Kamis, 18 Februari 2016

Tentang Kartu Identitas Anak (KIA)

Kartu Identitas Anak (KIA) adalah identitas resmi anak sebagai bukti diri anak yang berusia kurang dari 17 tahun dan belum menikah yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota. Pemerintah menerbitkan KIA bertujuan untuk meningkatkan pendataan, perlindungan dan pelayanan publik untuk mewujudkan hak terbaik bagi anak serta sebagai upaya memberikan perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara.

KIA dibagi menjadi dua jenis. Jenis yang pertama untuk anak yang berusia 0 sampai dengan kurang dari 5 tahun. Sementara itu, jenis yang kedua untuk anak yang berusia 5 sampai dengan 17 tahun kurang satu hari.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.



Ulasan:

Benar bahwa dalam dalam rangka mendorong peningkatan pendataan, perlindungan dan pelayanan publik untuk mewujudkan hak terbaik bagi anak, maka dilakukan pemberian identitas kependudukan pada anak. Demikian salah satu konsiderans diterbitkannyaPeraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2016 tentang Kartu Identitas Anak (“Permendagri KIA”).

Berdasarkan penelusuran kami dalam Permendagri KIA ini, tidak ada pasal yang eksplisit menerangkan bahwa setiap anak wajib memiliki Kartu Identitas Anak (”KIA”) ataupun orang tua wajib mengajukan permohonan penerbitan KIA untuk anaknya. Di samping itu, Permendagri KIA juga tidak mengatur sanksi bagi orang tua yang tidak mengajukan permohonan penerbitan KIA untuk anaknya.

Namun, peraturan ini diterbitkan sebagai bentuk kewajiban pemerintah untuk memberikan identitas kependudukan kepada seluruh penduduknya yang berlaku secara nasional. Orang tua dapat mengajukan permohonan penerbitan KIA bagi anaknya dalam rangka pendataan, perlindungan dan pelayanan publik untuk mewujudkan hak terbaik bagi anak itu sendiri.

Tentang KIA
Identitas kependudukan anak ini adalah dalam bentuk KIA. KIA adalah identitas resmi anak sebagai bukti diri anak yang berusia kurang dari 17 tahun dan belum menikah yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota.[1]

Tujuan Diterbitkannya KIA
Pemerintah menerbitkan KIA bertujuan untuk meningkatkan pendataan, perlindungan dan pelayanan publik serta sebagai upaya memberikan perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara.[2]

Syarat dan Tata Cara Penerbitan KIA
Pada dasarnya, penerbitan KIA ini terbagi menjadi 2 (dua), yaitu KIA bagi anak Warga Negara Indonesia (“WNI”) dan KIA bagi anak orang asing. Guna menyederhanakan jawaban kami, berikut kami akan menjelaskan soal syarat dan tata cara penerbitan KIA bagi anak WNI.

Syarat KIA untuk Anak 0 – kurang dari 5 tahun
Dinas menerbitkan KIA baru bagi anak kurang dari 5 tahun bersamaan dengan penerbitan kutipan akta kelahiran.[3]
Jika anak kurang dari 5 tahun sudah memiliki akta kelahiran tetapi belum memiliki KIA, penerbitan KIA dilakukan setelah memenuhi syarat:[4]
a.    Fotokopi kutipan akta kelahiran dan menunjukkan kutipan akta kelahiran aslinya;
b.    Kartu Keluarga (“KK”) asli orang tua/wali; dan
c.    Kartu Tanda Penduduk elektronik (“KTP-el”) asli kedua orang tuanya/wali

Syarat KIA untuk Anak 5 Tahun Sampai dengan Usia 17 Tahun Kurang Satu Hari
Dinas menerbitkan KIA untuk anak usia 5 tahun sampai dengan usia 17 tahun kurang satu hari, dengan syarat:[5]
a.    Fotokopi kutipan akta kelahiran dan menunjukkan kutipan akta kelahiran aslinya;

Bolehkah Para Ahli Waris Tidak Mengindahkan Surat Wasiat?

Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang.Sejauh mengenai hal itu belum ada surat wasiat.
 
Ketetapan pewarisan berdasarkan undang-undang baru berlaku, kalau pewaris tidak membuat surat wasiat. Dengan kata lain kehendak pewaris dalam surat wasiat harus didahulukan.
 
Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Anda tidak menyebutkan hukum waris yang Anda maksud. Oleh karena itu kami akan menjelaskan berdasarkan hukum waris perdata yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(“KUHPerdata”).
 
Pada dasarnya menurut Pasal 874 KUHPerdata, segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah. Ketetapan yang sah yang dimaksud adalah surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.[1] Mengenai surat wasiat dapat dibaca dalam artikel Diberikan Warisan oleh Pewaris Tanpa Ada Surat Wasiat.
 
Ini berarti jika tidak ada ketetapan yang sah dalam bentuk surat wasiat, maka semua harta peninggalan pewaris adalah milik segenap ahli waris. Sedangkan jika ada surat wasiat yang sah, surat wasiat tersebut harus dijalankan oleh para ahli waris.
 
Hal serupa juga dijelaskan oleh J. Satrio dalam bukunya Hukum Waris. J. Satrio (hal. 179),bahwa di dalam Pasal 874 KUHPerdata tersimpul suatu asas penting hukum waris.Yaitu bahwa ketetapan pewarisan berdasarkan undang-undang baru berlaku, kalau pewaris, tidak/telah mengambil suatu ketetapan yang menyimpang mengenai harta peninggalannya, ketetapan mana harus dituangkan dalam bentuk surat wasiat. Dengan kata lain kehendak pewaris didahulukan.
 
Lebih lanjut J. Satrio menjelaskan, di sini nampak bahwa hukum waris menurut KUHPerdata pada asasnya bersifat hukum yang mengatur (mengisi), walaupun sebagian kecil dari ketentuan-ketentuannya mempunyai sifat yang memaksa.
 
Akan tetapi perlu diingat juga bahwa surat wasiat pun ada pembatasannya. Pembatasan tersebut dapat dibaca dalam artikel Pembatasan-pembatasan Dalam Membuat Surat Wasiat. Selain itu, wasiat juga harus memperhatikan bagian mutlak (legitieme portie) dari para ahli waris. Para ahli waris yang mempunyai bagian mutlak (legitieme portie) disebut legitimaris. Wasiat tidak boleh melanggar bagian mutlak para legitimaris.
 
Legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah bagian dan harta benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat (Pasal 913 KUHPerdata). Mengenai besarnya bagian mutlak, dapat dilihat dalam Pasal 914 – Pasal 916 KUHPerdata.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:


Indonesia Cyber Law Community (ICLC)

Indonesia Cyber Law Community (ICLC)
Indonesia Cyber Law Community (ICLC) adalah sebuah sebuah komunitascyber law dalam media virtual yang memberikan layanan kepada masyarakat di bidang konsultasi, advokasi, dan sosialisasi di bidang hukum cyber. ICLC dibentuk oleh beberapa praktisi hukum cyber dari pemerintah dan non-pemerintah (swasta) pada 2011 dengan tujuan turut mencerdaskan masyarakat di bidang hukum cyber dan menjadi jembatan pengetahuan setiap orang atau badan hukum untuk mengetahui hak dan kewajibannya dalam tatanan dunia cyber. Website: www.cyberlawindonesia.netE-mail:informasi[at]cyberlawindonesia[dot]net.
Anggota
http://static.hukumonline.com/frontend/default/images/gravatar-140.png
Teguh Arifiyadi, S.H., M.H. adalah konsultan/pemerhati Cyber Law Indonesia. Ahmad Zamzami adalah Ketua Divisi Digital Forensik ICLC.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4f94dca7ddb1e/lt543512164b29b.png
Konsultan/Pemerhati Cyber Law Indonesia.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt50d485a656264/lt50d48caf290de.jpg
Anggota ICLC/Penggiat Cyber Crime Indonesia.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4fbf674ca421e/lt4fc2c90bcf5e8.png
Ketua Divisi Hukum ICLC
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5105ef3b00d0e/lt5106096e4b816.jpg
Anggota ICLC/Alumnus The University of Edinburgh
http://images.hukumonline.com/frontend/lt50e3ea8168a29/lt50e3f7d00103a.jpg
Anggota ICLC/Peminat Kebijakan Telematika
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5111c066b2df2/lt5111c096e25a0.jpg
Anggota ICLC/Peminat Cyber Law
http://images.hukumonline.com/frontend/lt50c5e4bd328f9/lt50c5eae39a82d.jpg
Anggota ICLC/Pemerhati Hukum Konvergensi Telematika
http://static.hukumonline.com/frontend/default/images/gravatar-140.png
Teguh Arifiyadi, S.H., M.H. dan Widyanto Adinugroho, S.T. masing-masing adalah konsultan/pemerhati Cyber Law Indonesia, dan anggota ICLC, serta penggiat teknik telekomunikasi.

Apakah Kesamaan Judul Merupakan Pelanggaran Hak Cipta?

Hak cipta dilanggar jika seluruh atau bagian substansial dari suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta diperbanyak. Pengadilan akan menentukan apakah suatu bagian yang ditiru merupakan bagian substansial dengan meneliti apakah bagian yang digunakan itu penting, memiliki unsur pembeda atau bagian yang mudah dikenali.
 
Bagian ini tidak harus dalam jumlah atau bentuk besar untuk menjadi bagian substansial. Substansial di sini dimaksudkan sebagai bagian penting, bukan bagian dalam jumlah besar. Jadi yang dipakai sebagai ukuran adalah ukuran kualitatif bukan ukuran kuantitas.
 
Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[1]
 
Sedangkan ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.[2]
 
Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang salah satunya adalah buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya serta karya sinematografi.[3]
 
Yang dimaksud dengan "karya sinematografi" adalah ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images) antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi, atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk audiovisual.
 
Melihat pada ketentuan mengenai ciptaan apa saja yang dilindungi, UUHC tidak secara eksplisit melindungi suatu judul sebagai ciptaan tersendiri, akan tetapi sebagai satu kesatuan dengan ciptaan lain misalnya buku, karya tulis atau karya sinematografi.
 
Bagaimana jika hanya sebagian dari ciptaan yang sama dengan ciptaan orang lain? Ketentuan yang mengatur mengenai sebagian dari ciptaan dapat kita lihat dalam Pasal 44 ayat (1) UUHC terkait penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial.
 
Pasal tersebut mengatur bahwa penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:
a.    pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
b.    keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;
c.    ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
d.    pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
 
Yang dimaksud dengan "sebagian yang substansial" adalah bagian yang paling penting dan khas yang menjadi ciri dari Ciptaan.
 
Melihat dari ketentuan dalam Pasal 44 ayat (1) UUHC dapat dikatakan bahwa jika sebagian yang substansial dari ciptaan digunakan oleh orang lain yang tidak berhak dan penggunaan tersebut tidak dikecualikan oleh Pasal 44 ayat (1) UUHC, maka merupakan pelanggaran hak cipta.
 
Akan tetapi bagaimana jika “sebagian” dari ciptaan tersebut adalah judul suatu cerpen/buku yang sama dengan film atau sebaliknya? Apakah merupakan pelanggaran hak cipta juga walaupun substansi dari keduanya benar-benar berbeda?
 
Tim Lindsey (ed) dalam buku Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar (hal. 122) menjelaskan umumnya hak cipta dilanggar jika materi hak cipta tersebut digunakan tanpa izin dari pencipta yang mempunyai hak eksklusif atas ciptaannya. Untuk terjadinya pelanggaran, harus ada kesamaan antara dua ciptaan yang ada. Namun, pencipta atau pemegang hak cipta harus membuktikan bahwa karyanya telah dijiplak, atau karya lain tersebut berasal dari karyanya.
 
Lebih lanjut dijelaskan bahwa hak cipta juga dilanggar jika seluruh atau bagian substansial dari suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta diperbanyak. Pengadilan akan menentukan apakah suatu bagian yang ditiru merupakan bagian substansial dengan meneliti apakah bagian yang digunakan itu penting, memiliki unsur pembeda atau bagian yang mudah dikenali. Bagian ini tidak harus dalam jumlah atau bentuk besar untuk menjadi bagian substansial. Substansial di sini dimaksudkan sebagai bagian penting, bukan bagian dalam jumlah besar. Jadi yang dipakai sebagai ukuran adalah ukuran kualitatif bukan ukuran kuantitas.
 
Mengenai judul, dalam buku Asian Copyright Handbook (Indonesian Version) karangan Tamotsu Hozumi, pada bagian tanya jawab (hal. 46) terdapat pertanyaan mengenai apakah judul buku, iklan, dan sebagainya merupakan suatu ciptaan. Dalam bagian jawaban dijelaskan bahwa dalam beberapa hal, sulit untuk menilai apakah sesuatu termasuk ke dalam hak cipta atau tidak, seperti misalnya judul buku, iklan, jenis huruf, rancangan tata letak (perwajahan), lay out dan desain. Umumnya, sebagian besar tidak dilindungi oleh hak cipta, tetapi tolak ukur untuk “ciptaan” adalah sebuah ciptaan orisinal dan ungkapan kreatif dari pemikiran atau perasaan, bukan hanya suatu bentuk ekspresi.
 
Jadi pada akhirnya, pengadilan yang akan menentukan apakah judul tersebut merupakan bagian yang substansial dari ciptaan tersebut atau tidak.
 
Contoh kasus
Salah satu contoh kasus karena adanya kesamaan judul adalah Ahmad Dhani vs Yudhistira Anm Massardi pada tahun 2002 silam. Judul lagu "Arjuna Mencari Cinta" dari album Cintailah Cinta milik Dewa 19 dianggap telah menjiplak karya yang diciptakan oleh Yudhistira Anm Massardi. Agar permasalahan ini tidak berlarut-larut, perusahaan rekaman tempat mereka bernaung lebih memilih jalur damai. Selengkapnya dapat dibaca dalam artikel Bila "Sang Arjuna" Dewa 19 Tersandung Hak Cipta dan Once: Dari Lawyer ke Rocker.
 
Contoh lain yang teranyar adalah film "Surat dari Praha" karya Sutradara Angga Dwimas Sasongko vs Yusri Fajar, yang menerbitkan buku berisi kumpulan cerpen "Surat dari Praha" pada 2012. Dalam artikelGlenn Fredly disomasi seorang dosen Universitas Brawijaya, yang kami akses dari situshttp://www.antaranews.comDosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya Malang Yusri Fajar melayangkan somasi terkait dugaan plagiasi terhadap buku miliknya yang difilmkan dengan judul yang sama, "Surat dari Praha". Dalam artikel lain, Sutradara belum terima somasi dugaan plagiat “Surat dari Praha”, dari situs yang sama, Angga Dimas membantah dengan menyatakan ide dan cerita film yang digarapnya berbeda dengan cerpen Yusri.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
1.    Tamotsu Hozumi, Asian Copyright Handbook Indonesian Version, Tokyo/Jakarta: Asia/Pacific Cultural Centre for UNESCO / Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), 2006.
2.    Tim Lindsey, et. al., Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: PT. Alumni, 2002.
3.    Glenn Fredly disomasi seorang dosen Universitas Brawijaya,yang diakses pada 4 Februari 2016 pukul 11.12.
4.    Sutradara belum terima somasi dugaan plagiat “Surat dari Praha”, yang diakses pada 4 Februari 2016 pukul 11.14.
 


[2] Pasal 1 angka 3 UUHC
[3] Pasal 40 ayat (1) UUHC