Pada saat sepasang manusia saling jatuh cinta, mereka akan terbuai dalam mimpi dan khayalan. Mereka berbicara dalam kehangatan, merencanakan kehidupan dan masa depan dalam senyuman. Mereka beranggapan bahwa perkawinan adalah kesempurnaan dalam kehidupan, dan dalam perkawinan semuanya akan mudah terselesaikan. Banyak orang kurang memahami bahwa perkawinan adalah lembaga kehidupan yang akan melahirkan hak dan kewajiban manusia menjadi makin komplek.
Seorang laki-laki atau perempuan, ketika belum menikah mereka mempunyai hak dan kewajiban yang utuh. Hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupannya, hak dan kewajiban akan harta miliknya dan sebagainya. Kemudian setelah mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan, maka mulai saat itulah hak kewajiban mereka menjadi satu. Pengertian menjadi satu tersebut bukan berarti hak dan kewajiban masing-masing pihak akan meleburkan diri, melainkan hak dan kewajiban mereka tetap utuh walaupun mereka telah bersatu dalam kehidupannya. Untuk itulah mereka harus memahami dan menghormati satu sama lain. Tidak merasa salah satu sebagai penguasa dan lainnya menjadi budak, tidak merasa salah satu dari mereka paling berjasa dan lainnya menumpang.
Pemahaman tentang hak dan kewajiban ini menjadi sangat penting dan sangat mendasar, apabila kita akan mengkaji lebih dalam tentang konsekuensi-konsekuensi dari kehidupan perkawinan, karena dalam kehidupan perkawinan, akan melahirkan hak dan kewajiban antara lain tentang anak & hak kewajiban tentang harta. Bahkan kemudian akan kemungkinan pembagian harta bila perkawinan putus baik karena perceraian atau karena kematian. Untuk kali ini, dalam tulisan ini hanya akan dibahas tentang hak dan kewajiban yang berkaitan dengan harta perkawinan
Apabila kita melihat peraturan yang mengatur tentang harta perkawinan, kita dapat mengkaji dari beberapa pasal dalam Undang-undang Perkawinan no 1 tahun 1974.
Bab VII
Harta Benda dalam Perkawinan
Pasal 35
1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Penjelasannya; Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing
Dari peraturan ini kita akan memperoleh pengertian bahwa dalam perkawinan dikenal dua macam kategori harta yaitu harta bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya ; pemberian, warisan. Dan harta bersama (pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.
Terhadap harta bawaan, Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatakan bahwa masing-masing pihak mempunyai hak dan untuk mengaturnya sendiri-sendiri. Karena itu harta bawaan tidak dimasukan kedalam harta bersama dalam perkawinan.
Sedangkan tentang siapakah yang berhak untuk mengatur harta bersama, undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatur lebih jelas dalam ketentuan
Pasal 36
1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Penjelasannya; yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Dalam kenyataannya jika terjadi pembagian harta bersama karena perceraian, masing-masing pihak akan mendapatkan separoh dari harta bersama. Tetapi ketentuan tersebut bukanlah sesuatu yang baku dan keharusan, sebab masing-masing pihak dapat pula dengan kesepakatan membagi harta bersama tersebut menurut kehendaknya sendiri. Dengan kesepakatan itulah mereka terikat dan boleh mengesampingkan peraturan yang ada.
Kemudian bagaimanakah dengan persoalan tentang hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung? Karena prinsip harta perkawinan adalah harta bersama yang dimiliki oleh suami dan istri, maka hutang pun adalah merupakan kewajiban mereka bersama untuk melunasinya.
Menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam pasal 35 (1) dan pasal 36 (1), undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 memberikan kelonggaran kepada suami/istri untuk mengatur tentang harta bersama dalam per-kawinan dalam. Pengaturan itu dikenal dengan PERJANJIAN PER-KAWINAN yang diatur dalam
BAB V.
Perjanjian Perkawinan
Pasal 29
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dari ketentuan dalam pasal 29 tersebut kita dapat mengetahui tentang :
Kapan perjanjian perkawinan boleh dibuat?
Jawab: Sebelum dilangsungkannya perkawinan.
Masa berlaku Perjanjian Perkawinan?
Jawab: Selama perkawinan berlangsung
Apakah perjanjian perkawinan itu dapat dirubah selama perkawinan berlangsung?
Jawab: Boleh, sepanjang ada kesepakatan para pihak dan tidak merugikan pihak ketiga.
Apakah Perjanjian Perkawinan mengikat untuk pihak ketiga yang terkait?
Jawab: Berlaku mengikat, bila dibuat sebelum perkawinan berlangsung.
Mengapa harus dibuat sebelum perkawinan berlangsung?
Jawab: Untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan bagi pihak ketiga dari etikat jelek para pihak dalam perjanjian perkawinan
Bagaimanakah dengan hutang salah satu pihak dalam perkawinan yang memiliki perjanjian perkawinan?
Jawab: Karena perjanjian perkawinan telah mengatur masalah kepemilikan akan harta dalam perkawinan, maka sebagai konsekuensinya adalah para pihak akan mengatur hartanya masing-masing selama perkawinan berlangsung. Dengan demikian hutang yang dibuat salah satu pihak, tidak membebani pihak lainnya untuk melunasinya, maksudnya jika suami berhutang kepada pihak ketiga maka suamilah yang bertanggung jawab melunasinya dan pihak ketiga tidak dapat melakukan tagihan kepada istri. Demikian sebaliknya.
Apakah Perjanjian perkawinan dapat dicabut atau di batalkan oleh para pihak selama perkawinan berlangsung?
Jawab: Perjanjian perkawinan dapat dicabut atau dibatalkan oleh para pihak selama perkawinan berlangsung, dan bila hal itu terjadi maka berlakulah ketentuan-ketentuan harta bersama dalam perkawinan.
Harta bersama adalah salah satu dari akibat perkawinan, demikian juga kemungkinan adanya anak. Harta dan anak dalam perkawinan adalah sebagai curahan berkat dari YANG KUASA. Apakah kita menyadari hal itu? sebab harta dapat menjadi berkat akan tetapi juga dapat menjadi laknat bagi manusia. ***[]
Cinta dan rasa dapat membekukan hati, dan dapat membubarkan impian, khayalan dan harapan.
Tetapi akankah harta menjadikan alasan untuk kita saling menikam dan membunuh, sesama manusia ……… dan bekas belahan hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar