Sabtu, 25 Mei 2013


Liberalisme adalah bentuk system ekonomi yang mengandalkan mesin pasar secara liberal, sehingga menjustifikasi pengharaman negara dalam mengintervensi perputaran ekonomi pasar. Maka pasar ini dibiarkan begitu saja berputar secara alamiah, tanpa ada batasan sekat-sekat hukum, karena yang bermain di dalamnya hukum supply and dimand.Menurut paham ini tangan gaib (invisible hand) yang mengatur harga dalam pasar. Untuk mengetahui secara mendalam kita akan mengulas tentang perkembangan pemikiran system ekonomi ini.

Dalam system pembangunan ekonomi konvensional memiliki perkembangan-perkembangan pemikiran yang dimulai dari lahirnya system ini sampai sekarang. dan Liberalisme adalah bagian dari Kapitalisme. Maka kalau kita klasifikasikan perkembangan ekonomi ini dapat kita golongkan ke dalam empat fase: ekonomi klasik, keynesianisme, neo-klasik dan neo-liberalisme. Yang akan kita jelaskan secara tafsil sebagai berikut:

a.      Madzhab Ekonomi Klasik
Ekonomi klasik adalah paham ekonomi yang sangat berpengaruh dalam perkembangan pembangunan ekonomi di negara-negara maju. Sebagai founding fathers ekonomi klasik ini Adam Smith, John Malthus dan David Ricardo. Sedangkan Adam Smith memproklamirkan diri teori-teori ekonomi ini dengan madzhab individualisme  "Laissez Faire, Laissez  Passez, Et Le Monde va De Luime me”, berarti: (Biarkan ia bekerja dan tinggalkanlah, dunia ini akan berjalan dengan sendirinya). Dalam kaitan pembangunan ekonomi, maka teori ini berbunyi: “Biarkan masyarakat mengelola ekonominya dengan sendiri, sedangkan negara tidak boleh mengintervensinya”[1].

Paham inilah yang memunculkan ghirah individualisme, yang sangat mempengaruhi pemikiran pembangunan ekonomi di negara-negara barat dan USA, dan juga terhadap pola hidup masyarakat Indonesia di perkotaan yang life style berkiblat kepada barat yang sangat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.  Adam Smith menolak pemikiran ekonomi intervensi negara terhadap perputaran ekonomi dalam masyarakat, yaitu dengan memberikan peluang perputaran ekonomi kepada masyarakat secara liberal sebagai mekanisme pasar, sehingga masyarakat mampu berkonsumsi dan berproduksi yang ditentukan oleh harga pasar dengan hukum penawaran dan permintaan (supply and dimand).

Dalam hal ini, Adam Smith berkeyakinan bahwa dengan tidak adanya intervensi negara dalam pengaturan pasar akan dapat menjamin keseimbangan ekonomi dalam masyarakat. Dan harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar dalam pandangan Smith akan dapat mempengaruhi produksi, income/pendapatan, deposito, distribusi dan konsumsi. Dengan demikian, maka harga yang telah ditentukan oleh mekanisme pasar akan dapat mengelola perencanaan produksi, tabungan deposito, dan distribusi secara natural, sehingga akan dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara alami. Dengan berkeyakinan bahwa factor-faktor tangan gaib (invisible hand) akan berdampak padanatural order dan natural price dalam ekonomi[2].

Dalam kenyataannya, teori individualisme ini berdampak pada kerusakan social yang menyebabkan kesenjangan social antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin, karena teori ini berdampak dalam tatanan social yang kaya makin kaya dan yang miskin makin terhimpit dan terjepit, karena berdasar teori “Yang kaya memakan yang miskin”. Dengan demikian, teori Adam Smith ini jelas ditolak mentah-mentah karena meninggalkan great depression ekonomi dunia pada tahun 1929 khususnya bagi negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Para tokoh ekonomi klasik lain –Khusunya Malthus, David Ricardo dan John S. Mill- menambahkan tentang dua faktor yang dapat menghambat pembangunan ekonomi: Tingginya pertambahan angka penduduk dan kelangkaan sumber daya alam (SDA). Sehingga kedua factor inilah yang bila berkembang subur dalam masyarakat akan berdampak pada keterbelakangan ekonomi masyarakat, dan masyarakat tidak bertambah maju, bahkan akan terperosok ke dalam resesi ekonomi (stationary). Sekira mayoritas masyarakat hidup dalam level kemiskinan yang disebut dengan Minimum Subistence Level. Maka secara otomatis untuk mendongkrak masyarakat dalam level ini, akan menggunakan pola pemikiran pembangunan ekonomi yang kita sebut dengan Gradualistic Model of Growth & Stagnation[3] 

Perbedaan mendasar antara teori-teori pembangunan ekonomi Ricardo, Malthus dan Smith terletak pada analisa pembangunan tentang konsep peran penduduk sebagai unsure ekonomi. Menurut Smith angka pertambahan penduduk merupakan bagian dari factor-faktor produksi yang akan melahirkan perluasan pasar dan pertumbuhan ekonomi. Dengan semakin luasnya pasar, maka akan membuka inovasi-inovasi baru sebagai dampak dari insentif perluasan distribusi pekerjaan yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi[4].

Masih dalam frame teori-teori ekonomi Smith, John S. Mill berpendapat bahwa dengan system spesilisasi dan distribusi kerja (division of labor) profesionalisme para pekerja dan produktifitasnya akan meningkat, yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Sedangkan David Ricardo dan Malthus berpendapat bahwa dengan semakin bertambahnya penduduk maka dalam jangka panjang ekonomi akan terjerembab ke dalam resesi ekonomi, dikarenakan pertumbuhan penduduk melampui pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, maka sesuai dengan pendapatnya pembangunan ekonomi akan kembali ke level minimal (kemiskinan), dan Ricardo menambahkan bahwa tingginya produktifitas yang disebabkan oleh penggunaan tehnologi maju berdampak pada resesi ekonomi, akan tetapi tidak murni disebabkan oleh alih tehnologi maju[5].
                  
b.      Madzhab Ekonomi Keynesianisme
Madzhab Keynesianisme ini sangat membantah tentang teori-teori ekonomi Smith sebagaimana saya jelaskan di atas, dan pemikiran Keyn terfokus pada upaya pemberian solusi problematika ekonomi klasik dengan teori-teori: kerja, pemberdayaan, system bunga dan moneter. Dan revolusi Keyn ini kembali berupaya untuk menerapkan kebijakan-kebijakannya dalam memberikan solusi problematika melemahnya permintaan makro secara empiris dan tetap focus pada pentingnya intervensi pemerintah secara langsung melalui kebijakan-kebijakan financial. Yaitu dengan menerapkan kebijakan-kebijakan investasi publik dengan menutup mata tentang pentingnya kebutuhan investasi pada era sekarang[6].  Dengan demikian Pemikiran Keyn adalah atithesa pemikiran Smith dan Mark.

Pada tahun 1936 sebagai tahun lahirnya Madzhab Keynesianisme, yang mengfokuskan pemikirannya pada analisa ekonomi jangka pendek. Yang mana dunia mengalami depresi ekonomi secara besar-besaran dan pengangguran pun merajalela. Dalam general theorinya Keyn berpendapat bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara barat itu disebabkan oleh kurangnya investasi dari para investor secara umum. Oleh karena itu, untuk memberikan solusi atas krisis ini, negara harus melakukan intervensi di dalamnya.

Dalam perkembangan theorinya, Theori Keyn mengakui teori pertumbuhan ekonomi kontemporer yang mengfokuskan diri pada phisical capital formulation dan human capital/human invesment. Dampak dari teori Keyn ini dalam perkembangannya melahirkan teori pertumbuhan yang dianalisis oleh  Harrod (1948) dan Domar (1946) yang mengfokuskan analisanya pada permintaan makro secara empiris dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Menurut pendapat keduanya bahwa pertumbuhan ekonomi itu dipengaruhi oleh dua unsure: Investasi dan Capital Output Rasio[7]

Menurut teori ini masyarakat diharuskan memiliki tabungan deposito sebagai sumber investasi. Dan menurut salah satu penelitian mengatakan bahwa setiap tabungan deposito dan investasi bertambah maka berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dan begitu sebaliknya, setiap rendahnya capital output rasio akan berdampak pada lemahnya pertumbuhan ekonomi[8].

Menurut pemikiran Hanson, yang sangat memperhatikan bahaya tekanan inflasi –khususnya inflasi harga- terhadap kemajuan-kemajuan yang diraih negara-negara maju, yang akan berdampak pada resesi produksi dalam jangka panjang (secular stagnation), karena tidak bersesuaian antara harga-harga sumber daya produksi –selanjutnya harga-harga barang produksi- dengan tingginya produktifitas yang berimbas pada lemahnya struktur ekonomi dalam proses produksi. Sehingga mengharuskan intervensi negara dalam membatasi inflasi harga dengan cara menentukan harga secara langsung atau tidak langsung melalui kebijakan-kebijakan financial[9].


c.       Neo-Klasik

Madzhab ekonomi Neo-Klasik mengfokuskan pemikirannya pada solusi peroblematika ekonomi jangka pendek. Yang menekankan pentingnya peran redistribusi sumber daya ekonomi (Optimum allocation of existing resources) untuk menambah kualitas produksi[10]. Menurut teori ini kemajuan tehnologi memiliki kontribusi signifikan dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi, dan unsure tehnologi memiliki pengaruh yang tinggi dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu negara[11].

Dalam teori ini kemajuan tehnologi merupakan unsure penting yang dapat dimanfa’atkan semua negara di dunia ini. Dalam system ekonomi terbuka, semua factor-faktor produksi akan dapat berpindah secara mudah diantara negara-negara di dunia, dan alat-alat tehnologi ini akan dapat dimanfa’atkan secara lebih leluasa oleh negara-negara yang membutuhkannya. Dan oleh karena itu, akan terjadi convergent pertumbuhan ekonomi di semua negara di dunia, hal itu berarti: kesenjangan ekonomi antar negara akan menipis[12].   

Dalam perkembangan teori pertumbuhan ekonomi ini, pemikiran yang menjelaskan peranan perdagangan sebagai factor penting selain factor tenaga kerja, modal financial dan tehnologi. System dagang/perdagangan diakui sebagai factor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di negara manapun. Seperti yang dikatakan tokoh ekonomi Neo-Klasik Nurkse (1953) yang menjelaskan bahwa perdagangan merupakan penggerak pertumbuhan ekonomi di abad ke –19, bagi negara-negara maju seperti USA, Canada dan Australia. Dalil empiris yang menguatkan asumsi tersebut adalah terwujudnya kemajuan ekonomi negara-negara industri baru, yang mana negara-negara ini sangat miskin akan sumber daya alam (SDA), misalnya: Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura, pertumbuhan ekonomi negara-negara ini didorong oleh tingginya kegiatan perdagangan internasional.

Sebagai kesimpulan bahwa system ekonomi liberalisme adalah kumpulan dari madzhab ekonomi klasik, keynisan dan neo-klasik yang menelurkan kebijakan-kebijakan ekonomi berupa liberalisasi pasar, kebijakan pro-pasar, individualisme, kebijakan pro-bunga (system ribawi), pertumbuhan penduduk sebagai penghambat ekonomi, liberalisasi keuangan, spesialisasi bidang menuju profesionalisme tenaga kerja, system redistribusi ekonomi yang berbentuk subsidi harga dan produk sebagai bentuk kebijakan untuk kesejahteraan rakyat, penggunaan tehnologi maju, teori pertumbuhan ekonomi, intervensi negara dalam pasar sebagai pembuat hokum. Dan sebagai imbas dari pemberlakuan system liberalisasi ekonomi terbangunnya system kesenjangan ekonomi masyarakat yang sangat lebar, system korupsi, system monopoli dan keserakahan yang berakhir pada krisis ekonomi, pengangguran merajalela dan berujung pada sunami social.

HUKUM PAJAK


Hukum pajak, dalam bahasa Inggris,  disebut  tax law. Dalam bahasa Belanda, hukum pajak disebut belasting recht. Di Indonesia, selain digunakan istilah hukum pajak, juga digunakan istilah hukum fiskal. Sebenarnya hukum pajak dengan hukum  fiskal memiliki substansi yang berbeda. Hukum pajak hanya sekadar membicarakn tentang pajak sebagai objek kajiannya, sedangkan hukum fiskal meliputi pajak dan sebagian keuangan Negara sebagai objek kajiannya.

Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang berkaitan dengan pajak. Hukum pajak dalam arti sempit adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yang memuat sanksi hukum. Hukum pajak sebagai bagian ilmu hukum tidak lepas dari sanksi hukum sebagai substansi di dalamnya agar Pejabat Pajak maupun Wajib Pajak menaati kaidah hukum. Sanksi hukum yang dapat diterapkan berupa sanksi administrasidan sanksi pidana.

Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak (Rochmat Soemitro, 1979:24—25). Dengan kata lain, hukum pajak menerangkan :
a.    Siapa-siapa Wajib Pajak (subjek pajak);
b.   Objek-objek apa yang dikenakan pajak (objek pajak);
c.    Kewajiban Wajib Pajak terhadap pemerintah;
d.   Timbulnya dan hapusnya utang pajak;
e.    Cara penagihan pajak;
f.    Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak

Undang-undang No. 28 Tahun 2007 (UU KUP) tidak menyebutkan pengertian hukum pajak, melainkan hanya menyatakan kedudukannya sebagai “ketentuan umum” bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain. UU KUP merupakan kaderwet yang berfungsi sebagai payung terhadap undang-undang pajak yang sifatnya sektoral.

Pengertian hukum pajak dapat memberi petunjuk bagi penegak hukum pajak dalam menggunakan wewenang dan kewajibannya untuk menegakkan hukum pajak. Sebaliknya, dapat dijadikan pedoman bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban dan menggunakan hak dalam rangka memperoleh perlindungan  hukum sebagai konsekuensi dari penegakan hukum pajak.

Penegakan hukum pajak di dalam lembaga peradilan dilakukan melalui lembaga peradilan pajak mauapun lembaga peradilan umum. Penegakkan hukum pajak melalui lembaga peradilan pajak tertuju pada penyelesaian sengketa pajak dan dilakukan dalam Lembaga Keberatan, Pengadilan Pajak, dan Mahkamah Agung, atau hanya Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung saja. Penegakan hukum pajak melalui lembaga peradilan umum tertuju pada penyelesaian tindak pidana pajak dan dilakukan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Sedangkan penegakan hukum pajak di luar lembaga peradilan dilakukan oleh Pejabat Pajak dengan menggunakan wewenang berupa menerbitkan surat ketetapan pajak dan surat keputusan yang terkait dengan penagihan pajak.

Pendapat Hukum KPI Terkait Uji Materil UU Penyiaran


Pendapat Hukum, Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berpendapat bahwa permohonan dilakukannya penafsiran terhadap Pasal 18 Ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran a quo, merupakan upaya yang terpaksa ditempuh publik akiba
t secara sosiologis dirasakan dan ditemukan adanya perbedaan interpretasi hukum.
Hal itu disampaikan Anggota KPI Pusat, Judhariksawan, di depan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) saat sidang lanjutan uji materil UU Penyiaran, Kamis, 19 Januari 2012.
Menurut Judha, KPI juga memiliki penafsiran yang kemungkinan memiliki perbedaan dengan pihak lainnya. “Oleh karena salah satu tugas dan kewajiban KPI adalah ikut membangun iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri terkait serta penguatan kedudukan KPI oleh Putusan Mahkamah Konstitusi a quo sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran, maka perkenankan kami menyampaikan pendapat hukum tentang penafsiran terhadap Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4),” tegasnya..
Adapun pendapat hukum KPI terkait penafsiran isi Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran, seperti yang dibacakan Judha dalam kesimpulannya, bahwa “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum (meliputi: Orang perseorangan; Badan secara umum, baik dalam bentuk badan hukum ???????????? ???????? maupun non badan hukum; Badan hukum pemegang IPP yakni LPS; Badan hukum anak perusahaan LPS; atau Badan hukum yang memiliki anak perusahaan LPS (Holding Company), baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi (dengan memiliki atau menguasai satu IPP dalam satu wilayah siaran).”
Sedangkan pendapat KPI mengenai penafsiaran Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran, yakni “Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan (diberikan, dijual atau dialihkan dalam bentuk lain misalnya sewa, gadai, dan lain-lain) kepada pihak lain (meliputi: Orang perseorangan; Badan secara umum, baik dalam bentuk badan hukum maupun non badan hukum; Badan hukum pemegang IPP yakni LPS; Badan hukum anak perusahaan LPS; atau Badan hukum yang memiliki anak perusahaan LPS (Holding Company)).”
“Mengingat urgensitas penafsiran terhadap Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, maka Komisi Penyiaran Indonesia berharap Mahkamah Konstitusi dapat menetapkan putusan yang tidak hanya adil (aex aequo et bono), tetapi juga bermanfaat bagi pengaturan penyelenggaran sistem penyiaran Indonesia,” kata Judha.
Dalam sidang lanjutan yang dimulai pukul dua siang tersebut, turut hadir Anggota KPI Pusat lainnya seperti Mochamad Riyanto, Ezki Suyanto, Idy Muzayyad, dan Azimah Soebagijo.

BATAL DEMI HUKUM


Perihal: Pendapat Hukum terhadap Putusan Batal Demi Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 KUHAP
Dengan hormat,
Memenuhi permintaan beberapa rekan anggota DPR RI dan anggota masyarakat yang disampaikan kepada saya sehubungan dengan permasalahan putusan pengadilan pidana yang tidak memenuhi norma Pasal 197 ayat (1) huruf k Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana yang telah terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung atas terdakwa Parlin Riduansyah – dan terjadi pula pada terdakwa yang lain di berbagai daerah di tanah air – yang diputus bersalah dan dijatuhi hukuman 3 (tiga) tahun penjara, namun tidak mencantumkan norma yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, yakni “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, maka bersama ini saya sampaikan pendapat saya sebagai berikut:
Pasal 197 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa surat putusan pemidanaan memuat antara lain huruf k “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Jadi, jika seorang terdakwa diadili dan diputus bersalah dan dijatuhi hukuman penjara, kalau terdakwa tidak ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa ditahan. Kalau terdakwa sedang ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan. Kalau putusan membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dan terdakwa ditahan, maka putusan harus memuat perintah agar terdakwa dibebaskan. Perintah tersebut, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k, maksudnya adalah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 270 KUHAP, yakni ditujukan kepada Jaksa sebagai aparatur pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
Pasal 197 ayat (2) menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut “mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Putusan pengadilan dikatakan “batal demi hukum” (venrechtswege nietig atau ab initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum, sehingga dengan demikian, putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan. Mengingat pengertian “putusan batal demi hukum” adalah demikian menurut ilmu hukum, maka mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law atau dwingend recht), sehingga tidak boleh diabaikan oleh majelis hakim dalam memutus perkara pidana pada setiap tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung);
Mahkamah Agung dalam Putusan No 169 K/Pid/1988 tanggal 17 Maret 1988 telah menegaskan bahwa “Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum sebab tidak mencantumkan status Terdakwa sebagaimana dimaksud pada Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP putusan Pengadilan Tinggi tersebut harus dinyatakan batal demi hukum”. Dengan putusan ini, maka tidak perlu lagi Jaksa meminta fatwa kepada Mahkamah Agung mengenai putusan yang batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Norma Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHAP adalah norma yang terang, jelas dan tegas maknanya, sehingga pada norma yang demikian itu tidak diperlukan adanya penafsiran atau fatwa dari pihak manapun juga. KUHAP menganut prinsip yang tegas bahwa “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” (Pasal 3 KUHAP). Norma-norma hukum acara pidana haruslah bersifat tegas dan tidak boleh ditafsir-tafsirkan demi memelihara kepastian hukum, mengingat norma hukum acara pidana berkaitan langsung dengan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan dihormati oleh siapapun juga;
KUHAP secara keseluruhannya telah mengatur batas-batas kewenangan aparatur penegak hukum, mulai dari penyidik, penuntut umum, hakim, jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan pidana dan petugas lembaga pemasyarakatan. Tugas hakim adalah memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Apabila hakim telah memutus perkara dan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka tugas hakim berhenti atau berakhir sampai di batas itu. Tugas selanjutnya ada pada Jaksa, yakni untuk mengeksekusi putusan, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan untuk membina narapidana. Pasal 270 KUHAP mengatakan “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”. Dengan demikian, terhadap putusan yang batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k, maka hakim tidak mempunyai kewenangan apapun untuk memperbaiki putusan tersebut, mengingat sifat hakim yang pasif, yakni menyidangkan perkara yang diajukan kepadanya oleh penuntut umum, atau memeriksa banding dan kasasi apabila dimohon oleh penuntut umum atau terdakwa:
Oleh karena putusan yang batal demi hukum dalam perkara Parlin Riduansyah adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan diputuskan oleh Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat Peninjauan Kembali (PK), maka tidak ada upaya hukum apapun, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa, karena PK hanya dapat dilakukan satu kali saja sebagaimana diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Oleh karena itu putusan perkara tersebut telah bersifat final. Namun mengingat bahwa putusan tersebut adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, maka Jaksa tidak dapat melaksanakan atau mengeksekusi putusan tersebut. Jika Jaksa memaksakan pelaksanaan putusan yang batal demi hukum tersebut, maka Jaksa telah melakukan tindakan inkonstitusional dan melanggar hak asasi manusia, yakni melanggar Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
Demi kepastian hukum, putusan yang batal demi hukum adalah putusan yang sejak semula tidak pernah ada, tidak membawa akibat hukum dan tidak dapat dieksekusi. Karena itu, jika Jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum dapat digolongkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan asas negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu cirinya adalah mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi asas legalitas. Tindakan Jaksa yang memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum juga melanggar Pasal 17 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang antara lain menyatakan bahwa setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif”;
Jika Jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum, maka korban eksekusi itu berhak untuk melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena Jaksa tersebut telah melanggar Pasal 333 ayat (1) KUHP yang bunyinya “Barangsiapa dengan sengaja melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”. Jaksa tersebut juga dapat dituntut berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: (1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi” (2)Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”;
Untuk mengindari Jaksa mengeksekusi putusan yang batal demi hukum, yang nyata-nyata merupakan tindak pidana penyalahgunaan jabatan merampas kemerdekaan seseorang, maka Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggungjawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berkewajiban untuk memerintahkan kepada semua Jaksa agar tidak melaksanakan putusan yang batal demi hukum. Jika Jaksa Agung tidak melakukannya, dan sebaliknya membenarkannya serta membiarkan Jaksa melakukan eksekusi atas putusan yang batal demi hukum, maka Jaksa Agung dapat dituntut berdasarkan delik penyertaan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, atau delik perbantuan sebagaimana diatur dalam yakni menyuruh melakukan, turut serta melakukan atau bersama-sama para Jaksa tersebut melakukan tindak pidana, atau melakukan delik perbantuan, yakni sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, atau sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) dan (2) KUHP;
Dewan Perwakilan Rakyat yang menurut Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai hak pengawasan atas jalannya pemerintahan negara, berkewajiban untuk mengawasi Jaksa Agung dan seluruh jajarannya, agar sungguh-sungguh melaksanakan undang-undang selurus-lurusnya dan seadil-adilnya, dalam hal ini, khususnya terkait dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Jika Jaksa Agung tidak mengindahkan hal ini, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan hak interplasi sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (2) guna mempertanyakan kebijakan Pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan eksekusi putusan batal demi hukum yang terjadi di berbagai daerah, yang nyata-nyata telah melanggar hak asasi warganegara.
Demikianlah pendapat saya. Atas perhatian Yang Terhormat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya
Prof Dr Yusril Ihza Mahendra

PENDAPAT PARA AHLI TENTANG PUTUSAN BATAL DEMI HUKUM


Perihal: Pendapat Hukum terhadap Putusan B
atal Demi Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 KUHAP

Dengan hormat,
Memenuhi permintaan beberapa rekan anggota DPR RI dan anggota masyarakat yang disampaikan kepada saya sehubungan dengan permasalahan putusan pengadilan pidana yang tidak memenuhi norma Pasal 197 ayat (1) huruf k Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana yang telah terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung atas terdakwa Parlin Riduansyah – dan terjadi pula pada terdakwa yang lain di berbagai daerah di tanah air – yang diputus bersalah dan dijatuhi hukuman 3 (tiga) tahun penjara, namun tidak mencantumkan norma yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, yakni “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, maka bersama ini saya sampaikan pendapat saya sebagai berikut:
  1. Pasal 197 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa surat putusan pemidanaan memuat antara lain huruf k “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Jadi, jika seorang terdakwa diadili dan diputus bersalah dan dijatuhi hukuman penjara, kalau terdakwa tidak ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa ditahan. Kalau terdakwa sedang ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan. Kalau putusan membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dan terdakwa ditahan, maka putusan harus memuat perintah agar terdakwa dibebaskan. Perintah tersebut, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k, maksudnya adalah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 270 KUHAP, yakni ditujukan kepada Jaksa sebagai aparatur pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
  2. Pasal 197 ayat (2) menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut “mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Putusan pengadilan dikatakan “batal demi hukum” (venrechtswege nietig atau ab initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum, sehingga dengan demikian, putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan. Mengingat pengertian “putusan batal demi hukum” adalah demikian menurut ilmu hukum, maka mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law atau dwingend recht), sehingga tidak boleh diabaikan oleh majelis hakim dalam memutus perkara pidana pada setiap tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung);
  3. Mahkamah Agung dalam Putusan No 169 K/Pid/1988 tanggal 17 Maret 1988 telah menegaskan bahwa “Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum sebab tidak mencantumkan status Terdakwa sebagaimana dimaksud pada Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP putusan Pengadilan Tinggi tersebut harus dinyatakan batal demi hukum”. Dengan putusan ini, maka tidak perlu lagi Jaksa meminta fatwa kepada Mahkamah Agung mengenai putusan yang batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Norma Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHAP adalah norma yang terang, jelas dan tegas maknanya, sehingga pada norma yang demikian itu tidak diperlukan adanya penafsiran atau fatwa dari pihak manapun juga. KUHAP menganut prinsip yang tegas bahwa “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” (Pasal 3 KUHAP). Norma-norma hukum acara pidana haruslah bersifat tegas dan tidak boleh ditafsir-tafsirkan demi memelihara kepastian hukum, mengingat norma hukum acara pidana berkaitan langsung dengan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan dihormati oleh siapapun juga;
  4. KUHAP secara keseluruhannya telah mengatur batas-batas kewenangan aparatur penegak hukum, mulai dari penyidik, penuntut umum, hakim, jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan pidana dan petugas lembaga pemasyarakatan. Tugas hakim adalah memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Apabila hakim telah memutus perkara dan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka tugas hakim berhenti atau berakhir sampai di batas itu. Tugas selanjutnya ada pada Jaksa, yakni untuk mengeksekusi putusan, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan untuk membina narapidana. Pasal 270 KUHAP mengatakan “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”. Dengan demikian, terhadap putusan yang batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k, maka hakim tidak mempunyai kewenangan apapun untuk memperbaiki putusan tersebut, mengingat sifat hakim yang pasif, yakni menyidangkan perkara yang diajukan kepadanya oleh penuntut umum, atau memeriksa banding dan kasasi apabila dimohon oleh penuntut umum atau terdakwa:
  5. Oleh karena putusan yang batal demi hukum dalam perkara Parlin Riduansyah adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan diputuskan oleh Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat Peninjauan Kembali (PK), maka tidak ada upaya hukum apapun, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa, karena PK hanya dapat dilakukan satu kali saja sebagaimana diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Oleh karena itu putusan perkara tersebut telah bersifat final. Namun mengingat bahwa putusan tersebut adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, maka Jaksa tidak dapat melaksanakan atau mengeksekusi putusan tersebut. Jika Jaksa memaksakan pelaksanaan putusan yang batal demi hukum tersebut, maka Jaksa telah melakukan tindakan inkonstitusional dan melanggar hak asasi manusia, yakni melanggar Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
  6. Demi kepastian hukum, putusan yang batal demi hukum adalah putusan yang sejak semula tidak pernah ada, tidak membawa akibat hukum dan tidak dapat dieksekusi. Karena itu, jika Jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum dapat digolongkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan asas negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu cirinya adalah mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi asas legalitas. Tindakan Jaksa yang memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum juga melanggar Pasal 17 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang antara lain menyatakan bahwa setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif”;
  7. Jika Jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum, maka korban eksekusi itu berhak untuk melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena Jaksa tersebut telah melanggar Pasal 333 ayat (1) KUHP yang bunyinya “Barangsiapa dengan sengaja melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”. Jaksa tersebut juga dapat dituntut berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: (1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi” (2)Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”;
  8. Untuk mengindari Jaksa mengeksekusi putusan yang batal demi hukum, yang nyata-nyata merupakan tindak pidana penyalahgunaan jabatan merampas kemerdekaan seseorang, maka Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggungjawab pokies games tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berkewajiban untuk memerintahkan kepada semua Jaksa agar tidak melaksanakan putusan yang batal demi hukum. Jika Jaksa Agung tidak melakukannya, dan sebaliknya membenarkannya serta membiarkan Jaksa melakukan eksekusi atas putusan yang batal demi hukum, maka Jaksa Agung dapat dituntut berdasarkan delik penyertaan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, atau delik perbantuan sebagaimana diatur dalam yakni menyuruh melakukan, turut serta melakukan atau bersama-sama para Jaksa tersebut melakukan tindak pidana, atau melakukan delik perbantuan, yakni sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, atau sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) dan (2) KUHP;
  9. Dewan Perwakilan Rakyat yang menurut Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai hak pengawasan atas jalannya pemerintahan negara, berkewajiban untuk mengawasi Jaksa Agung dan seluruh jajarannya, agar sungguh-sungguh melaksanakan undang-undang selurus-lurusnya dan seadil-adilnya, dalam hal ini, khususnya terkait dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Jika Jaksa Agung tidak mengindahkan hal ini, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan hak interplasi sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (2) guna mempertanyakan kebijakan Pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan eksekusi putusan batal demi hukum yang terjadi di berbagai pokie game daerah, yang nyata-nyata telah melanggar hak asasi warganegara.

Pendapat Hukum atas Izin Poligami Dokter Spesialis Penyakit Dalam Zulkifli Amin


Setelah saya membaca berita dari salah satu media sosial dengan judul “Menkes Izinkan Poligami karena Dokter RSCM Siap berlaku Adil” lihat di (http://news.detik.com/read/2012/05/29/133812/1927371/10/menkes-izinkan-poligami-karena-dokt
er-rscm-siap-berlaku-adil?nd992203605). Kisah tersebut bermula saat Zulkifli dan Erna menikah pada 1980 sehingga dikaruniai 3 anak. Lalu pada 2008 biduk rumah tangga mereka tergoncang dengan hadirnya pihak ketiga.
Lantas Zulkifli mengajukan izin poligami ke Pengadilan Agama Jakarta Timur (PA Jaktim) tetapi ditolak. Lalu Zulkifli meminta atasannya, Menkes, mengeluarkan izin poligami dan keluarlah SK Menkes No 357/MENKES/SK/R/III/2010. SK ini lalu digugat Erna ke pengadilan. Di PTUN dan PT TUN, majelis hakim membatalkan SK tersebut. Lalu Zulkifli mengajukan permohonan kasasi.
“Mengabulkan permohonan kasasi,” tulis panitera MA dalam website MA, Selasa (29/5/2012). Putusan yang diketok pada 2 Mei 2012 lalu diputus oleh ketua majelis hakim Paulus E Lotulung dengan hakim anggota Hary Djatmiko dan Yulius.
Lantas, apakah SK Menteri Kesehatan bisa dijadikan landasan untuk izin poligami?
Menurut pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dijelaskan ” Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.”
Kemudian dalam pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dijelaskan “Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.”
Adapun pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara izin poligami adalah Pengadilan Agama sesuai penjelasan pasal 49 ayat 2 poin 1 (Undang-undang Nomor 7 tahun 1989). Kemudian apakah Sk Menkes bisa dijadikan landasan untuk poligami?
Hal ini sudah dijelaskan dalam pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang berbunyi : “Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.”
Tentunya berdasarkan pasal 44 PP Nomor 9 tahun 1975, Pegawai Pencatat Nikah tidak bisa mengeluarkan izin poligami berdasarkan SK dari Menteri Kesehatan. Karena Pegawai Pencatat Nikah baru bisa mencatat pernikahan bila ada izin dari Pengadilan Agama. ‘
Berdasarkan landasan Peraturan pemerintah tersebut, jelaslah bahwa SK Menteri Kesehatan yang dikeluarkan mantan Menteri Kesehatan (alm) Endang Rahayu Sedyaningsih tidak bisa dijadikan landasan untuk mencatatkan pernikahan di Pegawai Pencatat Nikah. Karena pencatatan pernikahan baru sah, jika ada putusan pengadilan Agama.

HATTEN BALI WINES


HATTEN BALI WINES
Tahun 1994 adalah tahun di mana wine buatan Bali ini mulai diproduksi oleh anak
negeri asal Bali bernama I B Rai Budarsa. Gus
Rai, panggilan akrabnya, sungguh tak asing dengan ilmu membuat minuman dari
anggur, lantaran keluarganya sudah membuat brem dan arak Bali
sejak tahun 1960-an, plus latar belakang pendidikannya di jurusan food
processing, dan ia memang pecinta wine. Anggur-anggur didatangkan dari vineyard
pribadi seluas 14.5 hektar yang berlokasi di Singaraja, Bali.
Tidak hanya vineyard, Hatten juga mempunyai winery untuk memproduksi lebih dari
8 jenis wine, dan itu membuat Hatten Wines menjadi winery pertama di tanah air
yang bisa dikatakan 100% Indonesia. Hatten Wine Rose hingga kini menjadi produk
andalan dari Hatten Wine, dan sempat memenangkan penghargaan di London pada tahun 2003.
Ekspor Hatten Wines kini sudah mencapai negara-negara Eropa seperti Belgia,
Inggris dan Belanda, serta Singapura hingga Maladewa. (sumber: Indonesia
Young  Enterpreuner)