tersebut diputus oleh tiga hakim agung, Artidjo, MS Lumme, dan Krisna pada 9 September 2015.
 
Putusan ini lah yang diduga "dikomersialisasi" oleh Andri. Ichsan bersama pengacaranya, Awang diduga meminta Andri untuk menunda penyerahan salinan putusan kasasi ke pengadilan negeri pengaju, yaitu PN Mataram. Padahal, sebenarnya, Andri bukan lah orang yang berwenang menangani perkara pidana khusus.

Lagi, Advokat Dipolisikan Gara-Gara Sengketa Tanah

Belum selesai perkara dua advokat, Timotius Tumbur Simbolon dan Jemmy Mokolensang yang duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus sengketa tanah kliennya dengan PT Bank Central Asia (BCA), kini kasus serupa menimpa advokat asal Tangerang, Rahmiaty Pane.
 
Bedanya bila Timotius dan Jemmy didakwa karena telah menerobos masuk pekarangan secara melawan hukum, Rahmiaty diduga secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap barang sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 170 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
 
Menurut pengacara Rahmiaty, Jery Tambunan, kliennya ditangkap, ditahan, dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Metro Jakarta Pusat karena kejadian yang terjadi saat ia menjalankan tugasnya sebagai advokat yang menerima kuasa dari Mamat bin H. Muhammad Tabrani bin Arrahim bin Adjeran atau dikenal dengan nama Zamani.
 
Jery pun menceritakan duduk perkara kliennya. Kejadian yang berbuntut penetapan tersangka atas nama Rahmiaty terjadi pada Mei 2015 lalu. Awalnya, Rahmiaty diajak oleh rekannya sesama advokat –Jery menolak menyebutkan nama– untuk menangani perkara sengketa tanah yang berlokasi di Karet Tengsin, Jakarta Pusat.
 
Karena terus didesak, Rahmiaty yang sebelumnya sempat ogah-ogahan menerima kasus tersebut akhirnya sepakat untuk bertemu dengan rekannya itu. Pertemuan dilakukan di kawasan Sudirman, Jakarta, dengan ditemani sang anak, Ika.
 
“Di tanggal 7 Mei 2015 berangkatlah ibu ke Citywalk, Sudirman, ditemani Kak Ika. Di sana rekannya memberikan berkas untuk dibaca, lalu dijelaskan duduk perkara bahwa tanah ini sebenarnya sudah inkracht, sudah berkekuatan hukum tetap, sudah putus PK-nya dan sudah dikuatkan berdasarkan putusan PTUN. Selanjutnya ibu pun menandatangani surat kuasa” kata Jery saat ditemui hukumonline bersama dengan anak sulung Rahmiaty, Ika Sebayang di kawasan Kuningan, Kamis (11/2).
 
Usai penandatanganan kuasa, lanjut Jery, mereka sama-sama berangkat ke lokasi tanah yang dimaksud. Beberapa oknum polisi beserta tenda ada di sana. Rahmiyati lalu memperkenalkan diri sebagai kuasa hukum Zamani kepada polisi. Rahmiaty menyampaikan maksudnya untuk memindahkan plang-plang yang berdiri di atas tanah kliennya.
 
“Tanah ini kan udah inkracht, maka secara ngga langsung sebenarnya berdasarkan hukum, benda atau barang yang ada di wilayah Pak Zamani ya hak dia. Entah mau dia singkirkan atau diapakan barang-barang yang ngga perlu, itu adalah kewenangan dia,” ujar Jery yang berkantor di Minola Sebayang & Partners ini.
 
Tetapi Rahmiaty tetap mengikuti alur polisi yang mencoba menghubungi beberapa orang terlebih dulu. Saat polisi menelepon pejabat kelurahan, Rahmiaty pun diminta mengajukan izin pemindahan plang itu langsung. Dalam percakapan tersebut Rahmiaty mengulangi izin yang disampaikan oleh lurah.
 
Namun tiba-tiba, saat polisi belum selesai berbicara kembali dengan lurah, rekan Rahmiaty sudah menyuruh pasukan untuk memotong plang-plang yang ada dengan mesin gerinda. “Urusan siapa orang-orang tersebut dan mengapa mereka sudah siap memotong, ibu tidak mengetahuinya sama sekali. Kita ke lokasi kan awalnya untuk observasi dulu katanya,” Ika menimpali.
 
Sidang Praperadilan
Saat ini Jery bersama Minola Sebayang tengah mengupayakan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas penangkapan dan penahanan Rahmiaty yang dilakukan awal Desember 2015 lalu.  Sebelumnya, telah disampaikan oleh Ika bahwa Rahmiaty dibawa secara paksa oleh polisi dari Rumah Sakit Awal Bros, Tangerang.
 
Sebagaimana tertulis di dalam permohonan praperadilan, disebutkan bahwa aparat kepolisian yang membawa ibunya ke Polres Metro Jakarta Pusat tidak menyertakan atau menunjukkan Surat Perintah Membawa sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 27 ayat (6)Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
 
Keluarga dan pengacara pun menyayangkan ketergesa-gesaan polisi untuk membawa Rahmiaty saat itu juga. Padahal, Jery menyebutkan, perempuan yang kini sudah berusia 58 tahun itu baru saja selesai rawat inap karena penyakit vertigo, dan ada surat keterangan dari dokter yang mengharuskannya istirahat selama tiga hari.
 
“Menurut kita yang orang hukum ya ngga logis lah buru-buru, karena pasalnya kan Pasal 170 KUHP, kekerasan terhadap barang. Bukan pasal teroris yang harus diamankan secepatnya lah, katakan begitu. Ini sangat-sangat tidak manusiawi orang yang masih sakit dibawa paksa,” pungkas lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu.
 
Sidang perdana awalnya direncanakan akan digelar Rabu, (10/2), tetapi pihak termohon tidak ada yang hadir saat itu sehingga sidang ditunda sampai tanggal 15 Februari 2016. Hakim yang akan memeriksa dan mengadili praperadilan Rahmiaty adalah Yohanes Priyatna.