Jumat, 13 Maret 2015

Penerbitan Kartu Keluarga untuk Perkawinan Siri

Syarat penerbitan kartu keluarga (KK) salah satunya adalahmenunjukan kutipan akta perkawinan. Sedangkan akta perkawinan diterbitkan atas dasar perkawinan yang dicatatkan. Ini artinya, penerbitan kartu keluarga diperuntukkan bagi perkawinan yang dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan perkawinan siri.
 
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Kartu Keluarga (“KK”) adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 13Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”).
 
Guna menyederhanakan jawaban kami, kami simpulkan bahwa maksud penerbitan KK di sini adalah penerbitan KK yang baru, bukan penerbitan KK karena adanya perubahan seperti misalnya penambahan anggota keluarga yang baru.
 
KK merupakan salah satu dokumen kependudukan dan diterbitkan dan ditandatangani oleh Kepala Instansi Pelaksana sebagaimana disebut dalamPasal 59 ayat (1) huruf b dan ayat (3) UU Adminduk.
 
Adapun yang dimaksud dengan Instansi Pelakasana di sini yaitu perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan (Pasal 1 angka 7 UU Adminduk).
 
Berdasarkan penelusuran kami dalam UU Adminduk maupun peraturan pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2012 (“PP Adminduk”), syarat-syarat penerbitan KK baru tidak diatur.
 
Namun, hal itu diatur kemudian di masing-masing daerah. Sebagai contoh dapat kita lihat di kota Surabaya. Dalam laman resmi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya telah diatur beberapa persyaratan permohonan penerbitan KK yang baru, yaitu:
1.    Fotocopy Akta Kawin;
2.    Surat Keterangan Jaminan Tempat Tinggal dari pemilik rumah diketahui oleh RT dan RW;
3.    KTP pemilik rumah;
4.    Surat Keterangan Pindah Datang (bila yang pindah dalam wilayah Negara Republik Indonesia);
5.    Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri (bagi yang datang dari Luar Negeri karena pindah);
6.    Akta Kelahiran/Biodata (bila ada).
 
Di lain daerah, dalam laman resmi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta juga diatur syarat-syarat permohonan penerbitan KK baru, yaitu:
1.    Pengantar dari RT dan RW;
2.    Melampirkan foto copy Buku Nikah/Akta Perkawinan (bagi pemohon yang sudah menikah dan dilegalisir pejabat berwenang);
3.    Surat Keterangan Pindah dan atau Surat Keterangan Pindah Datang dan telah tinggal atau berdomisili 1 (satu) tahun kecuali atas ijin Walikota melalui Kepala Dinas bagi yang kurang dari 1 (satu) tahun;
4.    Surat Pernyataan domisili bermeterai cukup yang ditandatangani tetangga terdekat di tempat tujuan dengan melampirkan foto copy KTP yang masih berlaku;
5.    Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri yang diterbitkan oleh Dinas bagi penduduk yang datang dari luar negeri karena pindah;
6.    Perubahan KK karena penambahan anggota keluarga yang mengalami kelahiran.
 
Anda mengatakan bahwa perkawinan Anda dilakukan secara siri, artinya perkawinan Anda sah secara agama, namun tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait hal ini, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(“UU Perkawinan”) menyebutkan adanya kewajiban untuk tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Persoalan Kawin Siri dan Perzinahan, perkawinan dicatatkan guna mendapatkan akta perkawinan. Akta perkawinan adalah bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan, bukan yang menentukan sah tidaknya perkawinan. Tidak ada bukti inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum (legalitas) di hadapan Negara.
 
Pencatatan perkawinan juga merupakan bukti telah terjadi/berlangsungnya sebuah perkawinan. Dengan adanya pencatatan ini, maka suami dan istri selanjutnya memperoleh kutipan akta perkawinan atau lebih populer di masyarakat dengan istilah “buku nikah”. Kutipan Akta Perkawinan merupakan bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan sekaligus bukti yang memberikan kedudukan hukum yang jelas terhadap suami, istri, dan anak-anak yang yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Demikian antara lain yang dijelaskan dalam artikel Menikah Sirri dengan Wanita Bersuami.
 
Menjawab pertanyaan Anda, dari sejumlah persyaratan yang kami sebutkan di atas, dapat kita ketahui bahwa untuk menerbitkan KK baru disyaratkan salah satunya adalah adanya foto copy Buku Nikah/Akta Perkawinan dari pemohon. Dengan demikian, perkawinan Anda dengan pasangan secara siri tidak dibuktikan dengan adanya Buku Nikah/Akta Perkawinan tersebut sehingga tidak memenuhi persyaratan untuk penerbitan KK baru.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
 
Referensi:

Kawin Beda Agama Menurut Hukum Indonesia

Untuk menjawab pertanyaan Saudara, maka kami akan menjelaskan pengaturan mengenai syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”). Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 UUP adalah :
 
1.      Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu.
 
2.      Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (“PP No. 9/1975”). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (lihat Pasal 2 PP No. 9/1975).

Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing.
 
Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah [2]: 221). Selain itu, juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6: 14-18). Lebih lanjut mengenai permasalahan apa saja yang mungkin timbul dalam perkawinan beda agama simak artikelKawin Beda Agama Itu Kira-kira Bakal Munculin Permasalahan Apa Saja Ya?
 
Dalam hal ini karena Anda sebagai pihak laki-laki yang beragama Islam, dan dalam ajaran Islam masih diperbolehkan untuk menikah beda agama apabila pihak laki-laki yang beragama Islam dan pihak perempuan beragama lain. Namun, dalam ajaran Katolik yang dianut oleh pasangan Anda pada prinsipnya dilarang adanya perkawinan beda agama.
 
Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1.      meminta penetapan pengadilan,
2.      perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama,
3.      penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan
4.      menikah di luar negeri.
 
Dalam artikel Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama, kita juga ketahui bahwa benar ada yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yaitu Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986. Putusan MA tersebut antara lain menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil saat itu diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Andi Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan (laki-laki/Kristen).
 
Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil maka Andi Vonny telah memilih untuk perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, Andi Vonny memilih untuk mengikuti agama Andrianus, maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut.
 
Dalam hal ini apabila Anda berkeinginan untuk mencatatkan perkawinan di KCS, maka berdasarkan pada putusan MA tersebut Anda dapat memilih untuk menundukkan diri dan melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Kemudian, apabila permohonan pencatatan perkawinan Anda dikabulkan oleh pihak Kantor Catatan Sipil, maka perkawinan Anda adalah sah menurut hukum. Lebih jauh mengenai isi putusan MA tersebut silahkan unduh di sini.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:

Usia Berapa Anak Berhak Memilih Agama Sendiri?

Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Pada dasarnya, hak beragama merupakan salah satu hak dasar manusia yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun, demikian antara lain yang dikatakan dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”). Hak beragama itu sendiri termaktub dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2)Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”):
 
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
 
Negara juga menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu [Pasal 29 ayat (2) UUD 1945].
 
Kami asumsikan anak yang Anda maksud adalah anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 UU Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”). Lebih khusus lagi, Pasal 6 UU Perlindungan Anak telah mengatur bahwa setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
 
Ini artinya, hak beragama telah melekat pada diri manusia dan dilindungi sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, dalam konteks pertanyaan Anda, pada dasarnya anak sejak lahir telah memiliki hak beragama. Akan tetapi, sebelum ia dapat menentukan pilihannya, agama anak memang mengikuti agama yang dianut oleh orang tuanya. Hal ini tertuang dalamPasal 42 ayat (2) UU Perlindungan Anak yang berbunyi:
 
Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.
 
Menurut penjelasan pasal ini, anak dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Hal ini juga didukung oleh Pasal 55 UU HAM yang mengatakan bahwa setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.
 
Ini artinya, menjawab pertanyaan Anda, baik dalam UU Perlindungan Anak maupun dalam UU HAM tidak memberikan batasan usia kapan seorang anak berhak memilih agama yang ia anut dan tidak lagi mengikuti agama yang dipeluk orang tuanya. Yang menjadi patokan adalah selama anak itu telah berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi persyaratan dalam agama yang dipilihnya, maka ia berhak menentukan pilihan agamanya sendiri.
 
Perlu Anda ketahui, memang benar bahwa seorang anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Hal ini disebut dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Anak yang demikian berada di bawah kekuasaan orang tuanya, dan orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan [lihat Pasal 47 ayat (2) UU Perkawinan]. Penjelasan lebih lanjut mengenai usia dewasa ini dapat Anda simak dalam artikelPerbedaan Batasan Usia Cakap Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan.
 
Ini artinya, jika sudah berusia 18 tahun, orang tersebut tidak lagi berada dalam kekuasaan orangtua. Dengan demikian secara hukum sudah dianggap dewasa, sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa perlu izin dari orang tua. Jadi, merujuk pada batasan apa yang disebut dengan anak dan mengenai kekuasan orang tua, maka jika usia si anak sudah 18 tahun, ia sudah dianggap cukup dewasa untuk menentukan agamanya sendiri tanpa berada lagi di pengawasan orang tua.
 
Dengan demikian, pada dasarnya undang-undang tidak memberikan batasan usia kapan anak berhak memilih agama yang ia anut. Selama ia sudah berakal dan bertanggung jawab, maka ia berhak memilih agama yang ia yakini. Namun, jika dilihat lagi dari konteks pengawasan orang tua, maka ia sudah berhak memilih agamanya sendiri pada usia 18 tahun.
 
Selanjutnya kami akan membahas pertanyaan Anda berikutnya tentang adakah peraturan tentang sanksi bagi mereka yang mengajarkan agama lain kepada seorang anak yang telah mempunyai agamanya sendiri. Sepanjang penelusuran kami, tidak ada sanksi bagi mereka yang mengajarkan agama lain kepada seorang anak yang telah memiliki agamanya sendiri. Akan tetapi jika orang membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, maka ada sanksi pidananya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 86  UU Perlindungan Anak:
 
Pasal 86 UU Perlindungan Anak:
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
  

Pengadilan HAM Ad Hoc Bersifat Retroaktif?

Memang dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU Pengadilan HAM”) disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

Jika melihat pada ketentuan tersebut, memang asas berlaku surut dikenal dalam pengadilan HAM. Terhadap asas berlaku surut yang dikenal dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM itu pernah diajukan permohonanjudicial review ke Mahkamah Konstitusi (“MK”) oleh Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timor Timur pada waktu itu (tahun 2004). Asas retroaktif ini dianggap bertentangan dengan asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (“KUHP”) dan juga bertentangan dengan ketentuan konstitusi Pasal 28I ayat (1)Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 1 ayat (1) KUHP
Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Meski demikian, MK kemudian menolak permohonan judicial review Abilio Osario Soares terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM melaluiputusan MK No. 065/PUU-II/2004 yang dibacakan oleh Ketua MK pada waktu itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

Dalam pointers berjudul Eksistensi Pengadilan HAM Ad Hoc Dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM yang Berat (diunduh dariwww.akilmochtar.com), hakim konstitusi HM. Akil Mochtar, S.H., M.H.menulis antara lain bahwa:

Keberadaan Pengadilan HAM ad hoc pernah menimbulkan perdebatan karena merupakan salah satu bentuk pengesampingan asas non-retroaktif. Namun demikian, melalui Putusan MK No. 065/PUU-II/2004, Pengadilan HAM ad hoc dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pengadilan tersebut merupakan pengesampingan terhadap asas non-retroaktif yang dilakukan dengan sangat hati-hati, hal itu tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK tersebut sebagai berikut.
(a)    pembentukannya hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dengan locus delicti dan tempus delicti yang terbatas, bukan untuk semua peristiwa secara umum; dan
(b)    Pengadilan HAM ad hoc hanya dapat dibentuk atas usul DPR karena menurut UUD 1945 DPR adalah representasi rakyat Indonesia, yang berarti bahwa pada dasarnya rakyatlah yang menentukan kapan pelanggaran HAM yang berat sebelum pembentukan UU Pengadilan HAM telah terjadi yang penyelesaiannya membutuhkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.

Perdebatan penerapan asas retroaktif memang bukan hal yang baru. Sebelumnya, penerapan asas retroaktif telah dipertimbangkan oleh majelis hakim ad hoc pengadilan HAM untuk beberapa terdakwa kasus Timor Timur dalam putusan sela. Di mana dalam putusan sela tersebut disebutkan asas retroaktif digunakan berdasarkan kajian terhadap praktik pengadilan pidana internasional yang mengesampingkan asas non-retroaktif demi tegaknya keadilan. Kajian tersebut antara lain mengacu pada praktik negara-negara sejak pengadilan penjahat perang di Nuremberg dan Tokyo, pengadilan internasional ad hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda (ICTY dan ICTR), dan kasus Adolf Eichman di pengadilan distrik Yerusalem. Selain itu, pertimbangan majelis hakim ad hoc saat itu antara lain adalah kejahatan pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime dan berdampak secara luas oleh karena itu asas retroaktif dapat diberlakukan dengan adanya Amandemen UUD 1945 Pasal 28 J ayat (2). Lebih jauh simak artikel Asas Retroaktif Kembali Digugat.

Jadi, memang dalam Pengadilan HAM Ad Hoc berlaku asas retroaktif dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.      Undang-Undang Dasar 1945;
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)

Hakim Ad Hoc adalah Pejabat Negara

Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”), Hakim Ad Hoc adalah:
 
“hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.”
 
Hakim Ad Hoc sendiri diangkat pada pengadilan khusus, yang merupakan pengadilan dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, baik dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Misalnya Hakim Ad Hoc pada Pengadilan HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Perikanan, atau Pengadilan Niaga.
 
Untuk menjawab apakah Hakim Ad Hoc merupakan pejabat negara atau bukan, perlu ditelusuri terlebih dahulu hakekat kekuasaan kehakiman dan lembaga kekuasaan kehakiman.
 
Dalam doktrin, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan untuk mengadili, yang meliputi wewenang memeriksa, memutus, membuat ketetapan yustisial (Bagir Manan: 2009). Kekuasaan kehakiman dilaksanakan badan peradilan/badan yudisial (judiciary) yang merupakan alat kelengkapan negara karena bertindak dan memutus untuk dan atas nama negara.
 
Di UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi (vide Pasal 24 ayat (2)). Dalam hal ini, Mahkamah Agung termasuk juga badanperadilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi adalah badan yudisialyang merupakan alat kelengkapan negara, sehingga menjalankan fungsi ketatanegaraan (bertindak untuk dan atas nama negara)Konsekuensinya, hakim pada seluruh jenis dan tingkatan badan yudisial,berkedudukansebagai “pejabat negara”. Dalam hukum positif, kedudukan hakim sebagai “pejabat negara” ditegaskan dalam UU Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut:
 
Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khususyang berada dalam lingkungan peradilan tersebut” (Pasal 1 angka 5).
 
Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang” (Pasal 19).
 
Hakim Ad Hoc merupakan hakim pada Mahkamah Agung (padapengadilan khusus dalam lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung). Berdasarkan ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman, Hakim Ad Hoc juga berkedudukan sebagai “pejabat negara”.
 
Perbedaan Hakim Ad Hoc dengan hakim umumnya, terutama dalam hal masa tugasnya yang sementara/dibatasi untuk waktu tertentu, di samping harus memiliki keahlian dan pengalaman tertentu di bidangnya.
 
Pengadilan khusus yang menjadi tempat pelaksanaan tugas Hakim Ad Hoc sendiri tidak selalu bersifat Ad Hoc (sementara).Sebagian besar adalah pengadilan khusus yang bersifat tetap. Pengadilan khusus yang bersifat Ad Hoc, yaitu Pengadilan Ad Hoc HAM yang dibentuk untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat, sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan kata lain, Pengadilan Ad Hoc HAM dibentuk untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dalam kerangka transitional justice(keadilan transisional).
 
Pengadilan khusus lainnya bersifat permanen, termasuk Pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat setelah Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 berlaku. Artinya, apabila terjadi dugaan pelanggaran HAM berat, penyelesaiannya dilakukan oleh Pengadilan HAM yang berada pada lingkungan peradilan umum di bawah Mahkamah Agung. Selain Pengadilan HAM, pengadilan khusus lainnya yang bersifat permanen, misalnya Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
 
Hakim pada pengadilan-pengadilan khusus tersebut, tidak selalu Hakim Ad Hoc, namun juga hakim pada umumnya sesuai lingkungan peradilannya. Dalam suatu perkara yang diadili dalam pengadilan khusus, majelis hakim yang bertugas terdiri dari hakim pada umumnya (hakim pada Mahkamah Agung) dan Hakim Ad Hoc. Dalam Pengadilan HAM, baik Ad Hoc maupun permanen, misalnya, majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc (Pasal 27 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000).
 
Demikian pula, misalnya dalam majelis hakim dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim dan sebanyakbanyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc (vide Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi).
 
Dengan demikian, kedudukan Hakim Ad Hoc pada umumnya bertugas pada pengadilan khusus yang bersifat permanen. Sama halnya dengan pengadilan pada berbagai lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung lainnya, pengadilan khusus menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara–perkara khusus sesuai peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Hakim Ad Hoc, sama halnya dengan hakim pada umumnya menjalankan fungsi ketatanegaraan (kekuasan kehakiman), sehingga sangat tepat dikategorikan sebagai pejabat negara.
 
Pengaturan dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), yang mengecualikan Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara, menurut hemat saya adalah tidak tepat.
 
Selain tidak tepat, karena kedudukan Hakim Ad Hoc yang menjalankan salah satu fungsi ketatanegaraan sehingga merupakan pejabat negara, pengaturan mengenai pejabat negara dalam UU ASN tidak sesuai dengan materi muatan (materi yang seharusnya) yang diatur undang-undang tersebut. Dalam UU ASN, diatur pengertian sebagai berikut:
 
“Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah” (Pasal 1 angka 1).
 
“Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 2)
 
Berdasarkan kedua pengertian di atas, UU ASN semestinya hanya mengatur tentang tata kelola Aparatur Sipil Negara (ASN), yang dalam konteks kategori kepegawaian, hanya mengatur mengenai PNS dan “pegawai pemerintah” (pegawai di bawah lingkungan kekuasaan eksekutif, baik pusat maupun daerah).
 
Sementara itu, istilah “pejabat negara” lebih luas dibandingkan pegawai di lingkungan pemerintahan, karena mencakup pejabat pada lingkungan kekuasaan lainnya, seperti legislatif, yudisial dan kekuasaan derivative lainnya yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara pendukung (auxiliary state bodies/ agencies).
 
Pengaturan tentang “pejabat negara” dalam UU ASN hanya dapat dilakukan dalam hal, pengaturan Pegawai ASN yang menjadi “pejabat negara” (vide judul BAB X UU ASN). Namun demikian, Pasal 122 merupakan ketentuan yang berlebihan, karena mengatur materi di luar ASN. Pengaturan mengenai “pejabat negara”, termasuk Hakim Ad Hoc, seharusnya tunduk pada UUD 1945 dan undang-undang yang mengatur kekuasaan lembaga negara, dalam hal ini, untuk Hakim Ad Hoc, mengacu pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
 
Mengenai isu keberlakuan Pasal 122 huruf e UU ASN, secara normatif tetap sah (valid)  dan berlaku, karena dibentuk oleh pejabat/lembaga yang berwenang (DPR dan Presiden) sesuai dengan tata cara pembentukan Undang-Undang dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Namun demikian, implikasinya menjadi tidak harmonis dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, dan bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 24 yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman.
 
Dengan posisi tersebut, Pasal 122 huruf e UU ASN “dapat dibatalkan” (voidable/ verneitigbaar). Artinya, apabila terdapat permohonan pengujian ketentuan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan permohonan tersebut dikabulkan, maka ketentuan tersebut batal (bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat), sehingga tidak berlaku. Apabila tidak ada permohonan pengujian atau permohonan pengujiannya ditolak atau tidak dapat diterima oleh MK, maka ketentuan tersebut tetap berlaku, dengan segala implikasi hukum yang menyertainya.
 
 
Dasar hukum:
  1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara