Jumat, 13 Maret 2015

Jumlah Hakim dalam Setiap Persidangan

Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Pada dasarnya, jumlah hakim yang beracara pada saat persidangan itu disesuaikan dengan pengadilan tempat ia beracara dan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan khusus yang mengaturnya. Menurut Pasal 1 angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidanahakimadalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
 
Adapun yang dimaksud dengan hakim berdasarkan Pasal 1 angka 5Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
 
Jumlah hakim saat memeriksa dan memutus perkara di pengadilan yang diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Kekuasaan Kehakiman:
 
(1) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakimkecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Susunan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota.
 
Jadi, pada dasarnya, jumlah hakim yang ditentukan oleh UU Kekuasaan Kehakiman itu adalah sekurang-sekurang 3 orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. Contoh undang-undang menentukan lain di sini adalah jumlah hakim dalam pengadilan anak. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU 3/1997”) maupun Pasal 44 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (undang-undang yang pada 30 Juli 2014 akan mencabut UU 3/1997), hakim memeriksa dan memutus perkara anak baik dalam tingkat pertama, tingkat banding, maupun tingkat kasasi dengan hakimtunggal.
 
Selain itu, pengaturan jumlah hakim ini dapat juga kita lihat pengaturannya dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain:
 
1.    Hakim di Mahkamah Konstitusi ("MK")
MK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden [Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi - “UU 8/2011”]. Susunan MK itu sendiri berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU 8/2011 terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.
 
Pada dasarnya, MK memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno MK dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, akan tetapi kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK [Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi].
 
2.    Hakim di Mahkamah Agung
Jumlah hakim Mahkamah Agung saat memeriksa dan memutus perkara dapat kita temukan pengaturannya dalam Pasal 40 ayat (1)Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung:
 
“Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim”
 
Kemudian, dalam penjelasan pasal ini dikatakan bahwa apabila majelis bersidang dengan lebih dari 3 (tiga) orang hakim jumlahnya harus selalu ganjil.
 
3.    Hakim di Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)
Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
 
Dalam penjelasan pasal ini dikatakan bahwa ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar majelis hakim selalu berjumlah ganjil.
 
Dengan demikian, dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya hakim saat memeriksa dan memutus perkara sebagaimana diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman sekurang-kurangnya berjumlah 3 (tiga) orang. Namun bisa jadi kurang atau lebih dari tiga orang, sesuai dengan jenis perkara yang diadili dan diputus oleh hakim yang bersangkutan. Namun, yang ditekankan dalam pengaturannya adalah jumlah hakim itu harus ganjil. Penjelasan lebih lanjut mengapa jumlah hakim harus ganjil dapat Anda simak dalam artikel Ini Alasan Jumlah Majelis Hakim Harus Ganjil. Sebagai tambahan referensi untuk Anda, dapat Anda simak pula artikel Kelengkapan Hakim dan Keabsahan Putusan MK.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:

Perbedaan Peradilan dengan Pengadilan

Intisari:
 
 
Peradilan adalah suatu proses yang dijalankan di pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara. Sedangkan pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
 
Penjelasan selengkapnya dapat disimak dalam ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Pada dasarnya, berdasarkan penelusuran kami dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) -yang merupakan landasan hukum sistem peradilan negara dan mengatur tentang peradilan dan pengadilan pada umumnya- tidak mendefinisikan istilah peradilan dan pengadilan secara khusus.
 
Namun Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Kekuasaan Kehakimansetidaknya mengatur bahwa peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" dan peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
 
Sedangkan, istilah pengadilan disebut dalam Pasal 4 UU Kekuasaan Kehakiman yang antara lain menjelaskan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang dan pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
 
Dari dua istilah di atas, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa peradilan merupakan proses menerapkan dan menegakkan hukum demi keadilan, sedangkan pengadilan adalah tempat mengadili dan membantu para pencari keadilan agar tercapai suatu peradilan.
 
Di samping itu, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah tulisan yang kami akses dari laman resmi Pengadilan Negeri Yogyakarta, disebut antara lain bahwa:
 
“Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Bentuk dari sistem Peradilan yang dilaksanakan di Pengadilan adalah sebuah forum publik yang resmi dan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
 
Sedangkan peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di Pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum “in concreto” (hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.
 
Dari kedua uraian diatas dapat dikatakan bahwa, pengadilan adalah lembaga tempat subjek hukum mencari keadilan, sedangkan peradilan adalah sebuah proses dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan atau suatu proses mencari keadilan itu sendiri.”
 
Sebagai informasi untuk Anda, di Indonesia, badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan(Pasal 25 UU Kekuasaan Kehakiman):
1.    peradilan umum
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
2.    peradilan agama
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3.    peradilan militer
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
4.    peradilan tata usaha negara
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata (hal. 180-181) mengatakan bahwa keempat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung ini merupakan penyelenggara kekuasaan negara di bidang yudikatif. Oleh karena itu, secara konstitusional bertindakmenyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the truth and justice) dalam kedudukannya sebagai pengadilan negara (state court system).
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
 
Referensi:
1.    Harahap, Yahya. 2009. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika;
2.    http://pn-yogyakota.go.id/pnyk/info-peradilan/pengertian-peradilan.html, diakses pada 16 Desember 2014 pukul 11.31 WIB.
  

Lembaga Mana yang Berwenang Menguji TAP MPR?

ntisari:
 
 
Untuk undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang, dapat dilakukan legislative reviewLegislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan.
 
Sedangkan mengenai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (“TAP MPR”) yang bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah Konstitusitidak berwenang menguji TAP MPR tersebut.
 
Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
 
  
 
Ulasan
 
Anda benar bahwa jika sebuah undang-undang bertentangan denganUndang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), maka yang berwenang mengujinya adalah Mahkamah Konstitusi (“MK”). Hal ini telah diatur dalamPasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) yang berbunyi:
 
“Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.”
 
Ketentuan ini sebelumnya juga telah diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang antara lain menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
 
Kemudian kami akan menjawab pertanyaan Anda yang pertama, bagaimana jika suatu undang-undang bertentangan dengan undang-undang lainnya? Dalam artikel Isi Undang-Undang Saling Bertentangan, Aparat Kesulitan di Lapangan antara lain dijelaskan bahwa memang kenyataannya banyak undang-undang yang isinya saling bertentangan sehingga menyebabkan kesulitan aparat di lapangan untuk melaksanakan isi undang-undang tersebut. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan melakukanlegislative review,yaitu upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke DPR –dan tentunya pemerintah (dalam UUD 1945, pemerintah juga mempunyai kewenangan membuat undang-undang)- untuk mengubah undang-undang tertentu. Dalam legislative review, setiap orang tentu bisa saja meminta agar lembaga yang memiliki fungsi legislasi melakukan revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya, peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat secara horizontal. Lebih lanjut, dapat dibaca dalam artikel Praktik Legislative Review dan Judicial Review di Indonesia.
 
Lain halnya jika suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diduga bertentangan dengan undang-undang, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”) sebagaimana disebut dalamPasal 9 ayat (2) UU 12/2011. Ketentuan ini juga sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Jadi, Mahkamah Agung-lah yang berwenang menguji dan membatalkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. 
 
Selanjutnya kami akan menjawab pertanyaan Anda lainnya soalbagaimana jika yang bertentangan dengan UUD 1945 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (“TAP MPR”)? TAP MPR merupakan salah satu jenis peraturan yang dapat kita ketahui kedudukannya pada hierarki peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1)UU 12/2011:
 
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.    Peraturan Pemerintah;
e.    Peraturan Presiden;
f.     Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
 
Dalam Penjelasan Umum UU 12/2011 antara lain disebutkan bahwa sebagai penyempurnaan terhadap undang-undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam UU 12/2011 yaitu penambahan TAP MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah UUD 1945.
 
Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” menurut penjelasan Pasal 7 huruf b UU 12/2011 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
 
Namun, apabila TAP MPR bertentangan dengan UUD 1945, maka MK tidak berwenang menguji materiil TAP MPR tersebut. Dalam artikel MK Tak Berwenang Uji TAP MPR, diberitakan bahwa Majelis MK menyatakan tidak dapat menerima uji materi Pasal 6 TAP MPR No. 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum MPR Tahun 1960 sampai 2002 yang dimohonkan putri mantan Presiden Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri. Alasannya, Mahkamah merasa tidak berwenang menguji TAP MPR.  
 
Dalam artikel tersebut, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyebut bahwa berdasarkan Lampiran IIA Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, Pasal 3 TaP MPR No. III/MPR/2000, dan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, kedudukan TAP MPRS/MPR ditetapkan secara hierarkis berada di bawah UUD 1945 dan di atas undang-undang. Karena itu, TAP MPRS/MPR mempunyai kedudukan yang secara hierarkis berada di atas undang-undang, maka berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 pengujian terhadap Ketetapan MPRS/MPR tidak masuk dalam kewenangan MK. Kewenangan MK disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Menurut Mahkamah, permohonan para pemohon tidak termasuk ruang lingkup kewenangan Mahkamah. 
 
Lantas, siapa yang berwenang menguji TAP MPR?
 
Kasubdit Pembinaan dan pengembangan Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Ratna Indah Cahyaningsih, dalam artikel Problematika Pengujian TAP MPRmengakui secara yuridis-formal tidak terdapat ketentuan yang mengaturnya. UUD 1945 pasal 24 ayat (1) juga hanya mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Untuk pengujian TAP MPR tidak terdapat dasar hukum lembaga mana yang berwenang melakukan pengujian.
 
Masih bersumber dari artikel yang sama, Pengamat Hukum Tata Negara, Irmanputra Sidin, mengajukan pandangan alternatif. Menurut dia, oleh karena eksistensi TAP MPR sudah menjadi materi muatan undang-undang, maka cukup mengajukan pengujian undang-undang terkait. Dalam hal ini pasal 7 UU 12/2011. Akan tetapi, mengenai pengujian peraturan yang bertentangan dengan TAP MPR, Irman tak menyinggung secara langsung. Ia hanya mengingatkan bahwa undang-undang sekalipun harus tunduk pada TAP MPR. Apalagi peraturan di bawah undang-undang.
 
Sebagai tambahan referensi, Anda dapat pula membaca artikel Jika UU Bertentangan dengan TAP MPR, Ke Mana Mengujinya?
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

Arti “Menyalahgunakan Wewenang” dalam Tindak Pidana Korupsi

Intisari:
 
 
Arti menyalahgunakan wewenang menurut UU Pemberantasan Tipikor yaitu:
1.    Melanggar aturan tertulis yang menjadi dasar kewenangan
2.    Memiliki maksud yang menyimpang walaupun perbuatan sudah sesuai dengan peraturan
3.    Berpotensi merugikan negara
 
Sedangkan konsep penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Adiministrasi Negara (“HAN”) yaitu:
1.    Detournement de pouvoir atau melampaui batas kekuasaaan;
2.    Abuse de droit atau sewenang-wenang
 
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kita simak bunyiPasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:
 
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
 
Sayangnya, pada penjelasan pasal ini tidak menjelaskan maksud dari “menyalahgunakan wewenang”. Di situ hanya menjelaskan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” diartikan sama dengan Penjelasan Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor, yakni tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
 
Namun, berdasarkan penelusuran kami dalam sebuah paparan berjudulPeran Pegawai Pemerintah sebagai Partisipan dalam Membangun Budaya Hukum Bangsa oleh Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI (“Puspenkum Kejagung”) yang diakses dari laman resmiKejaksaan Republik Indonesia dijelaskan antara lain bahwa penyalahgunaan wewenang mengacu pada UU Pemberantasan Tipikor adalah menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.
 
Masih bersumber dari laman yang sama, juga dijelaskan soal konsep penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Adiministrasi Negara (“HAN”) yaitu:
1.    Detournement de pouvoir atau melampaui batas kekuasaaan;
2.    Abuse de droit atau sewenang-wenang.
 
Puspenkum Kejagung juga menjelaskan arti penyalahgunaan wewenang menurut UU Pemberantasan Tipikor yaitu:
1.    Melanggar aturan tertulis yang menjadi dasar kewenangan;
2.    Memiliki maksud yang menyimpang walaupun perbuatan sudah sesuai dengan peraturan;
3.    Berpotensi merugikan negara.
 
Kami mencoba mengerti maksud pertanyaan Anda “Apakah harus ada suatu keputusan yang dikeluarkan yang bertentangan”. Dari sini kami asumsikan bahwa yang dimaksud adalah apakah tindakan “menyalahgunakan wewenang” itu harus berupa keputusan yang bertentangan atau menyalahi suatu aturan yang ia keluarkan karena jabatan atau kedudukan yang dimilikinya atau tidak.
 
Menjawab pertanyaan Anda dengan mengacu pada arti penyalahgunaan menurut UU Pemberantasan Tipikor di atas, tindakan menyalahgunakan wewenang dalam melakukan tindak pidana korupsi tidak harus selalu berupa dikeluarkannya keputusan yang bertentangan atau menyalahi suatu aturan. Cukup perbuatan itu melanggar aturan tertulis sebagai dasar kewenangannya, memiliki maksud yang menyimpang, dan berpotensi merugikan negara, maka perbuatan tersebut sudah dikatakan sebagai menyalahgunakan wewenang.
 
Di samping itu, jika dilihat dari perspektif HAN, apabila tindakan yang ia lakukan itu melampaui batas kekuasaannya atau secara sewenang-wenang, maka tindakan tersebut juga dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang.
 
Teori lain soal penyalahgunaan wewenang juga disebutkan dalamPutusan Mahkamah Agung Nomor 977 K/PID/2004. Dalam putusan tersebut dikatakan bahwa pengertian "menyalahgunakan kewenangan" tidak ditemukan eksplisitasnya dalam Hukum Pidana, maka Hukum Pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya. Hal ini berangkat dari hukum pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika Hukum Pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya (De Autonomie van bet Materiele Strafrecbt).
 
Masih bersumber dari putusan yang sama, ajaran ini diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang selanjutnya dikuatkan olehPutusan Mahkamah Agung RI. No.1340 K / Pid / 1992 tanggal 17 Februari 1992 (“Putusan MA”) sewaktu adanya perkara tindak pidana korupsi yang dikenal dengan perkara "Sertifikat Ekspor". Mahkamah Agung RI mengambil alih pengertian "menyalahgunakan kewenangan" yang ada pada Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut atau yang dikenal dengan "Detournement de pouvoir".
 
Sekedar tambahan informasi untuk Anda, pada Putusan MA ini juga dibahas soal pengertian Detournement de pouvoir. Menurut Prof. JeanRivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu:
1.    Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2.    Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain;
3.    Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana;
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
 
Putusan:
1.    Putusan Mahkamah Agung RI. No.1340 K/Pid/1992 tanggal 17 Februari 1992;