Jumat, 13 Maret 2015

Lembaga Mana yang Berwenang Menguji TAP MPR?

ntisari:
 
 
Untuk undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang, dapat dilakukan legislative reviewLegislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan.
 
Sedangkan mengenai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (“TAP MPR”) yang bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah Konstitusitidak berwenang menguji TAP MPR tersebut.
 
Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
 
  
 
Ulasan
 
Anda benar bahwa jika sebuah undang-undang bertentangan denganUndang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), maka yang berwenang mengujinya adalah Mahkamah Konstitusi (“MK”). Hal ini telah diatur dalamPasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) yang berbunyi:
 
“Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.”
 
Ketentuan ini sebelumnya juga telah diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang antara lain menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
 
Kemudian kami akan menjawab pertanyaan Anda yang pertama, bagaimana jika suatu undang-undang bertentangan dengan undang-undang lainnya? Dalam artikel Isi Undang-Undang Saling Bertentangan, Aparat Kesulitan di Lapangan antara lain dijelaskan bahwa memang kenyataannya banyak undang-undang yang isinya saling bertentangan sehingga menyebabkan kesulitan aparat di lapangan untuk melaksanakan isi undang-undang tersebut. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan melakukanlegislative review,yaitu upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke DPR –dan tentunya pemerintah (dalam UUD 1945, pemerintah juga mempunyai kewenangan membuat undang-undang)- untuk mengubah undang-undang tertentu. Dalam legislative review, setiap orang tentu bisa saja meminta agar lembaga yang memiliki fungsi legislasi melakukan revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya, peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat secara horizontal. Lebih lanjut, dapat dibaca dalam artikel Praktik Legislative Review dan Judicial Review di Indonesia.
 
Lain halnya jika suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diduga bertentangan dengan undang-undang, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”) sebagaimana disebut dalamPasal 9 ayat (2) UU 12/2011. Ketentuan ini juga sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Jadi, Mahkamah Agung-lah yang berwenang menguji dan membatalkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. 
 
Selanjutnya kami akan menjawab pertanyaan Anda lainnya soalbagaimana jika yang bertentangan dengan UUD 1945 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (“TAP MPR”)? TAP MPR merupakan salah satu jenis peraturan yang dapat kita ketahui kedudukannya pada hierarki peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1)UU 12/2011:
 
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.    Peraturan Pemerintah;
e.    Peraturan Presiden;
f.     Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
 
Dalam Penjelasan Umum UU 12/2011 antara lain disebutkan bahwa sebagai penyempurnaan terhadap undang-undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam UU 12/2011 yaitu penambahan TAP MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah UUD 1945.
 
Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” menurut penjelasan Pasal 7 huruf b UU 12/2011 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
 
Namun, apabila TAP MPR bertentangan dengan UUD 1945, maka MK tidak berwenang menguji materiil TAP MPR tersebut. Dalam artikel MK Tak Berwenang Uji TAP MPR, diberitakan bahwa Majelis MK menyatakan tidak dapat menerima uji materi Pasal 6 TAP MPR No. 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum MPR Tahun 1960 sampai 2002 yang dimohonkan putri mantan Presiden Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri. Alasannya, Mahkamah merasa tidak berwenang menguji TAP MPR.  
 
Dalam artikel tersebut, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyebut bahwa berdasarkan Lampiran IIA Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, Pasal 3 TaP MPR No. III/MPR/2000, dan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, kedudukan TAP MPRS/MPR ditetapkan secara hierarkis berada di bawah UUD 1945 dan di atas undang-undang. Karena itu, TAP MPRS/MPR mempunyai kedudukan yang secara hierarkis berada di atas undang-undang, maka berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 pengujian terhadap Ketetapan MPRS/MPR tidak masuk dalam kewenangan MK. Kewenangan MK disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Menurut Mahkamah, permohonan para pemohon tidak termasuk ruang lingkup kewenangan Mahkamah. 
 
Lantas, siapa yang berwenang menguji TAP MPR?
 
Kasubdit Pembinaan dan pengembangan Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Ratna Indah Cahyaningsih, dalam artikel Problematika Pengujian TAP MPRmengakui secara yuridis-formal tidak terdapat ketentuan yang mengaturnya. UUD 1945 pasal 24 ayat (1) juga hanya mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Untuk pengujian TAP MPR tidak terdapat dasar hukum lembaga mana yang berwenang melakukan pengujian.
 
Masih bersumber dari artikel yang sama, Pengamat Hukum Tata Negara, Irmanputra Sidin, mengajukan pandangan alternatif. Menurut dia, oleh karena eksistensi TAP MPR sudah menjadi materi muatan undang-undang, maka cukup mengajukan pengujian undang-undang terkait. Dalam hal ini pasal 7 UU 12/2011. Akan tetapi, mengenai pengujian peraturan yang bertentangan dengan TAP MPR, Irman tak menyinggung secara langsung. Ia hanya mengingatkan bahwa undang-undang sekalipun harus tunduk pada TAP MPR. Apalagi peraturan di bawah undang-undang.
 
Sebagai tambahan referensi, Anda dapat pula membaca artikel Jika UU Bertentangan dengan TAP MPR, Ke Mana Mengujinya?
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

Arti “Menyalahgunakan Wewenang” dalam Tindak Pidana Korupsi

Intisari:
 
 
Arti menyalahgunakan wewenang menurut UU Pemberantasan Tipikor yaitu:
1.    Melanggar aturan tertulis yang menjadi dasar kewenangan
2.    Memiliki maksud yang menyimpang walaupun perbuatan sudah sesuai dengan peraturan
3.    Berpotensi merugikan negara
 
Sedangkan konsep penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Adiministrasi Negara (“HAN”) yaitu:
1.    Detournement de pouvoir atau melampaui batas kekuasaaan;
2.    Abuse de droit atau sewenang-wenang
 
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
 
 
 
Ulasan:
 
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kita simak bunyiPasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:
 
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
 
Sayangnya, pada penjelasan pasal ini tidak menjelaskan maksud dari “menyalahgunakan wewenang”. Di situ hanya menjelaskan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” diartikan sama dengan Penjelasan Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor, yakni tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
 
Namun, berdasarkan penelusuran kami dalam sebuah paparan berjudulPeran Pegawai Pemerintah sebagai Partisipan dalam Membangun Budaya Hukum Bangsa oleh Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI (“Puspenkum Kejagung”) yang diakses dari laman resmiKejaksaan Republik Indonesia dijelaskan antara lain bahwa penyalahgunaan wewenang mengacu pada UU Pemberantasan Tipikor adalah menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.
 
Masih bersumber dari laman yang sama, juga dijelaskan soal konsep penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Adiministrasi Negara (“HAN”) yaitu:
1.    Detournement de pouvoir atau melampaui batas kekuasaaan;
2.    Abuse de droit atau sewenang-wenang.
 
Puspenkum Kejagung juga menjelaskan arti penyalahgunaan wewenang menurut UU Pemberantasan Tipikor yaitu:
1.    Melanggar aturan tertulis yang menjadi dasar kewenangan;
2.    Memiliki maksud yang menyimpang walaupun perbuatan sudah sesuai dengan peraturan;
3.    Berpotensi merugikan negara.
 
Kami mencoba mengerti maksud pertanyaan Anda “Apakah harus ada suatu keputusan yang dikeluarkan yang bertentangan”. Dari sini kami asumsikan bahwa yang dimaksud adalah apakah tindakan “menyalahgunakan wewenang” itu harus berupa keputusan yang bertentangan atau menyalahi suatu aturan yang ia keluarkan karena jabatan atau kedudukan yang dimilikinya atau tidak.
 
Menjawab pertanyaan Anda dengan mengacu pada arti penyalahgunaan menurut UU Pemberantasan Tipikor di atas, tindakan menyalahgunakan wewenang dalam melakukan tindak pidana korupsi tidak harus selalu berupa dikeluarkannya keputusan yang bertentangan atau menyalahi suatu aturan. Cukup perbuatan itu melanggar aturan tertulis sebagai dasar kewenangannya, memiliki maksud yang menyimpang, dan berpotensi merugikan negara, maka perbuatan tersebut sudah dikatakan sebagai menyalahgunakan wewenang.
 
Di samping itu, jika dilihat dari perspektif HAN, apabila tindakan yang ia lakukan itu melampaui batas kekuasaannya atau secara sewenang-wenang, maka tindakan tersebut juga dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang.
 
Teori lain soal penyalahgunaan wewenang juga disebutkan dalamPutusan Mahkamah Agung Nomor 977 K/PID/2004. Dalam putusan tersebut dikatakan bahwa pengertian "menyalahgunakan kewenangan" tidak ditemukan eksplisitasnya dalam Hukum Pidana, maka Hukum Pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya. Hal ini berangkat dari hukum pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika Hukum Pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya (De Autonomie van bet Materiele Strafrecbt).
 
Masih bersumber dari putusan yang sama, ajaran ini diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang selanjutnya dikuatkan olehPutusan Mahkamah Agung RI. No.1340 K / Pid / 1992 tanggal 17 Februari 1992 (“Putusan MA”) sewaktu adanya perkara tindak pidana korupsi yang dikenal dengan perkara "Sertifikat Ekspor". Mahkamah Agung RI mengambil alih pengertian "menyalahgunakan kewenangan" yang ada pada Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut atau yang dikenal dengan "Detournement de pouvoir".
 
Sekedar tambahan informasi untuk Anda, pada Putusan MA ini juga dibahas soal pengertian Detournement de pouvoir. Menurut Prof. JeanRivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu:
1.    Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2.    Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain;
3.    Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana;
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
 
Putusan:
1.    Putusan Mahkamah Agung RI. No.1340 K/Pid/1992 tanggal 17 Februari 1992;
 

Senin, 09 September 2013

Harta bersama dalam perkawinan

Pada saat sepasang manusia saling jatuh cinta, mereka akan terbuai dalam mimpi dan khayalan. Mereka berbicara dalam kehangatan, merencanakan kehidupan dan masa depan dalam senyuman. Mereka beranggapan bahwa perkawinan adalah kesempurnaan dalam kehidupan, dan dalam perkawinan semuanya akan mudah terselesaikan. Banyak orang kurang memahami bahwa perkawinan adalah lembaga kehidupan yang akan melahirkan hak dan kewajiban manusia menjadi makin komplek.
Seorang laki-laki atau perempuan, ketika belum menikah mereka mempunyai hak dan kewajiban yang utuh. Hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupannya, hak dan kewajiban akan harta miliknya dan sebagainya. Kemudian setelah mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan, maka mulai saat itulah hak kewajiban mereka menjadi satu. Pengertian menjadi satu tersebut bukan berarti hak dan kewajiban masing-masing pihak akan meleburkan diri, melainkan hak dan kewajiban mereka tetap utuh walaupun mereka telah bersatu dalam kehidupannya. Untuk itulah mereka harus memahami dan menghormati satu sama lain. Tidak merasa salah satu sebagai penguasa dan lainnya menjadi budak, tidak merasa salah satu dari mereka paling berjasa dan lainnya menumpang.
Pemahaman tentang hak dan kewajiban ini menjadi sangat penting dan sangat mendasar, apabila kita akan mengkaji lebih dalam tentang konsekuensi-konsekuensi dari kehidupan perkawinan, karena dalam kehidupan perkawinan, akan melahirkan hak dan kewajiban antara lain tentang anak & hak kewajiban tentang harta. Bahkan kemudian akan kemungkinan pembagian harta bila perkawinan putus baik karena perceraian atau karena kematian. Untuk kali ini, dalam tulisan ini hanya akan dibahas tentang hak dan kewajiban yang berkaitan dengan harta perkawinan
Apabila kita melihat peraturan yang mengatur tentang harta perkawinan, kita dapat mengkaji dari beberapa pasal dalam Undang-undang Perkawinan no 1 tahun 1974.
Bab VII
Harta Benda dalam Perkawinan
Pasal 35
1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Penjelasannya; Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing
Dari peraturan ini kita akan memperoleh pengertian bahwa dalam perkawinan dikenal dua macam kategori harta yaitu harta bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya ; pemberian, warisan. Dan harta bersama (pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.
Terhadap harta bawaan, Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatakan bahwa masing-masing pihak mempunyai hak dan untuk mengaturnya sendiri-sendiri. Karena itu harta bawaan tidak dimasukan kedalam harta bersama dalam perkawinan.
Sedangkan tentang siapakah yang berhak untuk mengatur harta bersama, undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatur lebih jelas dalam ketentuan
Pasal 36
1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Penjelasannya; yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Dalam kenyataannya jika terjadi pembagian harta bersama karena perceraian, masing-masing pihak akan mendapatkan separoh dari harta bersama. Tetapi ketentuan tersebut bukanlah sesuatu yang baku dan keharusan, sebab masing-masing pihak dapat pula dengan kesepakatan membagi harta bersama tersebut menurut kehendaknya sendiri. Dengan kesepakatan itulah mereka terikat dan boleh mengesampingkan peraturan yang ada.
Kemudian bagaimanakah dengan persoalan tentang hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung? Karena prinsip harta perkawinan adalah harta bersama yang dimiliki oleh suami dan istri, maka hutang pun adalah merupakan kewajiban mereka bersama untuk melunasinya.
Menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam pasal 35 (1) dan pasal 36 (1), undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 memberikan kelonggaran kepada suami/istri untuk mengatur tentang harta bersama dalam per-kawinan dalam. Pengaturan itu dikenal dengan PERJANJIAN PER-KAWINAN yang diatur dalam
BAB V.
Perjanjian Perkawinan
Pasal 29
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dari ketentuan dalam pasal 29 tersebut kita dapat mengetahui tentang :
Kapan perjanjian perkawinan boleh dibuat?
Jawab: Sebelum dilangsungkannya perkawinan.
Masa berlaku Perjanjian Perkawinan?
Jawab: Selama perkawinan berlangsung
Apakah perjanjian perkawinan itu dapat dirubah selama perkawinan berlangsung?
Jawab: Boleh, sepanjang ada kesepakatan para pihak dan tidak merugikan pihak ketiga.
Apakah Perjanjian Perkawinan mengikat untuk pihak ketiga yang terkait?
Jawab: Berlaku mengikat, bila dibuat sebelum perkawinan berlangsung.
Mengapa harus dibuat sebelum perkawinan berlangsung?
Jawab: Untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan bagi pihak ketiga dari etikat jelek para pihak dalam perjanjian perkawinan
Bagaimanakah dengan hutang salah satu pihak dalam perkawinan yang memiliki perjanjian perkawinan?
Jawab: Karena perjanjian perkawinan telah mengatur masalah kepemilikan akan harta dalam perkawinan, maka sebagai konsekuensinya adalah para pihak akan mengatur hartanya masing-masing selama perkawinan berlangsung. Dengan demikian hutang yang dibuat salah satu pihak, tidak membebani pihak lainnya untuk melunasinya, maksudnya jika suami berhutang kepada pihak ketiga maka suamilah yang bertanggung jawab melunasinya dan pihak ketiga tidak dapat melakukan tagihan kepada istri. Demikian sebaliknya.
Apakah Perjanjian perkawinan dapat dicabut atau di batalkan oleh para pihak selama perkawinan berlangsung?
Jawab: Perjanjian perkawinan dapat dicabut atau dibatalkan oleh para pihak selama perkawinan berlangsung, dan bila hal itu terjadi maka berlakulah ketentuan-ketentuan harta bersama dalam perkawinan.
Harta bersama adalah salah satu dari akibat perkawinan, demikian juga kemungkinan adanya anak. Harta dan anak dalam perkawinan adalah sebagai curahan berkat dari YANG KUASA. Apakah kita menyadari hal itu? sebab harta dapat menjadi berkat akan tetapi juga dapat menjadi laknat bagi manusia. ***[]
Cinta dan rasa dapat membekukan hati, dan dapat membubarkan impian, khayalan dan harapan.
Tetapi akankah harta menjadikan alasan untuk kita saling menikam dan membunuh, sesama manusia ……… dan bekas belahan hati.