Sabtu, 04 Mei 2013

Indonesia Harus Keluar Dari ‘Daftar Hitam’ Pencucian Uang


Indonesia Harus Keluar Dari ‘Daftar Hitam’ Pencucian Uang
Kepala PPATK M Yusuf (kiri). Foto: SGP
Sejumlah anggota Komisi III DPR mempertanyakan status Indonesia yang masuk ‘daftar hitam’ sebagai negara tempat pencucian uang versi Financial Action Task Force (FATF). Pertanyaan ini diutarakan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Gedung DPR, Senin (20/2).

“Mengapa FATF masih mengklasifikasikan Indonesia sebagai surga pencucian uang?” ujar Anggota Komisi III dari PKS Aboe Bakar Al Habsyi.

Pimpinan Rapat Aziz Syamsuddin mencoba menelisik apa langkah yang dilakukan PPATK untuk mengantisipasi blacklist yang dipublikasikan oleh FATF. “Mereka biasanya mem-publishpenilaiannya pada bulan Juni. Apa antisipasi PPATK supaya kita nggamasuk black list ini terus menerus?” selidiknya.

Kepala PPATK M Yusuf meluruskan Indonesia bukan masuk ke dalam daftar hitam, tetapi hanya ‘ditegur’ melalui public statement yang dikeluarkan oleh Presiden FATF. Alasannya, karena ada beberapa rekomendasi khusus yang belum dilaksanakan oleh Indonesia. “Salah satu alasannya adalah mengenai pendanaan tindakan terorisme,” jelasnya.

Yusuf mengaku PPATK kesulitan untuk melaksanakan rekomendasi khusus yang diminta oleh FATF. “Mereka mengatakan apabila ada orang yang masuk daftar teroris maka aset seluruh keluarganya harus dibekukan. Ini berlaku untuk keluarganya tanpa kecuali. Misalnya, Osama mempunyai anak tiri di Indonesia, maka asetnya harus dibekukan,” tuturnya.

Rekomendasi semacam ini bukan pekerjaan yang mudah. Yusuf menegaskan bila rekening orang tiba-tiba dibekukan tanpa ada hukum yang dilanggar, jelas itu melanggar asas praduga tak bersalah yang diatur oleh hukum Indonesia.

“Membekukan aset itu bukan pekerjaan gampang, apalagi men-
judge orang terlibat terorisme. Itu susah,” jelasnya.

Yusuf mengaku sebelumnya sudah berjanji akan mengimplementasikan rekomendasi khusus ini ke dalam pembahasan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

“Kami sudah janji agar RUU ini segera disahkan menjadi UU, sayangnya janji ini tak kita tepati.
Public Statement itu bersifat sanksi karena janji tak kita tepati. Pada dasarnya, mereka (FATF) memuji usaha kita,” jelasnya.

Karenanya, Yusuf berharap pembahasan RUU Ini segera dipercepat. Saatnya, draf UU itu sudah ditangan dan ditandatangi oleh pemerintah, sehingga tinggal dilimpahkan ke DPR untuk dibahas bersama. “Mohon bantuan. Kami sudah buat se-soft mungkin dan menghormati hak rakyat kita dalam RUU itu. Dan kita perlu melihat best practices (praktik-praktik terbaik,-red) di negara lain,” katanya. 

Lebih lanjut, Yusuf menjelaskan yang terkendala dengan rekomendasi khusus FATF ini sebenarnya bukan hanya Indonesia, tetapi juga negara-negara lain yang sama-sama menggunakan sistem civil law.

“Untuk negara yang menggunakan sistem 
common law, rekomendasi itu bisa otomatis menjadi undang-undang mereka. Sedangkan, kita yang menggunakan sistem civil law harus membahas RUU ini terlebih dahulu dengan DPR. Jadi prosesnya memang panjang,” ujarnya.

Aziz berjanji mendukung supaya Indonesia keluar dari catatan FATF tersebut. Ia mengakui RUU ini memang bukan RUU Prioritas di Badan Legislasi DPR.

“Seharusnya pemerintah yang serahkan ke kami. RUU ini berarti sudah melewati Setneg. Kami akan rapat pleno dan memerintahkan pemerintah untuk segera membahas RUU ini bersama DPR. Jangan sampai Juni 2011, kita masuk lagi ke dalam list FATF,” pungkasnya. 

BPR Rawan Disusupi Pendanaan Terorisme

Pengetahuan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terhadap tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme dinilai masih minim. Bank Indonesia (BI) mengimbau perlunya pelatihan bagi para pegawai BPR untuk menghindari terjadinya praktik tersebut. Hal tersebut disampaikan Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah, dalam Workshop Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT), Senin (5/3), di Jakarta.

Halim mengatakan, praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme tidak hanya mengancam bank umum yang memiliki produk layanan yang kompleks, nasabah banyak dan transaksi bernilai besar. Praktik itu juga bisa mengancam BPR yang memiliki produk sederhana dan nilai transaksinya relatif kecil.

“Agar praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme bisa dicegah, pegawai BPR patut mendapatkan perhatian dan pelatihan,” katanya.

Dijelaskan Halim, BI telah melakukan penyempurnaan ketentuan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles/KYC) bagi BPR dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dengan mengacu kepada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara internasional dalam mendukung upaya tindak pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.

Hal itu tertuang dalam PBI No. 12/20/PBI/2010 tanggal 4 Oktober 2010 dan Surat Edaran Ekstern No. 13/14/DKBU tanggal 12 Mei 2011 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Teorisme bagi BPR dan BPRS.

Selanjutnya, BI berharap BPR dan BPRS dapat menyusun dan mengembangkan pedoman pelaksanaan APU dan PPT sesuai dengan kebutuhan dan kompleksitas operasional usahanya.


Beberapa program yang harus dilaksanakan oleh BPR untuk menghindari tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme adalah melakukan Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence (EDD).

CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan BPR untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan profil pengguna jasa bank. 
Sedangkan EDD adalah CDD dan kegiatan lain yang dilakukan oleh BPR untuk mendalami profil nasabah, nasabah atau beneficial owner yang tergolong berisiko tinggi termasuk Politically Exposed Person (PEP) terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme.

“Untuk memastikan penerapan program APU dan PPT diperlukan mekanisme penilaian oleh BI dalam rangka penerapan program APU dan PPT oleh BPR dan BPRS,” lanjut Halim.

Penilaian itu merupakan gambaran menyeluruh mengenai kecukupan dan efektivitas penerapan program APU dan PPT serta kewajiban lainnya terkait dengan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pada setiap BPR. Gambaran menyeluruh tersebut diperlukan untuk memastikan tingkat kepatuhan BPR terhadap ketentuan terkait APU dan PPT yang berlaku dan efektivitas penerapannya, serta mengidentifikasi langkah-langkah perbaikan yang diperlukan.

Pembatasan
Di acara yang sama, Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso, mengakui praktik pencucian uang memang sudah merambah BPR. Sampai Januari 2012, PPATK mencata total Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LPKT) yang dilaporkan kepada PPATK sejak tahun 2005 mencapai 10.494.312 laporan, dengan jumlah pelapor sebanyak 418 terdiri dari bank umum, BPR, pedagang valas, asuransi dan perusahaan pembiayaan.

Sementara, untuk jumlah laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM) sampai Januari 2012, total mencapai 86.264 laporan dengan jumlah pelapor 359 pelapor yang terdiri dari bank, dan non bank seperti perusahaan efek, pedagang valas, lembaga pembiayaan dan asuransi.

Agus juga mengusulkan dalam amandemen UU No 6 Tahun 2009 tentang BI dimasukkan aturan mengenai batasan maksimal transaksi tunai Rp100 juta. Menurutnya, jika semua transaksi dilakukan melalui bank, maka akan mudah ditelusuri ada tidaknya praktik pencucian uang atau pendanaan terorisme.

Selain itu, dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hal itu bisa dijadikan alat bukti. “Semoga ini bisa masuk ke amandemen UU BI,” tuturnya di acara yang sama.


Terkait hal ini, Kepala Biro Humas BI Difi A Johansyah mengatakan belum mengetahui rencana amandemen UU BI, meski perubahan itu sudah diperlukan mengingat aturan lain yang sudah berbenturan dengan UU BI seperti UU OJK. Menurutnya, bank sentral masih menunggu informasi dari DPR dan Kemenkeu.

Kepala Seksi Pengawas Kepatuhan PPATK Syahril Ramadhan menambahkan, ada beberapa cara yang biasa dipakai seseorang untuk melakukan aksi pencucian uang dan pendanaan terorisme. “Dia biasanya memalsukan KTP, menggunakan pihak ketiga, transfer informal, menggunakan perusahaan legal serta private banking,” katanya.

Kriminalisasi Penyandang Dana, Cara Perangi Terorisme


Kriminalisasi Penyandang Dana, Cara Perangi Terorisme
Logo PPATK. Foto: ppatk.go.id
Bertempat di sebuah ruang besar, di Jakarta, Kamis (2/5), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyelenggarakan seminar. Tema acara itu mengenai implementasi UU No.9 Tahun 2013tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Teroris (PPTPPT). Salah satu peserta yang mewakili penyedia jasa keuangan, malah menyampaikan kritik kala acara itu memasuki sesi tanya jawab.
Menurutnya, tema perhelatan ini tidak tepat. “Apa yang mau diterapkan? Karena kami tak tahu apa-apa tentang undang-undang ini,” papar si penanya setelah mendengarkan pemaparan sejumlah narasumber terkait undang-undang itu.
Sebelum sesi pertanyaan, mantan Ketua Pansus RUU ini, Adang Daradjatun memaparkan sejumlah hal tentang undang-undang ini. Dia menyatakan terorisme takkan berhasil tanpa adanya bentuk pendukung seperti dukungan dana. “Karena itu, perlu pemutusan mata rantai pendanaan teroris berdasarkan hukum,” paparnya.
Kriminalisasi pendanaan terorisme sebagai tindak pidana, menurut Adang mutlak dilakukan. Karena penyandang dana juga pelaku dari tindak pidana terorisme.
Dia menambahkan, undang-undang ini menutup celah yang tak diatur dalam UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU. Yaitu, menjerat master mind dalam hal ini penyandang dana.
Sedangkan, UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dinilai belum dapat mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme.
“UU 9 Tahun 2013 menjadikan peraturan perundang-undangan menangani tindak pidana terorisme kini menjadi komprehensif,” imbuh Adang.
Pengajar hukum perbankan FH UI, Yunus Husein menguatkan pendapat Adang, bahwa menambahkan pendanaan terorisme ini perlu diatur khusus. Karena pendanaan teroris berasal dari hasil tindak pidana maupun dari hasil sah. “Sedangkan pencucian uang pasti berasal dari tindak pidana,”
Yunus menyarankan, penerapan UU 9 Tahun 2013 harus menyertakan UU 8 Tahun 2010. Sekalipun ada ketentuan dalam UU PTPPT mengadopsi ketentuan di UU Pencucian Uang, penggabungan itu akan mempersempit ruang gerak pelaku melakukan tindak pidana.
Dia menjelaskan dalam UU PTPPT menjelaskan mengenai transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme. Hal itu dijelaskan dalam Pasal 1 angka 6 yang menguraikan dua pengertian. Pertama, transaksi keuangan dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk mendanai terorisme. Atau, transaksi yang melibatkan setiap orang yang berdasarkan daftar terduga teroris dan organisasi teroris.
Hakim agung, Syarifuddin dalam kesempatan sama menyatakan karena sudah diundangkan, UU 9 Tahun 2013 harus dilaksanakan. Sekalipun ada beberapa hal yang mesti diselaraskan dengan praktik penanganan perkara menggunakan undang-undang ini.
Semisal, peran Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menetapkan pemblokiran dan daftar terduga terorisme serta organisasi yang terkait terorisme. Bahkan peran PN Jakarta Pusat untuk menangani keberatan atas pemblokiran dan penetapan seseorang masuk dalam daftar terduga teroris dan organisasi yang terkait teroris.
“Ini membutuhkan peraturan teknis baru bagaimana sistem dan acara bagi PN Jakarta Pusat melaksanakan UU 9 Tahun 2013,” tuturnya.
Ditambahkan Syarifuddin, ketentuan itu belum diatur diatur oleh MA. Sehingga jalan keluar yang dia tawarkan adalah menunggu bagaimana PN Jakarta Pusat menjalankan tugas undang-undang ini.
Karena hakim itu adalah pejabat zittende magistratuur alias magistratur duduk, urai Syarifuddin. Hakim tidak bertindak aktif mencari perkara. Berbeda dengan jaksa yang disebutstandee magistratuur yang aktif mencari perkara.
Terkait penunjukan PN Jakarta Pusat, Adang menjawab karena praktik selama ini, pengadilan itu menangani keberatan akan putusan arbitrase internasional. Hal itu termuat dalam UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Nasabah Terus Berusaha Pailitkan Usaha Investasi Emas


Dalam kurun waktu singkat, tiga perusahaan yang bergerak di bidang investasi emas berhadapan dengan perkara kepailitan. Sebut saja, PT Asean Gold ConceptPT Makira Nature, dan PT Golden Traders Indonesia Syariah(GTIS). Ketiga perusahaan inidibawa ke Pengadilan Niaga oleh nasabah. Penyebabnya sama, mangkir membayar kewajibannya sesuai dengan apa yang telah dijanjikan.
Kini, ancaman pailit juga menghantui PT Lautan Emas Mulia (LEM). ‘Ancaman’datang dari tiga nasabahnya yang sudah tidak tahan menunggu realisasi janji-janjiLEM. Suryadharma Budihardjo, Stevanus Cahya Utama, dan Kelvin–ketiga nasabah dimaksud—berharap ada solusi yang adil jika masalah ini diselesaikan lewat pengadilan.
Adapun utang yang menjadi landasan permohonan pailit berasal dari dana investasi emas yang diberikan para pemohon. Suryadharma telah menginvestasikan uangnya dengan cara membeli investasi emas seberat 1000 gram senilai 709,8 juta dengan masa kontrak selama 3 bulan. Pada 18 Maret 2013, LEM seharusnya menyerahkan kembali kepada Suryadharma nilai pokok ditambah dengan bonusnya sehingga menjadi Rp195,195 juta.
Kepada Stevanus Cahya Utama, LEM mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah Rp39,039 juta yang jatuh tempo pada 2 April 2013. Kewajiban pembayaran ini muncul karena Stevanus telah membeli emas sebanyak 200 gram senilai Rp35,4 juta. Sementara itu, kewajiban LEM terhadap Kelvin adalah sejumlah Rp190juta jatuh tempo pada 27 Maret 2013.
Hingga kewajiban tersebut jatuh tempo, LEM belum melakukan prestasi. Padahal, para pemohon telah mengirimkan surat teguran sebanyak duakali. Surat peringatan tampaknya diabaikan perusahaan investasi emas itu. “Tapi, saat ini mereka (LEM, red) tengah mengajukan upaya hukum mencegah kepailitan dengan PKPU. Ini tidak masalah bagi kami yang penting ada iktikad baik untuk menyelesaikan persoalan ini,” ucap kuasa hukum para pemohon,RM Rahyono Abikusno,kepada hukumonline usai persidangan, Rabu (1/5).
Kuasa hukum LEM,Washington E Pangaribuan,belum bisa berkomentar banyak atas perkara ini. Ia mengatakan permohonan pailit para pemohon akan ditunda dulu karena LEM mengajukan PKPU.
Lebih lanjut, Pangaribuan menolak dikatakan memiliki utang kepada para pemohon. Namun, itu adalah keuntungan yang belum dapat dibayarkan LEM kepada pemohon lantaran harga emas saat itu tidak stabil sehingga perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan neraca pembayaran. Alhasil, perusahaan belum dapat membagikan keuntungannya kepada para nasabah.“Tolong digarisbawahi, itu bukan utang,” tutur Washington Pangaribuan usai persidangan, Rabu (1/5).
Akan tetapi, berdasarkan berkas permohonan PKPU, Washington Pangaribuan menuliskan mengakui LEM memiliki utang kepada para pemohon. Utang juga diakui telah jatuh tempo dan dapat ditagih sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Kendati memiliki utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, LEM menyatakan masih dapat menjalankan perusahaan dan tetap dapat membayar utang-utang tersebut karena masih memiliki aset-aset baik bergerak maupun tidak bergerak. Untuk itu, perusahaan ingin mengajukan rencana perdamaian kepada para nasabah untuk merestrukturisasi utang itu.
Berdasarkan hal-hal tersebut, LEM meminta majelis untuk mendahulukan permohonan PKPU ketimbang permohonan pailit para pemohon. Hal ini sesuai dengan Pasal 229 ayat (3) UU Kepailitan. “Permohonan PKPU ini akan didahulukan daripada pailit,” pungkasWashington.

Pemblokiran di UU Pendanaan Terorisme Dikritik


Pengajar hukum perbankan FH UI, Yunus Husein memberikan catatan akan pengaturan pemblokiran di UU No.9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (PPTPPT). Menurutnya, waktu untuk dimulainya pemblokiran terlalu lama.
Pemblokiran dalam UU 9 Tahun 2013 pada Pasal 28 ayat (3), menyasar seseorang maupun korporasi yang masuk dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris. Daftar tersebut dikeluarkan oleh Kapolri setelah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Dana sudah berpindah penguasaan dengan cepat, sehingga makna pemblokiran tak ada manfaatnya,” papar Yunus dalam seminar tentang implementasi UU 9 Tahun 2013 yang diadakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kamis (2/5).
Proses pemblokiran rekening dalam undang-undang ini adalah proses lanjutan dari terbitnya daftar terduga teroris. Daftar itu dibuat oleh Kapolri lalu dimintakan penetapan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, seperti terurai dalam Pasal 27 UU PPTPPT.
Permohonan ini harus dijawab paling lama 30 hari setelah diterima. Kemudian, Kapolri harus memberitahukan pada pihak yang masuk dalam daftar tersebut, maksimal 10 hari kerja. Pemblokiran, menurut UU 9 Tahun 2013 berlaku selama terduga maupun korporasi masih tercantum dalam daftar terduga teroris.
Menanggapi kritik Yunus, mantan Ketua Pansus RUU PPTPPT, Adang Daradjatun pada kesempatan sama mengatakan proses pembuatan daftar ini memang melibatkan pengadilan. “Sebagai kontrol agar tidak sewenang-wenang dan itu perlu waktu,” kilahnya.
Yunus menyarankan agar makin kuat, penyidik juga menggunakan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU). Apalagi terkait pemblokiran. “Atau laporkan ke PPATK karena dapat mempercepat mengetahui transaksi tersebut mencurigakan atau biasa saja,” imbuhnya.
Yunus juga mengingatkan, pemblokiran tak sama dengan penyitaan. Mengenai hal terakhir memang diatur Pasal 38 KUHAP. Yaitu keharusan izin dari pengadilan lebih dahulu untuk penyitaan. Namun, penyitaan dibenarkan mendahului izin pengadilan hanya untuk aset bergerak.
“Pemblokiran tak perlu izin, pengaturan ini menyebar di undang-undang lain seperti UU Pencucian Uang mapun UU Pemberantasan Tipikor,” paparnya.
Hakim agung Syarifuddin pada kesempatan itu mengutarakan, UU 9 Tahun 2013 menambah tugas PN Jakarta Pusat. Tak hanya menerima permohonan penetapan daftar terduga teroris, tapi juga menetapkan pencabutan terduga maupun korporasi dari daftar yang dikeluarkan Polri. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim berbeda.
Upaya hukum dari penetapan PN Jakarta Pusat dibatasi sampai PT Jakarta. Sehingga penetapan PT Jakarta bersifat final.
Syarifuddin menyatakan, konsekuensi dari undang-undang ini adalah pengadilan harus melaksanakan. Sehingga Mahkamah Agung (MA) akan membuat peraturan bagaimana acara dan mekanisme PN Jakarta Pusat melakukan tugas yang diamanatkan undang-undang. “Belum ada agenda di MA membahas hal itu,” paparnya.
Kepala Sub Direktorat Money Laundering Direktorat Tipideksus Bareskrim, Kombes (Pol) Agung Satya menyatakan dalam undang-undang ini belum jelas tentang pembentukan peraturan teknis. Oleh karena itu, Mabes Polri berencana menyusun rancangan Peraturan Kapolri (Perkap) jika memang apa yang dia duga benar adanya.
“Kami menunggu pemerintah, tapi kami sudah berencana membuat rancangan Perkap,” paparnya dalam forum yang sama.
Yunus juga mengingatkan agar Polri maupun instansi terkait memperkaya data akan transaksi mencurigakan serta profil orang maupun organisasi. “Ini yang dapat menjadi celah hambatan penerapan undang-undang ini.”

Sikap S&P Tak Pengaruhi Masuknya Investor Asing


Baru-baru ini lembaga pemeringkat utang internasional Standar & Poor’s (S&P) memangkas peringkat utang Indonesia. Meski sikap S&P tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan Indonesia menjadi investment grade dalam 12 bulan ke depan sangat kecil, Bank Indonesia (BI) menilai tak akan mempengaruhi masuknya investor asing ke dalam negeri.
Alasannya, kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, lantaran kondisi ekonomi fundamental Indonesia hingga kini masih kuat. Bukan hanya itu, konsumsi swasta juga tercatat tetap menjadi sumber pendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Terlebih lagi, kelas menengah di Indonesia yang semakin lama semakin meningkat jumlahnya.
“Second komiditi menjadi first komoditi akan jadi sumber pertumbuhan dan pasar peluang bisnis. Dengan dukungan swasta yang tetap akan kuat, tetap akan menarik kegiatan (bisnis, red) dalam negeri maupun dari luar negeri,” tutur Perry di Jakarta, Jumat (3/5).
Sejalan dengan itu, BI berharap pemerintah juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat menekan inflasi jangka pendek. Misalnya kebijakan terkait infrastruktur, fiskal dan perindustrian dengan tujuan meningkatkan pasar bisnis dalam negeri. Sejumlah cara ini diharapkan dapat memperkecil risiko kerentanan stabilitas rupiah dalam jangka pendek.
Menurut Perry, bukan hanya pemerintah saja yang memiliki kewajiban mengeluarkan kebijakan yang mendorong perekonomian dalam negeri. BI selaku Bank Sentral turut punya andil. Salah satu kebijakan yang pernah dikeluarkan BI untuk memperkuat stabilitas ekonomi adalah diterbitkannya Surat Edaran No.14/10/DPNP tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor.
Ia mengatakan, dengan adanya kebijakan Down Payment (DP) untuk kendaraan bermotor ini berfungsi menurunkan impor kendaraan dari luar negeri. Dengan begitu, produksi dalam negeri dapat di tingkatkan sehingga memperkecil angka impornya.
“Kebijakan DP membantu memperbaiki menurunkan impor. Itulah peran BI  dalam rangka ikut perbaiki struktur ekonomi,” kata Perry.
Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan, kredit investasi Indonesia masih kuat, bahkan arus modal asing yang masuk dalam kaitannya dengan investasi juga baik. Hal ini tercermin dari rasio dana asing yang berada di surat berharga negara masih tetap tinggi, yakni sekitar 32,6 persen.
“Saya kira secara keseluruhan kalau investor yang jangka waktu panjang, dia tentu akan tetap datang,” katanya.
Terkait sikap S&P yang memangkas peringkat utang Indonesia, Halim menilai, hal tersebut tak akan memicu dua lembaga rating lain untuk menanggalkan status investment grade Indonesia. Dua lembaga rating tersebut adalah Fitch Ratings dan Moody’s Investor Service.
“Kita sudah investment grade dari Fitch dan Moody’s. Keduanya masih beri investment grade,” katanya.
Halim mengatakan, pemangkasan peringkat utang Indonesia dari posisi positive outlook menjadi stable outlook tersebut oleh S&P tidak akan mempengaruhi pasar di Tanah Air. Hal ini dikarenakan ekonomi Indonesia secara fundamental masih kuat. Ia berharap, kebijakan ekonomi yang akan dikeluarkan pemerintah nantinya semakin memperkuat perekonomian Indonesia.
“Kalau secara jangka yang panjang kita yakin ekonomi kita masih kuat, fundamental ekonomi kita tidak buruk-buruk amat, perekonomian global dan Asia sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan, ekspor kita juga sudah mulai membaik, beberapa pasar yang tertekan sekarang sudah membaik juga,” tutur Halim kepada wartawan.
Bahkan, lanjut Halim, dari sektor keuangan dan perbankan juga masih kuat. Hal ini terlihat dari likuiditas yang cukup, terdapatnya modal yang tinggi serta Non Performing Loan (NPL) yang masih terjaga.
“Dari sisi perbankan, sektor keuanganlah yang menjadi jangkar stabilitas di pasar keuangan tetap baik tidak ada masalah,” pungkasnya.

Kemerdekaan Pers Masih Terancam


Tak hanya di Jakarta, kekerasan terhadap jurnalis di berbagai wilayah Indonesia, makin bertambah. “Tingkat kekerasan semakin membahayakan keselamatan jurnalis,” ujar Ketua AJI Indonesia, Eko Maryadi saat melakukan unjuk rasa dalam peringatan Hari Pers di depan Gedung Mabes Polri, Jumat (3/5).
Menurutnya kekerasan tidak hanya dilakukan oleh aparat keamanan. Jurnalis sering mengalami kekerasan dari massa.
Eko mencontohkan kekerasan yang dilakukan oknum TNI. Seperti perampasan kamera dan penganiayaan pada jurnalis saat melakukan tugas peliputan jatuhnya pesawat Hawk 200 TNI AU di Pekan Baru.
Sedangkan, pelaku kekerasan yang dilakukan oleh massa dia contohkan peristiwa penyerbuan  kantor stasiun TVRI Gorontalo oleh massa pendukung calon Walikota Adnan Dhambea. Lalu pembakaran kantor redaksi Palopo Pos dan Fajar Biro Palopo.
Menurut Eko, peristiwa penyerangan oleh massa yang dia contohkan terkait pesta demokrasi. Padahal, Pemilukada seharusnya menjadi sarana membangun demokrasi. Sayangnya, justru dikotori oleh aksi kekerasan yang dilakukan massa yang mengancam keselamatan  jurnalis dan kebebasan pers. “Ini berbahaya,” tegasnya.
Divisi Advokasi AJI Aryo Wisanggeni mencatat, periode Mei 2011 hingga April 2012 ada 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis saat menjalankan tugasnya. Sedangkan periode Mei 2012 hingga April 2013 sebanyak 56 kasus. Dengan kata lain, kasus kekerasan terhadap jurnalis mengalami peningkatan. “Sebaran 56 kasus itu juga meluas, karena ada di 34 wilayah di Indonesia,” imbuhnya.
Menurut Aryo, dari sisi latar belakang pelaku 56 kasus kekerasan terhadap jurnalis didominasi oleh kelompok massa mencapai 12 kasus. Menurutnya, tindak kekerasan yang dilakukan massa tak berbeda dengan kekerasan yang dilakukan aparat negara, militer maupun sipil.
Apalagi, kata Aryo, masih adanya  aparat pelaku kekerasan lolos dari proses hukum. Dikatakan Aryo, 12 dari 56 kasus gagal diidentifikasi. Hal itu menunjukan buruknya kinerja polisi dalam mengungkap kasus kekerasan terhadap jurnalis. “Pelaku kekerasan terbanyak berikutnya ialah anggota TNI (8 kasus), massa Ormas (5 kasus), polisi (4 kasus), dan pejabat pemerintah daerah (4 kasus),” ujarnya.
Aryo melanjutkan, kekerasan terhadap jurnalis semestinya tak terjadi di era demokrasi. Pasalnya, profesi jurnalis dilindungi UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Untuk memutus mata rantai kekerasan dan mengancam kebebasan pers, Aryo menyatakan ada sanksi pidana berat terhadap pelaku. “Praktik impunitas pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus dihentikan,” ujarnya.
Direktur eksekutif LBH Pers, Nawawi Bahrudin mengatakan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia sering dinodai tindakan kekerasan terhadap jurnalis. Sementara penegak hukum dalam sistem peradilansipilmaupun militer masih melakukan praktik impunitas untuk melindungi pelaku. “Bahkan, melakukan pembiaran terhadap pelaku pembunuhan terhadap jurnalis,” tegasnya.
Menurutnya, pemerintah Indonesia telah menyepakati Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Dari sisi hukum, Indonesia telah terikat dan mesti menghormati, menjamin, serta menegakan untuk kebebasan berekspresi. Pasalnya kata Aryo, dilindungi oleh Pasal 19 Kovenan Internasional. “Meliputi kewajiban untuk memastikan bahwa setiap serangan terhadap jurnalis harus diselidiki secara sungguh-sungguh dan secara tepat waktu, serta menuntut para pelakunya,” tandasnya.
Kebijakan Mengancam Pers
Selain itu, tegas Eko,  adanya aturan yang membatasi kebebasan pers. Semisal, Peraturan KPU No.1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye. AJI secara tegas protes terhadap aturan tersebut.
Menurutnya, aturan tersebut mengatur iklan pemilu melalui media massa. Di lain sisi, aturan tersebut justru mengandung unsur ancaman pembredelan dan penghentian siaran. Eko berpendapat, aturan tersebut semestinya dicabut. Pasalnya, bukan tidak mungkin akan menimbulkan implikasi hukum serius. “Dan menurunkan kewibawaan KPU sebagai lembaga negara penyelenggara pemilu,” ujarnya.
Mengutip situs www.dewanpers.co.id, Ketua Dewan Pers Bagir Manan meminta pers ikut serta dalam menyukseskan Pemilu sebagai bentuk tanggungjawab. Bukan sebaliknya, pers ditakut-takuti oleh banyaknya aturan. Bagir menilai, keterlibatan pers dalam pemilu seharusnya tak perlu diatur oleh sejumlah regulasi. Soalnya, tugas dan fungsi pers sudah diatur oleh UU Pers, peraturan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Bagir mengakui, ada kekhawatiran berbagai pihak terhadap pengaruh pers yang kian besar. Namun kekhawatiran tersebut diharapkan tak sampai mengekang kebebasan pers.
Soal independensi pers, Bagir menegaskan independensi berbeda dengan netral. “Independensi adalah sikap yang merdeka boleh memilih kalau memang harus memilih, tetapi pilihannya berdasar kepentingan besar,” ujarnya, di Gedung Dewan Pers, Jumat (26/4).
Terkait ‘pasal pembredelan’ dalam peraturan KPU sejumlah organisasi wartawan telah menyambangi Dewan Pers pada pertengahan April lalu. Selain itu, organisasi wartawan itu yakni AJI, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pun mendesak KPU segera mencabut aturan tentang pembredelan.
Ketua Bawaslu Mimah Susanti memahami keinginan sejumlah organisasi pers. Menurutnya, organisasi pers adalah pihak yang paham mengenai persoalan pers dan pemilu. Lagi pula,  adanya aturan tentang pers yang bersifat khusus. Ia berpendapat, jika terdapat persoalan pers terkait pemilu dapay diteruskan ke Dewan Pers atau KPI. “Yang paling tahu teman-teman media,” pungkasnya.