Jumat, 13 Maret 2015

Bisakah Ayah Membatalkan Perkawinan Anaknya yang Lama Diterlantarkan?

Sebelumnya perlu kami jelaskan dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan pembatalan perkawinan. Secara sederhana pembatalan perkawinan berarti upaya hukum untuk membuat perkawinan yang sudah dilaksanakan menjadi tidak sah, dan karenanya dianggap tidak pernah terjadi.

Menurut Pasal 37 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.

Sebab-sebab yang dapat dijadikan alasan untuk mengajukan pembatalan perkawinan adalah:
a.      Para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (lihat Pasal 22 UUP);
b.      Salah satu pihak melangsungkan perkawinan padahal masih terikat perkawinan dengan pihak lain (lihat Pasal 24 UUP);
c.      Perkawinan dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi (lihat Pasal 26 ayat [1] UUP);
d.      Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (lihat Pasal 27 ayat [1] UUP); atau
e.      Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri (lihat Pasal 27 ayat [2] UUP).

Sehingga, tanpa adanya salah satu alasan tersebut di atas, maka tidak dapat diajukan pembatalan perkawinan. Simak juga Batalkah Perkawinan Jika Ada Kesalahan Dalam Akta Nikah?

Ayah dari suami atau istri memang termasuk pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan sesuai ketentuan Pasal 23 huruf a Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”).

Dari cerita Anda tidak terlalu jelas apakah ayah dari pihak istri atau suami yang hendak mengajukan pembatalan perkawinan dengan alasan perkawinan dilakukan tanpa izin darinya/pakai wali hakim. Namun, secara umum dapat kami jelaskan tentang syarat-syarat perkawinan bahwa;
-         seseorang yang telah berusia 21 tahun atau lebih tidak memerlukan persetujuan orang tuanya untuk melangsungkan perkawinan (lihat Pasal 6 ayat [2] UUP); dan
-         pihak mempelai wanita boleh dinikahkan oleh wali hakim apabila wali nasab (kerabat) tidak ada atau tidak mungkin dihadirkan atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan (lihat Pasal 23 ayat [2] Kompilasi Hukum Islam). Lebih jauh tentang wali nikah, simak Sahkah Perkawinan Jika Wali Nikah Bukan Orang Tua Mempelai?

Jadi, selama perkawinan suami-istri tersebut telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UUP dan peraturan pelaksaannya), maka ayah dari suami/istri yang bersangkutan tidak punya alasan untuk mengajukan pembatalan perkawinan tersebut ataupun mempidanakannya.

Justru ayah dari suami/istri tersebut dapat dipidanakan karena meninggalkan kewajiban-kewajibannya terhadap keluarganya yang dapat dijerat dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”). Dalam Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT diatur bahwa “setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.” Orang yang melanggar pasal tersebut diancam pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (lihat Pasal 49 huruf a jo Pasal 9 ayat [1] UU PKDRT).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
3.      Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991);
4.      Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga;

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.




Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer

Bukti Terkuat untuk Minta Pembatalan Nikah

Jika mengajukan permohonan pembatalan perkawinan karena sangkaan ada penipuan status yang dilakukan pasangan, maka Anda perlu memperkuat alat bukti tentang sangkaan penipuan status itu.
 
Menurut Kompilasi Hukum Islam (Perkawinan), penipuan menjadi salah satu dasar yang sah untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.
 
Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini.
 
 
Ulasan
Kami ikut prihatin dengan kasus yang menimpa Anda. Bagaimanapun, kami yakin tak ada orang yang menginginkan perkawinannya bubar sejak awal jika pernikahan itu didasarkan pada niat baik. Dalam Islam, pernikahan adalah sesuatu yang suci.
 
Pembatalan pernikahan adalah mekanisme yang dijamin hukum. Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebut tegas bahwa ‘perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan’. Permohonan pembatalan dapat diajukan isteri atau suami. Dari sisi formal ketentuan UU Perkawinan, tentu Anda berhak mengajukan pembatalan perkawinan. Anda bisa membaca artikel ‘Ingin Membatalkan Perkawinan Setelah 5 Hari Menikah’.
 
Kalau kami tak salah memahami, persoalan Anda berkaitan dengan Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan yang menyebutkan: “Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri”.
 
Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menambahkan frasa ‘penipuanatau salah sangka, sehingga menjadi:
 
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri”.  
 
Menurut H. Abdul Manan (2006a: 66-67), biasanya penipuan itu dilakukan dalam bentuk pemalsuan identitas, misalnya mengakui perjaka padahal sudah pernah menikah. Penipuan bisa dilakukan suami, bisa pula oleh isteri.
 
Jika merasa ada penipuan yang dilakukan suami, maka UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam memberikan hak kepada Anda untuk mengajukan permohonan pembatalan pernikahan. Masalahnya, seperti Anda sampaikan, sangkaan Anda mengenai ‘penipuan’ status suami itu berdasarkan bukti chatting, status di media sosial, keterangan saksi, dan pernyataan lisan.
 
Di Pengadilan Agama, alat-alat bukti yang dikenal adalah:
·  Alat bukti surat (tulisan)
·  Alat bukti saksi
·  Persangkaan (dugaan)
·  Pengakuan
·  Sumpah
 
Ini adalah alat bukti pada umumnya, belum menjadi alat bukti menurut hukum. Agar alat bukti tadi sah sebagai alat bukti menurut hukum, maka alat bukti yang diajukan harus memenuhi syarat formal dan material (H. Abdul Manan, 2006b: 239). Dihubungkan dengan cerita Anda, maka saksi yang mengetahui peristiwa kebohongan atas status perjaka, status palsu PNS, dan perkawinan siri adalah alat bukti. Syaratnya, dalam hukum dikenal prinsip ‘satu saksi bukan saksi’.
 
Mengenai perkawinan siri, misalnya. Apakah Anda mempunyai bukti foto, atau orang yang ikut menyaksikan pernikahan itu? Jika ya, foto dan orang yang melihat langsung pernikahan siri itu layak Anda ajukan ke depan hakim. Satu hal yang pasti posisi Anda (nanti) sebagai PNS, atau suami Anda (jika benar) PNS, ada hambatan yuridis untuk melangsungkan pernikahan kedua. PNS tak bisa jadi isteri kedua, sebaliknya pria PNS tak bisa nikah lagi tanpa izin atasan. Hambatan itu jelas tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983, sebagaimana diubah dengan PP No. 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
 
Lagipula penting diingat bahwa perkawinan siri yang memenuhi syarat dan rukun perkawinan adalah pernikahan yang sah. Anak-anak yang  lahir dari perkawinan itu adalah anak yang sah (Neng Djubaidah, 2010: 350), sehingga perkawinan suami dengan Anda tak bisa disebut sebagai perkawinan pertama. Apakah Anda punya alat bukti atas perkawinan siri itu, misalnya dokumen tertulis?
 
Alat bukti surat (tertulis) pada prinsipnya sangat kuat, apalagi yang berbentuk akta otentik. Dikatakan dalam hukum bahwa akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat. Dalam konteks ini, Anda sebaiknya mencetak (print out) chatting dan status di media sosial yang Anda sebut karena ada kemungkinan hakim mengklarifikasi bukti-bukti ini di persidangan. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan alat bukti elekronik seperti chatting, silakan baca artikel ‘Syarat dan Kekuatan Alat Bukti Elektronik’, dan ‘Email Sebagai Alat Bukti Perkara Perdata’.
 
Surat yang menyatakan suami Anda bukan PNS juga bisa dijadikan alat bukti. Misalnya, suami mengatakan ia bekerja sebagai PNS di suatu instansi. Anda bisa meminta konfirmasi/klarifikasi ke instansi tersebut apakah benar suami Anda bekerja di sana. Surat dari instansi dimaksud bisa menjadi bukti yang kuat atas terjadinya ‘penipuan’ status.
 
Alat bukti lain yang juga Anda sebut adalah pengakuan lisan suami dan anggota keluarganya. Kami tidak mendapatkan cukup informasi apakah pengakuan lisan itu disampaikan kepada Anda atau orang lain, dan dari orang lain itulah Anda mendapatkan cerita. Jika yang mendengar langsung pengakuan itu adalah orang lain, maka orang lain tersebut bisa Anda ajukan sebagai saksi.
 
Pengakuan (ikrar) adalah pengakuan mengenai ada tidaknya sesuatu, ia adalah pernyataan yang bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain (Gemala Dewi, 2005: 135). Untuk membuktikan pengakuan seperti yang Anda maksud sangat tergantung pada hakim. Hakimlah yang menentukan urgensi pengakuan lisan yang dibuat di luar sidang (M. Fauzan, 2005: 52).
 
Semakin banyak bukti yang Anda ajukan, semakin kuat kemungkinan argumentasi hukum yang Anda sampaikan ke persidangan. Tetapi penilaian atas semua bukti tersebut ada di tangan hakim.
 
Demikian jawaban singkat kami atas pertanyaan Anda. Hal-hal detil mengenai pembuktian dan alat-alat bukti yang memperkuat argumentasi hukum permohonan Anda sebaiknya dikonsultasikan dengan pengacara.
 
Dasar Hukum:
3.    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (HIR)
4.    Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan PP No. 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

Penerbitan Kartu Keluarga untuk Perkawinan Siri

Syarat penerbitan kartu keluarga (KK) salah satunya adalahmenunjukan kutipan akta perkawinan. Sedangkan akta perkawinan diterbitkan atas dasar perkawinan yang dicatatkan. Ini artinya, penerbitan kartu keluarga diperuntukkan bagi perkawinan yang dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan perkawinan siri.
 
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Kartu Keluarga (“KK”) adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 13Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”).
 
Guna menyederhanakan jawaban kami, kami simpulkan bahwa maksud penerbitan KK di sini adalah penerbitan KK yang baru, bukan penerbitan KK karena adanya perubahan seperti misalnya penambahan anggota keluarga yang baru.
 
KK merupakan salah satu dokumen kependudukan dan diterbitkan dan ditandatangani oleh Kepala Instansi Pelaksana sebagaimana disebut dalamPasal 59 ayat (1) huruf b dan ayat (3) UU Adminduk.
 
Adapun yang dimaksud dengan Instansi Pelakasana di sini yaitu perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan (Pasal 1 angka 7 UU Adminduk).
 
Berdasarkan penelusuran kami dalam UU Adminduk maupun peraturan pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2012 (“PP Adminduk”), syarat-syarat penerbitan KK baru tidak diatur.
 
Namun, hal itu diatur kemudian di masing-masing daerah. Sebagai contoh dapat kita lihat di kota Surabaya. Dalam laman resmi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya telah diatur beberapa persyaratan permohonan penerbitan KK yang baru, yaitu:
1.    Fotocopy Akta Kawin;
2.    Surat Keterangan Jaminan Tempat Tinggal dari pemilik rumah diketahui oleh RT dan RW;
3.    KTP pemilik rumah;
4.    Surat Keterangan Pindah Datang (bila yang pindah dalam wilayah Negara Republik Indonesia);
5.    Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri (bagi yang datang dari Luar Negeri karena pindah);
6.    Akta Kelahiran/Biodata (bila ada).
 
Di lain daerah, dalam laman resmi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta juga diatur syarat-syarat permohonan penerbitan KK baru, yaitu:
1.    Pengantar dari RT dan RW;
2.    Melampirkan foto copy Buku Nikah/Akta Perkawinan (bagi pemohon yang sudah menikah dan dilegalisir pejabat berwenang);
3.    Surat Keterangan Pindah dan atau Surat Keterangan Pindah Datang dan telah tinggal atau berdomisili 1 (satu) tahun kecuali atas ijin Walikota melalui Kepala Dinas bagi yang kurang dari 1 (satu) tahun;
4.    Surat Pernyataan domisili bermeterai cukup yang ditandatangani tetangga terdekat di tempat tujuan dengan melampirkan foto copy KTP yang masih berlaku;
5.    Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri yang diterbitkan oleh Dinas bagi penduduk yang datang dari luar negeri karena pindah;
6.    Perubahan KK karena penambahan anggota keluarga yang mengalami kelahiran.
 
Anda mengatakan bahwa perkawinan Anda dilakukan secara siri, artinya perkawinan Anda sah secara agama, namun tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait hal ini, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(“UU Perkawinan”) menyebutkan adanya kewajiban untuk tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Persoalan Kawin Siri dan Perzinahan, perkawinan dicatatkan guna mendapatkan akta perkawinan. Akta perkawinan adalah bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan, bukan yang menentukan sah tidaknya perkawinan. Tidak ada bukti inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum (legalitas) di hadapan Negara.
 
Pencatatan perkawinan juga merupakan bukti telah terjadi/berlangsungnya sebuah perkawinan. Dengan adanya pencatatan ini, maka suami dan istri selanjutnya memperoleh kutipan akta perkawinan atau lebih populer di masyarakat dengan istilah “buku nikah”. Kutipan Akta Perkawinan merupakan bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan sekaligus bukti yang memberikan kedudukan hukum yang jelas terhadap suami, istri, dan anak-anak yang yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Demikian antara lain yang dijelaskan dalam artikel Menikah Sirri dengan Wanita Bersuami.
 
Menjawab pertanyaan Anda, dari sejumlah persyaratan yang kami sebutkan di atas, dapat kita ketahui bahwa untuk menerbitkan KK baru disyaratkan salah satunya adalah adanya foto copy Buku Nikah/Akta Perkawinan dari pemohon. Dengan demikian, perkawinan Anda dengan pasangan secara siri tidak dibuktikan dengan adanya Buku Nikah/Akta Perkawinan tersebut sehingga tidak memenuhi persyaratan untuk penerbitan KK baru.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
 
Referensi:

Kawin Beda Agama Menurut Hukum Indonesia

Untuk menjawab pertanyaan Saudara, maka kami akan menjelaskan pengaturan mengenai syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”). Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 UUP adalah :
 
1.      Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu.
 
2.      Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (“PP No. 9/1975”). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (lihat Pasal 2 PP No. 9/1975).

Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing.
 
Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah [2]: 221). Selain itu, juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6: 14-18). Lebih lanjut mengenai permasalahan apa saja yang mungkin timbul dalam perkawinan beda agama simak artikelKawin Beda Agama Itu Kira-kira Bakal Munculin Permasalahan Apa Saja Ya?
 
Dalam hal ini karena Anda sebagai pihak laki-laki yang beragama Islam, dan dalam ajaran Islam masih diperbolehkan untuk menikah beda agama apabila pihak laki-laki yang beragama Islam dan pihak perempuan beragama lain. Namun, dalam ajaran Katolik yang dianut oleh pasangan Anda pada prinsipnya dilarang adanya perkawinan beda agama.
 
Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1.      meminta penetapan pengadilan,
2.      perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama,
3.      penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan
4.      menikah di luar negeri.
 
Dalam artikel Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama, kita juga ketahui bahwa benar ada yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yaitu Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986. Putusan MA tersebut antara lain menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil saat itu diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Andi Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan (laki-laki/Kristen).
 
Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil maka Andi Vonny telah memilih untuk perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, Andi Vonny memilih untuk mengikuti agama Andrianus, maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut.
 
Dalam hal ini apabila Anda berkeinginan untuk mencatatkan perkawinan di KCS, maka berdasarkan pada putusan MA tersebut Anda dapat memilih untuk menundukkan diri dan melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Kemudian, apabila permohonan pencatatan perkawinan Anda dikabulkan oleh pihak Kantor Catatan Sipil, maka perkawinan Anda adalah sah menurut hukum. Lebih jauh mengenai isi putusan MA tersebut silahkan unduh di sini.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:

Usia Berapa Anak Berhak Memilih Agama Sendiri?

Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Pada dasarnya, hak beragama merupakan salah satu hak dasar manusia yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun, demikian antara lain yang dikatakan dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”). Hak beragama itu sendiri termaktub dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2)Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”):
 
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
 
Negara juga menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu [Pasal 29 ayat (2) UUD 1945].
 
Kami asumsikan anak yang Anda maksud adalah anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 UU Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”). Lebih khusus lagi, Pasal 6 UU Perlindungan Anak telah mengatur bahwa setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
 
Ini artinya, hak beragama telah melekat pada diri manusia dan dilindungi sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, dalam konteks pertanyaan Anda, pada dasarnya anak sejak lahir telah memiliki hak beragama. Akan tetapi, sebelum ia dapat menentukan pilihannya, agama anak memang mengikuti agama yang dianut oleh orang tuanya. Hal ini tertuang dalamPasal 42 ayat (2) UU Perlindungan Anak yang berbunyi:
 
Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.
 
Menurut penjelasan pasal ini, anak dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Hal ini juga didukung oleh Pasal 55 UU HAM yang mengatakan bahwa setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.
 
Ini artinya, menjawab pertanyaan Anda, baik dalam UU Perlindungan Anak maupun dalam UU HAM tidak memberikan batasan usia kapan seorang anak berhak memilih agama yang ia anut dan tidak lagi mengikuti agama yang dipeluk orang tuanya. Yang menjadi patokan adalah selama anak itu telah berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi persyaratan dalam agama yang dipilihnya, maka ia berhak menentukan pilihan agamanya sendiri.
 
Perlu Anda ketahui, memang benar bahwa seorang anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Hal ini disebut dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Anak yang demikian berada di bawah kekuasaan orang tuanya, dan orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan [lihat Pasal 47 ayat (2) UU Perkawinan]. Penjelasan lebih lanjut mengenai usia dewasa ini dapat Anda simak dalam artikelPerbedaan Batasan Usia Cakap Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan.
 
Ini artinya, jika sudah berusia 18 tahun, orang tersebut tidak lagi berada dalam kekuasaan orangtua. Dengan demikian secara hukum sudah dianggap dewasa, sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa perlu izin dari orang tua. Jadi, merujuk pada batasan apa yang disebut dengan anak dan mengenai kekuasan orang tua, maka jika usia si anak sudah 18 tahun, ia sudah dianggap cukup dewasa untuk menentukan agamanya sendiri tanpa berada lagi di pengawasan orang tua.
 
Dengan demikian, pada dasarnya undang-undang tidak memberikan batasan usia kapan anak berhak memilih agama yang ia anut. Selama ia sudah berakal dan bertanggung jawab, maka ia berhak memilih agama yang ia yakini. Namun, jika dilihat lagi dari konteks pengawasan orang tua, maka ia sudah berhak memilih agamanya sendiri pada usia 18 tahun.
 
Selanjutnya kami akan membahas pertanyaan Anda berikutnya tentang adakah peraturan tentang sanksi bagi mereka yang mengajarkan agama lain kepada seorang anak yang telah mempunyai agamanya sendiri. Sepanjang penelusuran kami, tidak ada sanksi bagi mereka yang mengajarkan agama lain kepada seorang anak yang telah memiliki agamanya sendiri. Akan tetapi jika orang membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, maka ada sanksi pidananya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 86  UU Perlindungan Anak:
 
Pasal 86 UU Perlindungan Anak:
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum: