Jumat, 20 Maret 2015

Hal-Hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak

undang-undang terbaru yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) yang mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam Ketentuan Penutupnya (Pasal 108 UU SPPA). Artinya UU SPPA ini mulai berlaku sejak 31 Juli 2014.
 
UU SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”) yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. UU Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.
 
Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Demikian antara lain yang disebut dalam bagian Penjelasan Umum UU SPPA.
 
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
 
Berikut kami rangkum hal-hal penting yang diatur dalam UU SPPA:
 
1.    Definisi Anak di Bawah Umur
UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a.    Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
b.    Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU SPPA); dan
c.    Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU SPPA)
 
Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.
 
2.    Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) danPidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.
a.    Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU SPPA):
    Pengembalian kepada orang tua/Wali;
    Penyerahan kepada seseorang;
    Perawatan di rumah sakit jiwa;
    Perawatan di LPKS;
    Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
    Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
    Perbaikan akibat tindak pidana.
 
b.    Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan(Pasal 71 UU SPPA):
Pidana Pokok terdiri atas:
·         Pidana peringatan;
·         Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
·         Pelatihan kerja;
·         Pembinaan dalam lembaga;
·         Penjara.
 
Pidana Tambahan terdiri dari:
·         Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
·         Pemenuhan kewajiban adat.
 
Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: (lihat Pasal 21 UU SPPA)
a.    menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b.    mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
 
3.    Hak-hak Anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)
a.    diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b.    dipisahkan dari orang dewasa;
c.    memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d.    melakukan kegiatan rekreasional;
e.    bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f.     tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g.    tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h.    memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i.      tidak dipublikasikan identitasnya;
j.     memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
k.    memperoleh advokasi sosial;
l.      memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n.    memperoleh pendidikan;
o.    memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p.    memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak atas:
a.    Remisi atau pengurangan masa pidana;
b.    Asimilasi;
c.    Cuti mengunjungi keluarga;
d.    Pembebasan bersyarat;
e.    Cuti menjelang bebas;
f.     Cuti bersyarat;
g.    Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
 
4.    Penahanan
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
 
5.    Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban
UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya [lihat Pasal 58 ayat (3) UU SPPA].
 
6.    Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah dilakukan.
 
Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di pengadilan (Pasal 23 UU SPPA). Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi oleh orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial dalam setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak pidana, maka orang tua/Walinya tidak wajib mendampingi (Pasal 23 Ayat (3) UU SPPA).
 
7.    Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61 UU Pengadilan Anak.
 
Walaupun demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama mengatur bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun (Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU Pengadilan Anak).

Jerat Hukum Pelaku Bullying Terhadap Anak

elaku bullying terhadap anak dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) yakni pasal tentang perlakuan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak.
 
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Bullying merupakan suatu aksi atau serangkaian aksi negatif yang seringkali agresif dan manipulatif, dilakukan oleh satu atau lebih orang terhadap orang lain atau beberapa orang selama kurun waktu tertentu, bermuatan kekerasan, dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan. Pelaku biasanya mencuri-curi kesempatan dalam melakukan aksinya, dan bermaksud membuat orang lain merasa tidak nyaman/terganggu, sedangkan korban biasanya juga menyadari bahwa aksi ini akan berulang menimpanya. Demikian antara lain yang dijelaskan dalam artikel Bullying Pada Institusi Pendidikan Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum yang kami akses dari laman resmi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron.
 
Anda spesifik bertanya soal bullying terhadap anak. Melihat dari bagaimana bullying itu dilakukan, maka Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”)telah mengatur bahwa setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak. Bagi yang melanggarnya akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah) [lihat Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014].
 
Pasal 80 UU 35/2014:
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
 
Praktiknya, bullying kerap dialami anak di lingkungan sekolahnya.Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Raykat (Menko Kesra)saat itu dijabat- HR. Agung Laksono dalam artikel Menko Kesra: Anak Muda Sulit Diingatkan, Banyak Kasus Bullying Di Sekolahyang kami akses dari laman resmi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat mengatakan banyaknya kasus bullying di sekolah akibat tontonan TV yang tidak mendidik. Tontonan TV kerap menampilkan adegan-adegan kekerasan yang seharusnya disensor untuk anak-anak.
 
Jika bullying ini dilakukan di lingkungan pendidikan, maka kita perlu melihat juga Pasal 54 UU 35/2014 yang berbunyi:
 
(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.
 
Ini artinya, sudah sepatutnya peserta didik di sekolah mendapatkan perlindungan dari perilaku bully yang berupa tindak kekerasan fisik maupun psikis.
 
Apabila bullying itu dilakukan pada masa diselenggarakannya perpeloncoan di sekolah atau yang dikenal dengan nama Masa Orientasi Sekolah (MOS), dasar hukum yang mengaturnya adalah Surat Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 1383/C.C4/MN/2010 tentang Pelaksanaan MOS yang antara lain mengatakan bahwa agar kegiatan MOS berjalan sesaui dengan yang diharapkan dan tidak terjadi bias, seperti adanya bullying, perpeloncoan, pemalakan, dan hal-hal negatif lainnya; maka seluruh kegiatan MOS dilaksanakan, dibimbing, dan diawasi guru. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Bolehkah Kakak Kelas Menghukum Adik Kelas?.
 
Walaupun atas tindak kekerasan tersebut ada sanksi pidana, bagaimanapun juga, menurut hemat kami, pilihan jalur tuntutan pidana hendaknya dijadikan upaya hukum terakhir setelah upaya perdamaian telah dilakukan. Sebagai contoh adalah dengan melalui jalur mediasi antara pelaku bullying dengan korban. Dalam artikel Kronologi "Bullying" di SMA Don Bosco diberitakan soal pengakuan korban yakni siswa baru yang diminta duduk dan menunduk. Satu per satu wajah siswa ditutup menggunakan jaket. Kemudian, di antara mereka ada yang mengalami tindak kekerasan, antara lain ditempeleng, dipukul, dan disundut rokok.
 
Pihak sekolah telah mengundang semua orangtua murid yang menjadi korban dan siswa senior sebagai pelaku bullying yang diduga terkait untuk melakukan mediasi. Pihak sekolah mencoba mengonfrontasi dan mencocokkan informasi berdasarkan keterangan korban.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
2.    Surat Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 1383/C.C4/MN/2010 tentang Pelaksanaan MOS.
 
Referensi:

Bocah Usia 16 Tahun Dihukum Mati, Tersangkanya Malah Lari

Vonis hukuman mati terhadap anak berusia 16 tahun, Yus­man Telaumbanua oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Pulau Nias mendapat sorotan kalangan aktivis. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai keputusan tersebut penuh rekayasa dan melanggar UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 

 Kepala Divisi Pembelaan Hak Asasi Politik Kontras, Putri Kanesia mengatakan, telah ter­jadi maladministrasi dalam proses penyidikan di Polres Nias, Sumatera Utara di mana data diri Yusman dipalsukan. Akibatnya, majelis hakim memberikan vonis hukuman mati kepada Yusman yang baru berusia 16 ta­hun itu atas dakwaan melakukan pembunuhan berencana. 

"Bagi anak yang diancam hu­kuman pidana mati atau seumur hidup itu justru hukumannya tidak boleh sampai 10 tahun, karena memang melanggar hak anak. Yang lain pada saat proses pengadilan berlangsung ada penasehat hukum yang disediakan. Tapi, dalam pledoinya penasehat hukum justru meminta kepada majelis hakim untuk menjatuhkan pidana mati, karena dianggap melanggar hak hidup orang lain," katanya di Jakarta, kemarin. 

Putri menegaskan, vonis ha­kim terhadap Yusman tidak ses­uai dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Dia mengatakan, anak yang bermasalah dengan hukum tidak boleh dikenakan hukuman mati. Apalagi, dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak hukuman pidana anak tidak boleh melebihi 10 tahun. 

Selain itu, pihaknya menemukan, selama proses pemeriksaan penyidik Polres Nias telah melakukan pemalsuan data terkait usia Yusman. "Selain itu, selama proses hukum berlang­sung, tidak ada satupun saksi dalam peristiwa pembunuhan tersebut yang menunjukkan keterlibatan kedua orang terdakwa sehingga keterangan dalam proses hukum hanya didasarkan pada pengakuan kedua orang terdakwa," tuturnya. 

Kontras, terangnya, mencatat sejumlah bukti bahwa telah terjadi rekayasa kasus terhadap Yusman. Di antaranya, tidak adanya pendampingam hukum terhadap terdakwa pada saat proses pemeriksaan di tingkat penyidikan, mengingat terdakwa disangkakan dengan pasal yang ancaman hukumannya di atas lima tahun penjara dan maksimal adalah hukuman mati. 

Selain itu, adanya tindakan penyiksaan oleh aparat penegak hukum, agar tersangka men­gakui perbuatannya, keengganan aparat penyidik untuk menggali fakta-fakta peristiwa dari alat bukti lainnya. 

"Hingga tidak adanya pener­jemah bahasa mulai dari proses penyidikan hingga proses per­sidangan berlangsung mengin­gat terdakwa tidak cakap dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar," katanya. 

Putri menambahkan, pihaknya akan mengadukan kasus ini ke Komisi Yudisial, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Mabes Polri dengan sangkaan dugaan rekayasa kasus. 

Rencananya, Kontras akan menggugat agar keputusan terse­but dianulir. "Karena dalam proses pemeriksaan, penyidik telah melakukan pemalsuan data, serta selama proses hukum tidak ada satu saksi, dan tidak ada pendamping kuasa hukum terhadap kedua orang terdakwa tersebut," kata Koordinator Kontras, Haris Azhar. 

Kata Haris, sebenarnya penyidik Polres Gunungsitoli sudah mengantongi beberapa nama Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 2012 dan sudah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Amosi Hia, Ama Pasti Hia, Ama Fandi Hia, dan Jeni. 

Di tempat terpisah, Wakapolri Komjen Badrodin Haiti menya­takan, akan mengecek terlebih dahulu mengenai kasus huku­man mati terhadap seorang warga Nias bernama Yusman Telaumbanua. "Saya belum tahu persis kronologisnya. Saya be­lum sempat cek ke penyidiknya. Tetapi, kalau sudah divonis hukuman mati, itu kan sudah melalui proses penyidikan dan penuntutan dan persidangan," ujarnya di Jakarta, kemarin. 

Untuk diketahui, Yusman Telaumbanua dan Rasulah Hia divonis mati PN Negeri Gunungsitoli, Pulau Nias pada Mei 2013 atas tuduhan pembunuhan­berencana terhadap tiga orang pada 24 April 2012.

Rabu, 18 Maret 2015

Hukum Pembuatan E-Book dan Audio Book untuk Penyandang Disabilitas

ada dasarnya jika buku yang mau diadaptasi menjadi e-book atauaudio book adalah milik Pencipta lain, maka Anda harus meminta izin dari Pencipta tersebut.
 
Walaupun demikian, memang ada pengaturan bahwa tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika pembuatan dan penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasitidak bersifat komersial dan/atau menguntungkan Pencipta atau pihak terkait, atau Pencipta tersebut menyatakan tidak keberatanatas pembuatan dan penyebarluasan tersebut.
 
Selain itu fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.
 
Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Salam juga. Terima kasih atas pertanyaannya.
 
Terkait pertanyaan Anda, kami menangkap bahwa yang Anda ingin lakukan adalah memproduksi atau mengubah buku menjadi buku elektronik (e-book) dan buku suara (audio book) untuk kegiatan non komersial.
 
Mari kita lihat dulu definisi e-book dan audio bookE-book adalah buku dalam bentuk digital, sedangkan audio book adalah rekaman suara dari pembacaan suatu buku.
 
Sebelum masuk pada pembahasan lebih dalam, kita bisa melihat apa saja Ciptaan yang dilindungi menurut Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC 2014”). Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
a.    buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b.    ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
c.    alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d.    lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
e.    drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f.     karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
g.    karya seni terapan;
h.    karya arsitektur;
i.      peta;
j.     karya seni batik atau seni motif lain;
k.    karya fotografi;
l.      Potret;
m. karya sinematografi;
n.    terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
o.    terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;
p.    kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;
q.    kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;
r.     permainan video; dan
s.    Program Komputer.
 
Melihat pada uraian mengenai apa saja yang termasuk Ciptaan sebagaimana disebut di atas, dapat dilihat bahwa buku merupakan salah satu Ciptaan yang dilindungi, begitupula adaptasi. Dalam bagianPenjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf n UUHC 2014 disebutkan yang dimaksud dengan "adaptasi" adalah mengalihwujudkan suatu Ciptaan menjadi bentuk lain.
 
Oleh karena itu, e-book dan audio book juga merupakan Ciptaan yang dilindungi karena merupakan adaptasi dari ciptaan awal berbentuk buku yang masing-masing memiliki hak cipta sendiri setelah diwujudkan dalam bentuk nyata. Hal ini juga sebagaimana disebutkan dalam Pasal 40 ayat (2) UUHC 2014 yang menyatakan: Ciptaan sebagaimana dimaksud padaayat (1) huruf n (salah satunya adaptasi – ed.) dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
 
Tak seperti Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC 2002), UUHC 2014 telah menegaskan pemberian hak eksklusif kepada Pencipta untuk melakukan pengadaptasian atas karya Ciptaannya dan orang lain yang ingin melakukan pengadaptasian atas Ciptaan tersebut harus meminta izin dari Pencipta.
 
Pasal 9 ayat (1) butir d menyatakan: “Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan pengadaptasianpengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan”. Sedangkan Pasal 9 ayat (2) menyebutkan:“Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.”
 
Jika Anda adalah Pencipta buku sekaligus e-book dan audio-book maka perlindungan hak cipta terhadap Ciptaan Anda tersebut sama dengan Ciptaan berupa karya tulis lainnya karena hak untuk mengalihwujudkannya melekat pada diri anda sebagai Pencipta. Akan tetapi, jika e-book atauaudio book yang dihasilkan merupakan adaptasi dari buku karya Pencipta/Pemegang Hak Cipta lain maka anda wajib mendapatkan izin terlebih dahulu dari Pencipta/Pemegang hak cipta buku tersebut.
 
Ini karena ada dua hak eksklusif yang dimiliki Pencipta terhadap ciptaannya, yaitu Hak Moral dan Hak Ekonomi (Pasal 4 UUHC 2014).
 
Lebih jauh lagi mengenai audio book yang merupakan rekaman suara, maka audio book termasuk juga dalam kategori Fonogram. Pasal 1 angka 14 UUHC 2014 menyatakan: Fonogram adalah Fiksasi suara pertunjukan atau suara lainnya, atau representasi suara, yang tidak termasuk bentuk Fiksasi yang tergabung dalam sinematografi atau Ciptaan audiovisual lainnya. Audio book sebagai Fonogram memunculkan hak lain yaitu, Hak Terkait.
 
Hak terkait sebagai hak eksklusif diatur dalam Pasal 20 huruf c UUHC 2014. Ini merupakan hak ekonomi Produser Fonogram. Yang dimaksud dengan Produser Fonogram adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman pertunjukan maupun perekaman suara atau bunyi lain (Pasal 1 angka 7 UUHC 2014).
 
Jika Anda melakukan perekaman, maka sebagai Produser Fonogram, Anda memiliki hak ekonomi juga sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 angka (2) UUHC 2014, yaitu meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan:
a.    penggandaan atas Fonogram dengan cara atau bentuk apapun;
b.    pendistribusian atas Fonogram asli atau salinannya;
c.    penyewaan kepada publik atas salinan Fonogram; dan
d.    penyediaan atas Fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat diakses publik.
 
Masa perlindungan untuk hak ekonomi Produser Fonogram ini berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Fonogramnya difiksasi.
 
Terkait dengan pemanfaatan e-book/audio book yang merupakan karya Adaptasi untuk kepentingan non-komersial dan penyandang disabilitas, mengingat karya Adaptasi memiliki hak cipta sendiri terpisah dari Ciptaan aslinya, maka bagian terpenting dalam hal ini adalah memperoleh izin dari Pencipta/Pemegang Hak Cipta yang menghasilkan bukunya jika buku yang diubah menjadi e-book/audio book adalah ciptaan orang/pihak lain.
 
Perlu diketahui juga bahwa dalam UUHC 2014 telah juga diatur mengenai Pembatasan Hak Cipta pada Pasal 43 huruf d yang menyatakan bahwa perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta meliputi: pembuatan dan penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersialdan/atau menguntungkan Pencipta atau pihak terkait, atau Pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut.
 
Kemudian UUHC 2014 juga menyatakan dalam Pasal 44 ayat (2) bahwa fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.
 
Dalam bagian Penjelasan Pasal 44 ayat (2) UUHC 2014 disampaikan bahwa yang dimaksud dengan "fasilitasi akses atas suatu Ciptaan" adalah pemberian fasilitas untuk melakukan penggunaan, pengambilan, penggandaan, pengubahan format, pengumuman, pendistribusian, dan/atau Komunikasi suatu Ciptaan secara seluruh atau sebagian yang substansial. Memang ada sedikit bagian yang kurang dalam bagian penjelasan ini, di mana “pengadaptasian” tidak termasuk di dalamnya melainkan “pengubahan format”. Akan tetapi, di atas segalanya, hal terpenting yang harus digarisbawahi dalam pengalihwujudan suatu Ciptaan untuk keperluan non-komersial, dalam hal ini e-book dan audio book, seperti telah disebutkan di atas tadi adalah memperoleh izin dari Pencipta/Pemegang Hak Cipta buku yang ingin diadaptasi.
 
Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
  

Syarat – syarat peralihan hak karena Hibah (umum)

Syarat – syarat peralihan hak karena Hibah (umum) :
1. Sertifikat
2. Salinan Akta sebelumnya
3. SPPT & STTS PBB ( 5 tahun terakhir )
4. KTP suami istri (pemberi hibah)
5. pernyataan belum kawin (pemberi hibah)
6. Surat pernyataan dan pasal 99
7. Bukti setor BPHTB
8. Syarat Pengurusan Peralihan Hak karena Bagi Waris :
9. Sertifikat
10. Salinan Akta sebelumnya
11. SPPT & STTS PBB ( 5 tahun terakhir)
12. Surat keterangan silsilah waris
13. KTP ahli waris (pemberi hak waris)
14. KTP ahli waris (penerima hak waris)
15. Bukti setor BPHTB

Syarat – syarat Pengurusan Peralihan Hak karena Hibah (orangtua ke anak)

Syarat – syarat Pengurusan Peralihan Hak karena Hibah (orangtua ke anak)
1. Sertifikat
2. Salinan Akta sebelumnya
3. SPPT PBB & STTS PBB ( 5 tahun terakhir)
4. KTP Suami/istri (pemberi hibah)
5. Surat Hibah (pemberi hibah)
6. Kartu Keluarga (pemberi hibah)
7. Akta kelahiran (penerima hibah)
8. KTP (penerima hibah)
9. Surat pernyataan pasal 99 (penerima hibah)
10. Bukti bayar BPHTB 50 % ( NJOP – Tidak kena pajak) x 5 % )

Syarat Pengurusan Peralihan Hak karena jual beli ( Tanah bekas milik Adat )

Syarat Pengurusan Peralihan Hak karena jual beli ( Tanah bekas milik Adat ) :
1. Salinan letter C / petok desa / kikitir yang diketahui oleh kepala desa
2. Warkah dari Desa (Riwayat Tanah, surat pernyataan penguasaan fisik, surat pernyaan tidak sengketa, belum pernah memiliki sertipikat sebelumnya)
3. SPPT PBB & STTS PBB ( 5 tahun terakhir)
4. KTP suami istri (penjual)
5. Surat Nikah (penjual)
6. Kartu keluarga (penjual)
7. NPWP penjual
8. KTP pembeli
9. Bukti bayar BPHTB
10. Bukti bayar PPH
11. Kwitansi jual beli