Jumat, 04 Maret 2016

Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

2. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik
Materi ini menyangkut hukum keperdataan (burgelijk recht),
namun mengingat ada hubungannya dengan fungsi notaris,
penggolongan dari akta-akta notaris dan lain sebagainya, maka perlu
untuk dibahas kekuatan pembuktian dari akta otentik.
Kekuatan pembuktian akta berasal dari keharusan yang
ditentukan perundang-undangan dan tugas yang dibebankan oleh
undang-undang kepada pejabat tertentu. Dengan tugas ini diberikan
kekuatan pembuktian kepada akta yang mereka buat.
Pada setiap akta otentik terdapat 3 (tiga) kekuatan pembuktian,
yakni:
a. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijsracht)
Dengan kekuatan pembuktian lahiriah dimaksudkan adanya
kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai
akta otentik (“acta publica probant sese ipsa”). Pembuktian ini
menurut Pasal 1875 KUH Perdata tidak dapat diberikan kepada
akta yang dibuat di bawah tangan. Akta di bawah tangan baru
berlaku sah dan mempunyai kekuatan pembuktian apabila yang
menanda tanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya.
Secara tegas memang undang-undang tidak ada
menyebutkan kekuatan pembuktian lahiriah. Akan tetapi mengenai
keabsahan “akta otentik” dinyatakan dalam Pasal 1869 dan Pasal
1872 KUH Perdata).
b. Kekuatan Pembuktian Formal (Formele Bewijskracht)
Dengan kekuatan pembuktian formal dimaksudkan bahwa
adanya pernyataan tertulis dari pejabat yang berwenang dalam
menjalankan jabatannya tentang kebenaran apa yang diuraikan
dalam akta. Dalam arti formal mengenai akta pejabat (ambtelijke
akte) membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, dilihat,
didengar dan juga dilakukan sendiri oleh notaries sebagai pejabat
umum di dalam menjalankan jabatannya.
Dalam arti formal, maka terjamin kebenaran/kepastian
tanggal dari akta, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam
Bibliografi Notaris
Muliadi & Partners Edit, 01-07-2010
3
akta, identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten), tempat
di mana akta dibuat.
c. Kekuatan Pembuktian Material (Materiele Bewijskracht)
Menyangkut kekuatan pembuktian material adalah
pembuktian akan isi akta yang membuktikan sebagai yang benar
terhadap setiap orang tentang hal-hal yang dinyatakan dalam akta
dimaksud, dan sebagai tanda bukti terhadap dirinya (“prevue
preconstituee). Artinya kepada para pihak, ahli waris dan
penerima hak akan memberikan pembuktian yang lengkap tentang
kebenaran dari apa yang tercantum dalam akta itu. Dasar
hukumnya tercantum dalam Pasal 1870, Pasal 1871 dan Pasal
1875 KUH Perdata.
Apabila akta otentik dipergunakan di pengadilan akan
membuat hakim terikat, sebab apa gunanya undang-undang
menunjuk pejabat yang ditugaskan untuk membuat akta otentik
sebagai alat bukti, jika hakim begitu saja dapat
mengenyampingkannya. Walaupun dianut “vrije bewijstheorie”, yang
berarti bahwa alat-alat bukti tidak mutlak mengikat hakim, akan
tetapi lain halnya dengan akta otentik, di mana undang-undang
mengikat hakim pada alat bukti itu.
3. Pengaturan Notaris Dalam Perundang-undangan
Ketentuan Umum
2
Pengangkatan Dan Pemberhentian Notaris
3
, Pengangkatan
4
,
Pemberhentian
5
.
Kewenangan, Kewajiban, dan Larangan
6
.
Kewenangan
7
, Kewajiban
8
Notaris:
a. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat
menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran

KEDUDUKAN HUKUM INDONESIA DIMATA INTERNASIONAL

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, hal ini dapat diketahui dari agama, suku bangsa, kebudayaan, dan adat istiadat yang beragam. Dalam kondisi yang demikian bangsa Indonesia rawan dan mudah diadu domba oleh pihak-pihak yang menginginkan kehancuran Negara Republik Indonesia. Untuk mengantisipasi sekaligus mencegah agar hal itu tidak terjadi, maka diperlukan aturan-aturan, dan norma-norma yang dapat mempersatukan bangsa. Aturan yang dimaksud adalah suatu aturan atau norma yang memuat nilai-nilai sebagai jati diri bangsa Insonesia, yaitu tertung dalam falsafah negara Pancasila.
Untuk mengikat kehidupan bangsa Indonesia, agar kehidupan bangsa ini terarah ke jalan yang benar, diperlukan adanya hukum. Hukum merupakan peraturan-peraturan hidup di dalam masyarakat yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberi sanksi yan tegas berupa hukuman terhadap siapapun yang tidak mentaatinya, tanpa adanya pengecualian.
Latar Belakang Masalah
  •  Apa yang dimaksud dengan negara hukum.
  • Unsur-unsur umum dalam suatu negara hukum.
  • Negara hukum di Indonesia
  • Unsur negara hukum di Indonesia
  •  Manfaat status negara hukum
Solusi Permasalahan
Pengertian negara hukum secara sederhana adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum), dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban hukum (Mustafa Kamal Pasha, 2006). Ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa dalam negara hukum, di mana hukum sebagai dasar, diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi atau hukum dasar negara. Konstitusi negara juga harus berisi gagasan atau ide tentang konstitusionalisme, yaitu adanya pembatasan atas kekuasaan dan jaminan hak dasar warga negara. Dengan demikian dalam negara hukum, kekuasaan negara berdasar atas hukum, bukan kekuasaan belaka serta pemerintahan negara berdasar pada konstitusi yang berpaham konstitusionalisme, tanpa hal tersebut sulit disebut sebagai negara hukum. Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanapa dasar kewenangan.
Unsur-unsur yang berlaku umum bagi setiap negara hukum, yakni sebagai berikut
  • Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
  • Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
  •  Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
  •  Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
  • Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.
  • Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.
  • Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang meratasumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi.
Gagasan negara hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yangrasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yangberkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah MahkamahKonstitusi yang berfungsi sebagai “the guardiandan sekaligus “the ultimate interpreter of the constitution”.
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara hukum, artinya negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka. Negara hukum didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah amandemen) yaitu pasal 1 ayat (3) : “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum”. Negara hukum di Indonesia adalah negara hukum yang tetap berdasar pada ideologi bangsa, yakni Pancasila, yang bercirikan adanya hubungan yang erat antara agama dan negara, bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, kebebasan agama dalam arti positif, ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang, serta adanya asas kekeluargaan dan kerukunan. Unsur-unsur utama dalam negara hukum Pancasila adalah,
  • Dijadikannya Pancasila sebagai pedoman dan arahan kehidupan hukum di Indonesia.
  • Adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berdasarkan pasal 3 dan pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 bertugas mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden; memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD; memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
  • Adanya sistem Konstitusi.
  • Azaz legalitas. Azaz ini dijadikan landasan bertindak bagi penguasa, yang artinya setiap tindakan penguasa harus didasarkan kepada hukum, dan sebagai sarana menguji keabsahan tindakan penguasa (kekuasaan yang satu dibatasi oleh kekuasaan yang lain).
  • Adanya pembagian kekuasaan. Kekuasaan di dalam negara hukum harus didistribusikan, dan tidak boleh dipegang oleh satu orang atau satu lembaga secara absolut. Di Indonesia kekuasaan dibagi ke dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, dan kekuasaan yudikatif.
  •  Adanya perlindungan hak asasi manusia, dan;
  •  Adanya peradilan bebas tanpa adanya pengecualian
Pada dasarnya, tujuan dari suatu negara hukum, terutama negara hukum Pancasila adalah untuk meniadakan absolutisme kekuasaan, dan perlindungan hak asasi manusia. Tidak akan ada satu pihak yang akan memonopoli kekuasaan sesuka hati, karena semua tindakan akan dipertanggungjawabkan kepada hukum, dan juga jika penguasa bertindak sewenag-wenang, maka ia akan berurusan dengan hukum yang berlaku di Indonesia, dan ia juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada rakyat, karena Indonesia merupakan negara hukum Pancasila yang demokratis. Manfaat lain dari bernegara hukum adalah akan adanya kontrol bagi kehidupan berbangsa dan bernegara; adanya batasan norma yang mengarahkan seseorang dalam bertindak, agar tindakannya tidak merugikan masyarakat luas, dan tidak bertentangan dengan Pancasila; dan juga yang terpenting bila suatu negara dilindungi oleh hukum maka posisi kedaulatan negara terjamin oleh karena adanya hukum dalam negara tersebut. Negara lain tak akan dengan sembaarngan mengusik dan mengobrak-abrik tata laksana pemerintahan di suatu negara, bila negara tersebut berada dalam payung hukum.
Kesimpulan
Hukum merupakan peraturan-peraturan hidup di dalam masyarakat yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberi sanksi yan tegas berupa hukuman terhadap siapapun yang tidak mentaatinya, tanpa adanya pengecualian.
Negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum.
Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah amandemen) yaitu pasal 1 ayat (3) : “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum”. Negara hukum di Indonesia adalah negara hukum yang tetap berdasar pada ideologi bangsa, yakni Pancasila.
Tujuan dari negara hukum Pancasila adalah untuk meniadakan absolutisme kekuasaan, dan perlindungan hak asasi manusia.
Manfaat bila suatu negara berada dalam payung hukum adalah akan adanya kontrol bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan dalam lingkup internasional, bila suatu negara dilindungi oleh hukum maka posisi kedaulatan negara terjamin oleh karena adanya hukum dalam negara tersebut. Negara lain tak akan dengan sembarngan mengusik dan mengobrak-abrik tata laksana pemerintahan di suatu negara.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2015

Tentang

Pasal Living Law di RKUHP Berpotensi Disalahgunakan Aparat Penegak Hukum

Ada sejumlah pasal dalam Buku I Bab I Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang hingga saat ini masih terus dilakukan pembahasan. Salah satunya adalah Pasal 2 RKUHP, terkait pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law).
 
Dalam Seminar Nasional “Menyikapi Pembahasan RKUHP” yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) bekerjasama dengan FH Unpad di Bandung, Selasa (1/2), terlihat perbedaan pandangan yang cukup tajam antara dua mantan hakim agung terkait dengan Pasal 2 ayat (1) RKUHP. Selain pro-kontra, terlihat juga adanya kekhawatiran terkait the living law jika nantinya dimplementasikan.    
 
Pasal 2 ayat (1) RKUHP sendiri berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
 
Mantan Hakim Agung Prof. Komariah E Sapardjaja berpendapat ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP bertolak belakang dengan Pasal 1 ayat (1) RKUHP. Sebab, dasar pemikiran Pasal 1 ayat (1) RKUHP adalah undang-undang. Sedangkan Pasal 2 ayat (1) RKUHP justru pemikiran dasarnya adalah hukum tidak tertulis.
 
“Ini berbenturan dengan asas legalitas. Implementasi tindak pidana yang dilandaskan kepada hukum yang hidup dalam masyarakat lebih ditujukan kepada hakim,” ujarnya saat menyampaikan makalahnya yang berjudul “Hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RKUHP” di seminar tersebut.
 
Sebetulnya, pengaturan tentang hukum yang hidup dalam masyarakat bukanlah hal baru. Pasal 5 ayat (3) huruf b UU Nomor 1 (Drt) Tahun 1951 telah mengakui eksistensi the living law itu sendiri. Namun, Komariah menilai, di beberapa daerah telah terjadi ‘erosi’ sehingga hukum adat hanya menjadi budaya daerah. Artinya, hukum adat saat ini lebih banyak diimplementasikan sebagai warisan budaya dan bukan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat.
 
“Saat ini saya melihat tidak ada hukum adat yang bisa diangkat jadi hukum nasional,” tegasnya.
 
Komariah juga membeberkan potensi masalah lain ketika the living law ini diimplementasikan. Pertama, aparat penegak hukum mesti punya ‘pemikiran baru’ dalam menegakkan aspek hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasalnya, selama ini diketahui aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, bahkan hakim cenderung mengedepankan asas legalitas saat menangani perkara. Lantas, bagaimana ketika mereka mesti menegakkan hukum yang mana aturannya tidak tertulis dalam undang-undang?
 
Dikatakan Komariah, penyelidik sebagaimana Pasal 5 KUHAP berwenang mencari keterangan dan barang bukti. Maka, tidak tertutup kemungkinan penyelidik melakukan penelitian tentang dugaan tindak pidana tersebut. Sayangnya, baik penyeldik dan penyidik bukanlah ahli tentang hukum adat. Terlebih lagi, menurutnya, ahli di bidang hukum adat atau ahli di bidang hukum yang hidup dalam masyarakat sangat langka.
 
“Satu hal, hukum adat tidak bedakan perkara itu pidana atau perdata. Ini juga mesti harus jadi perhatian. Penyidik tidak menangani kasus perdata. Selama ini pola pikir penegak hukum menentukan aspek pidana dengan unsur-unsur, hukum ada bagaimana unsur-unsurnya?” tutur Komariah mengkritisi.
 
Potensi kedua, kata Komariah, adanya kekhawatiran mengenai teknis beracara dalam penegakan aspek hukum yang hidup dalam masyarakat. Sebab, jika pasal mengenailiving law ini nantinya diberlakukan, ia melihat berpotensi terjadinya penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum ketika hukum acara terkait dengan hal ini tidak ada aturan tertulisnya.
 
“Nanti gimana bentuk dakwaannya? Akan ada potensi penyalahgunaan oleh penegak hukum. Apalagi bagi penegak hukum yang tidak paham soal hukum yang hidup di masyarakat itu seperti apa,” tambahnya.
 
Oleh karenanya, Komariah usul, perlu ada kajian yang lebih mendalam soal apa dan bagaimana hukum yang hidup serta berkembang di masyarakat. Jika tidak, ia tidak yakin ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP ini bisa diimplementasikan dengan baik. Paling tidak, Kementerian Hukum dan HAM coba mengkaji kembali soal the living law ini secara lebih mendalam.
 
“Saya kok tidak yakin hal ini bisa diterapkan ya. Kumham (Kementerian Hukum dan HAM) harus mengkaji kembali hal ini. Mana yang bermanfaat? Tetap dimasukan atau dikeluarkan dari RKUHP. Saya tidak mau jawab secara tegas,” tandasnya.
 
Dalam makalahnya, mantan Hakim Agung Prof. Muladi menuliskan bahwa RKUHP tidak hanya membawa misi utama pembaharuan hukum pidana saja, akan tetapi juga menegaskan tentang asas ke-Indonesiaan atau keseimbangan yang dinamis. Menurutnya, formulasi hukum pidana di masa depan merupakan perpaduan hukum pidana sebagai mekanisme pemersatu dari keadilan retributif, keadilan restoratif, perkembangan kesepakatan global, serta pesan-pesan politis seperti Pancasila, UUD 1945, serta hukum yang hidup dalam masyarakat yang masih kuat di berbagai daerah.  
 
Terkait Pasal 2 ayat (1) RKUHP, Muladi sadar bahwa banyak yang tidak sepakat dengan rumusan tersebut jika dikaitkan dengan asas legalitas. Namun, dalam rangka menjamin kepastian hukum, Pasal 2 ayat (2) RKUHP menentukan adanya ‘margin of appreciation and legitimation’ dari hukum yang hidup dalam masyarakat yakni Pancasila, HAM, dan prinsip hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
 
Selain itu, Muladi juga menyatakan bahwa dalam rangka kepastian hukum, dalam perdebatan di Komisi III DPR RI disepakati keharusan adanya semacam ‘Kompilasi Hukum Adat’ di daerah tertentu yang hukum adatnya masih kuat. Bukan hanya itu, berkaitan dengan pelaksanaan Pasal 2 RKUHP ini juga dirumuskan beberapa pasal, antara lain Pasal 55 ayat (1) RKUHP tentang tujuan pemidanaan dan Pasal 774 RKUHP berkaitan dengan sanksi pidana.
 
Pasal 774 ayat (2) RKUHP menyatakan bahwa ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai perbuatan yang salah diancam dengan pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana Pasal 68 ayat (1) RKUHP. Hukuman tersebut sebanding dengan pidana denda kategori I atau sekitar Rp6 juta.
 
Selain itu, Pasal 774 ayat (2) RKUHP juga menyatakan bahwa dalam putusan hakim dapat menetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahliwarisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 101 RKUHP. “Pasal 2 RKUHP jadi kontroversi karena pakai cara pikir perspektif barat. Tapi pakai cara berpikir keindonesiaan,” pungkasnya.
 
Bisa Jangkau Delik Pidana Baru
Di tempat yang sama, pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda mengatakan, ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP bukan penyimpangan terhadap asas legalitas. Ia berpendapat, bahwa pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pelengkap dari asas legalitas itu sendiri.
 
“Di satu sisi asas legalitas tetap dipakai. Di sisi lain, karena berangkat dari asas keseimbangan ditambah bahwa selain bersumber dari undang-undang tetapi juga dari hukum yang hidup dalam masyarakat,” kata Chairul.
 
Selain itu, Chairul juga berpendapat, ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP ini bisa menjadi ‘cantolan’ bagi jenis-jenis delik pidana yang belum diatur dalam RKHUP. Perbuatan yang dianggap tercela dan melukai rasa keadilan masyarakat namun belum diatur dalam undang-undang bisa ‘ditarik’ dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) RKUHP.
 
Meski begitu, ia tak menampik bahwa rumusan pasal ini masih perlu perbaikan. Salah satunya mesti diatur jelas bagaimana nanti hukum acara pidana untuk menegakkan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut. Hal ini memerlukan kajian hukum yang lebih mendalam lagi.
 
“Saya yakin para guru besar kita dan ahli hukum tidak bermaksud merumuskan Pasal 2 untuk membuat ketidakpastian. Tapi sejauh untuk menjangkau jangan sampai ada perbuatan-perbuatan yang belum dirumuskan dalam RKUHP, lalu kita tidak bersikap karena tidak ada undang-undangnya. Tapi perlu perbaikan rumusan dan hukum acara pidana seperti apa. Perlu semacam kajian kriteria hukum yang hidup seperti apa,” pungkasnya. 

Advokat Bisa Adukan Jaksa Jika Justice Collaborator Ditolak

Sejak hukum di Indonesia mengenal saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator (JC), banyak tersangka atau terdakwa yang akhirnya mengajukan diri untuk menjadi JC kepada penyidik atau penuntut umum. Misalnya, permohonan yang diajukan oleh anggota DPR Damayanti Wisnu Putranti dalam kasus korupsi yang melilitnya di KPK.
 
Berbeda dengan Damayanti, ada beberapa nama lain yang telah ditetapkan sebagai JC, salah satunya advokat M Yagari Bhastara Guntur alias Gary dalam perkara dugaan suap kepada hakim PTUN Medan. Namun, untuk menjadi justice collaborator, ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kandidat saksi pelaku yang bekerja sama ini.  Apa saja syarat-syarat itu?
 
Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejagung RI Widyo Pramono mengatakan, kriteria pertama yang memungkinkan ditetapkannya JC bahwa kejahatan yang diperbuat merupakan tindak pidana serius atau terorganisir. Mengapa harus demikian? Karena di situ lah konsep JC muncul.
 
“Ada pihak-pihak yang memegang peranan lebih penting yang harus ada diungkap keterlibatannya,” kata Widyo dalam seminar bertema “Strategi Pembelaan dengan Mengungkap Kebenaran” yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) kubu Fauzie Hasibuan, akhir pekan lalu.
 
Dasar dalam memberikan penetapan JC kepada terdakwa maupun tersangka merupakan hal yang penting. Biasanya, JC bukanlah pelaku utama, sehingga ada pelaku besar lain yang bisa diungkap ke penyidik untuk mengusut tuntas perkara tersebut.
 
“Jadi di sini, justice collaborator itu kalau meminjam istilahnya Pak Semendawai (Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) adalah pelaku kelas teri bukan kelas kakap. Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya,” lanjut peraih gelar guru besar dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini, seraya menyebutkan syarat kedua.
 
Selanjutnya, mengacu pada Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan Ketua LPSK di tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama, Widyo menambahkan, JC harus memberi keterangan yang signifikan, relevan, dan dapat diandalkan.
 
Selain itu JC juga harus bersedia mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan. Syarat lain yang tak kalah penting adalah adanya ancaman baik fisik maupun psikis terhadap JC atas diri dan keluarganya apabila tindak pidana diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
 
Adanya saksi pelaku yang mau bekerja sama, menurut Widyo, membuat penuntut umum terbantu. Apalagi dengan adanya perlindungan yang diberikan oleh LPSK. Untuk itu, penetapan JC terhadap orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut menjadi sebuah keniscayaan.
 
“Jadi insyaAllah penuntut umum itu kalau menolak saksi pelaku yang diberikan melalui LPSK maupun pengacara, maka penuntut yang demikian ini tidak benar. Sarana yang bisa dilakukan oleh lawyer yang menghadapi hal seperti ini, bisa lapor sama Jamwas,” ujarnya.
 
Menurutnya, lewat jabatan yang kini ia pegang itu, ia bisa turun tangan untuk mencari duduk perkara yang sesungguhnya. Tujuannya agar aparat kejaksaan baik di pusat mau pun di daerah mampu menjalankan kerjanya menegakkan hukum secara benar sesuai ketentuan yang ada.
 
Manfaat Jadi Justice Collaborator
Cukup besarnya minat menjadi JC tak lain karena adanya tawaran keringanan penjatuhan pidana terhadap pelaku. Hal ini sesuai UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Perlindungan Saksi dan Korban, diatur bahwa saksi pelaku yang bekerjasama dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan, yang mana salah satunya adalah keringanan hukuman.
 
Alasan berupa peringanan hukuman ini dibenarkan menjadi salah satu pertimbangan lawyer saat menyarankan kliennya menjadi JC oleh pengacara Gary, Ika Safitri.  Beberapa waktu lalu, Gary baru saja divonis dua tahun oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus suap majelis hakim PTUN Medan. Sebelumnya diberitakan bahwa peran Gary dalam membongkar keterlibatan pelaku besar yang membuatnya dituntut dengan ancaman minimal.
 
Hal serupa juga diutarakan kuasa hukum Awang Lazuardi Embat, Gunadi Handoko. Menurutnya, banyak manfaat dari JC sehingga hal ini yang disarankan dirinya kepada Awang yang disangka telah menyuap Kasubdit Kasasi Perdata Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna.
 
“KPK kan kalau sudah bertindak ndak main-main. Punya data, punya informasi yang betul-betul akurat. Jadi mau ngga mau dia harus kooperatif dan menjadi justice collaborator. Itu juga yang kami sarankan karena kami pandang paling baik lah untuk Awang,” ujar Gunadi kepada hukumonline, beberapa waktu lalu.