Rabu, 18 Maret 2015

Hanya Megawati Calon Ketum PDIP 2015-2019

Pelaksana Tugas (Plt) Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memastikan tidak ada nama Puan Maharani sebagai calon ketua umum pada Kongres IV PDIP. Kongres tersebut digelar pada 9-12 April 2015 di Nusa Dua, Bali.

Hasto menegaskan hal itu sejalan dengan Rakornas ke IV lalu yang menginginkan Megawati Soekarnoputri kembali sebagai ketua umum PDIP.

"Dari proses pendekatan yang kita lakukan baik dari tingkatan arus bawah, masih menginginkan Ibu Megawati sebagai Ketua Umum. Hal itu juga sejalan dengan Rakornas ke IV yang sudah diputuskan bahwa sesuai mandat menyetujui Ibu Megawati sebagai ketum periode berikutnya," ujar Hasto saat dihubungi, Rabu (18/3/2015).

"Sehingga dipastikan pada kongres yang diadakan 9-12 April di Nusa dua Bali, hanya ada nama Ibu Mega," imbuh dia.

Terkait persiapan kongres, Hasto menegaskan PDIP tengah dalam proses pembentukan pengurusan di tingkat daerah. Semua proses tersebut berjalan lancar tanpa adanya pertentangan yang berarti.

"Seluruh proses sampai saat ini lancar. Hari ini kita akan bertemu dengan pengurus Jawa Barat dan Jawa Timur. Seluruh proses pemilihan pengurus, baik di tingkat kecamatan, provinsi, semuanya dilaksanakan secara musyawarah mufakat. Ini jelas bahwa sebagai partai ideologi, PDIP terbukti mengedepankan ideologi Pancasila yaitu musyawarah mufakat," jelas Hasto.

Dia pun merasa puas dengan proses jelang kongres tersebut. Diprediksi, Kongres IV PDIP akan berjalan lancar dan tidak ada akan melahirkan perpecahan seperti partai lainnya.

"Dengan ini proses kongres PDIP pasti berjalan lancar dan tidak ada hambatan berarti," 

Kayu Jati Di Rumah Asyani

Histeria Asyani, 63 tahun, membuat ruang sidang Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur, mendadak senyap. Di tengah sidang, Kamis pagi pekan lalu, nenek itu tiba-tiba menjerit sembari menunjuk hidung seorang lelaki yang berdiri di pintu ruang sidang. "Sawin, kamu tega memenjarakan saya," kata Asyani dalam bahasa Madura. Kala itu, jaksa penuntut umum Ida Hariani baru saja selesai membacakan tanggapan atas nota pembelaan kuasa hukum Asyani.
Sawin adalah Kepala Kesatuan Resor Pemangkuan…

kasus Nenek Asyani, Menteri Minta Perhutani Hati-hati

Kasus pencurian kayu jati yang menjerat Asyani, 63, bukan cuma berbuah empati dari banyak kalangan untuk nenek yang menjadi terdakwanya itu. Kasus yang terjadi di Situbondo, Jawa Timur, ini juga berbuntut 'teguran' dari Menteri Kehutanan kepada Perum Perhutani. Teguran disampaikan berupa surat edaran terkait implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Surat edaran itu meminta Perhutani berhati-hati dalam membina hubungan dengan masyarakat dalam melaksanakan beleid tersebut. "Jangan sampai represif," kata Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya ketika berkunjung ke kediaman Asyani di Dusun Kristal, Desa Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur.

Kementerian Kehutanan, kata Siti lagi, masih membahas apakah perlu memperbaiki isi undang-undang itu atau tidak. Selain karena kasus nenek Asyani, dia juga mengaku menerima masukan perbaikan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, lembaga swadaya pemerhati masalah kehutanan. "Banyak aspek yang sedang kami pelajari," kata dia.

Asyani adalah tukang pijat asal Dusun Kristal, Situbondo. Dia didakwa dengan Pasal 12 huruf d juncto Pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun. Sebelumnya, dia dituduh mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di desa setempat.

Asyani dijebloskan ke penjara sejak 15 Desember 2014. Kemudian majelis hakim mengabulkan permohonan penangguhan penahanannya, Senin, 16 Maret 2015. Namun perkara Asyani tetap berlanjut. Asyani mengklaim tidak mencuri. Menurut dia, kayu-kayu itu sudah dia simpan sejak lama, peninggalan dari suaminya yang telah meninggal. Asyani menyatakan, sang suami menebang pohonnya sendiri sebelum lahan dijual. 

Yusril: Menkumham Seperti Tak Paham Tugas Sendiri

Rencana Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono (AL) meluncur dari bibir Menkumham Yasonna H Laoly. Pernyataan Menkumham tersebut menuai kritik dari kuasa hukum Golkar kubu Ical, Yusril Ihza Mahendra dalam akun twitternya, @Yusrilihza_Mhd.

“Kata Menkumham, Presiden Jokowi Akan Keluarkan Perpres soal Kepengurusan Agung Laksono. Omongan Menkumham, maka saya sangat heran dengan omongan itu,” ujarnya, Rabu (18/3).

Dalam kicauannya, Yusril mengaku heran dengan dasar hukum apa yang digunakan Menkumham dalam mengesahkan kepengurusan parpol menggunakan Perpres. Padahal UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik mengatur bahwa untuk mendaftarkan pengurus parpol dilakukan ke Kemenkumham, bukan ke presiden.

Sebagai orang yang sudah malang melintang di pemerintahan sejak era orde baru, Yusril amatlah memahami sistem ketatanegaraan. Lagi pula, Yusril merupakan ahli hukum tata negara. Yusril berpandangan, Perpres berisi norma bersifat mengatur, bukan sebaliknya penetapan, apalagi penetapan pengesahan pengurus parpol.

“Mustahil Presiden akan menerbitkan Perpres dalam mensahkan pendaftaran pengurus parpol,” katanya.

Yusril berpandangan, Menkumham Yasonna sebagai orang hukum mestinya memahami ketatanegaraan. Sebaliknya, justru Yasonna seolah tidak memahami tugasnya sebagai seorang pembantu presiden di bidang hukum. “Menkumham Yasonna seperti tidak paham tugasnya sendiri bahwa kewenangan mendaftarkan kepengurusan parpol ada pada dirinya sebagai Menkumham,” katanya.

Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia era Presiden Abdurahman Wahid itu mengatakan, Menkumham mestinya menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen), bukan Peraturan Menteri (Permen) tentang pencatatan kepengurusan parpol. Bahkan jika Presiden menerbitkan Perpres dinilai salah. “Bukan Presiden yang harus terbitkan Keppres,” katanya.

Dikatakan Yusril, ketidakpahaman Yasonna kian menjadi jika pengesahan kepengurusan parpol diserahkan ke presiden. Boleh jadi, Yasonna melempar bola panas konflik internal Golkar kepada presiden akibat keputusannya yang menuai kontroversi. Pasalnya, Yasonna sebelumnya telah mengambil langkah yang serupa dalam konflik PPP.

Saat kisruh PPP, Yasona baru saja menjabat Menkumham satu hari. Yasonna langsung mengesahkan kepengurusan PPP kubu Romahurmuzy dengan menerbitkan Surat Keputusan penetapan. Padahal, belum adanya keputusan yang berkekuatan hukum tetap atas konflik PPP. Akibatnya, PPP kubu Djan Farid menggugat SK Menkumham kepengurusan PPP kubu Romy ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hasilnya, gugatan PPP kubu Djan Farid dikabulkan. Dengan kata, lain SK Menkumham yang mengesahkan PPP kubu Romy dinyatakan tidak sah.

“Menkumham Yasonna memang tidak paham tugasnya atau mau lempar tanggungjawab kepada presiden akibat kesalahannya sendiri. Dia telah keliru mengambil langkah dalam proses pencatatan pengurus parpol baik pengurus PPP maupun Golkar,” ujarnya.

Yursil menengarai, pernyataan Menkumham Perpres bakal diterbitkan presiden terkait kepengurusan Agung Laksono, Yasonna telah melempar bola panas ke Jokowi. Nah, publik menunggu perihal keberanaran pernyataan Menkumham. “Akankah Jokowi menendang bola yang di oper ke Yasonna?. Kita tungu saja apakah Jokowi berminat atau tidak,” pungkasnya.

Sebelumnya, Yasonna menyambangi Presiden Jokowi di istana negara. Yasona mengatakan setelah menemui Jokowi, presiden bakal menerbitkan Perpres tentang kepengurusan partai Golkar kubu Agung Laksono. Bahkan, Yasonna memastikan Perpres bakal diterbitkan Presiden Jokowi dalam waktu dekat. Yasonna pun sudah melaporkan kepengurusan Golkar kubu Ical dalam rapat kabinet.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengaku tak khawatir jika terdapat pihak yang akan menggugat Perpres pengesahan Partai Golkar kubu Agung Laksono. Ia pun mempersilakan siapa pun menggugat Perpres tersebut sepanjang dalam koridor hukum. Pasalnya sebagai negara hukum, protes pun disalurkan dengan jalur hukum yang disediakan negara.
 
 

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (STUDI KASUS : PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH KOTAWARINGIN BARAT)

1. Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa pemilihan umum kepala daerah sudah melebihi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat, Mahkamah Konstitusi telah memutus melebihi permohonan yang diajukan pemohon dan memutus di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu memutus untuk mendiskualifikasi pasangan pemenang pemilukada Kotawaringin Barat yaitu Pasangan H. Sugianto dan H Eko Soemarno,SH dan menetapkan Pasangan Dr.H.Ujang dan Iskandar ST.,M.Si sebagai Bupati dan Wakil Bupati terpilih. Penetapan pemenang pemilukada yang seharusnya berdasarkan perolehan suara terbanyak menjadi kewenangan KPU/KPUD bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. 2. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa pemilihan umum kepala daerah Kotawaringin Barat ini mempunyai implikasi dengan didiskualifikasinya salah satu pasangan calon, yaitu pasangan calon H. Sugianto dan H Eko Soemarno,SH. Pasangan yang didiskualifikasi oleh Mahkamah Konstitusi merupakan pasangan pemenang pemilukada Kotawaringin Barat yang telah diputus oleh KPUD. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya dilain pihak menetapkan pasangan Dr.H.Ujang dan Iskandar ST.,M.Si sebagai pemenang pemilukada. Keluarnya putusan ini sendiri mempunyai dampak tersendiri terhadap pelaksanaan pemilukada Kotawaringin Barat. Pemilukada Kotawaringin Barat ini menjadi tidak jelas. Pihak KPUD dalam hal ini belum melaksanakan putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut. Terkait adanya pelanggaran yang dituduhkan kepada salah satu pasangan calon sebaiknya Mahkamah Konstitusi menteliti lebih lanjut lagi agar putusan nantinya tidak ada lagi pendiskualifikasi pasangan calon. B. Saran 1. Walaupun pelaksanaan pemilukada telah banyak kemajuan. Kerangka 

REFLEKSI EKSISTENSIALISME DALAM ILMU HUKUM (SUATU UPAYA HUMANISASI TERHADAP TEORI ILMU HUKUM)

 Michel Foucault adalah seorang filosof Perancis yang melakukan refleksi filosofis yang lama terhadap ilmu pengetahuan, dalam pencarian mengenai hakekat ilmu pengetahuan, dia akhirnya menyimpulkan bahwa manusia memasuki era kematiannya sendiri, kamatian manusia atau la mort de l'homme adalah istilah yang diciptakan oleh M. Foucault setelah kematian Tuhan yang digagasi oleh Nietzsche.
Orang boleh tidak sependapat dengan M. Foucault, atau mungkin melakukan interpretasi lain. Sedangkan penulis melihat ini merupakan suatu metafor yang ingin mendiskripsikan dan mengeksplanasikan bergesernya posisi manusia dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dan kematian manusia sebagaimana yang dimaksudkan oleh M. Foucaultbukan merujuk pada suatu pemahaman agama tentang kiamat (the end of the world), yang menghacurkan semua alam jagad raya beserta isinya, kecuali sang Pencipta sendiri. Tetapi suatu konsep tentang hilangnya "manusia" dari roh dan ranah ilmu pengetahuan yang merupakan kategori istimewa dalam pemikiran manusia itu sendiri. Manusia tercabut secara perlahan dan mungkin secara paksa pada aras pengetahuan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Manusia bukan lagi titik sentral utama dalam ilmu pengetahuan, artinya ilmu pengetahuan tidak lagi mengabdikan dirinya pada manusia secara utuh (ideal bacon), atau ilmu pengetahuan tidak lagi mengabdi semata-mata pada ilmu pengetahuan (Ideal Aristoteles), tetapi mengabdi kepada bagian dari sisi manusia, misalnya kekuasaan, keserakahan, atau berbagai macam ideology yang mewarnai, mewarnai dan mendominasi kehidupan manusia.
Ilmu pengetahuan tidak lagi dibentuk oleh pilar-pilar kebaikan, keindahan, ketenteraman, kebahagian yang merupakan sekian banyak dari nilai yang terdalam yang ada pada manusia. Tetapi cenderung dibangun atas kerangka kebenaran, yaitu kebenaran yang rasional dan empirikal, dan dengan sendirinya menafikan manusia yang selalu mencari kebenaran yang transendental.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika manusia menjadi terasing (alienasi) terhadap konsep yang mereka ciptakan sendiri, susah dipahami bahkan tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan dan kepentingan manusia itu sendiri untuk hadir dimuka bumi ini. Manusia menjadi obyek semata tanpa bisa menghadirkan kediriannya sebagai subyek, pengetahuan hanya melakukan rekayasa eksternal manusia, tanpa harus mau tahu aspek internal (jiwa) manusia.
Tanpa terkecuali dalam bidang hukum, kematian sudah mulai menampakan ajalnya. Yang tampak dalam wajahnya hanya sosok peraturan perundang-undangan, aturan main, mekanisme pertanggung-jawaban, mekanisme atau prosedural pemeriksaan, bukti formal yang bisa dimanifulasi. Persidanganpun tidak lebih dari sekedar "dagelan" dengan pemain yang bermuka ganda bahkan mungkin tidak karuan. Sejak semula Undang-undang sudah diperkenalkan sebagai suatu yang sangat sakral, sehingga dalam kondisi apapun undang-undanglah yang tetap dipegang meskipun masyarakat tidak mengetahui akan hadirnya undang-undang tersebut dalam ranah kehidupan atau kondisi sosial masyarakat yang sudah berubah. Hukum dijadikan instrumen yang ampuh bagi wajah-wajah demokrat tapi berhati anarki dan tirani. Hukum seakan terlepas dari kontek " ke-akuan " menuju pada konteks " ke-kamu-an/ke-mereka-an ".
Kondisi inilah yang mungkin membuat begawan dan intelektual hukum indonesia yaituProf. Dr. Satjipto Rahardjo, SH merasa gelisah, khawatir, tetapi tidak sampai pada putus asa, untuk secara terus menerus mengatakan dan meneriakkan bahwa sebenarnya hukum adalah masalah kita, yang dicari dan diinginkan oleh manusia dengan hukum adalah kebahagian, bukan retorika yang tidak dipahami oleh orang banyak.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, salah satu sasaran yang ingin ditampilkan melalui tulisan sederhana ini adalah mencoba melihat teori hukum yang selama ini berkembang terutama dengan pendekatan eksistensialisme, yang merupakan salah satu aliran filsafat yang berkembang cukup pesat, serta kemunculannya dianggap sebagai bentuk reaksi yang keras terhadap filsafat materialisme dan idealisme.
Salah satu keberhasilan dari ilmu pengetahuan (hasil dari budaya barat) adalah memisahkan dirinya dengan agama. Dalam perspektif ilmu pengetahuan, agama seakan bukanlah ilmu pengetahuan, karena tidak dibangun atas dasar pijakan rasional dan empirikal, kebenarannya tidak dapat diverifikasi maupun difalsifikasi. Bahkan oleh Marx agama dituduh sebagai penghambat utama bagi kemajuan manusia (ilmu pengetahuan, pen). Atau mungkin juga mereka mengakui kebenaran agama, tetapi menjauhkan diri dari wacana agama ketika membicarakan suatu teori ilmu pengetahuan, karena dianggap tidak dapat dikategorikan sebagai seorang intelektual, tetapi seorang yang rohaniawan, ini penyakit lain dari seorang yang menggeluti ilmu pengetahuan.
Penyadaran diri akan keberadaan kita sebagai manusia merupakan cara lain untuk tidak mematikan manusia secara cepat dalam ilmu pengetahuan. Pengembangan dan pengembilan keputusan yang didasarkan pada mazhab dalam ilmu pengetahuan dan menyangkut orang banyak haruslah disadari betul sebagai upaya memanusiakan manusia, semaksimal mungkin memenuhi kebutahan terdalam dari manusia berupa kebahagian, ketenangan dan menatap kehidupan dengan keindahan, bukan dengan rasa cemas tidak berkesudahan, kesusahan dalam memenuhi kebutuhan hidup, tipisnya rasa solidaritas sesama manusia.
Eksistensialis: Proyek Humanisme

Kemunculan eksistentialis tidak lepas dari bentuk perlawanan atau pemberontakan terhadap berkembangnya filsafat materialisme dan idealiasme pada saat itu, terutama keberadaan manusian dalam menjalajahi kehidupannya. Dua filsafat ini (materialisme dan idealisme) melihat manusia pada titik-titik ekstrim yang saling berhadapan satu dengan yang lainnya. Meskipun memiliki benih-benih kebenaran, namun karena keekstrimannya maka masing-masing memperlihatkan titik kelemahan, kalau tidak mau dikatakan salah, dan eksistensialisme merupakan jalan keluar dari kemelut kedua filsafat besar tersebut.
Materialisme meletakan dasar pemikiran bahwa manusia hanya merupakan sebuah materi ketika dia berada didunia ini. Pada sisi ini sering materialisme dikatakan berangkat dari aspek bawah (jasmani) dan hal inilah yang ditentang oleh eksistensialisme dimana manusia dalam menjalani keberadaannya harus bisa menetapkan dan memberi nilai. Hal yang sama dikatakan juga oleh Lacey bahwa " a feature of human existence, for existentialists, is that men are active and creative while things are not. Things are simply what they are, but men might be other than they are. Men must choose, and (at least on some versions) not like tings, already determined "existence precedes essence for men".
Pada sisi lain idealisme justru berpandangan dan melihat manusia yang lepas dari alam realita, karena meletakkan dasar pandangannya pada kesadaran yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam jasmani manusia, sehingga menurut Drijarkara, konsep kesadaran pada idealisme merupakan konsep yang mengawang-awang.
Dengan tidak bermaksud lebih jauh melihat persoalan yang muncul dalam aliran filsafat materialisme dan idealisme ini, kiranya hal yang penting berkenaan tulisan ini adalah, mengetahui dan menelusuri dasar-dasar pemikiran eksistensialisme, terutama yang menyangkut aspek ontology, yang merupakan kekhasan tersendiri dari eksistensialisme, serta aspek-aspeknya untuk kemudian melakukan refleksi terhadap teori hukum yang dewasa ini berkembang.
Agak berbeda dengan pengertian ontology pada umumnya, ontology yang dimaksud dalam eksistensialisme, terutama Sartre adalah "studi tentang struktur yang ada dari mengada diambil sebagai totalitas" (the study of the structure of being of the existence taken as a totality). Lebih lanjut dia mengatakan bahwa "ontology describes being itself, the conditions by which "there is" a world, human reality". Jadi disini bukan ada itu sendiri yang menjadi dasar ontologinya tetapi menggambarkan tentang ada itu sendiri, terutama struktur tentang ada, yaitu manusia yang bukan semata-mata substansi atau proses.
Sartre, ketika berbicara mengenai ontology, dia membedakan secara pasti antara ontology dengan metafisika. Kant dan Descartes dinilainya bekerja berdasarkan metafisika bukan ontology, karena baik Kant maupun Descartes masih mencari jawaban dibalik "ada" itu sendiri. Oleh karena itu kesadaran menjadi dasar ontologinya yang paling dalam dari "ada/being" itu sendiri.
Mendasari ontology kesadaran tentang adanya akan keberadaan di dunia ini, maka statementyang sangat terkenal dari Sartre adalah "eksistensi mendahului esensi". Maksudnya adanya suatu itu selalu didahului adanya kesadaran tentang sesuatu tersebut. Guna memberikan penyederhanaan terhadap konsepnya ini, contoh yang biasa diberikan misalnya esensi pisau, sebagai alat pemotong. Dalam pemikiran eksistensialis, bukan tujuan dan keguanaan pisau itu yang diutamakan, tetapi adanya pemahaman bahwa sebelum adanya pisau tersebut, sudah ada subyek (yang dalam hal ini pembuat pisau tersebut) yang mempunyai konsep tentang pisau, termasuk kegunaannya dan jenisnya. Sehingga bukan definisi suatu istilah yang terpenting, eksistensi suatulah yang lebih diutamakan.
  1. Aspek-aspek eksistensialisme dalam Hukum

    Beranjak dari dari ontology-nya eksistensialisme, yang melihat masalah manusia sebagai hal yang utama, maka eksistensialisme tidak berusaha memberikan pengertian dan definisi eksistensialisme itu apa. Namun demikian eksistensialisme merupakan suatu usaha untuk menyadarkan manusia pada "the basic, even banal, realities of human life; realities such as death, anxiety, choice, love, freedom, guilt, conscience, the willing acceptance of anxiety, etc.
    Oleh karena itu, pemberian defenisi mengenai eksistensialisme merupakan suatu hal yang sia-sia, sebab yang terpenting bukan esensi dari konsep tetapi eksistensi konsep tersebut. Oleh karena itu eksistensialisme menjelajahi persoalan-persoalan mendasar manusia demikian luas dan dalamnya. Meskipun demikian, Gordon E. Begelow mencoba menyimpulkan karakteristrik dari eksistensialisme ini, dimana menurut Michael W. Alssid, & William Kenney upaya Gordon E. Bigelow ini agak sembrono (reckless). Karakteristik ini merupakan "area of agreement" dari setiap orang yang mencoba membahas masalah eksitensialisme.
    Aspek pertama dari eksistensialisme yang cukup mendasar adalah "existence before essence" atau eksistensi mendahului esensi. Bigelow menyatakan bahwa eksistensialisme lebih menekankan pengertian bahwa "…a man lives (has existence) daripada " …..a man is (has being or essence). Dalam arti bahwa secara esensi setiap manusia itu sama, tetapi secara eksistensial setiap individu merupakan dunia yang tersendiri, yang berbeda dengan indvidu lainnya, dan hanya bisa difahami dalam pengertian hidupnya yang khusus.
    Dengan mendasarkan pengertian "eksistensi mendahului esensi", maka makna hukum dalam perspektif eksistensialis tidaklah dapat melepaskan subyek yang menciptakan hukum tersebut, jadi bukan esensi hukum itu yang penting, tetapi eksistensi individu, atau komunitas yang menciptakan tentang hukum. Pertanyaan berikutnya bukan apa yang dimaksud dengan hukum, tetapi apakah tujuan hukum tersebut sudah merupakan ejawantah dari individu akan konsepsi keseluruhan hidupnya.
    Pembentukan teori-terutama teori yang didasari pada paradigma positivisme-ontologi selalu didasari pada pengertian ada yang substansial, sehingga selalu menekankan pada arti dan makna yang dapat terindrai dan terukur, semisal keteraturan prilaku. Pada hal dalam perspektif "eksistensi mendahului esensi", pembentukan teori (teori social pada umumnya) tidaklah dapat mengabaikan pada kondisi lain yang sementara waktu dinilai oleh positivisme sebagai hal yang bukan obyek pengetahuan, misalnya kebahagian, ketentraman, kebebasan yang sifatnya lebih memperlihatkan aspek ketidakteraturan.
    Oleh karena itu ketidakberpihakan suatu nilai (value free) dalam suatu teori menurut Habermas merupakan suatu hal yang ilusi sifatnya. Sebab menurutnya memandang fakta social sebagai bebas nilai akan berakibat manipulasi oleh fakta-fakta atas suatu teori ilmu, teori itu tidak menyadari bahwa fakta yang dijaringnya itu penuh dengan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai tersendiri.
    Hanya memang ada perbedaan yang mendasar ketika Habermas melakukan kritik terhadap bebas nilainya suatu teori-sebagai bagian dari mazhab frankurf- dengan mendasarkan pendapat Adorno. Habermas melihat esensi realitas sosial adalah sesuatu yang tersembunyi di balik permukaan dari apa yang nampak atau dari fakta-fakta yang diperkirakan, esensi itulah yang membuat fakta-fakta sebagai sesungguhnya. Pada hal dibalik nilai itu sendiri menurut eksistensialis adalah eksistensi, yaitu manusia itu sendiri. Jadi nilai tidak melekat pada esensi tetapi nilai langsung korelasinya pada manusia sebagai eksistensi yang mendahului esensi.
    Aspek kedua dari eksistensialisme adalah "freedom" atau kebebasan. Bahkan Sartre berpendapat jika kebebasan tidak ada, maka manusia itu sendiri tidak ada (man is nothing else but that which he makes of himself), meskipun tuhan itu tidak ada sekalipun, maka manusia tetap bebas. Pernyataanya yang terakhir inilah yang menempatkan Sartre kedalam eksistensialis ateistik. Kebebasan disini termasuk juga kebebasan menentukan dan memilih nilai yang terbaik bagi setiap orang.
    Tesis ini tentunya dapat merefleksikan sampai sejauhmana teori yang dikembangkan mampu memberikan ruang kebebasan pada manusia. Dengan meminjam cara kerja teori dan metode ilmu alam, Teori Positivisme (hukum) seakan telah memberikan suatu teralis bagi kebebasan manusia. Manusia dipandang sebagai bagian dari keinginan orang lain, kebebasan yang diberikan adalah kebebasan tanpa alternatif. Karena pentaatan terhadap norma prilaku bukan pentaatan terhadap norma yang diciptakannya sendiri, tetapi norma yang diciptakan oleh pihak lain.
    Hukum justru dipahami sebagai bentuk perintah dari penguasa yang sebelumnya dibuat dan dituangkan dalam bentuk-bentuk yang formal, sehingga hukum berubah bentuknya dari yang sifatnya tidak tertulis ke bentuk yang tertulis, dari sifatnya yang elastis sebagai bentuk responsive terhadap kondisi social ke bentuk yang stagnasi, dan dari yang sifatnya particular ke universal.

     
  2. Catatan akhir: awal kritik teori
    Eksistensialisme sebagai suatu pandangan filsafat dari sekian banyak aliran filsafat telah memandang dan mengakui manusia dengan segala keunikannya, telah menyadarkan pada kita bahwa sebenarnya upaya teoritisasi dalam ilmu (hukum) hendaknya harus berpulang kepada aspek-aspek manusia baik sebagai individu maupun bagian dari pada komuniti.
    Penyeragaman terhadap pandangan individu dalam istilah universalitas merupakan pengingkaran terhadap keanekaragaman akan individualitas yang ada, sehingga eksistensi menjadi termarjinalisasikan oleh esensi kemanusiaan.
    Penyusunan teori atas fakta social yang teramati dan terinderai, dan oleh karena itu memunculkan sifat yang teratur, merupakan bagian saja dari sisi manusia yang sangat kaya akan nilai. Oleh karena itu seyogyanya upaya teoritisasi akan menjadi bermakna bagi individu jika peletakkan dasar-dasarnya tidak hanya pada nilai-nilai yang sifatnya teratur saja tetapi juga menyentuh aspek lain berupa, seperti kebahagaian, kebebasan, kenyamanan, yang seakan tampak dalam ketidak teraturan.
     
DAFTAR PUSTAKA

 
BerteenK. Filsafat Barat Abad XX, Jilid II Perancis, Penertbit PT. Gramedia-Jakarta, 1985.
Drijarkara, Percikan Filsafat, Penerbit P.T. Pembangunan, 1962,
Ibrahim Ali Fauzi, Jurgen Habermas, Seri Tokoh Filsafat, Penerbit Teraju, Jakarta 2003.
Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987.
Jean Paul Sartre , Being And Nothingness, Essay On Phenomenological Ontology, Diterjemahkan Oleh H.E. Barnes, Philosophical Library, New York, 1956.
Jean Paul Sartre, Existentialism And Humanism, diterjemahkan Oleh Ph, Mairet, Metheuen, Co & Ltd, London, 1948.
Lacey A., A Dictionary Of Philosophy, London: Routledege And Kegan Paul, London, 1976.
Michael W. Alssid, & William Kenney, Eds, The World Of Ideas; Essay For Study, New York, Horlt Renehart And Winston, Inc, 1966.
William Stafford, Ed. The Voice Of Prove, New York, McGraw-Hill Book Company, 1966.
Zoltan Tat, The Frankfurt School, The Critical Theory Of Max Horkkheimer And Theodor W. Adorno, New York, A Wiley Interscience Publication, 1977.

Sabtu, 14 Maret 2015

KUHP

Intisari:
 
 
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) hanya mengenal penganiayaan secara fisik, yaitu rasa sakit yang ditimbulkan akibat perbuatan-perbuatan berupa kekerasan fisik seperti antara lain: menyubit, memukul, menempeleng, menusuk dengan pisau, dan lain-lain. Dengan kata lain, penganiayaan secara psikis tidak dikenal dalam KUHP.
 
Namun, atas perbuatan menyakiti orang secara psikis ini dalam praktiknya dapat dilakukan upaya hukum berupa gugatan secara perdata atas dasar Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”). Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Sebelum menjawab pertanyaan Anda soal “penganiayaan” secara psikis, kami akan menjelaskan sedikit soal tindak pidana kekerasan fisik saat berpacaran yang mana pelakunya dapat dipidana atas dasar tindak pidana penganiayaan biasa dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
 
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
 
Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan“penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”.
 
R. Soesilo dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan”:
1.    “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.
2.    “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.
3.    “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.
4.    “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.
 
Penjelasan selengkapnya soal penganiayaan ini dapat Anda simak dalam artikel Pasal untuk Menjerat Pacar yang Suka Menganiaya Pasangannya.
 
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa penganiayaan yang dikenal dalam KUHP hanya berupa penganiayaan secara fisik, yaitu rasa sakit yang dialami korban akibat suatu kekerasan fisik dari pelaku. Dengan kata lain, menjawab pertanyaan Anda, penganiayaan psikis tidak digolongkan sebagai tindak pidana. Akan tetapi, ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan korban terhadap kekerasan atau penganiayaan secara psikis ini, yang dalam hukum perdata dikenal sebagai gugatan Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) dan dapat menuntut ganti rugi immateriil.
 
Berdasarkan penelusuran kami, undang-undang yang memberikan definisikekerasan psikis adalah Pasal 7 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan (“UU 23/2004”), yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Akan tetapi, dalam kasus Anda tentu saja tidak bisa menggunakan ketentuan dalam UU 23/2004 karena pacaran bukan lingkup rumah tangga.
 
Dalam praktiknya, jika seseorang melakukan kekerasan psikis terhadap orang lain, maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh korban adalah melakukan gugatan PMH sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”):
 
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
                                                             
Lalu apa syarat agar gugatan dapat dikabulkan? Dalam artikel Merasa Dirugikan Tetangga yang Menyetel Musik Keras-keras dijelaskan antara lain bahwa Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya “KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan”, seperti dikutipRosa Agustina dalam buku “Perbuatan Melawan Hukum” (hal. 36) menjabarkan unsur-unsur PMH sebagai berikut:
a.    Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);
b.    Perbuatan itu harus melawan hukum;
c.    Ada kerugian;
d.    Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
e.    Ada kesalahan.
 
Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), (hal. 117) yang dimaksud dengan “perbuatan melawan hukum”, antara lain:
1.    Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2.    Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;
3.    Bertentangan dengan kesusilaan;
4.    Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
 
Dalam hal ini, harus kembali dilihat, apakah perbuatan orang yang melakukan kekerasan psikis terhadap pacarnya itu telah memenuhi semua unsur-unsur dalam Pasal 1365 KUHPer di atas atau tidak. Jika telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer, maka pacar yang dianiaya secara psikis itu dapat menggugat pelaku.
 
Sebagai contoh kasus dapat Anda simak dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1517 K/Pdt/2009. Kasus ini bermula saat penumpang maskapai Singapore Airlines (penggugat) yang mengalami kecelakaan pada penerbangan SQ-006. Maskapai Singapore Airlines dalam kasus ini sebagai tergugat. Penggugat mengalami cidera dan cacat secara fisik dan mental (psikis). Akibat insiden ini, penggugat sampai melakukan pengobatan secara periodik ke beberapa dokter dan psikiater. Penggugat mengalami trauma psikis naik pesawat terbang sehingga tidak bisa lagi melakukan perjalanan dengan pesawat terbang, dan akibatnya terganggu dalam kelancaran melaksanakan pekerjaan dan tugas-tugasnya.
 
Penggugat menggugat atas dasar perbuatan melawan hukum. Pada pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum Tergugat sebesar Rp1 milyar, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menambahnya menjadi Rp1,5 milyar dan dikuatkan di tingkat kasasi. Singapore Airlines berkewajiban membayar ganti rugi materil maupun immateril kepada Sigit. Dari segi immateril, hakim memberi “hadiah” kepada Sigit sebesar Rp1 milyar. Menurut majelis, ganti rugi sebesar itu pantas diberikan kepada Sigit yang mengalami trauma emosional akibat kecelakaan pesawat. Pada ganti rugi materil, hakim memerintahkan agar Singapore Airlines membayar sebesar Rp504,3 juta. Alhasil, total Singapore Airlines dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 milyar. Penjelasan kasus selengkapnya dapat Anda simak dalam artikelSingapore Airlines Harus Bayar Ganti Rugi Rp1,5 Milyar.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum: