Jumat, 20 Maret 2015

Perbedaan dan persamaan Rutan dan Lapas

Dalam sistem hukum pidana Indonesia kita mengenal istilah Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Dengan kata lain, Rutan adalah bagian dari Lembaga Tahanan/Lembaga Penahanan. Sehingga, mungkin maksud pertanyaan Anda adalah perbedaan dan persamaan antara Rutan dengan Lapas.

Secara umum, Rutan dan Lapas adalah dua lembaga yang memiliki fungsi berbeda. Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara Rutan denganLapas:

Rutan
Lapas
Tempat tersangka/terdakwa ditahan sementara sebelum keluarnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap guna menghindari tersangka/ terdakwa tersebut melarikan diri atau mengulangi perbuatannya.
Tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
Yang menghuni Rutan adalah tersangka atau terdakwa
Yang menghuni Lapas adalah narapidana/terpidana
Waktu/lamanya penahanan adalah selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
Waktu/lamanya pembinaan adalah selama proses hukuman/menjalani sanksi pidana
Tahanan ditahan di Rutan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung
Narapidana dibina di Lapas setelah dijatuhi   putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap
 
Meski berbeda pada prinsipnya, Rutan dan Lapas memiliki beberapa persamaan. Kesamaan antara Rutan dengan Lapas di antaranya, baik Rutan maupun Lapas merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (lihat pasal 2 ayat [1] PP No. 58 Tahun 1999). Selain itu, penempatan penghuni Rutan maupun Lapas sama-sama berdasarkan penggolongan umur, jenis kelamin, dan jenis tindak pidana/kejahatan (lihat pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995 dan pasal 7 PP No. 58 Tahun 1999).

Sebagai tambahan, berdasarkan pasal 38 ayat (1) jo. Penjelasan PP No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP, Menteri dapat menetapkan Lapas tertentu sebagai Rutan. Kemudian, dengan adanya Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara, Lapas dapat beralih fungsi menjadi Rutan, dan begitu pula sebaliknya.

Berdasarkan pasal 18 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1983, di tiap kabupaten atau kotamadya dibentuk Rutan. Namun kondisi yang terjadi di Indonesia adalah tidak semua kabupaten dan kotamadya di Indonesia memiliki rutan dan Lapas, sehingga Rutan difungsikan pula untuk menampung narapidana seperti halnya Lapas. Hal ini juga mengingat kondisi banyak Lapas yang ada di Indonesia, berdasarkan informasi dari berbagai sumber, telah melebihi kapasitas, karenanya terdakwa yang telah menjalani hukuman di Rutan, yang seharusnya pindah dari Rutan untuk menjalani hukuman ke Lapas, banyak yang tetap berada di dalam Rutan hingga masa hukuman mereka selesai.

Dasar hukum:
  1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  2. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
  3. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP
  4. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan
  5. Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara
 

Syarat-syarat Penangguhan Penahanan

Terkait dengan penangguhan penahanan, dapat kita lihat ketentuan yang mengaturnya dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,  (“KUHAP”) yang berbunyi atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.

Dengan demikian, untuk seseorang mendapat penangguhan penahanan, harus ada:
a.        Permintaan dari tersangka atau terdakwa;
b.        Permintaan penangguhan penahanan ini disetujui oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim yang menahan dengan atau tanpa jaminan sebagaimana ditetapkan;
c.        Ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan.

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan (hal. 215) menjelaskan bahwa salah satu perbedaan antara penangguhan penahanan dengan pembebasan dari tahanan, terletak pada “syarat”. Faktor ini merupakan “dasar” atau landasan pemberian penangguhan penahanan. Sedang dalam tindakan pembebasan, dilakukan “tanpa syarat”, sehingga tidak merupakan faktor yang mendasari pembebasan. Menurut Yahya, penetapan syarat ini merupakan conditio sine quanon dalam pemberian penangguhan. Sehingga, tanpa adanya syarat yang ditetapkan lebih dulu, penangguhan penahanan tidak boleh diberikan.

Mengenai syarat penangguhan penahanan ini selanjutnya dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 31 ayat (1) KUHAP yaitu, tersangka/terdakwa:
-           wajib lapor;
-           tidak keluar rumah;
-           tidak keluar kota.
Itulah syarat yang dapat ditetapkan dalam pemberian penangguhan penahanan. Contohnya adalah dengan membebankan kepada tahanan untuk “melapor” setiap hari, satu kali dalam setiap tiga hari atau satu kali seminggu, dan sebagainya. Atau pembebanan syarat bisa berupa tidak keluar rumah maupun tidak keluar kota.

Lebih jauh, dalam PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP diatur bahwa dalam permintaan penangguhan penahanan, ada jaminan yang disyaratkan yang bisa berupa:
1.        Jaminan Uang (Pasal 35).
-      Jaminan uang ini ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan disimpan di kepaniteraan pengadilan negeri.
-      Penyetoran uang jaminan ini dilakukan sendiri oleh pemohon atau penasihat hukumnya atau keluarganya dan untuk itu panitera memberikan tanda terima.
-      Penyetoran ini dilakukan berdasar “formulir penyetoran” yang dikeluarkan instansi yang bersangkutan.
-      Bukti setoran ini dibuat dalam rangkap tiga sesuai ketentuanangka 8 huruf f Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983Tembusan tanda penyetoran tersebut oleh panitera disampaikan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan untuk menjadi dasar bagi pejabat yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat penetapan penangguhan penahanan.
-      Apabila kemudian tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah melewati waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik negara dan disetor ke Kas Negara.

2.        Jaminan Orang (Pasal 36).
-      Orang penjamin bisa penasihat hukumnya, keluarganya, atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan tahanan.
-      Penjamin memberi “pernyataan” dan kepastian kepada instansi yang menahan bahwa dia “bersedia” dan bertanggung jawab memikul segala risiko dan akibat yang timbul apabila tahanan melarikan diri.
-      Identitas orang yang menjamin harus disebutkan secara jelas.
-      Instansi yang menahan menetapkan besarnya jumlah uang yang harus ditanggung oleh penjamin, yang disebut “uang tanggungan” (apabila tersangka/terdakwa melarikan diri).
-      Pengeluaran surat perintah penangguhan didasarkan atas surat jaminan dari si penjamin.

Timbulnya kewajiban orang yang menjamin menyetor uang tanggungan yang ditetapkan dalam perjanjian penangguhan penahanan:
a.      Apabila tersangka/terdakwa melarikan diri;
b.      Dan setelah lewat 3 bulan tidak ditemukan;
c.      Penyetoran uang tanggungan ke kas Negara dilakukan oleh orang yang menjamin melalui panitera Pengadilan Negeri;
d.      Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang ditentukan tersebut, jurusita menyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke Kas Negara melalui panitera pengadilan negeri.

Jadi, untuk seseorang tersangka/terdakwa dapat ditangguhkan penahanannya, perlu dipenuhi syarat-syarat dan ada jaminan yang harus diberikan sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Namun, hal-hal yang disebutkan di atas adalah dalam ranah normatif dan dapat berbeda dengan praktiknya di lapangan. Pada praktik di lapangan, seperti ditulis dalam artikel Penangguhan Penahanan Dengan Uang Jaminan Perlu Diperjelas, penangguhan penahanan tersangka atau terdakwa dengan jaminan uang sangat berbeda dari yang diatur di dalam KUHAP serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Misalnya saja, pihak panitera pengadilan negeri tidak pernah memberikan tanda terima atas penyerahan uang jaminan yang diberikan pihak tersangka atau kuasa hukumnya. Selain itu, seperti dikatakan advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang dikutip dalam artikel tersebut, uang jaminan atas penangguhan penahanan yang diberikan sebelumnya, seringkali tidak pernah dikembalikan kepada pihak yang memberikannya meski terdakwa kemudian dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
3.      Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983

perbedaan hak tersangka & terpidana

Sebelum kita berbicara tentang hak-hak dari Tersangka / Terdakwa dan Terpidana, kita harus tahu dulu perbedaan antara seorang terdakwa dengan Terpidana.

Bahwa berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 1, yang dimaksud dengan:

         Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

         Terdakwa adalah seorang Tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di persidangan.

         Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Setelah kita mengetahui difinisi dari masing-masing status seseorang barulah kita dapat berbicara tentang hak-haknya didalam melakukan proses hukum yang berlaku.

v      HAK-HAK TERSANGKA / TERDAKWA, ADALAH SEBAGAI BERIKUT :  

1. Dalam Proses Penangkapan

1)        Bahwa seseorang ditangkap harus ada bukti permulaan yang cukup / alasan kenapa seseorang tersebut ditangkap.
2)        Pada saat ditangkap, yang berhak melakukan penangkapan hanyalah :
a.      Penyidik yaitu :
         Pejabat polisi Negara RI yang minimal berpangkat inspektur Dua (Ipda).
         Pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus UU, yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu).
b.      Penyidik pembantu, yaitu :
         Pejabat kepolisian Negara RI dengan pangkat minimal brigadier dua (Bripda).
         Pejabat pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian Negara RIyang minimal berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a atau yang disamakan dengan itu).
3)  Pada saat seseorang ditangkap dia dapat melakukan :
         Meminta surat tugas dari petugas kepolisian yang akan menangkap anda.
         Meminta surat perintah penangkapannya.
         Teliti surat perintahnya, mengenai identitasnya, alasan pengkapan, dan tempat diperiksa.
4)  Setelah sesorang ditangkap maka dia berhak untuk melakukan :
         Menghubungi dan didampingi oleh seorang penasehat hukum/pengacara.
         Segera diperiksa oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
         Minta untuk dilepaskan setelah lewat dari 1 X 24 jam.
         Diperiksa tanpa tekanan seperti ; intimidasi, ditaku-takuti dan disiksa secara fisik.

2. Dalam Proses Penahanan

Hak-hak anda jika ditahan, antara lain adalah :
1)    Menghubungi dan didampingi pengacara.
2)    Segera diperiksa oleh penyidik setelah 1 hari ditahan.
3)    Menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain untuk kepentingan penangguhan penahanan atau usaha mendapat bantuan hukum.
4)    Meminta atau mengajukan pengguhan penahanan.
5)    Menghubungi atau menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan.
6)    Menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga.
7)    Mengirim surat atau menerima surat dari penasehat hukum dan sanak keluarga tanpa diperiksa oleh penyidik/penuntut umum/hakim/pejabat rumah tahanan Negara.
8)    Menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan.
9)    Bebas dari tekanan seperti; diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik.

3. Dalam Proses Penggeledahan.

Hak-hak anda bila digeledah antara lain, adalah :
1)        Sebelum digeledah, anda dan keluarga berhak ditunjukkan tanda pengenak penyidik yang akan melakukan penggeledahan.
2)        Anda berhak untuk tidak menandatangi berita acara penggeledahan, hal itu akan dicatat dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya.
3)        Dua (2) hari setelah rumah anda dimasuki atau digeledah, harus dicabut berita acara dan turunannya diberikan kepada anda.
4)        Bila anda seorang tersangka dan ditangkap polisi yang bukan penyidik, maka anda hanya boleh digeledah (pakaian dab benda yang dibawa) bila ada dugaan keras dengan alasan yang cukup bila anda membawa benda yang dapat disita.
5)        Bila anda seorang tersangka yang ditangkap oleh penyidik atau dibawa kepada penyidik, maka anda bisa digeledah baik pakaian maupun badan dan tanpa perlu ada dugaan dan alasan yang cukup. 


v      HAK-HAK TERPIDANA, ADALAH SEBAGAI BERIKUT :

  1. Seseorang terdakwa yang telah diputus berhak untuk mendapatkan petikan surat putusan pengadilan yang dapat diberikan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya segera setelah putusan diucapkan.
  2. Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik, sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan atas permintaan.
  3. Pada saat menjalini hukuman, seorang Terpidana juga berhak untuk :
1)  Menghubungi dan didampingi pengacara.
2) Menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain untuk kepentingan penangguhan penahanan atau usaha mendapat bantuan hukum.
3)  Menghubungi atau menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan.
4)  Menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga.
5) Mengirim surat atau menerima surat dari penasehat hukum dan sanak keluarga tanpa diperiksa oleh penyidik/penuntut umum/hakim/pejabat rumah tahanan Negara.
6) Menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan.
7) Bebas dari tekanan seperti; diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik.

Demikianlah semoga bermanfaat.

Penahanan dan Keabsahan Surat Panggilan Tersangka

Berdasarkan Pasal 21 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), surat penahanan sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
-         Identitas tersangka atau terdakwa;
-         Alasan penahanan;
-         Uraian singkat perkara;
-         Kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan;
-         Tempat ditahan.
 
Selain itu, tembusan dari surat perintah penahanan itu harus diberikan kepada keluarganya (lihat Pasal 21 ayat [3] KUHAP).
 
2.      Untuk menetapkan tersangka, pihak penyidik harus menerbitkan Surat Perintah Dimulai Penyidikan sebagai pemberitahuan kepada Jaksa yang kemudian dilanjutkan proses penyidikan untuk memperoleh nama-nama yang dijadikan tersangka (lihat Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana). Setelah itu, penyidik memanggil tersangka (serta saksi-saksi) untuk diperiksa. Lebih jauh simak artikel kami, P-18, P-19, P-21, dan Lain-lain.
 
Surat panggilan tersangka diatur dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Dalam penjelasan Pasal 112 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa surat panggilan yang sah adalah surat panggilan yangditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.
 
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pemanggilan seorang tersangka atau saksi harus memenuhi kedua syarat di atas yaitu:
-         Dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas. Dalam praktiknya, “alasan pemanggilan yang jelas” berarti surat panggilan disertai dengan uraian singkat mengenai perkara beserta pasal-pasal yang disangkakan; dan
-         Dipanggil dengan surat panggilan yang sah (ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang).
 
Jadi, yang menentukan keabsahan surat panggilan tersangka adalah adanya tanda tangan dari penyidik yang berwenang dalam surat panggilan tersebut. Sedangkan, tidak dicantumkannya pasal-pasal yang dilanggar/disangkakan, maka hal tersebut tidak membuat surat panggilan tersebut menjadi tidak sah.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:

Tata cara Peradilan Anak

Pertama, harus dibedakan antara peradilan anak dengan pengadilan anak. Peradilan anak adalah sebuah sistem peradilan untuk anak yang terintegrasi mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, bantuan hukum dan pelayanan lainnya, hingga pemasyarakatan.  Tetapi pengadilan anak adalah proses yang lebih terfokus pada jalannya sidang anak atau pada tahap pengadilan.  Indonesia hanya memiliki aturan mengenai pengadilan anak, yaitu di dalam Undang-undang no 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak).  Meskipun di dalamnya juga mengatur mengenai proses pra-pengadilan khusus untuk anak, tetapi hanya menyentuh persoalan acaranya saja, seperti batas masa tahanan, tata cara sidang anak, jenis-jenis hukuman dll.

Hukum kita belum membatasi jenis tindak pidana apa saja yang dapat didakwaan pada anak.  Inilah salah satu kelemahan hukum kita yang belum melindungi anak.  Pada dasarnya saat ini, anak dapat dipidana untuk semua jenis pelanggaran hukum yang diatur oleh KUHP.  Yang dibedakan hanya masa tahanan dan masa hukuman yang dapat dikenakan. Bahkan usia minimum pertanggungjawaban kriminal di negara kita adalah 8 tahun.  Berarti, anak kelas 2 SD bisa dikenai sanksi pidana.

Idealnya untuk anak, penahanan dan pemenjaraan harus menjadi upaya yang paling akhir dan kalaupun terpaksa dilakukan harus untuk masa yang paling singkat.  Hal ini sudah diatur di dalam Undang-undang  no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 16 butir c. Berdasarkan hal itu pula, saat ini tengah dilakukan upaya revisi UU Pengadilan Anak menjadi undang-undang yang lebih komprehensif mengatur mengenai pra-ajudikasi, ajudikasi dan pasca ajudikasi untuk anak.  Proses peradilan tidak pernah berdampak baik pada anak karena akan menimbulkan trauma, stigmatisasi dan resiko mengalami kekerasan dan eksploitasi.  Oleh karena itu, bagi anak, diversi atau pengalihan dari sistem peradilan formal kepada mekanisme penanganan berbasis keluarga dan masyarakat adalah langkah yang terbaik.