Sabtu, 14 Maret 2015

Sikapi PPP dan Golkar, KMP Tuding Menkumham Standar Ganda

Sejumlah fraksi partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih di parlemen memberikan penilaian terhadap Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly melakukan standar ganda dalam menangani dua partai, Golkar dan PPP. Hal itu diungkapkan Sekretaris Fraksi Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie di DPR, Bambang Soesatyo saat membacakan pernyataan bersama fraksi yang tergabung dalam KMP.

“Kami mengingatkan Menkumham Laoly bahwa negara ini negara hukum, bukan negara kekuasaan. Sebagai menteri hukum, seharusnya Laoly bertindak hati-hati tidak melawan hukum dan tidak menabrak Undang-Undang,” ujarnya di Gedung DPR, Jumat (13/3).

Menurut Bambang, tindakan Menkumham yang menerbitkan Surat Keputusan (SK) kepengurusan PPP kubu Romahurmuzy yang melanggar aturan. Laoly pun menyatakan banding atas putusan PTUN yang membatalkan SK atas kepengurusan PPP kubu Romy. Hal itu dinilai KMP tindakan tercela seorang menteri yang tidak patuh hukum. Sebaliknya, PPP di bawah kepengurusan Djan Faridz sudah sesuai dengan AD/ART, keputusan MP, keputusan Majelis Syariah dan memenangkan atas gugatan PTUN. Namun Laoly tak juga menerbitkan SK.

Sama halnya dengan Golkar. Menurutnya, dalam putusan MP Golkar tidak memenangkan salah satu kubu, baik kubu Aburizal Bakrie maupun kubu Agung Laksono. Dikatakan Bambang, Ketua MP Golkar Muladi menyatakan keheranannya. Sebab, isi keputusan MP Golkar yang dikutip Laoly salah dan manipulatif.

“Kami menduga ada pihak yang mencoba mengambil keuntungan politik. Mengail air keruh jika Golkar dan PPP terus berkonflik,” kata anggota Komisi III itu.

Ketua Fraksi Golkar Ade Komarudin menambahkan, langkah yang dilakukan Menkumham dinilai banyak melawan hukum dan tidak menjunjung negara hukum. Laoly dinilai mengedepankan negara kekuasaan. Pasalnya, konflik internal partai dapat diselesaikan dengan Pasal 32 UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Namun jika tidak dapat selesai, maka penyelesaikan konflik dilakukan melalui Pengadilan Negeri sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat (1).

Pasal 33 ayat (1) menyebutkan, Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri”.Hal itu pula yang kini diajukan oleh Golkar kubu Aburizal Bakrie. Namun, belumada putusan tetap dari pengadilan, Laoly justru mengumumkan kubu Agung yang diterima pemerintah.

“Kita mengingatkan saudara Laoly, kita pandang banyak sekali langkah yang diambil tidak sesuai hukum,” ujar anggota komisi XI itu.

Sekjen PPP kubu Djan Faridz, Achmad Dimyati Natakusuma berpandangan semestinya Menkumham Laoly memberikan pengayoman dan bersikap netral dalam menyikapi konflik internal partai. Namun langkah Laoly seolah melakukan politik adu domba. Itu pula Dimyati menilai Laoly sebagai menteri telah melaklukan penyalahgunaan kekuasaan.

Anggota Komisi I DPR itu berharap bakal ada koreksi dan evaluasi terhadap tindakan Menkumham oleh Presiden Joko Widodo. Dimyati yakin, langkah Laoly tanpa persetujuan dari Presiden selaku pimpinan negara. Ia berpandangan terhadap siapa pun, tidak terkecuali pejabat negara yang melanggar UU dan konstitusi mesti dilawan. “Laoly ini melawan UU, Laoly gatel banget pengen membuat keputusan. Menteri ini problem, kami tidak percaya lagi dengan menteri Laoly,” katanya.

Di tempat yang sama, Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwani menyesalkan sejumlah langkah Laoly dalam menyikapi konflik internal di tubuh Partai Golkar dan PPP. Langkah Laoly dinilai membuat perjalanan demokrasi mundur ke belakang. Bahkan, pemasungan terhadap sendi demokrasi. Sebaliknya, Menkumham semestinya membuat dan menciptakan kondisi yang kondusif di balik kekisruhan internal kedua partai tersebut.

Lebih jauh, Jazuli berpandangan persoalan negara, khusunya hukum dan ekonomi sudah merambat. Perekonomian mulai terpuruk sejak nilai tukar rupiah anjlok terhadap dolar Amerika. Nah, atas persoalan tersebut menteri Laoly semestinya tak membuat keruh dengan menambah persoalan.

“Persoalan yang terjadi dalam Parpol dan intervensi terhadap Parpol menjadi persoalan bangsa. Kami menghimbau Menkumham bersikap arif dan bijaksana serta objektif sesuai UU, dan tidak bersikap standar ganda. Menkumham telah melakukan standar ganda,” katanya.

Sekretaris Fraksi Gerindra, Fary Djemi Francis mengatakan keprihatinannya terhadap sikap Menkumham Laoly yang tidak bersikap netral dan bijak. Ia pun meminta Presiden Jokowi tak tinggal diam mengatasi kondisi politik yang karut marut. “Kita akan maju dan memberikan dukungan terhadap Golkar dan PPP,” katanya.

Gunakan hak anggota dewan

Selain mendorong Presiden Jokowi, fraksi yang tergabung dalam KPM akan menggelontorkan penggunaan hak anggota dewan. Semisal, hak menyatakan pendapat, dan hak angket. Francis pun dari fraksinya mendorong agar anggota dewan menggunakan hak angket. “Kami mendukung untuk menggunakan hak angket,” katanya.

Ade Komarudin menambahkan, sebagai anggota dewan berhak menggunakan haknya untuk menanyakan langkah kebijakan yang ditempuh pemerintah, khususnya Menkumham. Namun, soal apakah akan menggunakan hak angket atau interpelasi, Ade menilai menunggu perkembangan beberapa hari ke depan. Pasalnya, DPR sedang masa reses.

Bambang Soesatyo menambahkan, pihaknya telah membuat draf dokumen untuk menggelontorkan hak angket di masa sidang berikutnya. Menurutnya, pihaknya akan melihat perkembangan ke depan. Jika tidak ada proses evaluasi maupun koreksi oleh Menkumham, maka Bambang bakal menggalang penggunaan hak angket kepada anggota dewan.

“Tapi kita lihat perkembangannya sampai tanggal 23 Maret nanti. Kalau tidak ada perkembangan dengan begal politik ini, kami akan gelontorkan hak angket,” pungkasnya.
 
 
 

Buruh Tolak Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Serikat buruh menolak rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Menurut Presiden KSPI, Said Iqbal, rencana itu patut ditolak karena selama ini BPJS Kesehatan belum bisamemberi pelayanan optimal kepada peserta. Misalnya, masih banyak peserta yang harus mengantri panjang untuk mendapat pelayanan dan ditolak fasilitas kesehatan seperti RS. Bahkan, ada peserta yang terpaksa membeli obat sendiri.

“Selain pelayanan, manfaat yang diterima peserta juga tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang. Perintah Undang-Undang kan jelas biaya yang ditanggung itu tidak terbatas dan pelayanan diberikan seumur hidup,” kata Iqbal dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (13/3).

Iqbal melihat salah satu penyebab tidak optimalnya pelayanan BPJS Kesehatan karena sistem INA-CBGs. Sistem pembayaran paket kepada RS itu dinilai menghambat peserta memperoleh manfaat sebagaimana amanat UU SJSN dan BPJS. Misalnya, peserta yang mengalami tifus harus dirawat inap tujuh hari. Jika lebih dari tujuh hari peserta belum sembuh maka harus pulang.

Kemudian, Iqbal mempersoalkan jaringan fasilitas kesehatan (faskes) BPJS Kesehatan yang mengutamakan milik pemerintah. Sementara faskes swasta yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan jumlahnya terbatas. Padahal, jaringan faskes itu harus diperluas karena sekarang peserta BPJS Kesehatan jumlahnya mendekati 138 juta orang.

“Kami menuntut agar berbagai persoalan itu dibenahi terlebih dulu sebelum iuran BPJS Kesehatan dinaikan. Kalau tuntutan itu tidak diperhatikan maka akan muncul perlawanan mulai dari kampanye penolakan kenaikan iuran sampai pemogokan kerja,” ujar Iqbal.

Iqbal mengingatkan, pada kampanye Pilpres 2014 pasangan Joko Widodo Jusuf Kalla menjanjikan akan memperbaiki pelayanan kesehatan. Sayangnya, walau wacana itu masuk dalam Nawa Cita tapi sampai sekarang belum terimplementasi. Sebab dalam APBN-P 2015 tidak terlihat ada agenda untuk memperbaiki pelayanan kesehatan tersebut.

Padahal, dikatakan Iqbal, ketika pemerintah mencabut anggaran BBM bersubsidi harusnya ada tambahan anggaran untuk meningkatkan program jaminan kesehatan. Misalnya, kenaikan iuran dan perluasan peserta penerima bantuan iuran (PBI). Pemerintah malah berencana menarik uang rakyat lewat kenaikan iuran BPJS Kesehatan. “Kami menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan sistem INA-CBGs,” tukasnya.

Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan sedang dalam pembahasan untuk penyesuaian iuran PBI tahun 2016. Sampai saat ini belum diputuskan apakah kenaikan iuran itu untuk semua jenis peserta atau tidak. Tapi yang jelas besaran iuran PBI sebagai patokan dasar paling bawah.

Irfan menjelaskan yang mengusulkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu DJSN dan dibahas lintas kementerian. Hasil pembahasan itu akan dimasukan oleh pemerintah jadi bagian dari APBN untuk dibahas di DPR. BPJS Kesehatan bertugas menyiapkan data, pertimbangan dan perhitungannya.

Terkait besaran kenaikan iuran itu, Irfan menyebut BPJS Kesehatan berharap besaran iuran sesuai dengan manfaat yang diperoleh peserta. “Iuran yang sesuai dengan nilai keekonomian dan kewajaran. Harus sinkron dan sejalan antara paket manfaat yang ditetapkan, tarif untuk faskes dan besaran iuran,” jelasya kepada hukumonline lewat pesan singkat, Jumat (13/3).

Direktur Lembaga Analisis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan, Elkape, German E Anggent, menilai  iuran PBI sudah semestinya naik karena tidak sesuai dengan harga keekonomian. Ia mencatat besaran iuran PBI sebagaimana usulan DJSN yakni Rp27.500 dinilai sudah memadai. Selain menaikan besaran iuran jumlah peserta PBI juga harus diperbanyak. “Kalau itu dilakukan kami yakni BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit,” paparya kepadahukumonline di Jakarta, Jumat (13/3).

Walau mendukung kenaikan iuran PBI, German menolak jika besaran iuran untuk pekerja formal dan peserta mandiri dinaikan. Sebelum itu dinaikan, BPJS Kesehatan harus mengoptimalkan pelayanannya. Kemudian mendorong agar peserta dari pekerja sektor formal atau penerima upah semakin meningkat dan rutin membayar iuran.

Tak ketinggalan German juga mengusulkan agar batas atas (plafon) iuran untuk peserta penerima upah dinaikan dari 2 kali PTKP jadi 4 kali PTKP. Ketika itu dilakukan maka dalam periode tertentu harus ada evaluasi untuk menaikan plafon tersebut karena idealnya 7 PTKP.

Bahasa Hukum: Seponering atau Deponering

Penggunaan istilah acapkali menimbulkan perdebatan. Apalagi bagi kalangan akademisi dan praktisi hukum. Sebab, suatu istilah hukum punya makna tertentu dan kadang membawa akibat hukum tertentu. Tidak mengherankan jika orang salah mengartikan putusan hakim yang membebaskan terdakwa dengan menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum.

Perbedaan pandangan acapkali muncul ketika hendak menafsirkan istilah asing. Itulah yang terjadi ketika belakangan hukumonline menggunakan istilah seponering. Seorang pengacara senior malah menuduh hukumonline salah karena hukum Indonesia tak mengenal istilahseponering. Yang benar, kata si pengacara, adalah deponering. Buktinya, para petinggi Kejaksaan pun menggunakan istilah deponering untuk menyebut ‘pengesampingan perkara demi kepentingan umum’.

Frase yang menjadi kewenangan Jaksa Agung ini sebenarnya merujuk pada penjelasan pasal 77 KUHAP. Penjelasan pasal ini merumuskan: “yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”.

Kembali ke soal istilah, perdebatan yang muncul berkisar pada deponering atau seponering. Guru Besar Hukum Acara Pidana, yang juga Ketua Tim Penyusun RUU KUHAP, Prof. Andi Hamzah berpendapat istilah yang benar adalah seponering. Istilah ini berasal dari kata kerjaseponeren, dengan kata dasar sepot. Pandangan Andi Hamzah itu juga dia sampaikan secara terbuka di depan peserta Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2010 yang dilaksanakan Komisi Hukum Nasional. Dua pakar hukum pidana, Prof. Mardjono Reksodiputro dan Prof. J.E. Sahetapy berada di acara tersebut ketika Prof. Andi Hamzah menyampaikan pandangannya.

Kepada hukumonline, Andi Hamzah bercerita ia baru menyadari kekeliruan penggunaan istilah deponering itu ketika hendak mengedit buku tulisan kakaknya, Andi Zainal Abidin (pakar hukum pidana Unversitas Hasanuddin), pada tahun 1950-an. Kala itu, dalam naskah buku Zainal Abidin selalu tertulis seponering. Andi Hamzah menduga terjadi kesalahan ketik secara beruntun. Karena itu, ia kembali ke Makassar untuk memastikan apakah ada kesalahan ketik. Ternyata, tidak. Zainal Abidin menunjukkan referensi rujukan berbahasa Belanda yang menggunakan istilah seponering atau seponeren.

Ketika melakukan studi banding ke Belanda untuk kebutuhan penyusunan RUU KUHAP, Andi Hamzah membuktikan istilah yang dipakai adalah seponering, seponeren, atau sepot. “Hukum acara di Belanda menggunakan istilah seponering,” ujarnya.

Salah satu buku klasik yang menyebut istilah seponeren adalah Het Recht in Indonesie karya W.L.G. Lemaire (NV Uitgeverij W van Hoeve – ‘s Gravenhage Bandung, 1952, hal. 273). Istilah itu dipakai ketika Lemaire membahas bab tentang straftprocesrecht.

Andi Hamzah tidak tahu kapan persisnya istilah deponering lebih sering dipakai. Yang jelas, buku-buku referensi yang terbit belakangan sudah menggunakan istilah tersebut. “Hukum Atjara Pidana di Indonesia” karya Mr. Wirjono Prodjodikoro (juga diterbitkan Van Hoeve – ‘s Gravenhage Bandung, tanpa tahun) sudah menggunakan istilah deponeer sebagai sebutan untuk mengesampingkan perkara. Jika Jaksa Agung tidak menuntut seseorang ke pengadilan dengan mengesampingkan perkaranya demi kepentingan umum, kondisi demikian disebutdeponeer (hal. 18). Buku hukum acara pidana tulisan mantan hakim agung M. Yahya Harahap, yang terbit belakangan juga sudah menggunakan istilah deponering.

Kamus
Diakui Andi Hamzah, kini para praktisi lebih sering menggunakan istilah deponering. Kamus bahasa Belanda pun sudah memuat kata itu, dengan tafsir yang relatif sama denganseponering.

Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda - Indonesia (Binacipta, 1983), memuat kedua istilah tersebut. Deponeren mengandung arti (1) mendaftarkan, khususnya pengiriman suatu merek kepada biro milik perindustrian (atau lembaga sejenis di negara bersangkutan) untuk jaminan hak pemakaian merek tersebut. Pada merek itu biasanya dicantumkan katagedeponeerd (terdaftar). Istilah yang sama sering dicantumkan pada pencatatan tanda bukti pemilikan saham; (2) menyisihkan, meniadakan, mengesampingkan tuntutan perkara pidana oleh penuntut umum; dan (iii) memberikan keterangan saksi, khususnya dalam suatu perkara.

Sementara, seponeren digunakan dalam perkara pidana dalam arti menyampingkan, tidak diadakan penuntutan (oleh penuntut umum berdasarkan asas oportunitas, atau karena bukti yang ada tidak cukup lengkap untuk mengadakan tuntutan hukum). Asal kata sepot berarti penyampingan, penyisihan.

Demikian pula Kamus Umum Belanda-Indonesia tulisan S. Wojowasito. Berdasarkan kamus ini, deponeren berarti  (i) menyimpan; (ii) menaruh untuk diperiksa; dan (iii) menitipkan. Sementara seponeren mengandung arti menyisihkan, atau menyisikan

Lebih spesifik, Kamus Hukum Belanda – Indonesia karangan Marjanne Termorshuizen (1999) mengartikan seponeren berkaitan dengan zie ook; sepot, straft yang berarti mengesampingkan, mendeponir, memetieskan. Sementara deponeren mengandung makna (1) mendaftarkan, menitipkan, menyimpankan (2) mengesampingkan perkara, memetieskan, mendeponir.

Jika kamus bahasa Belanda – Indonesia sudah memuat kedua kata itu untuk arti yang hampir sama, maka perdebatannya bukan lagi mana istilah yang benar atau salah. Yang lebih menarik ditelusuri, sejak kapan istilah deponering dipakai untuk menggantikan seponering, dan apa yang melatarbelakangi perubahan penggunaan istilah itu.

HUKUM PERDATA

Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum.Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara pendudukatau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan asas konkordansi.
Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia-Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku diPerancis dengan beberapa penyesuaian.
Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian yaitu :
  • Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan disahkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
  • Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanahbangunan dan kapaldengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
  • Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
  • Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.

Jumat, 13 Maret 2015

Perbedaan RUPS PT Terbuka dan Tertutup


Terdapat beberapa perbedaan dalam proses Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) Perseroan Terbatas (“PT”) Tertutup dengan PT Terbuka. Seperti misalnya dalam proses RUPS PT Terbuka dilakukan pemberitahuan dan pengumuman terlebih dahulu sebelum dilakukan pemanggilan RUPS. Sedangkan dalam proses RUPS PT Tertutup tidak dilakukan pemberitahuan dan pengumuman RUPS.
 
Penjelasan lebih lanjut silakan baca ulasan di bawah ini.
 
 
Ulasan:
 
Terdapat beberapa perbedaan dalam proses Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) Perseroan Terbatas (“PT”) Tertutup dengan PT Terbuka. Untuk RUPS PT Tertutup kita merujuk pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”).Sedangkan untuk RUPS PT Terbuka, selain merujuk pada UUPT, harus dilihat lagi apakah ada pengaturan lebih khusus, yang mana dalam hal ini adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 32/POJK.04/2014 Tahun 2014 tentang Rencana Dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka (“Peraturan OJK 2014”).
 
Berikut perbedaan dalam RUPS PT Tertutup dan PT Terbuka:
 
Perbedaan
PT Tertutup
PT Terbuka
Tempat Penyelenggaraan RUPS
1.    Di tempat kedudukan Perseroan;
2.    Di tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar;
3.    Di adakan di manapun selama masih di wilayah Indonesia jika dalam RUPS tersebut hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan semua pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu. RUPS ini dapat mengambil keputusan jika keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat.
 
(Pasal 76 ayat (1), (3), (4), dan (5) UUPT)
 
1.    tempat kedudukan Perusahaan Terbuka;
2.    tempat Perusahaan Terbuka melakukan kegiatan usaha utamanya;
3.    ibukota provinsi dimana tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha utama Perusahaan Terbuka; atau
4.    provinsi tempat kedudukan Bursa Efek dimana saham Perusahaan Terbuka dicatatkan.
 
(Pasal 76 ayat (2) dan Pasal 7 Peraturan OJK 2014)
Pemberitahuan RUPS
Tidak ada
PT Terbuka wajib terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan mata acara rapat (secara jelas dan rinci) kepada Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum pengumuman RUPS, dengan tidak memperhitungkan tanggal pengumuman RUPS.
 
Jika terdapat perubahan mata acara rapat PT Terbuka wajib menyampaikan perubahan mata acara dimaksud kepada OJK paling lambat pada saat pemanggilan RUPS.
 
(Pasal 8 Peraturan OJK 2014)
 
Pengumuman RUPS
Tidak ada
PT Terbuka wajib melakukan pengumuman RUPS kepada pemegang saham paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS, dengan tidak memperhitungkan tanggal pengumuman dan tanggal pemanggilan.
 
Pengumuman RUPS paling kurang memuat:
a.    ketentuan pemegang saham yang berhak hadir dalam RUPS;
b.    ketentuan pemegang saham yang berhak mengusulkan mata acara rapat;
c.    tanggal penyelenggaraan RUPS; dan
d.    tanggal pemanggilan RUPS.
 
Bagi PT Terbuka yang sahamnya tercatat pada Bursa Efek, Pengumuman RUPS paling kurang melalui:
a.    1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional;
b.    situs web Bursa Efek; dan
c.    situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan bahasa asing yang digunakan paling kurang bahasa Inggris.
 
Sedangkan untuk PT Terbuka yang sahamnya tidak tercatat pada Bursa Efek, Pengumuman RUPS paling kurang melalui:
a.    1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional; dan
b.    situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan bahasa asing yang digunakan paling kurang bahasa Inggris.
 
Bukti pengumuman RUPS wajib disampaikan kepada OJK paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman RUPS.
 
(Pasal 10 Peraturan OJK 2014)
 
Pemanggilan RUPS
Pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS.
 
Dalam panggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat, dan mata acara rapat disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor PT sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan tanggal RUPS diadakan.
 
Pemanggilan RUPS dilakukan dengan Surat Tercatat dan/atau dengan iklan dalam Surat Kabar.
 
(Pasal 82 UUPT)
Perusahaan Terbuka wajib melakukan pemanggilan kepada pemegang saham paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sebelum RUPS, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS.
 
Pemanggilan RUPS paling kurang memuat informasi:
a.    tanggal penyelenggaraan RUPS;
b.    waktu penyelenggaraan RUPS;
c.    tempat penyelenggaraan RUPS;
d.    ketentuan pemegang saham yang berhak hadir dalam RUPS(karena dalam PT Terbuka saham dapat berpindah kepemilikan dengan cepat bahkan beberapa hari sebelum RUPS dilakukan);
e.    mata acara rapat termasuk penjelasan atas setiap mata acara tersebut; dan
f.    informasi yang menyatakan bahan terkait mata acara rapat tersedia bagi pemegang saham sejak tanggal dilakukannya pemanggilan RUPS sampai dengan RUPS diselenggarakan.
 
Bagi PT Terbuka yang sahamnya tercatat pada Bursa Efek, Pemanggilan RUPS paling kurang melalui:
a.    1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional;
b.    situs web Bursa Efek; dan
c.    situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan bahasa asing yang digunakan paling kurang bahasa Inggris.
 
Sedangkan bagi PT Terbuka yang tidak tercatat pada Bursa Efek, Pemanggilan RUPS paling kurang melalui:
a.    1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional; dan
b.    situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan bahasa asing yang digunakan paling kurang bahasa Inggris.
 
(Pasal 13 Peraturan OJK 2014)
 
Keputusan Sirkuler
 
Pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan.
 
(Pasal 91 UUPT)
 
Tidak dapat dilakukan pengambilan keputusan dengan keputusan sirkuler karena pemegang saham dalam PT Terbuka termasuk juga masyarakat yang jumlahnya sangat banyak, sehingga kecil sekali kemungkinannya untuk dilakukan pengambilan keputusan di luar RUPS (dengan keputusan sirkuler).
Pemimpin RUPS
Tidak ditentukan dalam UUPT
Dipimpin oleh anggota Dewan Komisaris yang ditunjuk oleh Dewan Komisaris. Dalam hal semua anggota Dewan Komisaris tidak hadir atau berhalangan hadir, RUPS dipimpin oleh
salah seorang anggota Direksi yang ditunjuk oleh Direksi.
Dalam hal semua anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi tidak hadir atau berhalangan hadir, RUPS dipimpin oleh pemegang saham yang hadir dalam RUPS yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS.
 
(Pasal 22 Peraturan OJK 2014)
 
Suara abstain
Tidak diatur dalam UUPT.
 
Pemegang saham dari saham dengan hak suara yang sah yang hadir dalam RUPS namun abstain (tidak memberikan suara) dianggap mengeluarkan suara yang sama dengan suara mayoritas pemegang saham yang mengeluarkan suara.
 
(Pasal 30 Peraturan OJK 2014)
 
Notaris
 
Hanya notaris yang telah terdaftar di Bapepam yang dapat melakukan kegiatan di bidang pasar modal, salah satunya membuat akta RUPS PT Terbuka.
 
(Peraturan Nomor VIII.D.1: Pendaftaran Notaris Yang Melakukan Kegiatan Di Pasar Modal)
 
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
2.    Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 32/POJK.04/2014 Tahun 2014 tentang Rencana Dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka.
  

KLINIK TERKAIT

Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer