Senin, 06 Mei 2013


Berkenaan dengan pertanyaan Saudara, pada bagian awal (sekedar me-refreshwawasan) mungkin perlu saya menjelaskan sedikit mengenai pengertianoutsourcing dan hubungan kerja pada outsourcing, kemudian menyimpulkan dalam konklusi sebagai inti jawaban atas pertanyaan Saudara.
 
1. Pengertian Outosurcing
Seperti sering saya jelaskan, bahwa “outsourcing” adalah istilah sehari-hari untuk menyebut lembaga penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaankepada perusahaan lain sebagaimana tersebut dalam Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No.13/2003). Saat ini lazim disebutkan sebagai alih daya (Kompas, 17 Nopember 2012, hlm.1) ataupenyumberluaran (sebagaimana diistilahkan dalam Pasal 26 huruf f UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah).
 
Perjanjian penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dapat dilakukan melalui 2 (dua) bentuk perjanjian, yakni
-     Perjanjian Pemborongan Pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 65 jo Pasal 64 UU No. 13/2003 dan Bab II Permenakertrans No. 19 Tahun 2012, dan
-     Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 66 jo Pasal 64 UU No. 13/2003 dan Bab III Permenakertrans No. 19 Tahun 2012.
 
Prinsip penyerahan sebagian Pelaksanaan pekerjaan dalam konteks “outsourcing” versi UU Ketenagakerjaan Indonesia, adalah bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan oleh suatu perusahaan (user) kepada perusahaan lainnya (vendor/service provider), hanyalah sebagian saja. Dalam arti, tidak diperkenankan user menyerahkan seluruhnya kepada vendor atau service provider guna menjaga konsistensi pada core atau main business suatu perusahaan.
 
Makna kata “sebagian” dalam penyerahan pekerjaan tersebut, ada 2 (dua) penegertian, yakni:
-     sebagian kegiatan dari alur proses proses produksi barang/jasa (baik tangiblemaupun untangible product) khususnya -dalam hal ini- kegiatan penunjangdari suatu product yang ditentukan oleh Assosiasi Sektor Usaha (Pasal 3 ayat[2] huruf c jo Pasal 4 ayat [1] Permenakertrans No.19 Tahun 2012) dan/atau
-     sebagian dari kegiatan perusahaan secara keseluruhan, yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi -dalam hal ini kegiatan jasa penunjang-, dalam arti, pekerjaan yang diserahkan bukanlah merupakan kegiatan pokok, akan tetapi jasa penunjang perusahaan secara keseluruhan.
Jenis kegiatan jasa penunjang tersebut, dijelaskan dan dicontohkan dalamPenjelasan Pasal 66 ayat (1) UU No13/2003, antara lain* :
a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);
c.   usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta
e. usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
 
Dengan demikian, terkait konteks permasalahan Saudara yang adalah seorangsecurity dari perusahaan outsourcing) dan ditempatkan di salah satu perusahaan BUMN (user), dapat saya simpulkan sesuai penjelasan dan ketentuan tersebut di atas, bahwa “job” security atau satuan pengamanan, adalah kategori kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Oleh karenanya, securitymerupakan pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain, yakni service provider, yang dalam undang-undang disebut sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh (sebagaimanamaksud Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU No. 13/2003 dan ketentuannya diatur dalam Pasal 66 UU No. 13/2003 serta Bab III Permenakertrans No. 19 Tahun 2012). Kecuali pada perusahaan-perusahaan tertentu, security masuk dan dapat dikategorikan sebagai kegiatan penunjang yang merupakan bagian dari alur proses produksi(yang diperjanjikan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan).

2. Hubungan Kerja Pada “Perusahaan Outsourcing
Berkenaan dengan pernyataan Saudara mengenai hubungan kerja yang Saudara sebut dengan istilah “kontrak kerja”, sayangnya saya tidak terlalu memahami pertanyaan Saudara tersebut, apa yang Saudara maksud dengan “kontrak kerja” yang masa kerja–nya sampai usia 55 tahun?
 
Namun saya berasumsi dan mencoba menjelaskan, bahwa dalam pengertian sehari-hari, yang dimaksud dengan “kontrak kerja”, adalah pekerja/buruh yang dipekerjakan melalui perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT). Tetapi dalam pengertian hukum, “kontrak kerja” berasal dari kata “labour contract” artinya perjanjian kerja (arbeids overeenkomst). Perjanjian Kerja (PK) tersebut, bisa dimaknai PKWT, bisa juga diartikan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT).
 
Kemudian Saudara menyebut, dalam kontrak kerja dimaksud, masa kerjanya sampai 55 (limapuluh lima) tahun. Asumsi saya, bahwa hubungan kerja Saudara dipekerjakan melalui PKWTT yang (mungkin maksudnya) diperjanjikan sampai dengan batas usia mencapai umur 55 (limapuluh lima) tahun, dan (mungkin) itu merupakan batas usia yang disepakati/ditentukan/diatur dalam PK dan Peraturan Perusahaan (“PP”) atau Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”) pada perusahaanoutsourcing Saudara sebagai batas berakhirnhya hubungan kerja (batas usia pensiun atau disingkat BUP).
 
Jika demikian seperti itu maksud Saudara, maka tentunya sah-sah saja dilakukan dan tentu saja dapat dibenarkan, pekerja/buruh outsourcing dipekerjakan sampai dengan mencapai BUP, terlebih security yang profesional dan kompeten di bidangnya.  
 
Mengenai aspek hukum hubungan kerja antara Saudara -selaku pekerja/buruh- dengan “perusahaan outsourcing“, dijelaskan dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b jo Pasal 59 UU No. 13/2003, bahwa perjanjian kerja yang berlaku dalamhubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, adalah PKWT apabila pekerjaannya memenuhi persyaratan sebagai pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pelaksanaannyaakan selesai dalam waktu tertentu; dan/atau PKWTT yang dibuat (diperjanjikan) secara tertulis dan ditanda-tangani oleh kedua belah pihak.
 
Terkait dengan ketentuan tersebut, dijelaskan dan dipertegas dalam Pasal 59 ayat (2) UU No. 13/2003, bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT), tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
 
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap, ada 2 (dua) kategori, yakni:
-     pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalan satu perusahaan, atau
-     pekerjaan pekerjaan yang bukan musiman (vide Penjelasan Pasal 59 ayat (2) UU No. 13/2003).
 
Dengan perkataan lain, secara a-contrario, apabila suatu pekerjaan walau bersifat terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu namun bukanmerupakan bagian dari suatu proses produksi pada satu perusahaan, dalam arti hanya merupakan kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi atau kegiatan pokok (core business) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 13/2003, maka dianggap bukan sebagai pekerjaan yang berisfat tetap, sehingga dapat menjadi objek PKWT (lihat Pasal 66 ayat [1] -dan penjelasannya- UU No.13/2003). Dengan demikian, hubungan kerja Saudara sebagai security yang notabene adalah kegiatan jasa penunjang, dimungkinkan dengan hubungan kerja melalui PKWT (temporary contract) walaupun tentunya pekerja/buruh berharap dipekerjakan melalui PKWTT, terlebih jika BUP-nya sampai dengan 55 (lima puluh lima) tahun.  
 
Berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan jasa penunjang, walaupun pekerja/buruh dapat dipekerjakan dengan hubungan kerja melalui PKWT, akan tetapi untuk “perusahaan outsourcing”, ada persyaratan tambahan sebagai amanat Putusan MK Register Nomor 27/PUU-IX/2011, bahwa PKWT pada Pasal 65 ayat (7) dan PKWTpada Pasal 66 ayat (2) huruf b UU No. 13/2003, harus memuat prinsippengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh atau Transfer of Undertaking Protection Employment (TUPE”) yang mengamanatkan:
a. pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh (termasuk berlanjutnya hubungan kerja dengan perusahaan outsourcing yang baru) yang objek kerja-nya tetap ada walaupun terjadi pergantian perusahaan outsourcing.
b. masa kerja pekerja/buruh harus diperjanjikan (dalam PKWT) untuk dibuatexperience letter
c. experience letter menentukan masa kerja dan menjadi salah satu dasar penentuan upah pada perusahaan outsourcing berikutnya.
 
Atas dasar Putusan MK tersebut kemudian dituangkan dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) Permenakertrans No. 19 Tahun 2012, khususnya PKWT pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, bahwa PKWT-nya, sekurang-kurangnya memuat:
a) jaminan kelangsungan bekerja;
b) jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan yang diperjanjikan; dan
c) jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan upah;
Demikian juga memuat hak-hak lainnya, seperti hak atas cuti (tahunan) apabila telah memenuhi syarat masa kerja; hak atas jamsostek; Tunjangan Hari Raya (THR), istirahat mingguan; hak atas ganti-rugi (kompensasi diakhirinya hubungan kerja PKWT); penyesuaian upah berdasarkan -akumulasi- masa kerja; dan hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian kerja (PKWT) sebelumnya.
 
3. Konklusi
Berdasarkan Penjelasan Pasal 59 ayat (2) jo Pasal 66 ayat (1) –dan penjelasannya- UU No. 13/2003, dengan demikian dalam konteks pekerjaan Saudara sebagai “security oursourcing” yang merupakan kategori kegiatan jasa penunjang tidak masuk dalam jenis pekerjaan yang bersifat tetap, sehingga dapat dipekerjakanmelalui PKWT. Namun, Mahkamah Konstitusi mengamanatkan hendaknya dilakukan melalui PKWTT terlebih jika Saudara dipekerjakan sampai batas usia 55 (lima puluh lima) tahun. Dengan perkataan lain, “kontrak kerja” Saudara dengan masa kerja yang ditentukan sampai dengan 55 (lima puluh lima) tahun, tentu saja dibenarkan, jika hubungan kerja Saudara memang dilakukan melalui PKWTT. Dan justru seperti itu yang diharapkan dan dikendaki oleh pekerja/buruh.
 
Demikian penjelasan dan opini saya, semoga bermanfaat.
 
*Catatan: Dalam Pasal 17 Permenakertrans. No.19 Tahun 2012, kegiatan jasa penunjang dibatasi dengan kata (hanya) “meliputi” 5 (lima) jenis usaha sebagaimana tersebut di atas. Hal ini oleh “pengusaha” dalam judicial review-nya (tanggal 13 Februari 2013, hlm.9) di-counter sebagai penyimpangan asas “lex superior derogate legi inferiori”.
 
Dasar Hukum:
3.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
 
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Register Nomor 27/PUU/IX/2011
 

Waktu Kerja di Perusahaan Penerbangan


Pada prinsipnya, dasar hukum mengenai ketentuan waktu kerja (jam kerja) di suatu perusahaan, termasuk perusahaan penerbangan, secara umum adalah pasal 77 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No.13/2003) dengan 2 (dua) pola, yakni :

a.   pola 6:1, atau 6 (enam) hari kerja dan 1 (satu) hari istirahat mingguan, dengan ketentuan maksimum 7 (tujuh) jam per-hari dan 40 (empatpuluh) jam per-minggu.
b.   pola 5:2, atau 5 (lima) hari kerja dan 2 (dua) hari istirahat mingguan, dengan ketentuan maksimum 8 (delapan) jam per-hari dan 40 (empatpuluh) jam per-minggu.

Namun, pada pasal 77 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13/2003 disebutkan, bahwa ketentuan waktu kerja tersebut tidak berlaku bagi sektor usaha ataupekerjaan tertentu (termasuk untuk jabatan tertentu) yang -- untuk itu -- harus diatur tersendiri dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (“Permen”). 

Permen yang mengatur mengenai ketentuan waktu kerja untuk sektor usahaatau pekerjaan tertentu/jabatan tertentu sebagai amanat pasal 77 ayat (4) UU No.13/2003, hingga saat ini baru ada 2 (dua), yakni :
1)       Kepmenakertrans. RI No. Kep-234/Men/2003 tentang Waktu Kerja Dan Istirahat Pada Sektor Usaha Energi Dan Sumber Daya Mineral Pada Daerah Tertentu.
2)       Permenakertrans. RI No. Per-15/Men/VII/2005 tentang Waktu Kerja Dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu. 

Dalam Peraturan-peraturan Menteri tersebut telah mengatur beberapa opsi danalternatif pilihan pola waktu kerja untuk suatu perusahaan di sektornya masing-masing (sektor ESDM dan Pertambangan Umum). Sehingga, semua jenispekerjaan atau jabatan tertentu di suatu perusahaan, baik pekerjaan atau jabatan-jabatan di kantor (back office), atau pekerjaan dan jabatan-jabatan operasional (siteplant), sudah ditentukan dan tinggal memilih yang sesuai. 

Terkait dengan itu, dalam pasal 395 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, terdapat pengaturan hari kerjapembatasan jam kerja dan persyaratan jam istirahat bagi personel –- operasional -- penerbangan yang diamanatkan diatur tersendiri dengan Peraturan Menteri Perhubungan. Dengan kata lain, bagi pekerjaan/jabatan personel –- operasional -- penerbangan, diatur khusus mengenai hari kerja, pembatasan jam kerja dan persyaratan jam istirahatnya oleh Menteri Perhubungan. Dalam kaitan ini, berlaku azas hukum lex posterior derogat legi prior (undang-undang yang terbit belakangan mengesampingkan undang-undang yang terbit terdahulu). Di samping itu, berlaku juga azas lex specialis derogat legi generalis (undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum). Artinya, kalau pekerjaan/jabatan personel –-operasional -- penerbangan telah diatur secara khusus oleh Menteri Perhubungan, maka pengaturan ketentuan waktu kerja bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu/jabatan tertentu oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan ketentuan umum yang diatur dalam pasal 77 ayat (2) dan pasal 79 ayat (2) huruf a dan b UU No.13/2003 akan dikesampingkan. Namun, hanya (khusus) pada pekerjaan/jabatan personel -- operasional -- penerbangan di perusahaan penerbangan, dan tidak pada semua pekerjaan/jabatan lainnya. Dengan perkataan lain, pengaturan hari kerja,jam kerja dan jam istirahat pada jabatan back office atau jabatan operasional lainnya tetap berlaku ketentuan umum yang ditetapkan dalam pasal 77 ayat (2) dan pasal 79 ayat (2) huruf a dan huruf b UU No. 13/2003 atau diatur tersendiri oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 

Terkait dengan pertanyaan Saudara, apakah jabatan mechanic tersebut di perusahaan penerbangan merupakan merupakan jabatan personel – operasional -- penerbangan? 

Jika ya, maka untuk jabatan mechanic di perusahaan penerbangan, berlaku ketentuan waktu kerja yang diatur tersendiri oleh Menteri Perhubungan dimaksud. Hanya saja, sepanjang pengetahuan kami, pengaturan mengenai hari kerjapembatasan jam kerja dan persyaratan jam istirahat bagi personel -– operasional- penerbangan tersebut, hingga saat ini belum ditetapkan, walaupun pengaturan yang bersifat partial dan internal berjalan sebagaimana ditetapkan masing-masing. 
 
Demikian opini kami. Semoga bermanfaat.
 
 
Dasar hukum:
1.   Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
3.   Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep-234/Men/2003 tentang Waktu Kerja Dan Istirahat Pada Sektor Usaha Energi Dan Sumber Daya Mineral Pada Daerah Tertentu;
4.   Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Per-15/Men/VII/2005 tentang Waktu Kerja Dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu.

Batas Jumlah Cairan yang Dapat Dibawa Dalam Bagasi Penerbangan Internasional




Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
 (“UU Penerbangan”) memang membedakan antara Bagasi Tercatat dengan Bagasi Kabin. Bagasi tercatat, menurut Pasal 1 angka 24 UU Penerbangan, adalah barang penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama. Sedangkan, Bagasi Kabin, menurutPasal 1 angka 25 UU Penerbangan, adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri.

Mengenai batasan jumlah cairan yang dapat dibawa dalam bagasi kabin dalam penerbangan internasional telah diatur dalam Peraturan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/43/III/2007 tentang Penanganan Cairan, Aerosol dan Gel (Liquid, Aerosol, Gel) yang Dibawa Penumpang ke Dalam Kabin Pesawat Udara pada Penerbangan Internasional (“Perdirjenhub 43/2007”).

Namun, Perdirjenhub 43/2007 ini tidak memberi pengaturan mengenai batasan jumlah cairan yang dapat dibawa penumpang sebagai bagasi tercatat. Pasal 3 ayat (3) Perdirjenhub 43/2007 hanya menyatakan bahwa dalam hal calon penumpang membawa Cairan, Aerosol, dan Gel (Liquids, Aerosols and Gels) melebihi ketentuan dalam persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka petugas pengamanan bandar udara memberitahukan kepada calon penumpang bahwa pengangkutan Cairan, Aerosol, dan Gel (Liquids, Aerosols and Gels) tersebut harus diperlakukan sebagai bagasi tercatat.

Mengenai jumlah cairan yang dapat dibawa dalam suatu penerbangan sebagai bagasi tercatat, memang terdapat pengaturan dalam UU Penerbangan. Pasal 136 ayat (4) huruf (i) UU Penerbangan mengkategorikan cairan, aerosol dan jelly(liquids, aerosols, and gelsdalam jumlah tertentu sebagai barang berbahaya. Namun, karena sampai saat ini belum ada pengaturan lebih lanjut mengenai berapa jumlah tertentu yang dimaksud tersebut, maka dapat disimpulkan saat ini belum ada pengaturan mengenai batas jumlah cairan yang dapat dibawa dalam penerbangan sebagai bagasi tercatat.

Pada praktiknya, sebagaimana dikutip dari laman Garuda Indonesia, seorang dewasa dengan visa umroh diperbolehkan membawa sampai dengan 10 Liter air zamzam.

Sekian jawaban dari kami, semoga membantu.

Dasar hukum:
2.      Peraturan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/43/III/2007 tentang Penanganan Cairan, Aerosol dan Gel (Liquid, Aerosol, Gel) yang Dibawa Penumpang ke Dalam Kabin Pesawat Udara pada Penerbangan Internasional.
  

Aturan tentang Keterlambatan Penerbangan


Mengenai syarat suatu kejadian dalam penerbangan dikatakan mengalami keterlambatan dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) yang memberikan definisi keterlambatan, yakni:
“Keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan.”
 
Di dalam peberbangan, keterlambatan angkutan udara merupakan salah satu kerugian yang diderita oleh penumpang yang wajib dipertanggungjawabkan oleh pengangkut (badan usaha yang melakukan kegiatan angkutan udara) yang mengoperasikan pesawat udara. Demikian ketentuan Pasal 2 huruf e Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (“Permenhub 77/2011”).
 
Kewajiban pengangkut untuk bertanggung jawab atas kerugian karena keterlambatan juga disebut dalam Pasal 146 UU Penerbangan yang berbunyi:
 
“Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.”
 
Di dalam Penjelasan Pasal 146 UU Penerbangan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "faktor cuaca" adalah hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan. Adapun, yang dimaksud dengan "teknis operasional" antara lain:
a.    bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara;
b.    lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, ataukebakaran
c.    terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara atau
d.    keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling)
 
Sedangkan, yang tidak termasuk dengan "teknis operasional" antara lain:
a.    keterlambatan pilot, co pilot, dan awak kabin
b.    keterlambatan jasa boga (catering)
c.    keterlambatan penanganan di darat
d.    menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat (transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting flight) dan
e.    ketidaksiapan pesawat udara
 
Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) Permenhub 77/2011.

Menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai ruang lingkup keterlambatan dalam penerbangan, hal ini disebutkan dalam Pasal 9 Permenhub 77/2011yang berbunyi:
 
“Keterlambatan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e terdiri dari:
a.    keterlambatan penerbangan (flight delayed)
b.    tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passanger) dan
c.    pembatalan penerbangan (cancelation of flight)”
 
Informasi mengenai ketentuan jumlah ganti kerugian untuk penumpang atas keterlambatan penerbangan, Anda dapat baca dalam artikel Ketentuan Ganti Kerugian Bagi Penumpang Jika Penerbangan Terlambat.
 
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
2.    Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara

Sabtu, 04 Mei 2013

Indonesia Harus Keluar Dari ‘Daftar Hitam’ Pencucian Uang


Indonesia Harus Keluar Dari ‘Daftar Hitam’ Pencucian Uang
Kepala PPATK M Yusuf (kiri). Foto: SGP
Sejumlah anggota Komisi III DPR mempertanyakan status Indonesia yang masuk ‘daftar hitam’ sebagai negara tempat pencucian uang versi Financial Action Task Force (FATF). Pertanyaan ini diutarakan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Gedung DPR, Senin (20/2).

“Mengapa FATF masih mengklasifikasikan Indonesia sebagai surga pencucian uang?” ujar Anggota Komisi III dari PKS Aboe Bakar Al Habsyi.

Pimpinan Rapat Aziz Syamsuddin mencoba menelisik apa langkah yang dilakukan PPATK untuk mengantisipasi blacklist yang dipublikasikan oleh FATF. “Mereka biasanya mem-publishpenilaiannya pada bulan Juni. Apa antisipasi PPATK supaya kita nggamasuk black list ini terus menerus?” selidiknya.

Kepala PPATK M Yusuf meluruskan Indonesia bukan masuk ke dalam daftar hitam, tetapi hanya ‘ditegur’ melalui public statement yang dikeluarkan oleh Presiden FATF. Alasannya, karena ada beberapa rekomendasi khusus yang belum dilaksanakan oleh Indonesia. “Salah satu alasannya adalah mengenai pendanaan tindakan terorisme,” jelasnya.

Yusuf mengaku PPATK kesulitan untuk melaksanakan rekomendasi khusus yang diminta oleh FATF. “Mereka mengatakan apabila ada orang yang masuk daftar teroris maka aset seluruh keluarganya harus dibekukan. Ini berlaku untuk keluarganya tanpa kecuali. Misalnya, Osama mempunyai anak tiri di Indonesia, maka asetnya harus dibekukan,” tuturnya.

Rekomendasi semacam ini bukan pekerjaan yang mudah. Yusuf menegaskan bila rekening orang tiba-tiba dibekukan tanpa ada hukum yang dilanggar, jelas itu melanggar asas praduga tak bersalah yang diatur oleh hukum Indonesia.

“Membekukan aset itu bukan pekerjaan gampang, apalagi men-
judge orang terlibat terorisme. Itu susah,” jelasnya.

Yusuf mengaku sebelumnya sudah berjanji akan mengimplementasikan rekomendasi khusus ini ke dalam pembahasan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

“Kami sudah janji agar RUU ini segera disahkan menjadi UU, sayangnya janji ini tak kita tepati.
Public Statement itu bersifat sanksi karena janji tak kita tepati. Pada dasarnya, mereka (FATF) memuji usaha kita,” jelasnya.

Karenanya, Yusuf berharap pembahasan RUU Ini segera dipercepat. Saatnya, draf UU itu sudah ditangan dan ditandatangi oleh pemerintah, sehingga tinggal dilimpahkan ke DPR untuk dibahas bersama. “Mohon bantuan. Kami sudah buat se-soft mungkin dan menghormati hak rakyat kita dalam RUU itu. Dan kita perlu melihat best practices (praktik-praktik terbaik,-red) di negara lain,” katanya. 

Lebih lanjut, Yusuf menjelaskan yang terkendala dengan rekomendasi khusus FATF ini sebenarnya bukan hanya Indonesia, tetapi juga negara-negara lain yang sama-sama menggunakan sistem civil law.

“Untuk negara yang menggunakan sistem 
common law, rekomendasi itu bisa otomatis menjadi undang-undang mereka. Sedangkan, kita yang menggunakan sistem civil law harus membahas RUU ini terlebih dahulu dengan DPR. Jadi prosesnya memang panjang,” ujarnya.

Aziz berjanji mendukung supaya Indonesia keluar dari catatan FATF tersebut. Ia mengakui RUU ini memang bukan RUU Prioritas di Badan Legislasi DPR.

“Seharusnya pemerintah yang serahkan ke kami. RUU ini berarti sudah melewati Setneg. Kami akan rapat pleno dan memerintahkan pemerintah untuk segera membahas RUU ini bersama DPR. Jangan sampai Juni 2011, kita masuk lagi ke dalam list FATF,” pungkasnya. 

BPR Rawan Disusupi Pendanaan Terorisme

Pengetahuan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terhadap tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme dinilai masih minim. Bank Indonesia (BI) mengimbau perlunya pelatihan bagi para pegawai BPR untuk menghindari terjadinya praktik tersebut. Hal tersebut disampaikan Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah, dalam Workshop Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT), Senin (5/3), di Jakarta.

Halim mengatakan, praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme tidak hanya mengancam bank umum yang memiliki produk layanan yang kompleks, nasabah banyak dan transaksi bernilai besar. Praktik itu juga bisa mengancam BPR yang memiliki produk sederhana dan nilai transaksinya relatif kecil.

“Agar praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme bisa dicegah, pegawai BPR patut mendapatkan perhatian dan pelatihan,” katanya.

Dijelaskan Halim, BI telah melakukan penyempurnaan ketentuan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles/KYC) bagi BPR dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dengan mengacu kepada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara internasional dalam mendukung upaya tindak pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.

Hal itu tertuang dalam PBI No. 12/20/PBI/2010 tanggal 4 Oktober 2010 dan Surat Edaran Ekstern No. 13/14/DKBU tanggal 12 Mei 2011 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Teorisme bagi BPR dan BPRS.

Selanjutnya, BI berharap BPR dan BPRS dapat menyusun dan mengembangkan pedoman pelaksanaan APU dan PPT sesuai dengan kebutuhan dan kompleksitas operasional usahanya.


Beberapa program yang harus dilaksanakan oleh BPR untuk menghindari tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme adalah melakukan Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence (EDD).

CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan BPR untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan profil pengguna jasa bank. 
Sedangkan EDD adalah CDD dan kegiatan lain yang dilakukan oleh BPR untuk mendalami profil nasabah, nasabah atau beneficial owner yang tergolong berisiko tinggi termasuk Politically Exposed Person (PEP) terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme.

“Untuk memastikan penerapan program APU dan PPT diperlukan mekanisme penilaian oleh BI dalam rangka penerapan program APU dan PPT oleh BPR dan BPRS,” lanjut Halim.

Penilaian itu merupakan gambaran menyeluruh mengenai kecukupan dan efektivitas penerapan program APU dan PPT serta kewajiban lainnya terkait dengan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pada setiap BPR. Gambaran menyeluruh tersebut diperlukan untuk memastikan tingkat kepatuhan BPR terhadap ketentuan terkait APU dan PPT yang berlaku dan efektivitas penerapannya, serta mengidentifikasi langkah-langkah perbaikan yang diperlukan.

Pembatasan
Di acara yang sama, Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso, mengakui praktik pencucian uang memang sudah merambah BPR. Sampai Januari 2012, PPATK mencata total Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LPKT) yang dilaporkan kepada PPATK sejak tahun 2005 mencapai 10.494.312 laporan, dengan jumlah pelapor sebanyak 418 terdiri dari bank umum, BPR, pedagang valas, asuransi dan perusahaan pembiayaan.

Sementara, untuk jumlah laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM) sampai Januari 2012, total mencapai 86.264 laporan dengan jumlah pelapor 359 pelapor yang terdiri dari bank, dan non bank seperti perusahaan efek, pedagang valas, lembaga pembiayaan dan asuransi.

Agus juga mengusulkan dalam amandemen UU No 6 Tahun 2009 tentang BI dimasukkan aturan mengenai batasan maksimal transaksi tunai Rp100 juta. Menurutnya, jika semua transaksi dilakukan melalui bank, maka akan mudah ditelusuri ada tidaknya praktik pencucian uang atau pendanaan terorisme.

Selain itu, dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hal itu bisa dijadikan alat bukti. “Semoga ini bisa masuk ke amandemen UU BI,” tuturnya di acara yang sama.


Terkait hal ini, Kepala Biro Humas BI Difi A Johansyah mengatakan belum mengetahui rencana amandemen UU BI, meski perubahan itu sudah diperlukan mengingat aturan lain yang sudah berbenturan dengan UU BI seperti UU OJK. Menurutnya, bank sentral masih menunggu informasi dari DPR dan Kemenkeu.

Kepala Seksi Pengawas Kepatuhan PPATK Syahril Ramadhan menambahkan, ada beberapa cara yang biasa dipakai seseorang untuk melakukan aksi pencucian uang dan pendanaan terorisme. “Dia biasanya memalsukan KTP, menggunakan pihak ketiga, transfer informal, menggunakan perusahaan legal serta private banking,” katanya.