Jumat, 20 Maret 2015

Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum

Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(“KUHPerdata”), syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut:
 
 
SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
1.   Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
2.   Kecakapan para pihak dalam perjanjian
Syarat SUBJEKTIF
3.   Suatu hal tertentu
4.   Sebab yang halal
Syarat OBJEKTIF
 
Kecakapan para pihak merupakan salah satu syarat subjektif dari sahnya perjanjian. Dan yang termasuk tidak cakap oleh KUHPer adalah orang-orang yang belum cukup umur, orang-orang yang ditempatkan di bawah pengampuan dan wanita bersuami. Akan tetapi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963, seorang istri berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
 
Menurut Pasal 330 KUHPerdata yang belum cukup umur (dewasa) adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin sebelumnya. Jika belum berumur 21 namun telah menikah, maka dianggap telah dewasa secara perdata dan dapat mengadakan perjanjian.
 
Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.
 
Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).
 
Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Simak pula artikel Batalnya Suatu Perjanjian.
 
Jadi, bila perjanjian dibuat dengan anak di bawah umur, tidak serta merta membuat perjanjian tersebut batal demi hukum, tapi harus dimintakan pembatalannya ke Pengadilan Negeri.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad1847 No. 23)
 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b46e0113e026.jpg

73704 HITS
DI: HUKUM PERDATA
SUMBER DARI: BUNG POKROL
Share:

Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer

Pembatalan Sepihak Surat Pernyataan Diterima Sebagai Karyawan

Pernyataan diterima sebagai pegawai dianggap sebagai perjanjian sepihak. Oleh karena itu, menurut ketentuan di atas, maka perusahaan yang membuat pernyataan tersebut terikat akan pernyataan yang dibuatnya.
 
Maka, jika perusahaan yang membuat pernyataan tersebut membatalkan pernyataannya secara sepihak dan pembatalan tersebut ternyata merugikan rekan Saudara, maka rekan Saudara dapat menggugat perusahaan yang membuat pernyataan itu supaya membayar kerugian yang rekan saudara alami, sepanjang kerugian itu dapat dibuktikan.
 
Hanya saja gugatan tidak dapat melalui peradilan perdata khusus hubungan industrial karena permasalahan rekan Saudara belum memenuhi syarat hubungan kerja, tetapi rekan Saudara dapat mengajukan gugatan melalui peradilan perdata umum karena perusahaan yang membuat pernyataan tersebut, dapat dimaknai telah gagal memenuhi kewajibannya atau tidak bersedia memenuhi prestasinya yang mana hal tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
 
Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Terima kasih atas pertanyaan Saudara. Kami turut prihatin atas permasalahan yang dihadapi oleh rekan Saudara. Menjawab permasalahan di atas, dapat kami jelaskan demikian.
 
Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), hubungan kerja mensyaratkan adanya pekerjaan, upah dan perintah. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan, yang menyebutkan:
 
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah
 
Oleh karena itu, berdasarkan informasi yang Saudara jelaskan di atas, maka dapat dipahami, bahwa antara rekan Saudara dengan perusahaan yang mengeluarkan pernyataan diterima bekerja, belum dapat dikatakan telah terjadi hubungan kerja, sebab unsur pekerjaan, upah dan perintah, belum terpenuhi hanya berdasarkan lamaran dan pernyataan diterima bekerja.
 
Surat pernyataan tersebut juga tidak memenuhi makna perjanjian jika mengacu pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek (“BW”), yang menyebutkan:
 
Supaya terjadi perikatan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
1.    kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2.    kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.    suatu pokok persoalan tertentu;
4.    suatu sebab yang tidak terlarang.
 
Surat pernyataan tidak memenuhi makna perjanjian sebagaimana disyaratkan di atas karena surat pernyataan tidak dibuat bersama oleh pihak-pihak yang tercantum namanya di dalam surat pernyataan, tetapi hanya dibuat oleh yang menyatakan saja. Namun, surat pertanyaan tersebut dapat dimaknai sebagai suatu perikatan sepihak jika mengacu pada ketentuan Pasal 1313 BW, yang menyebutkan:
 
Suatu perikatan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih
 
Dikatakan perikatan sepihak karena perjanjian tersebut hanya mengikat satu pihak saja, yaitu yang membuat pernyataan menjanjikan sesuatu kepada pihak lain, tanpa menjelaskan adanya kewajiban dari pihak lain tersebut. Hal ini dijelaskan pula dalam ketentuan Pasal 1314 BW, yang menyebutkan:
 
Suatu perikatan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Suatu perikatan cuma-cuma adalah suatu perikatan, bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan. Suatu perikatan memberatkan adalah suatu perikatan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
 
Oleh karena itu, menurut ketentuan di atas, maka perusahaan yang membuat pernyataan tersebut terikat akan pernyataan yang dibuatnya. Jadi, menjawab pertanyaan-pertanyaan saudara, tidak ada larangan bagi orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, namun segala konsekuensi dari perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
 
Maka, jika perusahaan yang membuat pernyataan tersebut membatalkan pernyataannya secara sepihak dan pembatalan tersebut ternyata merugikan rekan Saudara, maka rekan Saudara dapat menggugat perusahaan yang membuat pernyataan itu supaya membayar kerugian yang rekan saudara alami, sepanjang kerugian itu dapat dibuktikan, hanya saja tidak melalui peradilan perdata khusus hubungan industrial karena permasalahan rekan Saudara belum memenuhi syarat hubungan kerja sebagaimana telah kami jelaskan di atas, tetapi rekan Saudara dapat mengajukan gugatan melalui peradilan perdata umum karena perusahaan yang membuat pernyataan tersebut, dapat dimaknai telah gagal memenuhi kewajibannya atau tidak bersedia memenuhi prestasinya yang mana hal tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1243 BW, yang menyebutkan:
 
Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan
 
Demikian dapat kami jelaskan, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
  

Dimintai Uang Saat Melamar Bekerja

ejabat atau pegawai yang meminta atau menerima sejumlah uang dalam seleksi penerimaan pegawai dapat dituntut dengan UU Pemberantasan Korupsi.

Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini.
 
 
Ulasan:
Kami berasumsi bahwa pejabat instansi yang Anda maksud termasuk sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.
 
Jika pejabat yang Anda maksud meminta sejumlah uang dengan memaksa, maka berdasarkan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”), pejabat tersebut bisa dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
 
 
Pasal 12 UU 20/2001:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a.    …;
b.    …;
c.    …;
d.    …;
e.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f.     …;
g.    …;
h.    …;
i.     ….
 
Jika jumlah uang yang diminta kurang dari Rp 5.000.000,00, maka ketentuan pidana Pasal 12 UU 20/2001 tidak berlaku. Pidana berlaku adalah pidana dalam Pasal 12A ayat (2) UU 20/2001, yaitu pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
 
Sebagai contoh, sebagaimana dikutip dari news.detik.com,pada Januari 2015 lalu Bareskrim Mabes Polri telah merampungkan penyidikan kasus dugaan suap dalam seleksi CPNS 2014 di Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan. Dalam perkara itu, seorang pelaksana harian Kepala Bagian Kepegawaian Kabupaten Musi Rawas Utara, M Rifai telah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan pelanggaran Pasal 12 huruf a atau Pasal 5 ayat 2, atau Pasal 11 dan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Jo Pasal 15 UU 20/2001 Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
 
Mengenai apa yang bisa dilakukan oleh Anda, Anda dapat melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib (Kepolisian Republik Indonesia atau Komisi Pemberantasan Korupsi, bergantung pada jabatan orang tersebut).
 
Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”), masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk:
a.    hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
b.    hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c.    hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d.    hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e.    hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1)    melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a, b, dan c UU 31/1999;
2)    diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
 
Kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi, Pemerintah memberikan penghargaan (Pasal 42 ayat (1) UU 31/1999).
 
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

  

Perbedaan dan persamaan Rutan dan Lapas

Dalam sistem hukum pidana Indonesia kita mengenal istilah Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Dengan kata lain, Rutan adalah bagian dari Lembaga Tahanan/Lembaga Penahanan. Sehingga, mungkin maksud pertanyaan Anda adalah perbedaan dan persamaan antara Rutan dengan Lapas.

Secara umum, Rutan dan Lapas adalah dua lembaga yang memiliki fungsi berbeda. Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara Rutan denganLapas:

Rutan
Lapas
Tempat tersangka/terdakwa ditahan sementara sebelum keluarnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap guna menghindari tersangka/ terdakwa tersebut melarikan diri atau mengulangi perbuatannya.
Tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
Yang menghuni Rutan adalah tersangka atau terdakwa
Yang menghuni Lapas adalah narapidana/terpidana
Waktu/lamanya penahanan adalah selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
Waktu/lamanya pembinaan adalah selama proses hukuman/menjalani sanksi pidana
Tahanan ditahan di Rutan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung
Narapidana dibina di Lapas setelah dijatuhi   putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap
 
Meski berbeda pada prinsipnya, Rutan dan Lapas memiliki beberapa persamaan. Kesamaan antara Rutan dengan Lapas di antaranya, baik Rutan maupun Lapas merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (lihat pasal 2 ayat [1] PP No. 58 Tahun 1999). Selain itu, penempatan penghuni Rutan maupun Lapas sama-sama berdasarkan penggolongan umur, jenis kelamin, dan jenis tindak pidana/kejahatan (lihat pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995 dan pasal 7 PP No. 58 Tahun 1999).

Sebagai tambahan, berdasarkan pasal 38 ayat (1) jo. Penjelasan PP No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP, Menteri dapat menetapkan Lapas tertentu sebagai Rutan. Kemudian, dengan adanya Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara, Lapas dapat beralih fungsi menjadi Rutan, dan begitu pula sebaliknya.

Berdasarkan pasal 18 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1983, di tiap kabupaten atau kotamadya dibentuk Rutan. Namun kondisi yang terjadi di Indonesia adalah tidak semua kabupaten dan kotamadya di Indonesia memiliki rutan dan Lapas, sehingga Rutan difungsikan pula untuk menampung narapidana seperti halnya Lapas. Hal ini juga mengingat kondisi banyak Lapas yang ada di Indonesia, berdasarkan informasi dari berbagai sumber, telah melebihi kapasitas, karenanya terdakwa yang telah menjalani hukuman di Rutan, yang seharusnya pindah dari Rutan untuk menjalani hukuman ke Lapas, banyak yang tetap berada di dalam Rutan hingga masa hukuman mereka selesai.

Dasar hukum:
  1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  2. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
  3. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP
  4. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan
  5. Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara
 

Syarat-syarat Penangguhan Penahanan

Terkait dengan penangguhan penahanan, dapat kita lihat ketentuan yang mengaturnya dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,  (“KUHAP”) yang berbunyi atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.

Dengan demikian, untuk seseorang mendapat penangguhan penahanan, harus ada:
a.        Permintaan dari tersangka atau terdakwa;
b.        Permintaan penangguhan penahanan ini disetujui oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim yang menahan dengan atau tanpa jaminan sebagaimana ditetapkan;
c.        Ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan.

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan (hal. 215) menjelaskan bahwa salah satu perbedaan antara penangguhan penahanan dengan pembebasan dari tahanan, terletak pada “syarat”. Faktor ini merupakan “dasar” atau landasan pemberian penangguhan penahanan. Sedang dalam tindakan pembebasan, dilakukan “tanpa syarat”, sehingga tidak merupakan faktor yang mendasari pembebasan. Menurut Yahya, penetapan syarat ini merupakan conditio sine quanon dalam pemberian penangguhan. Sehingga, tanpa adanya syarat yang ditetapkan lebih dulu, penangguhan penahanan tidak boleh diberikan.

Mengenai syarat penangguhan penahanan ini selanjutnya dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 31 ayat (1) KUHAP yaitu, tersangka/terdakwa:
-           wajib lapor;
-           tidak keluar rumah;
-           tidak keluar kota.
Itulah syarat yang dapat ditetapkan dalam pemberian penangguhan penahanan. Contohnya adalah dengan membebankan kepada tahanan untuk “melapor” setiap hari, satu kali dalam setiap tiga hari atau satu kali seminggu, dan sebagainya. Atau pembebanan syarat bisa berupa tidak keluar rumah maupun tidak keluar kota.

Lebih jauh, dalam PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP diatur bahwa dalam permintaan penangguhan penahanan, ada jaminan yang disyaratkan yang bisa berupa:
1.        Jaminan Uang (Pasal 35).
-      Jaminan uang ini ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan disimpan di kepaniteraan pengadilan negeri.
-      Penyetoran uang jaminan ini dilakukan sendiri oleh pemohon atau penasihat hukumnya atau keluarganya dan untuk itu panitera memberikan tanda terima.
-      Penyetoran ini dilakukan berdasar “formulir penyetoran” yang dikeluarkan instansi yang bersangkutan.
-      Bukti setoran ini dibuat dalam rangkap tiga sesuai ketentuanangka 8 huruf f Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983Tembusan tanda penyetoran tersebut oleh panitera disampaikan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan untuk menjadi dasar bagi pejabat yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat penetapan penangguhan penahanan.
-      Apabila kemudian tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah melewati waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik negara dan disetor ke Kas Negara.

2.        Jaminan Orang (Pasal 36).
-      Orang penjamin bisa penasihat hukumnya, keluarganya, atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan tahanan.
-      Penjamin memberi “pernyataan” dan kepastian kepada instansi yang menahan bahwa dia “bersedia” dan bertanggung jawab memikul segala risiko dan akibat yang timbul apabila tahanan melarikan diri.
-      Identitas orang yang menjamin harus disebutkan secara jelas.
-      Instansi yang menahan menetapkan besarnya jumlah uang yang harus ditanggung oleh penjamin, yang disebut “uang tanggungan” (apabila tersangka/terdakwa melarikan diri).
-      Pengeluaran surat perintah penangguhan didasarkan atas surat jaminan dari si penjamin.

Timbulnya kewajiban orang yang menjamin menyetor uang tanggungan yang ditetapkan dalam perjanjian penangguhan penahanan:
a.      Apabila tersangka/terdakwa melarikan diri;
b.      Dan setelah lewat 3 bulan tidak ditemukan;
c.      Penyetoran uang tanggungan ke kas Negara dilakukan oleh orang yang menjamin melalui panitera Pengadilan Negeri;
d.      Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang ditentukan tersebut, jurusita menyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke Kas Negara melalui panitera pengadilan negeri.

Jadi, untuk seseorang tersangka/terdakwa dapat ditangguhkan penahanannya, perlu dipenuhi syarat-syarat dan ada jaminan yang harus diberikan sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Namun, hal-hal yang disebutkan di atas adalah dalam ranah normatif dan dapat berbeda dengan praktiknya di lapangan. Pada praktik di lapangan, seperti ditulis dalam artikel Penangguhan Penahanan Dengan Uang Jaminan Perlu Diperjelas, penangguhan penahanan tersangka atau terdakwa dengan jaminan uang sangat berbeda dari yang diatur di dalam KUHAP serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Misalnya saja, pihak panitera pengadilan negeri tidak pernah memberikan tanda terima atas penyerahan uang jaminan yang diberikan pihak tersangka atau kuasa hukumnya. Selain itu, seperti dikatakan advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang dikutip dalam artikel tersebut, uang jaminan atas penangguhan penahanan yang diberikan sebelumnya, seringkali tidak pernah dikembalikan kepada pihak yang memberikannya meski terdakwa kemudian dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
3.      Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983