Sabtu, 04 Mei 2013

Kompetensi Peradilan Militer Perlu Dibenahi


Pengajar hukum pidana UI, Ganjar L Bondan berpendapat kompetensi peradilan militer perlu dibenahi karena sudah melenceng dari asas sesungguhnya. Pasalnya, peradilan militer saat ini cenderung mengadili semua kasus yang dilakukan anggota militer. Baik itu yang bersinggungan dengan tindak pidana umum ataupun militer.
Melihat hal itu Ganjar menilai proses peradilan militer hanya mendasarkan pada status, bukan perbuatan pelaku. Padahal, yang mesti diadili itu perbuatan yang dilakukan oleh anggota yang bersangkutan.
Untuk itu, Ganjar berpendapat peradilan militer harusnya khusus mengadili tindak pidana militer misalnya ada anggota TNI yang melawan perintah komando. Namun, ketika perbuatan yang dilakukan adalah tindak pidana umum seperti pemerkosaan, pengerusakan dan pembunuhan, sudah selayaknya diproses di peradilan umum. “Kalau kasus seperti itu dibawa ke peradilan militer yang terjadi malah melecehkan peradilan militer,” katanya dalam diskusi di kantor YLBHI Jakarta, Jumat (3/5).
Lebih jauh Ganjar menyebut UU Peradilan Militer perlu direvisi. Menurutnya, hal itu ditujukan agar peradilan militer berfungsi sesuai kompetensinya, yaitu memproses tindakan yang hanya dipahami oleh TNI. Seperti garis komando, desersi dan lain sebagainya. Pasalnya, militer punya keahlian khusus dan bersenjata. Namun, dengan kewenangan tersebut ketika anggota militer melakukan tindak pidana umum, maka hukumannya perlu diperberat ketimbang masyarakat sipil.
Oleh karenanya, Ganjar melanjutkan, dibutuhkan pendekatan khusus untuk memproses anggota militer yang tersangkut kasus pidana umum. Misalnya, dalam kasus penyerangan LP Cebongan, anggota militer yang melakukan penyerangan menggunakan senjata berat. Mengingat hal itu dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan maka Ganjar menilai hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku harus lebih berat jika dibandingkan dengan masyarakat sipil yang melakukan penyerangan serupa.
Teknisnya nanti, lanjut Ganjar, para pelaku penyerangan LP Cebongan harus melewati proses di peradilan umum dan ketika hakim menjatuhkan putusan maka kewenangan yang melekat pada pelaku memperberat hukuman yang dijatuhkan. Sayangnya, Ganjar melihat hal itu potensinya kecil dilakukan jika mengacu UU Peradilan Militer.
Dari pantauannya selama ini, kasus-kasus yang sering digelar di peradilan militer seringkali berkaitan dengan pidana umum. Bahkan Ganjar mengaku sangat sulit menemukan peradilan militer yang memproses tindak pidana militer murni. Untuk itu ia berharap peraturan tersebut segera diubah untuk mengembalikan fungsi peradilan militer pada fungsinya.
Jika kompetensi peradilan militer tak dibenahi, Ganjar berpendapat penegakan hukum dan pemenuhan keadilan bagi masyarakat sukar dipenuhi. Misalnya, ketika mengikuti sebuah persidangan di peradilan militer, Ganjar melihat majelis hakim berpangkat kolonel sementara pelaku yang disidangkan berpangkat lebih tinggi yaitu bintang I.
Melihat struktur kepangkatan yang timpang antara yang mengadili dan diadili itu, sang hakim diberi pangkat sementara atau tituler, menjadi bintang I. Walau begitu, Ganjar berpendapat tetap saja kondisi itu menyulitkan sang hakim untuk memberikan keputusan yang adil karena pangkatnya yang permanen adalah kolonel. Ujungnya, putusan yang dihasilkan dinilai tak memberi rasa keadilan bagi korban.
Pada kesempatan yang sama, mantan Ketua Badan Pekerja YLBHI, Patra M Zein, menyebut wacana untuk merevisi UU Peradilan Militer sudah muncul sejak tahun 2000-an. Namun, proses revisinya seolah timbul dan tenggelam serta berarut, ujungnya sampai saat ini revisi itu tak terwujud. Dalam memperjuangkan agar UU Peradilan Militer dibenahi, Patra menyebut masyarakat sipil perlu menggunakan strategi yang tepat. Misalnya, memanfaatkan peluang dan momentum yang ada untuk mendukung terealisasinya revisi peraturan tersebut. Seperti momen terjadinya penyerangan LP Cebongan dan masa menjelang Pemilu.
Patra mencontohkan ketika mendorong pembentukan UU Bantuan Hukum, menjelang pelaksanaan Pemilu organisasi masyarakat sipil mendekati para calon legislatif (caleg). Untuk diajak berkomitmen memperjuangkan pembentukan UU tersebut ketika nanti berhasil terpilih menjadi anggota DPR. Walau begitu, upaya pendekatan tersebut harus dilakukan pada saat yang tepat. Pasalnya, menjelang pelaksanaan Pemilu, para calon cenderung sibuk mempersiapkan diri untuk kampanye.
Tapi, menurut Patra ada alternatif lain yang dapat digunakan masyarakat sipil untuk mendorong revisi UU Peradilan Militer yaitu mengajukannya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika mekanisme itu ditempuh dan MK memberi putusan sesuai harapan, maka masyarakat sipil dapat menggunakannya sebagai alat kampanye menggaungkan revisi UU Peradilan Militer. Namun, tetap saja masyarakat sipil harus melihat berapa besar peluang yang bisa diraih agar MK memberi putusan sesuai dengan harapan. “Biar MK menegaskan apakah anggota militer yang melakukan pidana dibawa ke peradilan umum atau militer,” urainya.
Secara umum, Patra menilai revisi UU Peradilan Militer tak terpisahkan dari ketentuan lainnnya yang terkait seperti KUHP dan KUHAP Militer. Mengingat pembahasan revisi UU Peradilan Militer sudah dilakukan berulang kali, Patra menyebut masyarakat sipil harus melihat peristiwa-peristiwa apa yang terjadi kala itu sehingga dimasukan dalam ketentuan tersebut.
Sementara, pakar hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin, mengatakan militer dan negara sangat lekat sejak negara itu dibentuk. Namun, semakin modern sebuah negara maka garis pembatas antara militer dan negara semakin jelas. Selaras dengan itu semakin terang pula kalau peradilan militer hanya khusus mengadili kasus yang tak dapat ditindak lewat mekanisme peradilan umum.
Menanggapi banyaknya kasus pidana umum yang dilakukan anggota militer dibawa ke peradilan militer, Irman mengatakan persoalan itu berada di ranah kemauan politik pemerintah dan parlemen. Menurutnya, dalam mendorong revisi UU Peradilan Militer masyarakat sipil dapat memaksimalkan ketentuan yang ada di konstitusi misalnya dengan melakukan judicial review.

Dukcapil Diminta Hati-hati Proses Akta Kelahiran


Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menghormati dan menyambut baik putusan MK yang menghapus peran pengadilan dalam pengurusan akta kelahiran. Pasalnya, putusan MK itu akan memperpendek jalur birokrasi pengurusan akta kelahiran, sehingga pengurusan akta hanya melalui Kantor Dinas Kependukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) di masing-masing daerah.
“Itu bagus, Alhamdulillah sekali, dengan putusan MK itu dapat mempercepat proses. Sebab, dari dulu orang minta pengecualian, tapi kan tidak bisa dengan keputusan menteri, saya tidak mau melanggar undang-undang,” kata Mendagri Gamawan Fauzi di kantornya, Jumat  (3/5).
Gamawan mengatakan pihaknya akan segera memberitahukan pemerintah daerah terkait terbitnya putusan MK yang menghapus peran pengadilan dalam pengurusan akta kelahiran. “Kita akan lanjutkan dan beritahukan putusan MK ini ke daerah bahwa tidak perlu lagi ke pengadilan, cukup pengurusan akta kelahiran lewat kantor dukcapil, kita harus taati,” harap Gamawan.
Terkait teknis prosedur pengurusannya, kata Gamawan, semuanya diserahkan masing-masing daerah. “Tetapi, kalau daerah mau mengatur bagaimana mekanismenya, itu lebih bagus agar lebih tertib, nanti akan kita kaji,” katanya.
Juru bicara Kemendagri Reydonnyzar Moenek menambahkan pihaknya akan segera menindaklanjuti dengan mengirimkan surat edaran kepada bupati/walikota terkait pelaksanaan putusan MK itu. Meski begitu, dia meminta agar pemerintah daerah lewat kantor Dukcapil menerapkan prinsip kehati-hatian.
“Suratnya sudah kita persiapkan, Insya Allah dalam waktu dekat ini segera disosialisasikan bagaimana menyikapi putusan MK,” janjinya.       
Menurut dia, pengurusan akta kelahiran yang melewati satu tahun selama ini harus melalui penetapan pengadilan terutama menyangkut kebenaran status hukum dan kedudukan anak. Terlebih, sejak terbitnyaputusan MK tentang pengujian Pasal 43 UU Perkawinan yang dimohonkan Macicha Mochtar.
“Sejak putusan Macicha, ada empat status anak yaitu anak temuan, anak ibunya (anak luar kawin), anak hasil perkawinan yang sah, dan anak hasil zina, tetapi mereka tetap diberikan akta kelahiran,” katanya.
Karena itu, tegas dia, ketika Kepala Dinas Dukcapil akan menandatangani akta kelahiran dibutuhkan kehatian-hatian dan pembuktian yang memadai dalam proses pengajuan akta. Sehingga, status kedudukan anak dalam keluarganya dapat dipertanggungjawabkan agar tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.
“Sejak putusan MK itu, pengajuan akta kelahiran cukup dengan keputusan Kepala Dinas Dukcapil yang berimplikasi (akibat) hukum. Ini yang harus kita jaga,” ujarnya mengingatkan. 
Terpisah, Ketua MA M. Hatta Ali mengingatkan MA telah mengeluarkan SEMA No. 1 Tahun 2003 yang membatalkan SEMA No. 6 Tahun 2012 tentang SEMA No. 06 Tahun 2012 tentang Pedoman Penetapan Pencatatan Kelahiran yang Melampaui Batas Waktu Satu Tahun Secara Kolektif. Di alinea terakhir SEMA No. 1 Tahun 2013 itu, permohonan penetapan akta kelahiran yang diajukan sebelum adanya putusan MK segera diselesaikan.   
“Kalau tidak diselesaikan kasihan, seolah-olah pengadilan melepas begitu saja tanpa tanggung jawab. Tetapi, bagi pemohon yang baru mengajukan permohonan itu jangan diterima,” katanya
Sebelumnya, MK membatalkan frasa dan ayat dalam Pasal 32  UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) yang isinya dianggap merepotkan para orang tua yang telat mengurus akta kelahiran anaknya.
Dalam putusannya, MK mengubah kata ‘persetujuan’ dalam Pasal 32 ayat (1) UU Adminduk dengan kata ‘keputusan’.MK juga membatalkan frasa “sampai dengan 1 (satu) tahun” dalam  ketentuan itu. Ini artinya, laporan akta kelahiran yang melewati 60 hari sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan keputusan Kepala Instansi Pelaksana setempat.
Selain itu, MK membatalkan keberadaan Pasal 32 ayat (2) yang mengatur pencatatan kelahiran yang melewati satu tahun, dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri. Ini artinya, peran pengadilan dalam hal pengurusan  penetapan akta kelahiran yang melewati satu tahun dihilangkan.
Selama ini penetapan akta kelahiran berpedoman pada SEMA No. 06 Tahun 2012 tentang Pedoman Penetapan Pencatatan Kelahiran yang Melampaui Batas Waktu Satu Tahun Secara Kolektif.
Lewat SEMA ini, MA mempermudah pengurusan akta kelahiran bagi masyarakat yang terlambat mengurus. Selain memungkinkan pengurusan kolektif, MA mendorong pengadilan di daerah melakukan sidang keliling atau zitting plaats. Untuk pengurusan biaya, pengadilan bisa bekerja sama dengan bank atau Pos Indonesia.

Kompetensi Peradilan Militer Perlu Dibenahi Judicial review UU Peradilan Militer bisa jadi alternatif.


Pengajar hukum pidana UI, Ganjar L Bondan berpendapat kompetensi peradilan militer perlu dibenahi karena sudah melenceng dari asas sesungguhnya. Pasalnya, peradilan militer saat ini cenderung mengadili semua kasus yang dilakukan anggota militer. Baik itu yang bersinggungan dengan tindak pidana umum ataupun militer.
Melihat hal itu Ganjar menilai proses peradilan militer hanya mendasarkan pada status, bukan perbuatan pelaku. Padahal, yang mesti diadili itu perbuatan yang dilakukan oleh anggota yang bersangkutan.
Untuk itu, Ganjar berpendapat peradilan militer harusnya khusus mengadili tindak pidana militer misalnya ada anggota TNI yang melawan perintah komando. Namun, ketika perbuatan yang dilakukan adalah tindak pidana umum seperti pemerkosaan, pengerusakan dan pembunuhan, sudah selayaknya diproses di peradilan umum. “Kalau kasus seperti itu dibawa ke peradilan militer yang terjadi malah melecehkan peradilan militer,” katanya dalam diskusi di kantor YLBHI Jakarta, Jumat (3/5).
Lebih jauh Ganjar menyebut UU Peradilan Militer perlu direvisi. Menurutnya, hal itu ditujukan agar peradilan militer berfungsi sesuai kompetensinya, yaitu memproses tindakan yang hanya dipahami oleh TNI. Seperti garis komando, desersi dan lain sebagainya. Pasalnya, militer punya keahlian khusus dan bersenjata. Namun, dengan kewenangan tersebut ketika anggota militer melakukan tindak pidana umum, maka hukumannya perlu diperberat ketimbang masyarakat sipil.
Oleh karenanya, Ganjar melanjutkan, dibutuhkan pendekatan khusus untuk memproses anggota militer yang tersangkut kasus pidana umum. Misalnya, dalam kasus penyerangan LP Cebongan, anggota militer yang melakukan penyerangan menggunakan senjata berat. Mengingat hal itu dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan maka Ganjar menilai hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku harus lebih berat jika dibandingkan dengan masyarakat sipil yang melakukan penyerangan serupa.
Teknisnya nanti, lanjut Ganjar, para pelaku penyerangan LP Cebongan harus melewati proses di peradilan umum dan ketika hakim menjatuhkan putusan maka kewenangan yang melekat pada pelaku memperberat hukuman yang dijatuhkan. Sayangnya, Ganjar melihat hal itu potensinya kecil dilakukan jika mengacu UU Peradilan Militer.
Dari pantauannya selama ini, kasus-kasus yang sering digelar di peradilan militer seringkali berkaitan dengan pidana umum. Bahkan Ganjar mengaku sangat sulit menemukan peradilan militer yang memproses tindak pidana militer murni. Untuk itu ia berharap peraturan tersebut segera diubah untuk mengembalikan fungsi peradilan militer pada fungsinya.
Jika kompetensi peradilan militer tak dibenahi, Ganjar berpendapat penegakan hukum dan pemenuhan keadilan bagi masyarakat sukar dipenuhi. Misalnya, ketika mengikuti sebuah persidangan di peradilan militer, Ganjar melihat majelis hakim berpangkat kolonel sementara pelaku yang disidangkan berpangkat lebih tinggi yaitu bintang I.
Melihat struktur kepangkatan yang timpang antara yang mengadili dan diadili itu, sang hakim diberi pangkat sementara atau tituler, menjadi bintang I. Walau begitu, Ganjar berpendapat tetap saja kondisi itu menyulitkan sang hakim untuk memberikan keputusan yang adil karena pangkatnya yang permanen adalah kolonel. Ujungnya, putusan yang dihasilkan dinilai tak memberi rasa keadilan bagi korban.
Pada kesempatan yang sama, mantan Ketua Badan Pekerja YLBHI, Patra M Zein, menyebut wacana untuk merevisi UU Peradilan Militer sudah muncul sejak tahun 2000-an. Namun, proses revisinya seolah timbul dan tenggelam serta berarut, ujungnya sampai saat ini revisi itu tak terwujud. Dalam memperjuangkan agar UU Peradilan Militer dibenahi, Patra menyebut masyarakat sipil perlu menggunakan strategi yang tepat. Misalnya, memanfaatkan peluang dan momentum yang ada untuk mendukung terealisasinya revisi peraturan tersebut. Seperti momen terjadinya penyerangan LP Cebongan dan masa menjelang Pemilu.
Patra mencontohkan ketika mendorong pembentukan UU Bantuan Hukum, menjelang pelaksanaan Pemilu organisasi masyarakat sipil mendekati para calon legislatif (caleg). Untuk diajak berkomitmen memperjuangkan pembentukan UU tersebut ketika nanti berhasil terpilih menjadi anggota DPR. Walau begitu, upaya pendekatan tersebut harus dilakukan pada saat yang tepat. Pasalnya, menjelang pelaksanaan Pemilu, para calon cenderung sibuk mempersiapkan diri untuk kampanye.
Tapi, menurut Patra ada alternatif lain yang dapat digunakan masyarakat sipil untuk mendorong revisi UU Peradilan Militer yaitu mengajukannya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika mekanisme itu ditempuh dan MK memberi putusan sesuai harapan, maka masyarakat sipil dapat menggunakannya sebagai alat kampanye menggaungkan revisi UU Peradilan Militer. Namun, tetap saja masyarakat sipil harus melihat berapa besar peluang yang bisa diraih agar MK memberi putusan sesuai dengan harapan. “Biar MK menegaskan apakah anggota militer yang melakukan pidana dibawa ke peradilan umum atau militer,” urainya.
Secara umum, Patra menilai revisi UU Peradilan Militer tak terpisahkan dari ketentuan lainnnya yang terkait seperti KUHP dan KUHAP Militer. Mengingat pembahasan revisi UU Peradilan Militer sudah dilakukan berulang kali, Patra menyebut masyarakat sipil harus melihat peristiwa-peristiwa apa yang terjadi kala itu sehingga dimasukan dalam ketentuan tersebut.
Sementara, pakar hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin, mengatakan militer dan negara sangat lekat sejak negara itu dibentuk. Namun, semakin modern sebuah negara maka garis pembatas antara militer dan negara semakin jelas. Selaras dengan itu semakin terang pula kalau peradilan militer hanya khusus mengadili kasus yang tak dapat ditindak lewat mekanisme peradilan umum.
Menanggapi banyaknya kasus pidana umum yang dilakukan anggota militer dibawa ke peradilan militer, Irman mengatakan persoalan itu berada di ranah kemauan politik pemerintah dan parlemen. Menurutnya, dalam mendorong revisi UU Peradilan Militer masyarakat sipil dapat memaksimalkan ketentuan yang ada di konstitusi misalnya dengan melakukan judicial review.

GTIS dan Nasabah Saling Bertahan Bertahan


Perkara penundaan kewajiban pembayaraan utang antara nasabah melawan PT Golden Traders Indonesia Syariah hampir memasuki babak akhir, Rabu (01/5). Para pihak memabacakan kesimpulannya kepada majelis hakim atas proses perkara tersebut.
Dalam kesimpulannya, GTIS meminta agar majelis menolak permohonan PKPU Sintya. Sebab, permohonan tersebut tidak  memenuhi syarat-syarat permohonan PKPU, yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta ada kreditor lain. Sehingga, permohonan pemohonerror in objecto lantaran eksistensi utang sudah tidak ada lagi.
GTIS berdalil telah melakukan prestasinya kepada Sintya dan Ninik Sulastini. Pembayaran tersebut telah membuktikan iktikad baik GTIS dalam menyelesaikan persoalan utang piutang itu. Juga, hal itu membuktikan bahwa GTIS masih mampu membayar utangnya yang sudah jatuh tempo.“Pemohon gagal membuktikan dalil-dalil permohonannya,” ucap kuasa hukum GTIS Dedyk Eryanto Nugroho.
Mendengar kesimpulan GTIS yang mengatakan gagal membuktikan dan ada error in objecto, kuasa hukum Sintya, Enrico Simanjuntak akhirnya memutuskan juga membacakan kesimpulannya. Padahal sebelumnya Enrico enggan membacakannya di hadapan persidangan.
Dalam kesimpulannya, Enrico menyatakan kliennya tetap bertahan dengan permohonannya meskipun GTIS mencoba mematahkan permohonan PKPU dengan dalil telah membayar utang Sintya dan kreditor lain. Enrico balik menuding GTIS. Pembayaran yang dilakukan GTIS bukan merupakan bentuk iktikad baik, tetapi adalah cara untuk mengaburkan fakta-fakta persidangan.
Hal ini terlihat dari tidak adanya tanggal pembayaran yang dicantumkan GTIS dalam berkas jawabannya. GTIS hanya mencantumkan bulan pembayaran. Padahal,  pembayaran tersebut dilakukan pada saat permohonan PKPU telah digelar, yaitu 26 April 2013 sedangkan sidang pertama PKPU adalah 25 April 2013.
Begitu juga terhadap pembayaran athoya kreditur lainnya. Pembayaran juga dilakukan sehari setelah sidang perdana dilakukan. Lagi-lagi hal ini untuk menghindari proses persidangan. Lebih lagi, sebelum permohonan diajukan, Sintya telah pernah mengajak GTIS untuk menyelesaikan persoalan ini dengan baik. Akan tetapi, GTIS mengabaikannya.
“Dengan demikian, pemohon telah dapat membuktikan adanya utang sebagaimana diatur dalam Pasal 222 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU,” ujar Enrico dalam persidangan, Rabu (1/5).
Sebelum sidang ditutup, salah satu nasabah yang diketahui bernama Afro menginterupsi majelis agar diizinkan menyuarakan pendapatnya. Afro yang mengaku mewakili nasabah lainnya meminta majelis untuk tidak mengabulkan permohonan pemohon. Para nasabah mengetahui iktikad baik GTIS untuk menyelesaikan persoalan ini dan Afro juga mengatakan penyelesaian tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan.
“Saya sangat sedih dengan PKPU ini. Untuk itu, kami meminta agar majelis menolak PKPU ini. Kami tidak dapat berbuat apa-apa, hakimlah yang menentukan,” pungkasnya.
Menanggapi interupsi ini, Enrico menanyakan keabsahan perwakilan tersebut. Menurutnya, Afro tersebut mewakili kepentingan siapa soalnya Enrico dan Sintya juga mendapat dukungan dari nasabah lainnya. Ada dua kubu dari nasabah itu sendiri.
Lebih lagi, Enrico menekankan agar GTIS jangan takut dengan permohonan PKPU ini. Soalnya, tujuan dari PKPU itu adalah merestrukturisasi utang. Melalui PKPU ini, GTIS juga diberi nafas untuk membuat skema perdamaian demi membayar kewajibannya. Melalui PKPU ini pula, Sintya mendapat kepastian hukum dari sebuah investasi. Sintya juga mengetahui muara dari persoalan ini. Selama ini, sebelum permohonan PKPU diajukan, GTIS selalu mengabaikan permohonan Sintya. GTIS hanya terus memberikan janji.
“Padahal, dari janji tersebut ada sebuah harapan yang timbul. Nah, harapan inilah yang tidak diperhatikan GTIS. Kamimemerlukan sebuah kepastian dengan melihat ujung dari persoalan ini,” pungkasnya.

Rencana Kenaikan Harga BBM Tidak Tepat Waktu


Pemerintah lagi-lagi tak konsisten mengeluarkan kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Setelah sempat mewacanakan penerapan dua harga BBM bersubsidi, ternyata pemerintah tetap tak memilih rencana kebijakan tersebut. Bahkan, pemerintah berencana akan menaikkan harga BBM bersubsidi secara menyeluruh dengan menerapkan satu harga pada Juni mendatang. Rencana ini mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak.
Salah satu pihak yang mengkritik rencana pemerintah tersebut adalah Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI), Sarman Situmorang. Menurut Sarman, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi pada Juni mendatang tidak tepat karena akan memberikan beban yang berat kepada masyarakat selaku konsumen karena bertepatan dengan masuknya Tahun Ajaran Baru pendidikan serta menyambut Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. “Tidak tepat, lebih baik dinaikkan setelah Hari Raya Idul Fitri,” kata Sarman dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (3/5).
Kenaikan BBM bersubsidi pada Juni mendatang, lanjut Sarman, mengakibatkan efek dominoyang cukup besar yang harus dihadapi oleh masyarakat dan pengusaha. Hal ini akan berbalik kepada daya beli masyarakat yang kemungkinan akan mengalami penurunan dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama ini ditopang oleh konsumsi mayarakat. Pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang disiapkan pemerintah jika BBM bersubsidi dinaikkan takkan mendongkrak daya beli masyarakat.
Sarman memperkirakan, jika pemerintah tetap akan menaikkan harga BBM bersubsidi pada Juni mendatang, harga-harga bahan pokok dipasaran akan melonjak sebanyak 200 persen. Ia juga menyayangkan sikap pemerintah yang plin-plan menetapkan kebijakan energi nasional. Sikap tak tegas ini secara langsung berakibat pada naiknya harga-harga barang dipasar domestik.
“Baru wacana saja semua barang sudah naik 15 persen, apalagi realisasinya pada Juni mendatang,” cetusnya.
Namun Sarman menilai kenaikan BBM bersubsidi oleh pemerintah sah-sah saja dilakukan. Tentu saja, katanya, dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang sehingga tidak menggerus daya beli masyarakat. Lagi pula, hal ini perlu dibahas pemerintah bersama DPR dan belum dapat dipastikan DPR akan menyetujui rencana tersebut.
Selain sisi daya beli masyarakat, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Raja Okto Saptahari juga berpendapat sikap pemerintah yang “galau” dalam menentukan harga BBM bersubsidi justru berdampak buruk pada iklim usaha nasional. Pasalnya, tak ada kepastian berusaha di Indonesia ketika pemerintah hanya menghembuskan wacana tanpa mengambil kebijakan yang jelas. “Kalau belum pasti, lebih baik jangan diwacanakan,” katanya.
Rencana menaikkan  harga BBM bersubsdi yang terlalu digembor-gemborkan pemerintah membuat pengusaha takut dalam mengambil kebijakan bisnis.
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk, Ryan Kiryanto justru berpendapat pemerintah sebaiknya menaikkan harga BBM bersubsidi pada Mei ini. Jika pemerintah terlalu lama menunda rencana tersebut, hal ini akan menyulitkan pengusaha dalam menyusun rencana bisnis. “Biasanya inflasi Mei cenderung rendah, jadi naikkan harga BBM sekarang atau tidak sama sekali,” kata Ryan pada acara yang sama.
Jika pemerintah menaikkan harga BBM subsidi setelah Mei, Ryan mengatakan dampak terhadap inflasi akan lebih berat. Akibatnya, penghematan anggaran menjadi kurang maksimal. Ditambah lagi akan masuknya Hari Raya Idul Fitri. Menurut Ryan, kenaikan harga BBM bersubsidi akanmenyumbang inflasi di tahun 2013 sebesar 2 persen yang akan berakibat pada menurunnya pertumbuhan ekonomi yakni berada pada kisaran 6,0-6,4 persen. Artinya, inflasi tahun ini dapat mencapai 5,5-6,5 persen.
Dengan demikian, tingkat inflasi yang lebih tinggi dari target pemerintah (4,5 persen plus 1 persen), membuat daya beli masyarakat merosot tajam. Begitu juga dengan daya beli buruh juga mungkin akan dapat terpangkas hingga 30 persen.
Seperti diketahui, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berencana menaikkan harga BBM bersubsidi. Rencana tersebut akan direalisasikan usai pembahasan rancangan anggaran pendapatan dan belanja perubahan (RAPBN-P) 2013 nanti.

Dualisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah


Mahkamah Agung (MA) menegaskan penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat diselesaikan di pengadilan umum dan pengadilan agama. Hal itu tergantung dari akad transaksinya.
“Ini tergantung pada akad atau transaksinya. Jika transaksi perbankannya merujuk ke pengadilan agama ya sengketanya berujung ke pengadilan agama. Kalau transaksinya ke pengadilan negeri ya ke pengadilan negeri. Karena undang-undangnya (UU Perbankan Syariah) seperti itu,” kata Ketua Kamar Pengadilan Agama MA, Andi Syamsul Alam, di Gedung MA, Jumat (3/5).
Andi mengakui wacana yang berkembang di masyarakat memandang setiap sengketa perbankan akan diselesaikan di pengadilan agama. Di sisi lain, masih ada keraguan sengketa perbankan seharusnya diadili di pengadilan mana.  “Ini harus diakui, kalau diselesaikan di pengadilan umum khawatir produk atau bisnisnya terlalu syariah, sehingga terbagi dualah, tetapi sebenarnya tergantung kondisinya,” tegasnya 
Dia tegaskan peradilan umum dan pengadilan agama memiliki kesempatan yang sama dalam sengketa perbankan syariah. Ia juga membandingkan dengan hukum keluarga, khususnya menyangkut perkara perceraian. Perkara perceraian ini bisa diselesaikan di pengadilan umum dan pengadilan agama tergantung dari agama para pihak.  
“Seperti hukum keluarga (perceraian) terbagi dua, jika pihaknya nonmuslim ke pengadilan umum, sementara jika pihaknya muslim ke peradilan agama. Selama ini tidak ada masalah, tidak ada sulitnya, apalagi muaranya ke MA semua, kecuali ‘kandangnya’ lain,” katanya.
Terkait pengujian Pasal 55 ayat (2) dan (3) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di MK, Andi merasa bukan kapasitasnya mengomentari persoalan itu karena bukan kewenangan MA.  Hal itu tergantung MK mau memutuskan apakah sengketa perbankan syariah mau diselesaikan di pengadilan agama atau pengadilan negeri.
“Pimpinan MA tidak mempersoalkan itu, sah-sah saja. Seperti dihapusnya peran pengadilan mengeluarkan penetapan akta kelahiran. Namun, Dinas Catatan Kependudukan dan Catatan Sipil harus lebih hati-hati terkait pemeriksaan keabsahan seorang anak karena eksesnya terhadap pengadilan juga untuk menyelesaikannya,” ujarnya mengingatkan.
Soal penyelesaian perkara ekonomi syariah secara umum, dia mengaku pihaknya telah memiliki Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), sebagai hukum materil para hakim agama di Indonesia. “Ini untuk memandu para hakim agama agar tidak salah memutus, ini sudah dijual bebas yang juga dipakai di fakultas hukum dan syariah,” tambahnya.
Sebelumnya, Pakar Ekonomi Syariah, Muhammad Syafii Antonio berpendapat penyelesaian sengketa perbankan syariah seharusnya menjadi kewenangan penuh pengadilan agama. Hal ini sejalan dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama termasuk persoalan hipotik (jaminan) dan eksekusinya agar menjamin putusan pengadilan agama benar-benar sesuai hukum syariah.
Dia menjelaskan dalam UU Pengadilan Agama, peradilan agama telah diberi kewenangan mengadili permasalahan ekonomi syariah, perbankan, keuangan dan asuransi yang didasarkan hukum syariah. Diakuinya, persoalan hipotik dan fiat eksekusi sengketa perbankan syariah masih melibatkan pengadilan negeri. Hal itu tertuang dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah. Misalnya, kalau terjadi sengketa perbankan syariah, awalnya diselesaikan dengan musyawarah, mediasi perbankan, lembaga abitrase, atau pengadilan negeri.
Meski begitu, menurutnya apabila pengadilan agama diberi kewenangan penuh dalam memutus sengketa perbankan syariah, hakim-hakim agama perlu ditingkatkan pengetahuannya agar mereka mampu memahami ekonomi syariah secara baik. Caranya, hakim-hakim agama diberikan pendidikan dan pelatihan yang memadai karena produk perbankan dan asuransi syariah semakin banyak dan berkembang.
Untuk diketahui, Pasal 55 ayat (2), ayat (3) UU Perbankan Syariah tengah diuji  oleh seorang nasabah Bank Muamalat, Dadang Achmad. Dia menilai Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) dinilai kontradiktif karena ayat (1) secara tegas mengatur jika terjadi sengketa dalam praktik perbankan syariah merupakan kewenangan pengadilan agama.
Namun, ayat (2)-nya membuka ruang para pihak yang terikat akad untuk memilih peradilan manapun jika terjadi sengketa praktik perbankan syariah. Karena itu, agar mencerminkan adanya kepastian hukum seharusnya Pasal 55 ayat (2) dinyatakan batal.
Pemohon sendiri mengalami kredit macet di Bank Muamalat Cabang Bogor melalui akad pembiayaan seperti tertuang dalam Akta Notaris No. 34 tertanggal 09 Juli 2009, lalu diperbaharui Akta Notaris No. 14 tertanggal 8 Maret 2010. Dalam akad itu, disebutkan jika terjadi sengketa mereka telah sepakat menyelesaikan sengketa yang timbul di Pengadilan Negeri Bogor. 

Jumat, 03 Mei 2013

SYARAT-SYARAT PENDIRIAN BANK LOKAL DAN BANK ASING


MENURUT Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Di Indonesia, Bank Indonesia (BI) selain mengizinkan pendirian Bank Persero (BUMN), bank swasta, Bank Umum Swasta Nasional Devisa, Bank Umum Swasta Nasional Non Devisa, bank campuran, Bank Pembangunan Daerah, Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, juga bank asing. Bank asing yang saat ini beroperasi adalah American Express Bank Ltd, Bank of America, NA, Bank of China Limited, Citibank NA.
Kemudian, Deutsche Bank Ag, JP Morgan Chase Bank, Standard Chartered Bank, The Bangkok Bank Comp Ltd, The Bank of Tokyo Mitsubishi Ufj Ltd, dan The Hongkong & Shanghai BC.
Pendirian bank asing di Indonesia atau bank asing yang akan membuka cabang di Indonesia, sebaiknya diminta menjadikan sebagai anak perusahaan, agar ada setoran tunai yang berbentuk setoran modal untuk menaikkan cadangan devisa Indonesia.
Indonesia sangat terbuka terhadap kepemilikan asing yang terjadi sejak krisis 1998. Ini dilakukan untuk menambah devisa dan menstabilkan kurs rupiah kala itu.
Banyak bank nasional dibeli asing. Akibatnya, Indonesia juga menyambut hadirnya bank asing. Fakta memang Indonesia membutuhkan masuknya investor asing, sehingga ada devisa masuk untuk menstabilkan kurs rupiah.
Namun, Wakil Ketua Bidang Fiskal dan Moneter Kadin Indonesia Haryadi Sukamdani menilai, BI sebagai otoritas moneter terlalu mudah dalam memberikan izin kepada bank asing untuk beroperasi dan mengakuisisi bank di Indonesia.
BI seharusnya memiliki nilai-nilai atau prinsip keberpihakan terhadap perbankan nasional, dengan membatasi secara tegas kepemilikian bank asing di Indonesia.
Jauh berbeda ketika ada bank nasional yang ingin membuka cabang di luar negeri yang tidak memperoleh kemudahan yang sama. BI tidak mempunyai kesamaan sikap didalam melakukan penguatan industri dalam negeri. Bank asing mudah masuk, di lain pihak bank di Indonesia tidak mendapatkan perlakuan yang sama dari negara-negara asal bank tersebut.
Jika perbankan nasional sulit membuka cabang di luar negeri, maka bank asing yang akan beroperasi di Indonesia, juga seharusnya tidak gampang membuka cabangnya di sini.
Proses perizinan Pada Perbankan
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tenatang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.( UU No. 10/1998 Jo. UU No. 7/1992). Perbankan berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Untuk tujuan Perbankan adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Karena berdasarkan Pasal 2 di tegaskan bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.
Perizinan, bentuk hukum dan Pemilikan
Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan rakyat maka wajib di penuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang :
1.susunan organisasi dan kepengurusan
2.permodalan
3.kepemilikan
4.keahlian di bidang perbankan
5.kelayakan rencana kerja
Dalam memperoleh izin usaha sebagai Bank Umumdan BPR, Bank Indonesia selain memperhatikan pemenuhan persyaratan, juga wajib memperhatikan tingkat persaingan yang sehat antar bank, tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu, serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Persyaratan dan tata cara perizinan bank yang di tetapkan oleh Bank Indonesia antara lain :
a.persyaratan untuk menjadi pengurus bank antara lain menyangkut keahlian di bidang perbankan dan kondite yang baik
b.larangan adanya hubungan keluarga di antara pengurus bank
c.modal di setor minimum untuk pendirian Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
d.batas maksimum kepemilikan dan kepengurusan
e.kelayakan rencana kerja
f.batas waktu pemberian izin pendirian bank
Untuk Pokok-pokok persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Umum sebagaimana di tetapkan Bank Indonesia antara lain :
a.persyaratan tingkat kesehatan bank
b.Tingkat persaingan yang sehat antar bank
c.Tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu
d.Pemerataan pembangunan ekonomi nasional
e.Batas waktu pemberian izin pembukaan kantorselambat-lambatnya 60 hari setelah dokumen permohonandi terima secara lengkap
f.Batas waktu dan alasan penolakan
g.Batas waktu pelaporan pembukaan kantor dibawah kantor cabang
Untuk Pokok-pokok persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana di tetapkan Bank Indonesia antara lain :
a.persyaratan tingkat kesehatan BPR
b.Tingkat persaingan yang sehat antar BPR
c.Tingkat kejenuhan jumlah BPR dalam suatu wilayah tertentu
d.Pemerataan pembangunan ekonomi nasional
e.Batas waktu pemberian izin pembukaan kantor selambat-lambatnya 30 hari setelah dokumen permohonan di terima secara lengkap
f.Batas waktu dan alasan penolakan
Pendiri Bank Umum
Beberapa pihak yang dapat mendirikan bank umum dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia
b.warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan
Dalam pendirian bank, modal Bank Umum berbeda dengan BPR. Jika modal Bank Umum, disetor untuk mendirikan bank di tetapkan paling kurang sebesar Rp. 3.000.000.000.000,- ,modal BPR disetor untuk mendirikan bank di tetapkan paling kurang sebesar Rp. 2.000.000.000,-
BANK LOKAL
Bank Umum Swasta.
1.Bank Umum Swasta hanya boleh didirikan dan menjalankan usaha sebagai bank setelah mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbangan Bank Indonesia dan atas dasar syarat-syarat sebagai berikut :
a.berbentuk hukum perseroan terbatas.
b.mempunyai modal yang telah dibayar sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Menteri Keuangan dapat menetapkan jumlah modal dibayar minimum yang lebih tinggi menurut perkembangan keadaan dengan memperhatikan kondisi setempat.
c.saham-saham dari perseroan terbatas seluruhnya harus dimiliki oleh warta negara Indonesia dan/atau badan-badan hukum yang peserta- pesertanya dan pimpinannya terdiri atas warga negara Indonesia, menurut syarat-syarat yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Saham-saham tersebut hanya boleh dikeluarkan ,,atas nama”. Setiap pemindah-tanganan saham wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
d.pimpinan dan pegawai dari bank yang mempunyai kedudukan vital harus seluruhnya warga-negara Indonesia.
2.Pembukaan kantor cabang dan perwakilan dari Bank Umum Swasta hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri Keuangan, setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
3.Menteri Keuangan mengatur lebih lanjut tentang syarat-syarat tambahan, cara-cara pengajuan permintaan izin usaha Bank Umum Swasta dan syarat-syarat pembukaan cabang dan perwakilan.
Bank Umum Koperasi.
1.Bank Umum Koperasi hanya boleh didirikan dan menjalankan usaha sebagai bank setelah mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbangan Bank Indonesia dan atas dasar syarat-syarat sebagai berikut :
a.berbentuk hukum koperasi.
b.mempunyai simpanan pokok sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dengan ketentuan bahwa pada waktu pendirian, dari jumlah simpanan pokok tersebut sekurang-kurangnya sudah tersedia Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan sisanya sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) sudah harus terkumpul dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal pendirian tersebut.
c.Menteri Keuangan dapat menetapkan jumlah simpanan pokok minimum yang lebih tinggi menurut perkembangan keadaan dengan memperhatikan kondisi setempat.
d.Pimpinan dan pegawai dari bank seluruhnya adalah Warga Negara Indonesia.
2.Pembukaan kantor cabang dan perwakilan dari Bank Umum Koperasi hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
3.Menteri Keuangan mengatur lebih lanjut tentang syarat-syarat tambahan, cara-cara pengajuan permintaan izin usaha Bank Umum Koperasi dan syarat-syarat pembukaan cabang dan perwakilan.
4.Tata-kerja Bank Umum Koperasi akan diatur tersendiri oleh Bank Indonesia bersama-sama dengan Departemen yang mengurus masalah perkoperasian dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam pasal 23, 25 dan 31 Undang-undang ini.
Bank Tabungan milik Negara.
Bank Tabungan milik Negara didirikan dengan Undang-undang berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini.
Ketentuan-ketentuan dalam pasal 5 ayat(2), pasal 6 dan pasal 7 berlaku juga untuk Bank Tabungan milik Negara.
Bank Tabungan Swasta.
1.Bank Tabungan Swasta hanya boleh didirikan dan menjalankan usaha sebagai bank tabungan setelah mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbangan Bank Indonesia dan atas dasar syarat-syarat sebagai berikut :
a.berbentuk hukum perseroan terbatas.
b.mempunyai modal yang telah dibayar sekurang-kurangnya Rp. 50.000.-(lima puluh ribu rupiah). Menteri keuangan dapat menetapkan jumlah modal dibayar minimum yang lebih tinggi menurut perkembangan keadaan dengan memperhatikan kondisi setepat.
c.memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut dalam pasal 8 ayat (1) c dan d.
2. Ketentuan dalam pasal 8 ayat (2) dan (3) berlaku juga untuk Bank Tabungan Swasta.
BANK ASING.
1.Bank Asing diperkenankan menjalankan usahanya di Indonesia hanya dibidang bank pembangunan dan/atau bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dengan mengutamakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi pembangunan Negara dan kepentingan nasional pada umumnya.
2.Bank Asing tersebut dalam ayat (1) hanya dapat didirikan dan menjalankan usaha sebagai bank setelah mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan. Izin tersebut diberikan oleh Menteri Keuangan sesudah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
Bank Asing tersebut dalam pasal 19 hanya dapat didirikan dalam bentuk :
a.cabang dari bank yang sudah ada diluar negeri;
b.suatu Bank Campuran antara Bank Asing dan Bank Nasional di Indonesia yang berbadan hukum Indonesia dan berbentuk perseroan terbatas.
Hal-hal tentang Bank Asing yang belum diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan dengan Undang-undang.
Peta Persaingan Perbankan Lokal Dengan Perbankan Asing
Peta persaingan perbankan di tanah air baik perbankan konvensional dan syariah sangat intense dan ketat. Ini terlihat jelas dengan masuknya beberapa bank-bank asing ke Indonesia. Salah satunya bank asing konvensional dari Singapura dan Malaysia seperti Temasek Holding dengan 68% Kepemilikan saham di Bank Danamon, OCBC Bank dengan kepemilikan saham sebesar 70% di Bank NISP, CIMB Niaga dengan komposisi kepemilikan saham 60% Khazanah Nasional Bhd dan 20% CIMB Bank.
Tidak hanya itu. Bank asing seperti ANZ (Australia), Standard Chartered Bank, HSBC, Barclays yang berasal dari Inggris, Rabobank (Belanda), Texas Pacific dan Mercy Corp (Amerika), ICBC (China), State Bank of India (India), Tokyo Mitsubishi (Jepang) dan IFC (Korea Selatan) adalah beberapa bank asing dengan kepemilikan saham terbesar di beberapa perbankan Nasional.

Tidak Ketinggalan juga industri perbankan syariah di tanah air akan kedatangan pesaing dari Timur Tengah. Seperti Kuwait Finance House (KFH) salah satu Islamic Bank terbesar di Kuwait. Tidak hanya KFH saja yang berminat tetapi menurut Deputi Direktur Direktorat Perbankan Syariah BI Mulya Siregar juga mengatakan ada dua investor Timur Tengah yaitu Albarkah dan Asian Finance Bank yang sangat tertarik untuk membeli bank lokal. “Mereka sudah datang ke kita dengan rencana mereka akan membeli bank lokal dan dikonversi ke syariah,” ujar Mulya (www.detikfinance.com, 7 Desember 2009).

Dengan indikasi di atas persaingan industri perbankan pada tahun 2010 ini akan lebih
semarak. Dari laporan BI Juni 2008 jumlah pangsa pasar bank asing juga meningkat apabila dibandingkan pada tahun 1999. Untuk pangsa pasar aset sebesar 50% meningkat dari 11% di tahun 1999 yang dimiliki asing dari total aset perbankan nasional sekitar 45% pangsa pasar kredit dari total 20% di tahun 1999, dan 40% pangsa pasar dana pihak ketiga meningkat dari 11% di tahun 1999.

Ada beberapa hal yang membuat bank asing tersebut berminat untuk berinvestasi di Indonesia. salah satu contributing factor yang significant adalah tingginya Net Interest Margin (NIM) perbankan di Indonesia. Kalau di negara mereka bank asing tersebut hanya bisa mendapatkan NIM maksimal sebesar 2-3%. Tetapi, di Indonesia industri perbankan nasional bisa meraih NIM dengan rata-rata sebesar 6%.
Sebut saja beberapa bank plat merah terbesar di tanah air. Untuk bulan September 2009 Bank Rakyat Indonesia (BRI) sudah berhasil meraup NIM sebesar 9,1%, Bank Nasional Indonesia (BNI) 6,1%, dan Bank Mandiri (BMRI) 5,2%. Dan, beberapa bank-bank yang termasuk dalam bank 10 besar di Indonesia seperti Danamon 8,2%, Bank Central Asia (BCA) dengan NIM 6,6%, CIMB Niaga 6,6%, Citibank 6,6%, BII Maybank 5,8%, Permata  5,5%, dan Panin dengan perolehan NIM sebesar 4,7% (Laporan Keuangan Publikasi Bank  dan Bank Indonesia, diolah).
Masuknya bank-bank asing ke Indonesia haruslah ditanggapi dengan serius oleh pihak regulator dalam hal ini Bank Indonesia dan juga industri perbankan nasional. Tentunya bank-bank asing tersebut sudah dapat dipastikan membawa sistem dan business strategy yang terbaik yang telah mereka implementasikan sekian lama di negara mereka. Oleh karena itu bank-bank nasional khususnya bank-bank pemerintah harus bisa bersaing lebih kompetitif lagi to win the competition in the industry.

Akan sangat tragis apabila 10 tahun mendatang kita melihat bahwa bank terbesar di negeri kita sendiri dimiliki oleh asing. Dengan demikian ada beberapa critcal notes yang penulis ingin sampaikan untuk memperkuat posisi perbankan nasional kita ke depan.

Pertama, Pemerintah dan BI harus secara progressive mengeluarkan regulasi yang supportive terhadap Bank-bank nasional agar bisa bersaing secara kompetitif dengan bank-bank asing. Hal ini telah di perhatikan oleh BI di mana salah satu regulasi dari BI adalah akan mewajibkan cabang bank asing yang beroperasi di Indonesia berubah menjadi badan hukum perseroan terbatas (PT) untuk memudahkan pengawasan dan pengaturan. Dengan demikian bank asing akan tunduk dengan ketentuan hukum perusahaan di Indonesia.
Langkah ini menjadi concern BI karena keberadaan bank asing yang beroperasi di tanah air kian banyak dan cukup kompleks. Di samping itu, pemerintah dan BI juga harus memperhatikan perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia agar regulasi mengenai tax insentif untuk perbankan syariah harus segera digodok agar mampu mendorong industri perbankan syariah meningkatkan kinerjanya.

Kedua, Perbankan Nasional khususnya bank plat merah harus mampu memberikan servis yang berkualitas kepada masyarakat. Kalau dulu bank-bank pemerintah terkenal dengan servisnya yang lambat, bertele-tele, tetapi sekarang penulis bangga. Perbankan  nasional sudah mulai mereformasi kualitas servis yang diberikan kepada nasabah.
Kualitas servis yang baik sangat penting untuk meningkatkan kepuasan dan juga loyalitas customer. Hal ini sudah dicapai oleh Bank Mandiri dengan meraih “The Best Bank Service Excellence Award” pada tahun 2007 dan 2008.
Prestasi Bank Mandiri ini agar bisa dipertahankan ke depan dan menjadi lokomotif penggerak serta dapat memotivasi bank nasional lainnya untuk memberikan kualitas servis yang terbaik kepada nasabahnya. Apabila servis yang diberikan mengecewakan bank-bank nasional harus bersiap-siap nasabah mereka direbut oleh bank-bank asing lainnya yang sudah memiliki senjata pamungkas untuk menaikkan pangsa pasar mereka di Indonesia.

Ketiga, bank-bank nasional yang sudah listed di pasar saham harus meningkatkan kinerja keuangannya agar dapat meningkatkan nilai Kapitalisasi pasarnya (Maket Capitalization). Semakin besar nilai Market Capitalization suatu perusahaan terbuka hal ini mununjukkan indikasi yang baik. Sebab, selain kinerja keuangan dan reputasi perusahaan tersebut di nilai outstanding market capitalization yang tinggi dapat menyulitkan pihak lain untuk membeli perusahaan tersebut.
Oleh karena itu bank-bank nasional harus mampu meningkatkan market capitalization mereka agar tidak mudah untuk dibeli asing karena dengan tingginya marke capitalization bank tersebut. Maka Price to book value (PBV) akan tinggi pula dengan kata lain lebih tinggi nilai market capitalization suatu bank. Lebih mahal harga bank tersebut untuk diakusisi atau di beli.
Dengan beberapa prestasi bank nasional yang membanggakan ini baik BUMN dan swasta seperti Bank Mandiri dan BCA yang market capitalization mereka sudah mencapai USD 10 miliar di tahun 2009 dan yang cukup membanggakan kedua bank nasional tersebut masuk ke dalam top bank kategori bank dengan market capitalization di atas USD 10 milliar sebagai Large Regional Players di Asia bersama dengan Hang Seng Bank (Hong Kong), KB Financial Group (Korsel), DBS bank, UOB Bank, dan OCBC bank yang ketiganya dimiliki oleh Singapura dan Maybank Malaysia (Sumber: Bloomberg). 
    
Walaupun banyak dan kompleksnya pemain asing yang masuk dalam persaingan industri perbankan nasional dengan adanya regulasi yang supportive dari pemerintah dan BI perbankan nasional kita masih tetap bisa exist dan menunjukkan taringnya selama memberikan pelayanan yang berkualitas kepada nasabah. Selain itu tindakan kejahatan perusahaan harus dihapuskan dalam manajemen perbankan nasional. Seperti praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Dan, hal yang perlu diperhatikan juga ialah untuk strategi ke depan. Bank-bank nasional tidak hanya harus fokus kepada peningkatan Net Interest Income saja. Tetapi, juga harus meningkatkan portfolio Fee Based Income-nya dan juga harus berani berinvestasi dan menyalurkan pembiayaan di high return businessess seperti salah satunya ke sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.